Jepang

Oktober, 1940

"Kau adalah taring bagi tempat ini."

Aura dalam ruangan itu kian mencekik dan dingin yang dibawa angin tak lagi terasa menghampiri kulit. Sebaliknya, justru panas yang terasa merambati tengkuk. Berdiri tegak di bawah tatapan sengit seorang pemimpin agensi mata-mata Jepang memang bukan hal yang mudah. Bahkan itu belum ditambah dengan tatapan menyelidik sekelompok kaum adam yang hadir di sana.

Kendati demikian, ia tak semudah itu membiarkan gentar melahapnya. Sebersit pertanyaan menghampiri benaknya sejenak, mempertanyakan apakah pilihannya berada di tengah-tengah bayangan adalah hal yang benar. Namun, secepat pertanyaan itu lahir, secepat itu pula pertanyaan tersebut mengering. Alih-alih mengeraskan parasnya, ia justru mengulas senyum serupa anak domba tak berdosa.

"Hai', Letnan—" ucapannya berhenti di tengah jalan, tersentak karena teringat sesuatu. Senyumnya kembali hadir tiga detik kemudian, terlukis di bibir selurus ia membenarkan ucapannya, "—maksudku, Yuuki-san."

.

.

.

Dalam Bayang-Bayang: Sebuah Operasi Klandestin

Joker Game milik Yanagi Kouji

Warning: OOC, typo(s), original characters, alur maju-mundur, serta kekurangan lain yang tak terjabarkan. Sekadar catatan, kalau di spasi tiga kali dengan tanda tiga titik, itu artinya pindah tempat sama waktu. Kalau di spasi dua kali dengan dua titik, masih satu tempat plus sama waktunya.

Hope you like it~

.

.

.

[ "D-Kikan hanya menerima didikan laki-laki." ]

.

.

.

Hindia Belanda

Januari, 1941

Menjelang tengah malam, suasana di distrik merah kota pelabuhan timur Jawa semakin ramai. Lokasinya terang berderang, denting gelas ikut meramaikan obrolan serta cekikikan beberapa tamu, dan sisanya memilih untuk bertaruh pada keberuntungan di meja judi. Sebagai destinasi kawasan pelesir, distrik merah kota Surabaya tak pernah mengecewakan.

Di antara gegap gempita kawasan itu, salah satu tempatnya dikelola seorang Jepang yang sebulan lalu tiba di kota tersebut. Pria itu ramah, masih cukup muda (27 tahun tidak akan terbilang tua jika disandingkan dengan wajah tampannya), dan pembawaannya terlampau menghanyutkan. Juga entah karena senyumnya penuh kharisma atau tawanya yang ramah mampu meluluhkan hati wanita, rumah pelesir yang dikelolanya tak pernah sepi. Siapapun tergiur untuk datang minum-minum, menghabiskan malam dengan gadis cantik, hingga berjudi meski harus berutang sekalipun.

"Mabuk lagi?"

"A- ah ... i- iya, Utsumi-san."

Amari—lebih dikenal dengan Osamu Utsumi selaku pengelola tempat itu—menghela napas mafhum mendengar penuturan tersebut. Matanya memandang prihatin lelaki yang kini tengah bersandar tak sadarkan diri di bahu salah satu perempuan yang bekerja untuknya. Seingatnya, pria itu memang sedang butuh pekerjaan—tapi bukan berarti dia bisa mabuk gratis. Sebulan lebih menjalani perannya ia sudah cukup sering mendapati tamu model dengan serupa.

"Nanti akan kucatat utangnya. Kau pergilah, layani tamu lain," ujar Amari sembari merapikan jas putihnya.

Perempuan tersebut mengangguk paham, kemudian perlahan bangkit dan meninggalkan pria mabuk itu. Baru saja ia bernapas lega dan hendak melihat tempat lain, tubuhnya ditabrak oleh seorang gadis. Meski begitu, sang pria lebih sigap dan mampu menyeimbangkan diri. Lain halnya dengan penabraknya, gadis itu malah oleng dan nyaris terjembab jika saja sang pria tak segera menahannya.

"Kau tak apa?" tanya sang pria cemas.

Gadis itu meringis sesaat, kemudian terkesiap kala menemukan siapa yang menahannya. Amari memberinya seulas senyum simpul, kemudian merepetisi pertanyaannya, "kau baik-baik saja?"

Dara itu merasakan wajahnya memanas karena jarak mereka yang terlampau dekat. Buru-buru ia menundukkan pandangannya dan mengangguk samar. "M- maafkan saya, Danna-sama," cicitnya lirih. Dengan gugup, ia melepaskan diri dan kembali meneruskan jalannya dengan terburu. Amari membiarkan, tetapi ekor matanya tetap mengikuti sang dara. Begitu punggung gadis itu lenyap, barulah ia kembali meneruskan pekerjaannya.

"Siapa gadis itu?" bisik salah satu perempuan muda pada kenalannya yang juga seorang gadis penghibur.

"Aah ... dia Miyu, gadis favoritnya Utsumi-san di sini," jeda oleh suara desahan iri, "Saking sayangnya gadis itu tak pernah disuruh mengerjakan tugas-tugas yang berat. Bikin iri saja."

"Heee? Kau iri karena kerjanya yang ringan atau karena dia dekat dengan Utsumi-san?"

Desah kesal meluncur dari bibir sang perempuan. "Kau ini. Tentu saja dua-duanya!" tandasnya dongkol.

.

.

Kaminaga meregangkan tubuhnya usai menerobos kerumunan orang berjubel dalam sebuah kantor. Beberapa petugas keamanan yang berjaga di lantai dasarnya mulai bergerak dan mengusir orang-orang tersebut galak. Sementara itu dari dalam gedung yang sama, delegasi dari Jepang berjalan menjauh bersama dengan perwakilan pembicara pemerintah Hindia. Menyisakan punggung tegap yang semakin lama kian terlihat samar.

"Yo! Izawa-kun!" Sebuah tepukan keras singgah di punggung Kaminaga, membuat empunya sontak meringis dan menoleh. Seorang pria berambut kelam terlihat memamerkan cengiran lebar tanpa dosa, menyadarkan Kaminaga bahwa ia tak sendiri kala meliput berita. Tanpa ba-bi-bu, pria itu merangkul bahu Kaminaga akrab dan melempar pertanyaan retorik, "Bagaimana beritanya?"

Alih-alih merenggut, Kaminaga balas memamerkan cengiran meski setelahnya ia langsung menurunkan tangan senior tempatnya bekerja. "Kau dengar juga kan tadi? Delegasi kedua Jepang akan kembali membicarakan masalah pengeksporan minyak dengan perwakilan dari pemerintah Hindia Belanda."

"Aku juga tahu itu. Maksudku, pendapatmu tentang itu, hm?" Pria jangkung itu melempar senyum miring, matanya berkilat antusias.

Sayangnya, Kaminaga melunturkan binar harapannya dengan mengendikkan bahu singkat dan melanjutkan dengan berucap jenaka, "lebih baik memikirkan dengan siapa aku akan menghabiskan akhir pekan nanti daripada memusingkan hal begini, kan?"

.

.

"Ini mengejutkan. Apa ini kali pertama Anda datang?" tanya seorang pria muda sembari berjalan beriringan bersama seorang pria lain yang memakai pakaian formal hitam dan topi yang cukup tinggi. Sebelumnya mereka tanpa sengaja saling bertubrukan di jalanan kota Semarang yang cukup ramai, beruntung keduanya saling mengerti dan memilih berkenalan.

Pria itu mengulas senyum ramah, sebelum menjawab, "begitulah. Ini kali pertama saya kemari. Sebelumnya saya sudah ke Singapura untuk menggelar beberapa pertunjukan," katanya ramah. Pria di sebelahnya tampak mengangguk beberapa kali, rautnya terlihat tertarik. Detik setelahnya, sang pendatang teringat sesuatu dan merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan secarik kertas, lalu berujar, "sebenarnya, saya sedang mencari penginapan ini. Saya sendiri harus bersiap-siap sebelum pertunjukan saya lusa. Apa Anda tahu tempat ini?"

"Ah?" Pria muda itu (si kawan baru) lebih dulu mengambil kertas itu, kemudian menelitinya. "Oh! Saya tahu tempatnya. Akan saya tunjukkan arahnya, Tuan ..."

Pria itu mempertahankan senyumnya, menangkap nada ragu lantaran sang pria belum mengetahui namanya. "Seto. Nama saya Seto Reiji," ujarnya memperkenalkan diri sembari mengangkat topinya sesaat.

.

.

"Terima kasih untuk kerja kerasnya!"

Jitsui (lebih dikenal dengan Morishima Kunio) membungkukkan tubuhnya sopan pada para rekannya, senyum lebar terpatri di bibirnya.

"Terima kasih juga untuk kerja kerasnya, Morishima," ucap salah satu rekan kerjanya.

Jitsui mengangguk, senyum bertahan di bibirnya. Pria muda itu melangkah pergi dari ruang siaran dan menyapa beberapa orang yang masih tinggal. Siarannya hari ini tak begitu sulit, hanya beberapa berita yang mudah diucapkan. Kembali, hari ini terlewati tanpa beban yang berarti.

Langit sudah berwarna jingga kala Jitsui keluar dari stasiun pusat kota Bandung, tetapi ia lebih dari tahu bahwa di tempatnya tinggal masih nihil kehidupan. Kendati demikian, ia tetap melangkahkan kaki menuju kediamannya sejak sebulan lalu sembari merapatkan jaketnya demi menghalau dingin. Begitu tiba di kediamannya, ia segera menyiapkan makan malam seolah tak mengenal lelah.

Begitu petang berganti malam dan sang surya digantikan rembulan, barulah terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Jitsui mengulas senyum tipis diam-diam, kemudian menuang teh yang baru diseduhnya ke dalam gelas dan meletakkannya ke meja makan. Derit pintu dibuka dari luar (memang sengaja tidak dikunci) pun terdengar, sejurus suara sepatu yang diseret ke dalam semakin jelas di telinga.

"Tadaima!"

Sekalipun tahu siapa, Jitsui tetap mengintip dari dinding, kemudian memamerkan senyum selayaknya seorang Morishima. "Okaeri, Ryousuke-kun."

.

.

.

Jepang

Oktober, 1939

Kala orang itu tiba di gedung Pusat Kebudayaan Asia Timur Raya, suhu di luar masih mampu membuat tubuh orang menggigil dan daun banyak yang gugur dari ranting. Wajahnyasedingin musim yang tengah merangkak menuju titik beku, sedang matanya tampak awas mengawasi. Yuuki mengabaikan tatap heran beberapa didikannya yang telah lebih dulu pulang (serta yang belum mendapat misi), kemudian memperkenalkannya sebagai anggota baru.

"Namanya [...]."

Dan nama—palsu—nya nyaris serupa dengan mata-mata yang kini sedang bertandang ke Jerman sekalipun kanjinya berbeda. Bukan hanya nama, fisik mereka juga nyaris persis (minus di beberapa bagian seperti warna rambut dan mata, jenis kelamin, dan sifat).

"Tidak ada yang boleh tahu kita merekrutnya."

Dia tengah disiapkan sebagai senjata. Taring; yang akan mencabik bahaya dan mengoyak ancaman yang mendekat. Dia senjata pamungkas yang akan digunakan kala terdesak.

(Letnan Kolonel Yuuki menyembunyikan sudut bibirnya yang mengukir seringai berbahaya, tersenyum menanggapi tantangan yang takdir bawa padanya.)

.

.

.

(to be continued)

.

.

.

a/n : ello ello ellooo, jumpa lagi dengan saia ehehehe :")) jadi, sebenernya ini projek saya yang udah lamaaaaaaaaaaa banget tapibarudirealisasikansetelahduatahunmengambang /diulek. Special thanks buat Alice_Klein, veritasofia, Tomatophage, dan Alferus yang selalu dengerin ocehan tidak berfaedah diri ini dan nanya-nanya yang tidak jelas :"(( /kamu/ juga teman-teman di linimasa Twitter yang ikut terseret dalam drama tidakjelasujungnya, terima kasih dan maaf untuk sesampahan daku yang lalu-lalu heuheu :")) /tampar.

Dan, yea, akhirnya saya cukup berani untuk nge-YOLO dengan nge-publish fanfic ini (yang sebenarnya ikut didukung proyek penelitian saya—yang agak bobrok—mengenai spionase mata-mata jepang di hindia belanda 1940-1942), hufff. Kalau ide sih, sebenernya udah lama terngiang sejak melihat Odagiri keluar agensi /ngeeeng/ tapi buat bikin yang begini saya lebih nyaman kalo bener-bener ada sumber pendukung aka riset. Jadi, yea, pas setahun lalu (tepatnya, semester tiga) disuruh dosen bikin penelitian. Saya ngajuin penelitian tentang spionase tadi, disetujuin, jadilah sambil penelitian ikut menimbun bahan riset untuk fanfiksi /ngeeeng. Sudah dua tahun akhirnya terealisasikan juga emang dasar saya prokras /taboq. Saya tahu tulisan ini masih sangat kurang riset jadi mohon maaf sekali apabila amatsangattidakmatang /sembah. Dan karena saya begok ngarang nama, jadi buat anggota D-Kikan pake nama samaran mereka aja di anime EHEHE /plak.

Satu yang perlu saya tekankan, alur dalam cerita ini fiksi. Ya, saya ngaku ini ada adopsi beberapa kejadian yang terjadi beneran di sejarah, tapi mengenai spionase D-Kikan yang saya tulis dalam fanfic ini murni merupakan fiksi, alurnya fiksi. Kalau saya bilang sih, fanfic ini kayak di antara fiksi dan nonfiksi karena ada campuran antara keduanya. DAN AKHIRNYA SAYA BISA MEMASUKKAN OC SAYA TERCINTA DALAM FANFIC SERIUS BEGINI HHHHHH KEMARILAH ANAKKU TERCINTA- /diam/ profil lengkap OC saia nanti ya kan masih (sok) disembunyiin gini ehehe etapi kalo penasaran mukanya monggo cek saja sampul fanfic-nya, mirip pas dia lagi nyamar 8))) /DASAR.

Btw, ada yang ingin saya tekankan selama baca fanfic ini. Pertama, saya ingin yang membaca fanfic ini tidak membayangkan di mana Indonesia pada masa itu atau Hindia Belanda (saya lebih suka menyebutnya dengan Hindia Belanda karena masih diperintah pemerintah kolonial Belanda) sebagai tempat yang terasing dari putaran dunia. Hindia Belanda pada masa itu maju, ngikutin arus dan dapet pengaruh dari perubahan yang terjadi di dunia, nggak terpencil. Nggak melulu pasti pakai bahasa Melayu atau bahasa daerah (kendati dua bahasa itu memang digunakan di masyarakat umum), dan nggak melulu pasti pakai pakaian adat. Awal abad dua puluh, Hindia Belanda sudah melahirkan kaum terpelajar yang bisa nulis dan ngomong bahasa asing (biasanya bahasa Belanda). Inggris juga ada yang bisa, tapi saya belum baca banyak mengenai penggunaan bahasa Inggris pada awal abad dua puluh di kalangan terpelajar, jadi maafkan /yha. Kedua, jangan bayangkan orang-orang semuanya bakal make pakaian adat. Fashion tumbuh dan sekalipun masyarakat ke bawah nggak bisa ngikutin, jangan bayangkan mereka pakai pakaian adat, mari hilangkan presepsi kalo semua orang jaman dulu = pake pakaian adat. Pernah lihat foto-foto kaum terpelajar dengan pakaian formal? Nah, itulah yang banyak dipake. Ada juga yang make atasannya jas formal, bawahnya kain batik gitu, dan itu bukan fenomena yang mengherankan karena cerminan pakaian seperti itu muncul sebagai bentuk 'modernisasi' (barat menjadi kiblat dari modernisasi) tetapi tidak meninggalkan budaya lokal. Masyarakat ke bawah nggak mungkin ngikutin yang begitu jadi mereka cuma pake baju seadanya, tapi tetep, bukan pakaian adat. Nggak cuma orang Belanda atau orang-orang asing yang tinggal di Hindia Belanda yang penampilannya aduhai-aduhai ;)) /halah.

Hal lain yang ingin saya tulis adalah spionase mata-mata Jepang itu sendiri. Sumber-sumber Belanda memang menyebut dengan berani bahwa mereka sudah ada sejak lama, tapi, apakah memang begitu? Nanti saya jelasin di chapter-chapter depan, biar asyique ;)) /YEHDASAR. Buat yang mau daftar bacaan saya, tbh ada mayan banyak heuheu, tapi ini udah kebanyakan jadi di chapter depan aja, ya :"(( atau komentar aja, nanti saya kasih ehehe :"))) /kamu.

Sepertinya ini aja dulu EHEHE /kamu/ maafkan saya banyak bacodnya heuheu :"(( /NYADAR/ Terima kasih untuk yang sudah membaca sampai sini! Makasih, makasih banget ehehe :")))) btw ini saya publish-nya nge-YOLO jadi ... saya yakin saya bakal nyesel di kemudian hari HAHAHA /NGEENG. Tapi, tak apalah, saya selalu menyesal dengan yang saya perbuat WKWK. Jika kalian punya kritik atau saran atau rekomen buku atau fangirlingan boleh (((BANGET))) ditulis di komentar, saia selalu menunggu~ /kirim seribu lope-lope/ Sekali lagi, terima kasih banyak!

.

-Salam-

Profe Fest