Let's Play

Permainan perasaan yang berujung kelukaan. Permainan yang entah untuk apa? Segala masih teka_teki. Isyarat pun tiada mampu menggambarkan sebuah dendam. Kebencian, kekecewaan, amarah, ambisi dan cinta beradu satu.

Kau mempermainkanku...

Mau bertaruh?

Let's play the game

Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: _
Pair:_
Warning: typo(s), Ooc, bahasa kasar, dll.

Chapter 1

"Aku mencintaimu,"

"Trima kasih, tapi maaf, aku tidak bisa,"

Ino pov...

Aku berjalan menunduk menyusuri koridor kampus. Menatap putihnya lantai keramik. Gema langkah kaki mengetuk memenuhi gendang telingaku. Aku menghela nafas, rasa bosan itu menghampiri. Membebani cerahnya pagi. Ku dongakan kepalaku, menoleh ke segala penjuru. Sepi, itulah yang ku rasakan. Tiada tanda-tanda manusia yang biasa memenuhi koridor. Aku termenung, lantas sebuah suara merasuki pikiranku. "Aku mencintaimu," kata-kata itu terus berulang-ulang bergema dalam selaput gendang telingaku. Ku coba menghapuskan suara itu, namun sayang tiada hasil. Suara itu semakin mengejekku.

Tap...tap...tap

Ku hentikan langkahku. Saat ku mendengar suara langkah kaki mendekatiku.

"Ohayou Ino,"

Aku menoleh, ku lihat Temari melambai dan tersenyum padaku. "Ohayou, Temari," balasku sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Kau terlihat begitu gembira, ada apa?" Tanyaku heran, sedikit menaikan alisku.

"Ahaha, apa sebegitu terlihatnya?" Tanya Temari masih dengan senyum lebarnya. Aku hanya memutar bola mataku. "Sebenarnya..."Ucap Temari memberi jeda. Ku kernyitkan keningku, aku sungguh tidak paham ucapannya. Ku tatap Temari intens menuntut jawaban.

"Shikamaru mengajakku kencan malam in," ucap Temari berbinar. Entah mengapa itu membuatku mendengus kesal dan mencengkram tali tasku dengan kuat.

"Wah selamat ya," ucapku dengan senyum palsuku. Cih, aku benar-benar tidak sudi mengatakan selamat. Bagiku, Temari itu perempuan bodoh. Tapi walau bagaimana pun, Temari tetaplah sahabatku. Aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya bila tahu bagaimana Shikamaru. Aku tersenyum sinis di dalam hati. "Oh baby, kau terlibat permainan cinta rumit sayang," ucapku dalam hati sambil terus tersenyum ke arah Temari.

"Ayo kita masuk kelas, aku ingin bercerita banyak hal padamu," ajak Temari menggandeng tanganku. Ku hanya pasrah, walau sebenarnya aku pun penasaran juga. Kami melangkah bersama. Bergandengan tangan laksana sahabat sejati yang sesungguhnya.

Terik matahari begitu membakar kulitku. Saat ini aku tengah menunggu kekasihku. Aktifitas kampus telah berakhir 20 menit yang lalu. Berarti aku telah menunggunya sekitar 20 menit sudah. Ku menengok ke arah pintu sebelah utara, berharap kekasihku lekas terlihat. Sebelum menunggu, tadi Temari sempat menawariku untuk menumpang pada mobil Shikamaru. Dengan halus ku tolak tawarannya.

Mana mungkin aku sudi satu mobil dengan sahabat dan orang yang membuatku rumit. Ku lihat ke arah jam tanganku. Hah, aku menghela nafas. Menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Andaikan kekasihku tak memintaku menunggunya, mungkin aku sudah berada dalam apartementku.

Brrrmmm

Sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di depanku. Aku sangat mengenal motor itu. Itu motor kekasihku, lantas siapa yang di boncengnya. Beribu tanya berputar dalam benakku. Ku lihat kekasihku membuka helm miliknya. Terlihat rambut ravennya yang acak-acakan. Aku sedikit tersenyum melihatnya merapikan rambut yang dibanggakannya. Dan ku lihat pula seseorang yang dibonceng kekasihku membuka helm miliknya. Ku melihat surai merah yang mencolok. Aku sedikit menaikan alisnya. Aku sangat kenal dengan perempuan ini. Perempuan yang mengambil jurusan yang sama dengan kekasihku. Perempuan yang sangat ingin ku pisahkan dari kekasihku. Perempuan itu Karin.

"Maaf ya sayang, aku harus mengantar Karin yang tengah tidak enak badan," ucap kekasihku memintaku mengerti. Aku hanya mendecih dalam hati. Selalu begini, hal yang paling ku benci.

"Tak apa Sasuke-kun, pergilah..!" Jawabku berusaha tersenyum lebar. Tanganku mengepal erat. Menahan emosiku untuk tidak memuncak.

"Maaf ya Ino, aku meminjam kekasihmu lagi," ucap Karin manja yang seolah mengejek diriku. Ingin sekali aku merobek wajahnya yang sok manis itu. Satu tamparan mungkin cukup. Hah, tapi aku tidak mau mengotori tanganku hanya untuk menampar gadis di depanku ini.

"Ah tak apa Karin-chan, namanya juga sakit, bisa datang tanpa kita duga,kan?" Ucapku tersenyum lebar penuh kebohongan.

"Ah, kau benar Ino-chan," Karin senang.

"Ya sudah, kau hati-hati di jalan yah, jangan mampir-mampir!" Ucapan yang selalu ku dengat ketika dia tidak jadi mengantarku. Aku bosan dan muak. Ingin ku memaki si pantat ayam ini. Namun sayang, senyumanlah yang aku lemparkan.

Ku lihat motor yang ditumpangi Sasuke dan Karin mulai melaju hingga tidak terlihat oleh mataku. Aku menghela nafas dan sedikit menggeram. Aku berteriak dalam hati. Mengapa? Mengapa aku yang harus mengerti? Mengapa harus aku yang memahami? Tak bisakah segalanya berbalik menjadi aku yang dimengerti, aku yang dipahami. Mustahilkah hal seperti itu? Aku mengusap wajahku kasar. Ku berlari kencang menuju sebuah dojo tua yang tidak terawat.

Bag bug bag bug

Ku hantamkan tanganku pada kantong berisi pasir yang menggantung. Bertubi-tubi ku pukul benda mati itu. Aku kesal, aku marah. Aku kesal karena kekasihku lebih mementingkan Karin. Aku kesal karena terus membohongi diri sendiri. Ku hantam lebih keras lagi. Aku tidak memperdulika rasa sakit di tangan yang mulai menjalar ke urat nadiku. Bagiku, sakit di dalam hatikulah yang terus berdentum-dentum. Aku tahu, menyakiti diri sendiri tidak akan mampu mengobati. Tapi setidaknya mampu melampiaskan kekesalan yang ada.

Grep

Ku rasakan sebuah tangan mencekal tanganku yang hendak memukul.

"Sampai kapan kau terus begini?" Suara itu? Suara dingin yang selalu ku rindukan. Dan suara yang sangat ku benci. Aku menoleh ke arah pemuda yang menghentikanku. Ku lihat pemuda berambut merah yang memiliki tato di dahinya menatapku dengan wajah datar.

Aku menepis tangannya dengan kasar. Aku mendecih. Untuk apa lelaki ini muncul di hadapanku setelah sekian lama meninggalkanku.

"Kau selalu saja seperti itu, kekanakan," ucap lelaki itu.

"Kau tahu apa tentangku, dan ohh masih punya nyali datang ke hadapanku?"Ujarku menantang.

"Kau masih marah padaku, Ino," tanyanya yang membuatku terkekeh geli. Marah? Apa dia tidak menyadarinya.

"Oh ayolah, maafkan aku, aku tidak bermaksud menjauhimu," bujuknya.

"Lalu untuk apa kau pergi, Gaara hm?" Tanyaku masih saja terkikik geli.

"Aku hanya butuh udara segar," jawab Gaara dengan wajah datarnya.

"Udara segar? sampai-sampai menjauhiku? Jangan bercanda!" Ucapku dengan nada keras.

"Kau tidak mengerti Ino,"

"Apa yang aku tidak mengerti hm?" Tanyaku menyorot mata azure Gaara. Diam tanpa kata, tiada jawaban. Ku beranjak mengambil tasku yang tadi ku geletakan di lantai. Perlahan ku mulai melangkah menuju pintu keluar. Sebelum aku benar-benar meninggalkannya, aku berhenti sejenak.

"Kau pun tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak pantas menghakimiku dan memaksaku memahami alasanmu!" Ucapku untuk yang terakhir kalinya. Aku mulai melangkah meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Gaara, meninggalkan sahabat yang ku sayangi. Di dalam hati, aku ingin sekali berbalik dan berlari memeluknya. Menumpahkan segala kerinduan dan menumpahkan segala cerita tentangku dan kekasihku. Tentang segala kerumitan yang terjadi antara aku dan Temari. Namun sayang, egoku menghentikanku. Apa yang ku ingin lakukan, tidak pernah berjalan dalam kenyataan. Aku merasa dipermainkan oleh diriku sendiri dan oleh semua orang terdekatku. Aku membenci "misteri di dalam misteri". Teka-teki yang muak aku pecahkan. Aku terus melangkah mengikuti kata hatiku. Berjalan sendirian mendekap erat duri-duri kesakitan. Terus tersenyum dan menutupi kebencian.

.

.

.

Chimi wila chan

.

.

.

Aku tidak mengerti mengapa Tuhan menciptakan cinta yang seperti ini. Rumit bagaikan benang yang kusut. Aku mencintai Sasuke, bahkan teramat sangat. Tetapi Karin selalu menghalangi kami berdua. Lalu, aku percaya pada Gaara, tempatku beradu argumen. Tetapi entah mengapa dia menjauhiku. Bahkan dia menghindariku. Di saat ku membutuhkannya, kenapa ia ikut menghilang seperti Sasuke? Lalu, pemuda malas yang membuat hatiku teraduk-aduk. Bagaimana mungkin ia menyatakan cinta padaku , sedangkan ia masih menggandeng Temari? Benar-benar menyebalkan si pemalas itu. Aku tidak bisa membayangkan bila Temari mengetahui semua ini. Aku tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi.

Aku tertawa kecil, menertawakan segala yang menimpaku. Ku raih cawan wine dan ku tenggak habis. Saat ini aku benar-benar tidak peduli jika ada yang melihatku. Seorang Yamanaka Ino sang Queen tengah bermabuk-mabukan di sebuah kedai minum dengan cahaya minim. Aku benar-benar tidak peduli jika ada salah seorang mahasiswa yang mengetahui keadaanku.

Aku memijit kepalaku yang terasa sedikit berat. Sial, sepertinya aku benar-benar mabuk. Ah, peduli setan. Bukankah tidak ada yang memperdulikanku. Sasuke pasti tengah di rumah Karin. Merawat dan menyuapi sang putri merah itu. Bila aku tidak mempertahankan imej'ku, mungkin aku telah menyeret Sasuke dan meninju ratu plastik itu. Oh helo, seorang Ino adalah Queen yang berhati mulia, jadi tidak mungkin melakukan hal seliar itu. Entah mengapa itu membuat diriku terkekeh.

"Mau sampai kapan kau begitu, Ino?". Suara ini? Sepertinya aku mengenalnya. Dengan berat, aku mencoba menoleh ke samping dan menemukan pemuda bayi yang tengah menyerigai ke arahku. Cih, aku benci melihat serigaian itu. Aku mendengus saat si Sasori menempatkan diri duduk di sampingku.

"Bukan urusanmu. Lagian kenapa kau kemari?" ucapku dengan sedikit sinis.

"Ku kira ada seseorang yang memerlukan bahu untuk menangis," ucap Sasori sembari mempertahankan serigaian di wajahnya.

'Kheh' Aku mendengus meremehkan. Aku sangat tahu bila Sasori sangat senang melihatku begini. Tidak berdaya dan rapuh.

"Sasuke selingkuh?" tebak Sasori dengan entengnya. Ingin sekali ku cekik leher pemuda itu agar tidak seenak jidatnya berbicara.

"Sasuke tidak seperti itu," sangkalku. Walau bagaimana pun, Sasuke kekasihku. Meskipun aku selalu di nomer dua kan dari Karin. Aku selalu mencoba percaya bahwa Sasuke hanya mencintaiku. Ya, itu yang ku yakini.

Tapi?

"Semua orang tahu kedekatan Sasuke dengan Karin di atas kata wajar,". Yah, itu benar. Banyak orang yang telah memperingatkanku seperti yang Sasori ucapkan.

"Sasuke tak mungkin seperti itu," dan aku selalu menjawabnya seperti itu saat kata-kata itu terlontar.

"Mau bertaruh?".

Aku mendongak dan menaikan satu alisku saat mendengar ucapan Sasori. Sejenak aku mencerna dengan otak bebalku yang telah dikuasai alkohol. Ku liat si merah itu mengejekku. Entah mengapa itu membuat amarahku membuncah. Merah, kenapa aku harus dikelilingi orang-orang berambut merah yang menyebalkan.

"Siapa takut? Akan ku buktikan bahwa kata-katamu semuanya salah," ucapku mendesis.

"Kalau begitu, Let's Play the game,".

Malam ini, cahaya remang dan wangi alkohol menjadi saksi taruhan kami. Kepercayaan siapa yang akan menang. Antara Selingkuh dan Setia. Yang mungkin suatu saat nanti akan menyakitiku pula. Karena aku mencoba percaya kepada seseorang yang ku cinta.

.
Tbc

.

,

hai, maaf ya bila publish fic baru. ini adalah versi dark Ino dari drama queen. trima kasih sudah membaca..