Disclaimer: bukahkah seluruh karakter dalam Naruto milik Masashi Kishimoto?
Genre: Com-Rom (Comedy-Romance), Hurt/Comfort.
Main Chara: Ino Yamanaka and Shikamaru Nara
Warning: author amatiran, abal tak terkira, banyak kesalahan dalam penulisan, payah EYD, bergelimpungan typo(s), hanya berharap maklum dari para readers.
Summary: "Mencintainya semanis rasa madu, dan patah hati karenanya bisa berubah drastis menjadi sepahit empedu." Ini hanyalah masalah persoalan manis-pahit rasa mencinta didalam kebisuan, rasa mennyukai di dalam diam, dan rasa sayang di dalam bungkam.
Honey Bitters
"Mendokusai..!"
Haruskah kudeskripsikan secara menyeluruh mengenai seseorang yang bersuara tadi? Rasanya, tentu kalian akan tahu dengan sendirinya. Mengatakan kata kramat terhandal miliknya dengan raut menunjukan kepemalasan tingkat tinggi serta picingan mata mengantuk, ia mengomentariku dengan satu kata yang berarti 'merepotkan'.
Menyebalkan memang berteman dengan orang seperti dia, namun tidak kumengerti kenapa aku tidak dapat menjauhkannya. Layaknya dejavu, kejadian saat ia mengatai seperti tadi berulang dengan sendirinya. Kali ini aku mendongengkan ia mengenai gadis yang patah hati karena lelaki yang ia sukai malah berhubungan dengan sahabatnya sendiri, cerita klise yang sudah sangat tergeneralisasi hingga tiap generasi punya versi masing-masing.
"Aku tidak tahu, rupanya Sasuke-kun jadian sama Hinata. Sebenarnya, aku sudah suka padanya dari kelas satu." Itu untaian kalimat yang kututurkan padanya, ia malah dengan seenaknya merebahkan diri di sofa ruang tamuku.
Siang ini tidak ada siapa-siapa yang menemaniku di rumah selain pemuda nanas nan pembuat kesal itu, ayah dan ibu menggunakan alasan bisnis keluarga untuk meninggalkanku dan kakak semata wayangku. Sementara, Deidara-nii mengaku ada urusan di kampusnya hingga bisa ada di kediaman kami tepat sebelum jam sepuluh malam.
Pemuda itu memberikan picingan mata yang tak ubah berbeda, lantas mengangkat tangannya tinggi-tinggi guna merenggangkan otot yang terasa kaku. Bukan hanya itu, setelah menguap lebar ia malah mengambil ancang-ancang untuk melakukan apa yang disebut 'taking nice nap'. Kugembungkan kedua pipiku, aku memohonnya untuk tetap tinggal setelah mengantarkanku bukan untuk menginap tidur.
"Shikamaru, jangan tidur! Dengarkan ceritaku, aku patah hati ini!" aku berujar dengan memukul pundak sebelah kirinya pelan. Ia tidak peduli, malah menghadapkan wajah pada arah lain. Berbalik, dan memberikanku punggung tegapnya untuk kuceramahi. Kutatap nanarnya, hatiku mencolos karena tidak tahan menyembunyikan rasa ini lebih lama.
Yaa, cerita sakit hatiku hanya sebuah spekulasi. Kulakukan agar menerima respon apa yang ia miliki, kukerjakan biar aku mendapat sedikit atensi. Jangan percaya intermezzoku tentang Sasuke yang berpacaran dengan gadis Hyuuga, pada dasarnya itu sama sekali tidak berimbas apa-apa. Kuhela napas panjang sesaat, bingung sekiranya cerita apalagi yang bisa kuuntaikan demi mendapatkan secuil perhatian.
Shikamaru, tak tahukah ia bahwa aku menyukainya dari saat kita kelas tiga sekolah menengah awal? Aku sudah jatuh hati dengan pembawaannya yang tenang, cuek dan sulit untuk diduga. Kelakuan malas serta kejeniusannya menjadikanku dalam posisi skatmat, kata-kata andalannya yang mengesalkan itu membuatku diam di tempat hingga tidak mampu beranjak. Aku suka dengan semua hal unik pada dirinya. Terlebih lagi, saat Shikamaru satu-satunya orang yang mampu bertahan dengan segala keegoisanku.
Seluruh upaya telah kugarap agar ia menjadi milikku, tapi hanya sebatas sahabat saja hubungan terdekat yang bisa kudapat. Itupun dengan berbagai pengorbanan, salah satunya harus pintar mengarang serta memiliki kesabaran ekstra. Sungguh, tidak mudah untuk semerta-merta menerima ia dengan segala prilaku menyebalkankan darinya. Aku sudah terlanjur cinta, sampai tidak menjadi masalah akan itu semua.
Lamat-lamat, kupercaya saat ini ia tengah menikmati mimpinya. Bergegas aku untuk mengambil bantal dan penunjang tidur lainnya di kamarku. Kuangkat pelan-pelan kepalanya untuk kusisipkan bantal, juga kututupi tubuhnya dengan selimut tebal berwarna ungu kesayanganku. Yakin ia tidak akan terbangun, kuberanikan diri untuk mengeleminasi jarak dan memberikan sebuah kecupan pipinya.
Apa yang kulakukan? Aku sukses merona padam demi tersadar dengan perlakuanku barusan. Jantungku berdetak tak karuan, menimbulkan sensasi yang menurutku sulit untuk kunarasikan. Langkahku memundur dengan sendirinya, seketika berbalik badan dan meresapi segala kenikmatan rasa yang mencolos di dada.
Inikah cinta, beginikah rasa saat mencinta, dan seperti inikah definisi cinta dalam aplikasinya? Peduli apa, yang kutahu setidaknya aku bisa memaknainya dengan cara yang kupunya. Selekasnya aku berlari untuk bersembunyi di kamarku, cepat-cepat menutup pintu dan menguncinya untuk lebih lama menggilai perasaan sendiri.
Terjadi ambiguitas padaku – yang mana satu sudut aku mencerca tindakanku, dan sisi yang lain memberikan apresiasi akan keberanianku. Percayalah, saat kau mengenal cinta, kau juga harus siap menerima segala dilematisnya. Ini tidaklah sulit, asalkan kau berani untuk menyadari perasaanmu sendiri. Ketika tidak mampu untuk memverbalisasikan langsung pada subjek yang dimaksud, dan memilih untuk memendam sendiri merupakan salah satu bagian rumitnya.
Di kamar aku seperti pengidap gangguan psikis tingkat tinggi, melompat-lompat di atas kasur seorang diri sembari senyam-senyum memikirkan hal tadi. Astagaaa..! Begitu sukakah aku terhadap seorang Shikamaru Nara? Aku tidak paham, dan tidak juga berniat menganalis hingga menjadi mengerti. Kutenangkan diri dari euforia yang tak wajar ini, walau sesekali senyum sumringah masih terambang sendiri.
Memperbaiki tatanan diri yang kurasa tidak rapi, setelahnya aku kembali berjalan menuju ke tempat di mana sang pangeran hati. Retina mataku menerima pantulan dirinya, membuat aku jadi pangling dengan memiliki ketidak jelasan yang menjulang. Mungkinkah, aku bisa merubah cerita slepping beauty menjadi slepping handsome? Di mana saat aku mengecup bibir Shikamaru, ia akan terbangun dan menjadi milikku.
Oke, katakan saja ini terlalu imajinatif! Tapi aku punya pembelaan jitu, bukankah memang seperti itu gadis yang sedang kasmaran? Kau bisa interview mereka. Aku mendudukan diri tepat berhadapan dengan Shikamaru, hanya menyibukan diri memandangi bagian tubuh belakangnya. Serius, aku bisa bertahan berjam-jam untuk keadaan serupa lantaran sangking sukanya.
"Shikamaru, aku cinta padamu..!" aku melontarkan kalimat pernyataan itu padanya. Pendek, namun sangat berarti bagiku. Tidak tahu, kenapa aku yang cerewet ini bisa kaku saat harus mengakui rasa. Bagiku, sangat tabu untuk menerangkannya. Mungkin saja aku salah satu pengguna ideologi lama dalam urusan menyatakan cinta, di mana prialah yang harus mengumumkan sayang terlebih dahulu pada sang wanita.
Kulihat ia sedikit mengerang, mengartikan sebentar lagi ia terbangun dari tidur yang tidak sampai satu jam. Cepat-cepat aku memasang wajah sarkatis, bersandiwara sudah menjadi keahlianku hari-hari di depannya. "Kerjaanmu tidur saja!" langsung kuhardik ia, saat kudapatinya agak terheran dengan beberapa esensi asing di tubuhnya. Bermaksud mengalihkan pembicaraan sebelum ia melemparkan tanya.
"Maaf..!" morfem singkat tersebut yang ia ujarkan, sembari menjauhkan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Sudah sore, aku mau pulang." Ia pamit karena memang waktu sudah menunjukan menjelang malam. Aku memberikan sebentuk raut wajah cuek sebisaku, menganggukan kepala sembari berujar hati-hati dengan dinginnya. Ia beranjak untuk mengambil tas selempangnya, lantas bergegas hendak melewati akses jalan keluar melalui pintu.
"Shikamaru..!" ia berbalik mendengar suaraku menyebutkan namanya, terhenti di ambang pintu sambil melepas tatapan malas khasnya.
"Mendokusai. Apa lagi, Ino?" bungkam, aku malah berjalan mendekati Shikamaru. Aku masih tidak menjawab tanya meski sudah berdepanan langsung dengannya, kedua tanganku bergerak untuk memperbaiki kerah baju beserta dasinya yang melenceng dari kata layak – berantakan. Jarak sedekat ini, memungkinkan untukku dapat mencium aroma mint tubuhnya. Tuhan, itu membuatku kepayang!
"Selesai, hati-hati." Ia mengangguk sebagai respon atas verbalisasi yang kuberikan, tanpa membuang lebih banyak waktu ia melanjutkan langkahnya. Aku sendiri, stagnan di depan pintu. Melihati arah perginya ia dengan kendaraan roda empatnya, yang sedikit demi sedikit menjauh dari keberadaanku.
"Syukurlah, kau tidak dengar pengakuanku." Entah aku berbicara pada siapa, yang jelas di luar ranah sadar aku mengucapkan susunan fonem-fonem pendek itu. Tersenyum untuk diri sendiri, akan menjadi kacau aku bila ia sampai tahu apa yang kusembunyikan.
Perlahan-lahan terdengar deritan pintu yang kututup, aku selekasnya kembali ke tempat pembaringan Shikamaru tadi. Memeluk selimut yang tadi kukenakan padanya, aku merasa seperti dalam pelukannya. Tidak hanya sampai di situ, aku bahkan ikut merebahkan diri pada bantal yang tadi ditidurinya. Sebut saja aku tidak waras, tapi aku masih memiliki rasionalisasi...
'Kau menyebutnya gila, tapi aku menyebutnya cinta'. Yaa, frase indah dari Don Dyas itu tamengku kali ini.
o
O
o
"Katakan secepatnya kalau kau menyukai Shikamaru, Ino!" sahabatku, Haruno Sakura membuka sesi obrolanku pagi ini di kelas dengan kata-kata yang sudah aku hapal di luar kepala. Rasanya salah memang menceritakan rahasia pentingku padanya, karena yang ada berakhir dengan bahasan studi di luar silabus akademis.
Reaksi awalku hanya memberikan ia bentuk bibir yang meruncing di tiap sisinya, tersenyum semanis yang ku bisa. "Aku malu, Sakura!" sebenarnya, ia sudah dapat menerka apa yang akan kukatakan. Menghela napas panjang, sesekali kulihatinya menggeleng pelan. Aku sendiri lebih memilih untuk memainkan ujung rambutku yang terikat tinggi.
"Mau sampai kapan kau berpura-pura seperti ini? lalu, siapa lagi korban yang akan masuk dalam karanganmu?" aku mengangkat kedua bahuku secara bersamaan begitu tanya itu yang kuterima.
"Jangan paksa aku, aku..."
"Kau mau bilang bahwa kau malu, ragu, takut diangap becanda?" sela Sakura, tentu masuk dalam estimasinya mengeni apa yang akan kulisankan selanjutnya. Mendengar aku berkata demikian setiap ia memintaku untuk terus terang pada Shikamaru, tentu membuatnya dengan mudah menebak apa yang menjadi benteng pertahananku dalam bentuk verbal.
Lamat-lamat, ia seperti memikirkan sesuatu yang jitu. Terlihat kontras dari picingan mata dan senyumnya yang tidak bisa dikatakan natural. Aku bersiap untuk menerima opsi yang akan tercetus darinya, "bagaimana kalau kau rayu saja Shikamaru untuk mengatakannya padamu?" benar saja prediksiku, ide irrasional itu ia usulkan.
Bagaimana caranya aku bisa meminta Shikamaru untuk berkata suka padaku, bila aku saja tidak tahu apakah memang seperti itu rasanya padaku? Pemikiran itu jelas tidak pantas untuk diberlakukan, sama sekali tidak baik untuk direalisasikan.
"Bisa jelaskan padaku, gimana caranya?"aku menuntut sebuah cara untuk melaksanakan buah pikiran si pemilik ide. Sakura terdiam, nampak ia hanya bisa memberi ide tanpa jalan keluar. Menggaruk-garuk tengkuknya, arti ia tidak memiliki jawaban apa-apa.
Syukurnya saat ini kelas masih sepi, sehingga kami bisa leluasa berbicara dengan suara berdesibel tinggi. Aku mendengus, ketika Sakura tak kunjung memberikan penuturan dari tanyaku. Ia malah tersenyum manis dan kepalan kedua tangannya terangkat tinggi, persis seperti orang yang menyemangati.
Aku menghela untuk kesekian kali, ia selalu hanya bisa memberi saran yang ia sendiri tidak akan gunakan. Beruntungnya ia tidak dalam posisiku, karena Naruto yang menyatakan perasaan terhadapnya terlebih dahulu. 'Semua gadis punya cerita cintanya masing-masing', kata-kata itu menjadi panutanku untuk tidak terlalu iri pada Sakura.
"Kau sudah dengar belum, kalau Temari-senpai juga mengincar targetmu?" aku mengangguk pelan sebagai reaksi terhadap verbalisasi gadis musim semi itu. Terang saja aku tahu mengenai kompetetor untuk mendapatkan Shikamaru. Alih-alih menjawab Sakura, aku malah merebahkan kepala di atas meja dengan berbantalkan kedua lenganku.
"Bagaimana kalau Temari-senpai mendapatkan Shikamaru terlebih dahulu?" tak ayal mendengar Sakura melepaskan kalimat itu membuatku menegapkan kepala. Menatapnya dengan picingan mata tidak senang dengan premis itu.
"Aku kan, hanya..."imbuh Sakura yang intens sekali terambang kalimatnya, ia jadi kehilangan pasokan kata saat diterimanya aura mengerikan dariku. Kuhela napas sekali lagi, tersadar bahwa penuturan Sakura tidak bisa dianggap sepele. Ada kebenaran pada fonem perfonemnya, bahwa bisa saja aku kehilangan kesempatanku.
"Sudahlah, Sakura." Enggan untuk lebih lama berdebat dengannya, pilihan untuk mengakhiri percakapan ini mungkin yang terbaik.
Satu demi satu warga sekolah mulai berdatangan, tak pelak bagi shikamatu untuk ada diantaranya. Tepat mendudukan diri di bangku samping kananku. Membuat getaran di dadaku semakin tak menentu, ada ransangan lain yang membuat jantungku bertalu-lalu, adrenal meningkat tajam hingga membuat frekuensi detakan meninggi. Aku akan segera mati bila tidak mereduksi semua impuls pembuat stress ini. Berani kuakui, rasa sukaku terhadap Shikamaru sudah over dosis.
"Eeh, Shikamaru! Kemarin kau mengantar Ino pulang, yaa?" Sakura meminta jawaban dari Shikamaru, yang sebenarnya itu hanya berisi klise semata. Aku melirik kekasih pemuda Uzumaki itu dari ekor mata, yang ternyata tak dihiraukan olehnya.
Tidak perlu disindir, aku juga sadar bahwa banyak peluang yang kuabaikan. Berharap Sakura menghentikan aksi intermezzonya, tapi nyatanya ia malah semakin menjadi.
"Ooh, lalu kau sempat menemaninya?" sampai sejauh mana sahabatku ini ingin menohok rasa pecundang di diriku? Cukup sudah, aku tidak mau semakin di pojokan. Mengantisipasi Sakura dengan kelakuannya, cepat-cepat aku menarik pergelangan tangan gadis itu untuk kubawa keluar kelas.
"Ayo ke kantin, Sakura!"
"Nanti kita bicara lagi, Shikamaru!" sempat saja Sakura berkata seperti itu, dan ditanggapi orang yang dimaksud dengan anggukan kepala singkat. Selekasnya kularikan Sakura sebelum ia semakin membuatku terpuruk saja.
"Kau kenapa, sih?" harusnya aku yang menanyakan hal itu. Di ujung koridor aku menghentikan jejak, sama sekali tidak berniat untuk melanjutkan langkah ke kantin.
"Kau yang kenapa?" balasku dengan penuh penekanan di semua kata.
"Aku mencoba membantumu," jawabnya singkat dengan menyandarkan tubuh pada dinding, menyilangkan kedua tangan dan pandangannya terarah pada direksi lain.
Intonasi suaranya terdengar secara gamblang meremehkan ketidakberanianku untuk mengaku, seperti memberikan sebuah tantangan. Biasanya hal itu sukses untuk mempengaruhiku menerima rintangannya, tapi tidak untuk yang satu ini. Percayalah, kalimat yang akan kuluncurkan selanjutnya biasa dikatakan oleh mereka yang berserah diri pada realita.
"Sudahlah. Kalau jodoh takkan ke mana, Sakura."
"Saat kau patah hati, baru kau akan bingung membawa ke mana perasaanmu,"ujar Sakura, sebelum ia beranjak dari tempatnya semula. Menjajakan kaki dan arahnya seperti akan kembali ke kelas, ia meninggalkanku sendiri tanpa ada niatan untuk mengajak ikut serta. "Aku tidak akan macam-macam," tambahnya lagi, dan jarak langkah diantara kami semakin merentang jauh.
Penuturan Sakura beberapa detik sebelumnya berhasil membuat otakku mempertimbangkan berbagai dugaan negatif, menumbuhkan sedikit keberanian untuk menindak lanjuti perasaanku. Melangkahkan kaki mengikuti arah perginya sahabatku, dan dari ambang pintu kelas aku tidak menemukan sosok Shikamaru.
Spontan aku berjalan lebih cepat mendatangi sahabatku, "Sakura, mana Shikamaru?" bisikku pelan. Tanggapan yang kuterima cuma gelengan kepalanya, tanda ia juga tidak tahu di mana orang yang kucari berada.
"Naruto, kau tahu Shikamaru ke mana?" mengalihkan tanya pada rekan sebangku Shikamaru, dan mendapati respon yang sama dari pacarnya.
Teett..! Teeet..! Teet..! Deretan suara bel tanda pelajaran akan segera di mulai, mengartikan tidak ada waktu lagi buatku mencari Shikamaru. Hingga saat Kakashi-sensei sudah berdiri di depan kelas dan memberikan penjelasan untuk pelajaran biologi, pemuda Nara itu tak kunjung menempati kursinya.
Tak dapat fokus terhadap studi kali ini, aku memutuskan untuk ijin keluar dengan alasan pergi ke toilet. Padahal, aku berniat menemukan Shikamaru. Edaran rotasi mataku menyapu sekeliling dan di ujung koridor tempat tadi aku berhenti bersama Sakura, aku mendapati Shikamaru berjalan di temani gadis lain. Rei Temari.
Bergegas aku mendekati keduanya, "kau dari mana, Shikamaru?" sontak aku bertanya seperti itu begitu tepat di depannya.
"Kami ada urusan," bukan artikulasi khas Shikamaru yang terdengar, melainkan gadis berkepang empat itu memberikannya. Kucoba menahan gurat kesalku di wajah, menyembunyikan rona-rona tidak terima.
"Cepat ke kelas, Shikamaru! Kakashi-sensei mencarimu," aku berdusta dengan berkata demikian. Jelas saja, karena sesungguhnya aku yang memiliki niat itu. Kutarik pergelangan tangan Shikamaru, lantas tanpa memperdulikan Temari, aku membawa Shikamaru melang-lang pergi. Objek bernyawa yang kubawa pun sama sekali tidak memberikan argumentasi apa-apa, ia diam saja.
Ada denyutan yang tidak wajar, dan rasanya berbeda dari sensasi sebelumnya. Untuk yang ini terasa menyakitkan, dan membuat sulit bernapas karena menahan perasaan anehnya. Sama sekali tidak kupahami yang ada di dalam benakku kali ini, tak juga kumengerti apa yang sedang terjadi pada diriku. Benarkah ini yang disebut dengan cemburu? Entahlah, aku masih tak tahu.
To Be Continued...
A/N:
pertama-tama, terimakasih kepada Coccon, bebebku yang sukses membuat aku batal menghiatuskan diri untuk sementara sebagai writers dikarenakan notebook saya dalam keadaan tak layak guna. *salahkan Alleth asli yang telah menginjak layar monitornya!
saya berjanji untuk mengusung cerita mengenai perasan malu-malu tapi mau, maka inilah hasilnya! maaf bila deskripsi mengenai Ino yang jatuh cinta kurang bisa saya perjelas, karena saya sendiri bingung menjelaskannya. saya dari dulu sangat interest dengan rasa ingin yang tersembunyi. gak tau kenapa, merasa lucu saja. mau one-shoot, tadi di tengah jalan saya kehilangan mood!*author ga bakaaaatt..!
tadinya mau diberi judul Bittersweet, tapi karena saya suka menggunakan kata-kata yang unik, maka jadilah Honey Bitters. fic ini dijadwalkan paling banyak tiga chapter, dan progressnya tidak akan lama.*lirik Foolish Heroic chapter lima.
fic ini tentu aku spesialin untuk sayangku, Co-bebh(Coccoon-bebeb). juga seluruh ShikaIno Shipper, terutama keluarga baru saya di twitter (dari nenek Inochii, mama Nufze, Ney-nee, adik ketiga, dede keempat, hingga si bungsu Yola-chan). just can say, "love you, all!"
oke, terakhir saya minta tolong untuk dibantu mengkoreksi letak kesalahan fic ini, karena pada dasarnya saya juga masih belajar dan tentu banyak kekurangan.
so, review pleaaaseeee..!
