Rona manapun tak bisa mengalahkan mewah warna mahkotanya.

Dirinya adalah satu diantara seribu, dia yang paling tinggi. Ialah yang menjadi tempat bersandar orang itu. Ialah yang menjadi batang untuk sang akar yang telah berpisah dari benihnya.

Walakin, ialah yang sekarang disia-siakan.

Di buana elok ini, berlian seharga kotoran, apa lagi macam dirinya yang sekedar remah berlagak gandum. Bunga emas itu tak bernilai lagi, ia hanya kuntum yang tak mampu lagi berkata. Ia telah kalah, paras berlapis debu.

Asriel- ah bukan, Flowey- hanya bergeming, menunggu epilog maupun encore mendatang. Detik sudah tak berarti. Cepat ataupun lambat, ia yang terjaga sendirian di dasar bumi itu, untuk bermiliar kalinya kan melupakan, terlupakan. Untuk bermiliar kalinya pula, bunga kertas itu akan menyambut pendatang baru, dan untuk bermiliar kalinya kembali melupakan, terlupakan.

Hadiah yang pantas dari sang pencipta untuk si bangsat macam dirinya. Haha, mau apa lagi? Ia sudah terlahir untuk dihina, diinjak-injak atas "kuasa" yang diberikan padanya.

Emas memang warna yang mewah, namun tetaplah tak akan dipuja maupun dirindukan di atas perak.

Ia mengadah, menyindir dunia di atasnya. Anyelir merah muda yang melambai dari gerbang ribuan kaki di tingginya seakan mentertawakannya. Sekar merona yang tak akan terlupakan, lucu sekali bunga itu bisa di sana, bak sengaja tuk meludahi harga dirinya yang masih belum puas diremukan.

Mungkin ini bukan tentang harga diri.

Mungkin ini bukan tentang emas atau merah muda.

Mungkin ia hanyalah ingin menjadi bunga yang tak akan melupakan, terlupakan.