"Cepet kumpulin duitnya!" titah seorang lelaki dengan sebatang rokok yang menyala di sudut bibir.

Di sebuah kelas kosong, anak-anak berseragam putih dengan les biru muda dan celana berwarna senada—yang merupakan seragam khas SMA Galaksi—tengah berkumpul di meja yang disusun persegi panjang. Tepat di hadapan mereka tumpukan uang berwarna merah dan biru diletakkan, ada pula sampah kulit kacang dan kaleng-kaleng soda di dekat mereka.

Senyuman miring terlukis kala seorang lelaki bermahkota ungu tua tengah mengacak kartu remi dengan bayang-bayang kemenangan di depan mata. Ia sendiri tak bertaruh banyak, cukup dua lembar uang berwarna biru diletakkan sudah menjadi kemenangan baginya dalam sekejap. Tak pernah kekalahan sekalipun menghampiri, membuatnya makin candu untuk berjudi dengan uang yang lumayan banyak—mengingat tak hanya dua atau tiga orang yang ikut bermain.

Tepat ketika kartu selesai diacak, ia mulai membagikan satu persatu kartu dan di saat itu pula pintu kelas berbahan kayu didobrak, membuat setiap kepala menoleh ke asal suara dan mendapati seorang pria berkepala empat dengan seragam guru berwarna cokelat muda memasang air muka marah.

"KALIAN SEMUA IKUT SAYA KE KANTOR!"

.

.

.

.

Ruangan dengan penuh berkas-berkas, gobi yang tertata rapi di lemari dengan penerangan yang cukup adalah ruang BK SMA galaksi yang terpisah oleh ruang guru. Jadi tak akan ada satupun orang yang bisa mengetahui atau mendengar apa yang sedang terjadi di sana.

Hanya saja terdengar desas-desus yang menyebutkan bahwa beberapa anak kelas 11 IPS A terciduk sedang berjudi, maka dari itu ada beberapa siswa yang sengaja berlalu lalang sebab penasaran dengan apa yang terjadi. Hal itu juga membuat penasaran seorang gadis yang menjabat sebagai ketua kelas 10 A—Yaya—sebab melihat orang-orang berlalu lalang seraya mengintip dari balik jendela ruangan yang cukup tinggi. Sebenarnya Yaya tak mau tahu atau peduli dengan apa yang sudah terjadi, namun melihat beberapa orang tampak 'antusias' bahkan ada yang sampai menjinjit untuk melihat keadaan di dalam melalu jendela membuat langkah kakinya terhenti dan ikut mengintip dari jendela tersebut.

Dilihat sekitar lima atau enam lelaki berseragam sama dengannya tengah berdiri di depan meja pak guru BK. Yaya tak bisa melihat wajah mereka satu persatu hingga membuatnya tak tahu siapa saja yang sedang berurusan dengan pak guru tersebut. Entah apa yang dibicarakan, namun wajah pria yang duduk di kursi hitam tampak memerah akibat marah.

Memutar kedua bola mata malas, lelaki bermahkota ungu tua itu mendengus dan tak mendengar apa yang diomelkan oleh guru di hadapannya. Sampai iris delimanya melirik ke jendela, mendapati seorang gadis merah muda tengah mengintip dan memberi tatapan sinis padanya.

Yaya mendadak bergidik ngeri dan memutuskan untuk tidak mengintip setelah diberi tatapan horror oleh lelaki tersebut. Menggeleng kuat, diputuskan untuk kembali ke kelas dengan buku tebal yang berada di tangan.

"KAMU DENGAR TIDAK?!" tanya pak guru dengan nada tinggi diiringi gebrakan meja sebab melihat lelaki di hadapannya tampak masa bodoh.

"Saya dengar kok, pak."

Lelaki itu menjawab dengan ogah-ogahan, membuat pak guru tersebut menghela napas kasar. Diingat sudah berapa kali murid ini berlaku seenaknya sampai harus dipanggil ke BK berkali-kali, bahkan surat peringatan yang diberikan tak pernah diindahkan. Pria berkepala empat itu mendelik kesal.

"Bapak mau skors saya?" si lelaki bertanya. "Berapa hari? Tiga? Tujuh? Atau tiga puluh?"

"Saya akan mengeluarkan kamu dari sekolah ini."

"Wah, bagus kalau gitu," jawabnya diiringi anggukkan. "Saya juga gak niat buat sekolah."

Tampak si pak guru mendengus. "Saya serius," ucapnya dengan penuh penekanan.

"Saya lebih serius lagi, pak."

"Kamu berani dengan saya ya?!" Pak guru tersebut tampak makin tak mampu menahan emosi dan berdiri dari kursi dengan kedua tangan berkacak pinggang. Kedua tangan si lelaki diangkat sejajar dengan kepalanya diiringi gelengan pelan.

"Enggak, kok, pak. Saya gak berani."

Lelaki tersebut berucap dengan nada mengejek, membuat pria di hadapannya menghela napas kasar. Iris delima memberi tatapan sinis diiringi senyuman miring, "Emang bapak bisa keluarin saya?" lantas bertanya dengan nada menantang.

Pak guru itu mengernyit, "Kenapa tidak?"

"Oh? Baguslah, saya sangat berterima kasih kalau bapak ingin mengeluarkan saya."

Lelaki ungu tua itu berucap dengan menekankan kata 'sangat', membuat guru tersebut menggeleng pelan. Ini baru satu murid yang ia tangani, belum lagi anak-anak lain yang nakalnya naudzubillah. Tetapi mau bagaimanapun, lelaki ini benar-benar kelewatan.

"Kaizo, sikapmu sudah keterlaluan."

Tepat saat sang guru berucap, bel tanda masuk kelas berbunyi. Lelaki yang dipanggil Kaizo itu menghela napas kasar. "Bapak udah selesai bicaranya? Saya mau masuk ke kelas."

"Saya belum selesai bicara denganmu."

Tak berniat untuk merespon, Kaizo lantas membalikkan tubuh dan berjalan dengan niat untuk meninggalkan ruangan serta guru dan rekan-rekan seperjudiannya. Baginya, berdiri disana selama berjam-jam hanya membuang waktu percuma. Kalau saja tadi tidak terciduk, uang setengah juta sudah berada di tangannya sekarang.

"Kaizo!"

Langkah kakinya membawa diri keluar ruangan dan berjalan menuju kelas 11 IPS A. Koridor saat itu sudah sepi, mengingat orang-orang sudah memasuki kelas masing-masing. Ah, masuk ke kelas? Sepertinya itu bukan hal yang dilakukan oleh seorang Kaizo. Namun ia terus berjalan dengan santai menuruni tangga tanpa melewati kelasnya sendiri. Jika sudah mendapat kesempatan seperti ini harusnya ia bolos dong.

.

.

.

.

Pelajaran terakhir telah usai, masing-masing kelas melakukan piket sesuai jadwal yang telah disepakati. Sebagai ketua kelas, Yaya mengawasi teman-temannya yang melakukan piket—meski ada pula beberapa yang harus izin karena ada keperluan dan akan menggantinya besok—yang sudah dicatat olehnya. Jadi ia tak perlu khawatir jika nama-nama tersebut tidak melakukan tugas sebab sudah tertoreh di catatan khusus miliknya dan Yaya akan selalu datang 30 menit sebelum jam masuk.

"Ah, Yaya. Aku udah selesai ngepel nih, tapi airnya belum kubuang." Seorang gadis tiba-tiba menghampirinya dan berucap diiringi dengan menggaruk pipi—tak enak hati. "Boleh minta tolong yang lain gak? Soalnya mamaku udah jemput, sorry banget!"

"Oh, ya udah gak papa. Toh kamu udah ngepel 'kan? Nanti biar airnya aku buang."

"Biar anak-anak aja."

Terulas senyuman tipis di wajah gadis merah muda itu. "Gak papa kok, lagian aku juga gak ada ngapa-ngapain."

"Hmm, okelah." Si gadis mengangguk pelan dan membenarkan tas ranselnya yang melorot. "Maaf banget, loh. Mamaku udah nelpon-nelpon daritadi."

"Iya gak papa, hati-hati ya."

Mengangguk, gadis itupun pamit pulang pada Yaya dengan lambaian tangan singkat. Senyuman kecil terulas di wajah Yaya, lalu melirik pada ember biru yang berisikan air berwarna hitam. Untungnya pengepel sudah diperas dan dikeringkan, jadi Yaya tak perlu memerasnya lagi. Benar-benar membuang air dan membersihkannya saja ya…

Putuskan untuk menyimpan catatan kecil di saku baju lalu mengangkat ember tersebut dan membawanya keluar menuju toilet. Sejenak langkah terhenti ketika melihat toilet tampak gelap tidak seperti biasa. Mendadak Yaya meneguk ludah diiringi jantung yang berdebar, ia tak mungkin pergi ke toilet sendirian dengan kondisi cukup gelap seperti itu. Ketika kepalanya menoleh kesana kemaripun tak ada satupun orang yang berlalu lalang, membuat Yaya mundur teratur dan berbalik—memutuskan untuk tidak membuang air bekas pel ke toilet, melainkan jendela kelas. Hanya saja bukan melalui jendela kelasnya sendiri, melainkan jendela kelas 10 C yang berada tak jauh dari toilet.

Kelas tersebut sudah bersih dan tak ada satupun lagi siswa yang berada disana, tinggal menunggu kelasnya dikunci saja. Daripada menunggu lama, Yaya segera masuk ke dalam kelas tersebut dengan membawa seember air bekas pel. Ketika berada di depan jendela, tanpa menoleh ke bawah dan memastikan apakah ada orang atau tidak, gadis merah muda tersebut langsung membuang air dari jendela.

"WOI, ANJ*NG!"

Sontak Yaya terkejut ketika mendengar suara tersebut dari bawah. Dilihatnya seorang lelaki bermahkota ungu tua tampak basah akibat siraman air pel, membuat kedua manik madu milik Yaya membola dan refleks melempar ember ke bawah. Ia langsung pergi dan kembali menuju kelasnya.

Kaizo yang baru saja mendapat siraman air pel dari makhluk astral beserta ember menghela napas kasar. Rokok yang ingin dihidupkannya menjadi basah karena tersiram air. Mungkin nasibnya sedang sial saat ini karena tidak bisa merokok di lingkungan sekolah, padahal biasanya tak ada gangguan sedikitpun ketika hendak menyalakan batang tembakau tersebut.

Ember biru yang berada di hadapan diambil dan dilihat secara teliti apakah ada tulisan dari kelas berapa benda plastik tersebut hingga kedua maniknya mendapati tulisan 10 A berwarna hitam yang sudah mulai kabur, lalu decakan keluar darinya. Akan ia cari siapapun yang baru saja membuang air pel beserta ember padanya.

oooo

Halo!

Terima kasih karena sudah menyempatkan waktu untuk membaca ff ini haha :")) sebenernya ini udah dibuat sekitar 1 atau 2 th yang lalu tapi pairing Kaizo x Reader, tapi karena masih satu chap yg ditulis dan "KaiYa" tampaknya menarik-karena baca ff-nya kak Fanlady tentu-akhirnya nyoba2 buat huhu ;;w

so, tbc / end? xD