Disclaimer: Axis Powers Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz

AU, uke-genderbend (in this chap, fem Italy/Felicia), probably OOC, abal, gaje, maybe typo(s)

Wordcounts: 1092 (sisanya disclaimer, warning dan bacotan saya)

Sey Bonnefoy31's present...

Happy reading! ^o^

Derap langkah Ludwig menuju ke arah kantin. Sebuah tempat yang ramai dikunjungi setiap kali istirahat makan siang. Tak terkecuali dirinya. Ia, dengan wajah datar dan masam, mengambil tempat di meja dekat jendela. Ia membuka bekalnya, mashpotatoes hangat yang terbungkus rapi pada paper bag. Ia membuka paper bag itu perlahan, kemudian mencium aroma kentang yang merebak dari dalamnya sebelum ia menuruti intuisinya untuk segera melahap habis makanan itu.

Ia hendak memasukkan sesendok penuh kentang hangat itu ke mulutnya, tapi ia menghentikan gerakannya sejenak. Ia mengurungkan niatnya karena pandangannya menangkap seorang gadis berambut coklat yang duduk di sudut lain ruangan itu. Mata amber bening milik gadis itu—yang sedari tadi rupanya memperhatikan gerakannya—segera dialihkan oleh pemiliknya ke arah sepiring pasta yang ada di meja di depan gadis itu.

Ludwig mengangkat sebelah alisnya. Untuk apa dia memandangiku seperti itu? Pikirnya. Tapi ia segera menggelengkan wajahnya cepat-cepat, kemudian mengalihkan pikirannya pada mashpotatoes miliknya.

Hari demi hari dilalui Ludwig dengan membosankan. Menguap, menguap, tebak berapa kali Ludwig menguap setiap jamnya? Yang membuat Ludwig terhibur adalah berlatih fisik atau pelajaran olahraga, atau menu makan siangnya... kentang.

Dan Ludwig hari inipun duduk di tempat yang sama seperti biasanya. Duduk di dekat jendela. Alasannya mudah, agar ia dapat melihat seisi kantin dengan mudah sekaligus mencuci mata melihat langit biru yang membentang di angkasa melalui jendela. Letak yang strategis.

"M-maaf...," seseorang menepuk bahu Ludwig pelan, "apa tempat ini kosong? Dapatkah aku menempatinya?" tanya orang yang menepuk bahu Ludwig pelan itu.

Ludwig memutar kepalanya. Ekor matanya menangkap seorang gadis yang nampak gelisah dengan sepiring penuh pasta dengan asap masih mengepul dari atas nampan yang ia bawa hati-hati. Ludwig mengangguk pelan, kemudian memberi isyarat pada gadis itu untuk ikut duduk di meja yang sama dengannya.

Gadis itu tersenyum lebar, kemudian cepat-cepat meletakkan nampannya di atas meja dan menarik kursi yang ada di depan Ludwig. Gadis itu memandangi pasta di depannya dengan wajah berseri-seri, kemudian mengangkat garpu dan sendok lantas melahap pasta tersebut dengan semangat.

Ludwig berhenti melahap kentangnya. Pandangannya kini tertuju pada gadis yang ada di hadapannya. Ah, gadis yang biasanya! Pikirnya. Ya. Memang gadis yang biasanya. Yang biasanya duduk di sudut kantin. Yang biasanya melahap pasta dengan wajah berseri-seri. Yang biasanya tersenyum lebar. Yang biasanya memperhatikannya diam-diam...

Aku bahkan tidak menyangka suaranya akan selembut apa. Tahu-tahu dia sudah duduk semeja denganku, Ludwig tak habis pikir.

"Permisi?" Gadis itu melambaikan tangannya ke depan wajah Ludwig.

Ludwig terbangun dari lamunan siang harinya. "A-apa?"

Gadis itu membersit bibirnya kemudian tersenyum lebar. "Ah, tidak, ternyata kita sebaya!" Gadis itu berseru riang setelah melirik ke badge di lengan Ludwig. "Ah, kuperhatikan, setiap hari wajahmu cemberut terus," Gadis itu kembali menyuapkan pasta ke mulutnya sendiri.

Mata Ludwig sedikit terbelalak. Setiap hari? Pikirnya.

Ludwig cepat-cepat menguasai dirinya kembali. "Uhm," Ia berdehem, "hanya perasaanmu saja mungkin," Ludwig berkilah.

Gadis itu mengangkat bahu. Gadis itu kemudian menciduk sisa-sisa saus pasta yang menggenang di piringnya dengan sendoknya, kemudian menjadikannya suapan terakhir ke mulutnya. Gadis itu mengelap bibirnya dengan lap, kemudian tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya ke hadapan Ludwig. "Felicia Vargas," serunya.

Ludwig terdiam memandang uluran tangan gadis itu sebelum akhirnya ia mengangguk kecil dan mengulurkan tangannya juga. "Ludwig Beilschmidt," jawabnya mantab.

Gadis itu—Felicia—tersenyum manis, kemudian menarik kembali tangannya dan bangkit dari tempat duduknya. Ia lantas meninggalkan Ludwig yang masih terpaku memandangi tangannya sendiri.

Entah sejak hari itu, bayangan gadis itu menghantui pikiran Ludwig. Kalau sudah begitu, Ludwig akan marah-marah sendiri karena pikirannya terganggu.

"Ve~ Ludwig?" Seseorang meraih lengan Ludwig.

Ludwig hanya perdehem tanpa menolehkan kepalanya sedikitpun. Ia sudah tahu siapa yang datang. Sedetik kemudian kursi di sisi meja yang berlawanan dengan Ludwig ditarik oleh seseorang.

"Ludwig~," Felicia duduk di kursi yang berlawanan arah dengan Ludwig. Ia tersenyum lebar pada Ludwig.

Senyum di wajah Felicia pudar sejenak, "Ludwig masih berwajah muram ve~...," katanya cemas. Felicia melirik ke arah menu makan siang Ludwig, lantas ia tersenyum, "Ludwig setiap hari makan kentang, ve~?" Felicia tertawa kecil.

Felicia mengambil piring berisi kentang itu, kemudian meletakkan piring itu di samping piringnya. "Kamu tahu tidak, kemarin waktu jalan-jalan ada seorang karyawan restoran cepat saji yang menjual kentang yang berwajah muram," Felicia membersit bibirnya, "aku teringat Ludwig," katanya.

Ludwig mengangkat alisnya. "Lantas?" tanyanya.

"Aku jadi berpikir kalau setiap orang yang makan kentang wajahnya akan selalu murung, ve!" Senyum lebar mengembang di bibir Felicia.

Felicia memindahkan piring berisi pasta miliknya ke hadapan Ludwig, kemudian mengambil sejumput pasta dengan garpunya. "Ludwig, coba makan pasta!" Felicia memaksa Ludwig memakan pastanya.

Ludwig berusaha menghindar dari 'serangan garpu' Felicia, namun yang ada saus pasta malah mengotori wajahnya. "Felicia!" bentaknya keras.

Felicia menghentikan 'serangan'nya. Ia tertegun, kemudian meletakkan kembali garpunya ke piring pastanya. Ia mendengus nafas lemah, kemudian menunduk dan berjalan gontai meninggalkan Ludwig.

Mata Ludwig menangkap gerakan Felicia yang seolah ingin meninggalkannya, ia berusaha menahan Felicia. "Feli-... Felicia!" Namun yang terjadi, Felicia malah berlari semakin kencang. Ludwig menghela nafas bingung.

"Ditinggal kekasihmu, ya?" seru seseorang dari belakang Ludwig.

"Bruder," Ludwig melirik tajam, "Felicia itu bukan... Akh!" Ludwig mendecak kesal kemudian segera kembali ke mejanya di kantin. Sedangkan Gilbert—sang Bruder—yang ditinggalkan bersama 'Trio Bad Friends'nya hanya bisa mengangkat bahu.

Ludwig kembali ke mejanya, kemudian menatap sepiring pasta dan sepiring kentang yang masih tersisa setengah bagian. "Oh," desahnya kesal. Ia lalu menyambar kedua piring kemudian tersenyum kecil saat otaknya tiba-tiba mendapat akal.

Keesokan harinya, Felicia berjalan ke kantin sendirian. Ingin rasanya ia duduk di tempat duduknya yang biasa dulu ditempatinya, tapi ia sudah keduluan oleh orang lain. Ia hanya bisa pasrah duduk di tempat duduk yang tersisa, yaitu tempat duduk yang biasa ia tempati dengan Ludwig.

Felicia mendecak lemah. Ia mengangkat sendoknya kemudian memakan makan siangnya... kentang.

"Kalau makan kentang, wajahmu bisa berubah jadi muram, lho," seseorang berkata dari balik tubuh Felicia. Seketika orang tersebut berjalan ke sampingnya, kemudian menuangkan setengah piring pasta ke piring berisi kentang milik Felicia. "Aku benci melihatmu cemberut...," orang itu—Ludwig—duduk di sisi yang berlawanan dengan Felicia agar Felicia dapat jelas memandang ke arahnya. "Bagaimana kalau... perpaduan antara pasta dan kentang?" Ludwig tersenyum kecil.

Felicia mengangkat wajahnya, kemudian memandang menu makan Ludwig yang kini sama dengannya, pasta dan kentang. Wajah Felicia kembali berseri-seri. "Ve~ pasta kentang!" serunya riang. Kemudian melahap pasta kentangnya dengan lahap.

Ludwig tersenyum lega diam-diam. "Syukurlah...," gumamnya pelan lantas melahap makan siangnya.

"Eh?" Felicia menghentikan kunyahannya lantas memiringkan kepalanya.

"Apa?" Ludwig mendongakkan kepalanya.

Felicia mengacungkan jari telunjuk kanan dan kirinya kemudian menyentuh tiap sisi bibir Ludwig dengan jari telunjuknya dan menariknya. "Aku mau Ludwig memakan pasta. Tapi dengan tersenyum."

Ludwig menurut—melengkungkan seulas senyum tipis. Rasanya agak aneh awalnya, tapi begitu melihat wajah riang Felicia, Ludwig melupakan egonya sendiri.

Ya. Hanya Felicia...

AN:

Halo pembaca. Ini fic pertama saya di fandom APH setelah ganti penname (dulunya FuzzyStrange Musume31 #gadayangnanya). Saya coba membuat cerita-cerita pendek yang ringan. Mungkin agak aneh dan (terlalu) sederhana, tapi... yah, maklumi saja lah! (?)

Mungkin ada yang merasa tidak nyambungdengan judulnya, tapi yang jelas, tidak peduli seperti apa perbedaan yang dimiliki, bukan tidak mungkin perbedaan itu disatukan. Contohnya? Pasta dan kentang. :D (Silahkan diterjemahkan sendiri kalimat barusan :))

Terima kasih sudah membaca! Di chapter depan akan ada pair lain. Uke di sini saya bend (supaya het), saya harap tidak ada yang keberatan :).

Tolong tinggalkan review ya... :D

.

Review nyoo~... XD