10 TAHUN LALU.

.

Regina menggendong Henry kecil di tangannya dan sudah siap beranjak di tempat itu. Tapi ketika ia bangkit dari kursi, suaranya mendengar suara bising anak-anak dari ruangan lain. Sang petugas panti asuhan memijat kening sambil menggumam 'oh, tidak lagi', kemudian beranjak dari ruangan. Agak penasaran, Regina ikut keluar ruangan, menuju tempat di mana suara anak-anak itu berasal.

Sampai di suatu ruangan, Walikota Storybrooke itu melihat beberapa anak laki-laki bertubuh gempal sedang menghalangi-halangi seorang gadis. Gadis itu berusaha menggapai-gapai sesuatu—oh, mungkin ia ingin menggampai buku yang ada di tangan salah satu anak berbadan gempal. Gadis itu menangis, dan yang lain menertawainya.

Petugas yang masuk ke ruangan itu membujuk agar mereka mengembalikan buku si gadis, tapi tidak berhasil. Regina menggeram pelan dalam hatinya, lalu berjalan mendekati anak-anak itu dengan Henry di tangannya. Dengan cepat Regina mengambil buku dari tangan anak gempal itu. Anak-anak laki-laki yang tertawa itu langsung diam dan memasang wajah tegang, mungkin karena Regina memasang wajah seram. Anak-anak lelaki pergi, tinggal gadis kecil itu sendiri yang masih menangis tersedu-sedu.

Sambil menyungging senyum kecil, Regina berjongkok di depan gadis itu, tangannya menyodorkan buku yang berhasil ia ambil padanya. Melihat buku itu, sang gadis mengambilnya pelan-pelan sambil mulai menyunggingkan senyum kecil.

"Mereka sering melakukannya? Mengerjaimu? Menindasmu? Apa pun?" selidik Regina. Si gadis mengangguk pelan. "Namaku Regina. Siapa namamu?"

"Rosalindt," cicit gadis itu.

"Itu nama yang bagus," puji Regina tulus. "Nah, Rosalindt, kalau kau mau ikut denganku, aku akan membawamu ke tempat di mana kau tidak akan diperlakukan seperti yang anak-anak itu lakukan padamu. Kau mau pulang ke rumahku?"

Rosalindt menatap Regina dengan agak tercengang. Tapi akhirnya gadis itu mengangguk sambil tersenyum.

.


.

Disclaimer: Edward Kitsis & Adam Horowitz. Author tidak mengambil keuntungan.

Warning: OC, berusaha mengikuti alur canon.

.

RED
Chapter 1

by Fei Mei

.

Ini kisah tentang cinta, di mana kadang cinta tak harus memiliki.
Ini kisah tentang pertemanan, di mana kadang berteman pun tak harus tahu segalanya.
Ini kisah tentang keluarga, di mana kadang ada yang harus berkorban.
Ini kisah tentang mengejar takdir, di mana ramalan yang ada tidak tertulis dengan lengkap.
Ini kisah tentang sebuah dongeng, di mana kadang tidak semua dongeng berakhir bahagia.
Ini kisah tentang Rosalindt, yang ketika ia berumur sepuluh tahun, ia menginjakkan kakinya di kota Storybrooke.

.


.

SEKARANG.

.

"Aku mencium bau harum—"

Aku tersenyum mendengarnya. Kudengar juga suara langkah kaki perlahan mendekati dapur, tempatku ke sekarang.

"—Oh, ya, seharusnya aku tahu," ucap suara itu, tiba di dapur.

Sambil tersenyum kecil aku menoleh ke asal suara. "Selamat pagi, Bu."

Ibuku menyengir sambil melirik ke arah nampan yang kupegang. "Nasi goreng?"

Aku mengangguk. "Aku lupa belanja kemarin, jadinya hanya bisa masak ini untuk sarapan pagi."

"Rose, aku sudah bilang kau tidak perlu repot—setidaknya untuk sarapan," kata ibuku, membuatku tersenyum kecil tiap kali mendengarnya. "Kau jadi harus bangun pagi, dan—yah, bagaimana kalau suatu kali kau sampai telat kuliah?"

"Tidak akan. Aku hanya akan buat sarapan yang sederhana, janji."

Tapi ibu menggeleng. "Rose, sarapan di tempat Granny juga enak. Cobalah sekali-sekali, biar kau jangan terlalu lelah di pagi hari."

Aku menggangguk. "Kau akan langsung ke pertemuan di balai kota?"

"Ya, mungkin aku bisa membawa nasi goreng itu dalam kotak bekal," kata ibu sambil membuka lemari, mengambil kotak bekalnya. "Oh, kau bisa antar Henry ke sekolah dulu sebelum kuliah?"

"Tentu," jawabku sambil tersenyum. "Oh, eh, mungkin kau bisa bawa satu kotak lagi untuk Sheriff? Siapa tahu dia juga mau."

Ibu mengeraskan wajahnya, lalu menghela dan mengangguk sambil mengambil satu kotak lagi, setelah itu baru menyendok nasi goreng dengan spatula ke dalam kotak bekal. Setelah siap, ia langsung pergi. Kemudian aku menyendok nasi goreng di dua piring berbeda. Kulirik jam, kuputuskan untuk menyeduh teh sebelum menghampiri Henry di kamarnya. Tapi ternyata aku tidak perlu repot-repot memanggil adik angkatku itu, karena ketika air mendidih, ia sudah muncul di dapur.

"Pagi, Henry," sapaku sambil tersenyum.

"Pagi, Rozzy!" sapanya senang. "YES! Nasi goreng! Aku paling suka nasi goreng buatanmu!" Aku terkekeh.

Ketika teh sudah siap, aku menaruh cangkir teh di depan Henry, satunya lagi di depanku. "Ibu sudah ke balai kota. Berarti hari ini aku yang akan mengantarmu ke sekolah."

"Aku tidak akan ke sekolah hari ini," ucap Henry lalu ia menyuap nasinya.

Aku menyerngit. "Apa?" Aku jadi bingung, karena tampaknya ia sudah siap ke sekolah—dia bawa ransel besar, jaket ... oh, dia tidak pakai seragam sekolahnya.

Henry mencondongkan tubuhnya. "Aku sudah tahu siapa ibu kandungku," ujarnya setengah berbisik.

Masih saja aku menyerngit. "Apa?" ulangku.

Adikku ini mengangguk dan tersenyum bangga. "Namanya Emma Swan, dia ada di Boston sekarang. Aku akan ke sana hari ini."

Langsung saja aku menganga. "H-Henry!"

"Aku akan membawanya ke Storybrooke, Rozzy, dia harus mengenyahkan kutukan yang ada di sini!"

Ah, ya, 'kutukan'. Oh, Henry. "Um, Henry, bisakah hari lain saja? Seperti misalkan besok saat aku tidak ada kelas?"

Henry menggeleng. "Kau tidak perlu ikut denganku, Rozzy. Kalau aku pergi sendiri, kau cukup bilang pada ibu bahwa kau tidak tahu apa-apa, lalu ia tinggal berpikir bahwa aku kabur dari rumah!"

Kupijat keningku. "Henry, seriusan, kalau ini hanya tentang buku dongeng—"

"Ini tidak 'hanya'. Ini nyata!" balas Henry. "Aku harus menemukan ibuku."

Aku menghela. "Kau ada uang untuk ke sana?" Henry mengangguk. Aku tidak merasa terkejut, walau tidak tahu dari mana ia dapat uang itu. Setelah menghela pelan, aku mengangguk.

.


.

Namaku Rosalindt Mills, putri angkat Walikota Storybrooke, Regina Mills. Tahun ini aku berumur dua puluh tahun, dan saat ini aku kuliah jurusan seni rupa. Aku tidak pernah mengenal orangtua kandungku. Aku tinggal dengan sebuah keluarga sederhana sampai aku berumur tujuh tahun. Keluarga itu bilang mereka menemukanku di lantai lorong rumah sakit dan tidak ada orang yang mengambilku. Jadi nama 'Rosalindt' itu pemberian keluarga yang memberiku makan selama tujuh tahun. Suatu ketika api melahap dahsyat rumah kami karena kena rambatan api dari rumah tetangga, kedua orangtuaku tewas dalam api, dan pemadam kebakaran membawaku ke panti asuhan yang membuatku bertemu dengan ibu angkatku yang sekarang.

Aku punya beberapa nama panggilan. Seperti Rose dari ibuku dan orang-orang yang malas menyebut nama asliku karena panjang, Rozzy dari Henry dan orang-orang yang cukup dekat denganku lainnya, Rosa dari orang-orang kebanyakan.

Henry Mills adalah adikku—kami tidak sedarah sama sekali, tapi ibu mengadopsi kami di hari yang sama. Kami sama-sama tidak tahu siapa orangtua kandung kami. Dan berbeda denganku yang tidak tertarik untuk mencaritahu, Henry selalu berusaha mencari tahu siapa ibu yang melahirkannya. Akhir-akhir ini ia begitu tenggelam dalam buku dongeng yang ia baca, sampai percaya bahwa kutukan dalam dongeng itu benar terjadi di Storybrooke—kutukan di mana waktu terhenti selama 28 tahun dan tidak ada yang bertambah tua selain aku dan dia. Aku tidak memercayai kutukan itu—terutama tentang ibu angkat kami adalah Evil Queen. Tapi aku berusaha untuk selalu membantu adikku itu jika ia butuh sesuatu. Dan omong-omong tentang kutukan, aku sadari memang orang-orang di Storybrooke tidak berubah sama sekali selama sepuluh tahun aku di sini. Mungkin itu bukan kutukan, tapi anugerah awet muda secara serentak.

Saat kami diadopsi, Henry masih bayi saat itu, masih berumur tiga minggu, jadi kupikir ibu mengadopsinya karena memang ingin seorang anak. Sedangkan aku berumur sepuluh tahun saat itu, ia datang kepadaku dan bilang bahwa aku tidak akan diisengi orang lain lagi kalau jadi ikut dengannya. Dan itu benar, sepuluh tahun di Storybrooke, tidak ada satu pun yang bertindak tidak menyenangkan padaku—kurasa itu karena ibuku seorang walikota dan aku cukup dekat Sheriff.

Sheriff Graham sudah seperti ayahku saat pertama kali aku datang. Ibu membawa Henry yang masih bayi saat itu ke mana-mana, bahkan saat kerja lembur. Jadi ketika hanya aku sendirian di rumah, malam-malam dan hujan ditambah petir kencang, aku meringkuk di kamar sendirian karena takut. Sheriff tiba-tiba datang mengetuk pintu kamarku. Dia duduk di pinggir ranjangku, mencium keningku lalu membelai lembut rambutku sampai aku terlelap. Itu selalu dia lakukan jika petir kencang. Tapi tahun-tahun belakangan, agak sulit bagiku untuk melihatnya sebagai ayahku—karena tampangnya tidak bertambah tua sama sekali. Jadi aku menganggapnya sebagai pamanku, atau malah kakakku. Sesekali ia bisa menjadi agak protektif, seperti misalkan ia akan menanyaiku tentang pemuda yang berjalan keluar gedung kampus bersamaku, atau tentang pemuda yang meneleponku yang padahal hanya bertanya tentang tugas kuliah. Hanya dia yang selalu memanggilku nama depanku dengan lengkap, 'Rosalindt'.

.


.

Pukul tiga sore, akhirnya kuliahku selesai. Hari ini memang hari yang paling melelahkan tiap minggu karena jadwal kelasnya yang paling banyak. Setelah pamit dengan teman-temanku, aku langsung keluar gedung kampus dan berjalan cepat pulang ke rumah. Langit tidak begitu terang padahal masih siang, makanya aku berjalan cepat agar jangan sampai tiba-tiba aku kena hujan.

Sampai di rumah, aku membuka pintu depan dan langsung dihampiri ibu dengan wajah cemas, Sheriff ikut menghampiri dari belakangnya. Ibu menghela dan menggeleng, ia memijar kening dengan cemas.

"Ada apa?" tanyaku bingung sambil menutup pintu.

"Henry belum pulang," jawab ibu.

Aku menyerngit. "Apa? Kok bisa?"

"Kalau tahu, aku tidak akan cemas," jawab ibu ketus. "Biasa selambatnya ia sudah ada di rumah jam dua belas. Sampai sekarang ia tidak ada kabarnya. Aku menelepon ke sekolah, mereka bilang Henry tidak masuk hari ini."

Oh, astaga, aku kelupaan! Tentu saja Henry tidak ada di rumah sekarang—ia masih di Boston! Baiklah, berarti kalau ibu mulai menanyaiku, aku tinggal menjawab dengan apa yang Henry minta aku katakan.

"Aku sudah memintamu mengantarnya sekolah, kan?" tanya ibu.

Aku mengangguk. "Dan aku sudah mengantarnya sampai sekolah." Yang ini benar, bahkan aku sempat menyapa Miss Blanchard tadi pagi.

"Lalu kenapa ia tidak ada di sekolah?!" tanya ibu geram. Aku terkejut sampai agak melompat ke belakang.

"Ibu Walikota," ujar Sheriff, segera menengahi—ia selalu melakukan ini jika ibu mulai geram padaku. "Rosalindt pasti sudah mengantar adiknya ke sekolah. Tapi ia tentu juga tidak akan tahu kalau setelah ia beranjak pergi ke kampus, ternyata adiknya tidak masuk ke gedung sekolah." Aku mengangguk kecil.

"Berarti dia lalai," ujar ibu.

"Dia bukan penjaga adiknya," koreksi Sheriff. "Begini, aku akan keliling kota untuk mencari Henry. Rosalindt akan ikut denganku, karena bagaimana pun juga kau telah bilang bahwa ia lalai."

Ibu menghela dan mengangguk. "Baiklah."

"Uh, aku akan ke kamar dulu sebentar," ujarku. Sheriff mengangguk.

Langsung saja dengan cepat aku menaiki tangga dan masuk kamarku. Kutaruh tas dan buku sketsa besarku di meja, segera aku menyalakan komputer untuk melihat posisi Henry sekarang—aku meminjamkan ponselku padanya biar aku bisa melacak keadaannya lewat GPS. Aku menghela lega melihat posisinya memang ada di sekitar Boston, jadi aku mematikan komputer lagi lalu ke kamar mandi untuk cuci muka. Kembali ke kamar, aku menemukan ibuku di samping ranjang.

"Rose, aku minta maaf, aku tidak bermaksud marah padamu," ujarnya pelan.

Aku menggeleng kecil. "Aku paham, kau cemas soal Henry, dan seharusnya aku memastikan dia masuk sekolah dulu baru beranjak pergi."

"Dan kau akan terlambat kuliah kalau begitu," ujar ibu. "Tidak apa, mungkin untuk hari ini Henry sedang ingin jadi anak nakal dengan membolos, bukan salahmu. Dengar, aku tahu kau pasti sudah lelah habis kuliah, kau tidak perlu memaksakan diri ikut Graham mencari Henry."

Lagi-lagi aku menggeleng. "Sebagai ganti aku lalai. Tidak apa." Toh Henry juga sedang tidak berada di Storybrooke, jadi aku tidak perlu fokus mencarinya.

Ibu mengangguk, jadi kami keluar kamar bersama. Sheriff sudah menunggu di mobilnya—mobil patroli—maka ketika aku keluar rumah, aku langsung masuk mobilnya. Sheriff hanya tersenyum kecil tanpa berkata-kata lalu mengendarai mobilnya pergi dari rumahku. Ketika sudah agak jauh dari rumah, barulah ia mengeluarkan suaranya.

"Jadi, Henry ada di mana?" tanya Sheriff sambil terus menyetir mobilnya.

Aku menyerngit dan menoleh padanya. "Entah, bukankah kita sedang mencarinya?"

Sheriff menyengir. "Rosalindt, aku tidak tahu ibumu bisa melihatnya atau tidak, tapi aku selalu bisa melihatmu sebagai pembohong yang sangat payah."

Kuteguk ludah dengan susah payah. "Jadi di rumah tadi kau sengaja bilang agar aku ikut denganmu? Ibu tahu tentang ini?"

"Yah, kalau kau tidak ikut denganku, kupikir kau akan harus mendengar ibumu terus menyindir tentang bagaimana kau lalai," ujar Sheriff. "Dan tidak, ibumu tidak tahu soal ini. Jadi kau tahu di mana Henry, kan?"

Mengerjap, lalu aku menghela. "Kalau kuberitahu, kau akan melapor pada ibuku?"

"Tidak, aku janji tidak akan beritahu. Kau tahu kalau kau selalu bisa percaya padaku, kan?" tanya Sheriff.

Aku jadi tidak bisa menahan senyum. Kata-katanya benar. Karena aku tidak pandai punya teman di lingkungan sekolah atau kuliah, Sheriff menjadi tempat curhatku sejak datang ke Storybrooke. Ia menjadi teman pertamaku di sini. Aku sering cerita padanya kalau ada sesuatu yang terjadi.

"Henry ... dia tidak ada di Storybrooke sekarang," akuku pelan. "Dia ada di Boston."

"Boston? Apa yang dia lakukan—kau membiarkannya pergi sendirian?"

"Dia mencari ibunya, dia tahu ibu kandungnya ada di sana," jawabku. "Tentu saja aku ingin pergi, tapi ia bilang ingin pergi sendiri dan aku harus tetap di rumah biar bisa berbohong pada ibu."

"Jadi dia telah membuat rencana begitu?" tanya Sheriff, aku mengangguk, lalu ia menghela. "Oke, aku tidak bisa bilang aku setuju dan mendukung rencananya ini. Tapi karena sudah terjadi, aku akan membantumu meneruskan kebohongan ini dengan berkeliling kota sebelum kembali ke rumahmu."

Aku tercengang agak tak percaya. Jelas saja, kupikir Sheriff akan melapor pada ibu tentang ini, karena bagaimana pun ibu sudah sangat cemas soal Henry. "Terimakasih," gumamku pelan.

.

.

Karena tahu Henry tidak ada di Storybrooke, Sheriff tidak benar-benar berkeliling kota. Ia tidak perlu melewati tepi hutan atau sungai, hanya mengendarai sekitar pusat kota. Oh, bahkan ia sempat menepikan mobilnya dan turun sendiri dengan alasan ingin beli minum, tapi ternyata ia kembali ke mobil mengejutkanku dengan menyodorkan es krim stroberi padaku.

"Kau punya sesuatu yang kau rahasiakan dari ibumu hari ini, sekarang aku juga punya—membelikan putrinya es krim padahal sedang bertugas mencari putranya," ujar Sheriff sambil menyengir.

Langsung saja aku terkikik kecil mendengarnya. "Terimakasih untuk es krimnya, Sheriff, tapi kau sama sekali tidak perlu membelikanku ini."

"Tidak masalah, kau selalu tampak manis kalau sedang makan eskrim," katanya.

Langsung saja aku membuang muka darinya biar wajahku yang menghangat ini tak terlihat olehnya. Kudengar Sheriff terkekeh, lalu akhirnya ia menyetir mobilnya lagi.

Ketika sudah gelap, Sheriff pun mengendarai mobilnya kembali ke rumahku. Sheriff memarkir mobilnya dan kami masuk ke rumah sama-sama. Ibu yang tadinya duduk di kursi langsung agak melompat bangun saat kami menghampirinya, ia masih memasang wajah cemas.

"Kalian menemukannya?!" tanya ibu.

"Tidak," jawab Sheriff. "Aku rasa mungkin dia punya tempat-tempat persembunyian yang bahkan letaknya tidak kuketahui."

"Oh, bagaimana kalau ia terluka? Bagaimana kalau sebenarnya ia malah diculik?"

Oke, yah, sebenarnya aku juga sempat kepikiran tentang itu, makanya aku ingin ikut di awal, dan karena dia bilang jangan makanya aku memberikannya ponselku. Karena mendengar ibu begitu cemas, ingin rasanya aku ke kamar untuk melihat posisi adikku itu, atau melihat kalau mungkin ia ada mengirimiku pesan elektronik atau apa. Tapi kalau aku ke kamar sekarang, mau pakai alasan apa? Yang ada malah mungkin ibu akan curiga. Jadi yang bisa kulakukan kini hanya duduk di ruang tengah dengan ibu.

Entah sudah berapa lama kami duduk bertiga, akhirnya aku bisa mendengar suara lain selain suara cemas ibu. Aku mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Ibu melompat dari kursinya, melihat ke luar lewat jendela. Ia menyebut nama Henry lalu dengan cepat membuka pintu. Aku tahu itu maksudnya Henry sudah pulang. Tapi kalau ada suara mobil, itu mobil siapa? Taksi-kah? Atau mungkin ibu kandungnya? Penasaran, aku pun segera mengikuti ibu keluar pintu.

Benar juga, Henry sudah masuk pekarangan rumah dengan seorang wanita pirang di sampingnya. Ibu langsung berlari memeluk adikku.

"Henry!" seru ibu. "Henry, kau baik-baik saja? Ke mana saja kamu? Apa yang terjadi?"

"Aku menemukan ibuku yang sebenarnya!" jawab Henry cepat.

Dan sebelum ibu membalas ucapannya, Henry langsung berlari menuju pintu. Saat melewatiku, ia mengucapkan 'kamarku' tanpa suara, berarti ia ingin bicara denganku di kamarnya. Jadi setelah melayangkan pandang sebentar lagi pada wanita yang mungkin menjadi ibu kandung Henry, aku masuk juga ke dalam rumah dan masuk ke kamar Henry.

Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu melepaskan sepatunya di ranjang, lalu tersenyum riang saat aku masuk. Kututup pintu kamar dan ikut duduk di ranjang bersamanya.

"Itu tadi ibumu—ibu kandungmu? Yang pirang itu?" tanyaku setengah berbisik.

Henry mengangguk mantap. "Yep! Sepertinya rambut hitamku ini dari ayahku."

"Lalu kenapa, eh, ayahmu tidak ikut ke sini?"

Ia mengangkat bahu. "Aku akan mencarinya suatu hari nanti. Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah Emma datang ke Storybrooke untuk—"

"—mengenyahkan kutukan yang dibuat Evil Queen," sambungku. Henry mengangguk lagi.

"Bagaimana kalau dia ternyata bukan ibumu?"

"Aku tahu dia ibuku, Rozzy," tegas Henry. "Sekarang aku tinggal membuatnya percaya soal kutukan dan ia akan menyelamatkan mereka semua."

Aku mengangguk-angguk kecil. "Oke, eh, baiklah aku akan mengambil minum untukmu. Tetap di kamar."

"Oke!" jawabnya riang.

Jadi aku membuka pintu kamar dan keluar. Saat kututup pintu lagi, kudapati Sheriff baru sampai di lantai dua, mungkin ingin mengecek Henry juga.

"Hei," ujarnya. "Henry baik-baik saja?"

Aku mengangguk. "Um, dia tampak begitu senang menemukan ibu kandungnya."

"Dan kau sendiri masih tidak tertarik untuk mencari ibu kandungmu?"

Kuangkat bahu. "Aku sudah besar sekarang, yang kutahu saat ini Regina Mills adalah ibuku."

Sheriff mengangguk dan tersenyum. Ia mengulurkan tangannya padaku, mengusap sebelah pipiku dengan ibu jarinya. Pria ini sering melakukannya padaku jika kami hanya berdua saja. Mengusap pipi atau bibir, atau mengacak rambutku. Jemarinya selalu terasa dingin dan hangat bersamaan tiap kali menyentuh kulitku. Aku pernah memberitahu Henry tentang ini, dan anak itu bilang mungkin Sheriff Graham adalah vampir—tapi tidak pernah ada vampir di buku dongengnya, paling adanya manusia serigala, tapi sentuhan manusia serigala tidak akan terasa dingin. Oh, Henry, pikirannya sudah penuh dengan dongeng.

"Uh, aku mau ambil minum untuk Henry," gumamku pelan sambil mundur dari sentuhan jemarinya. Sheriff mengangguk, jadi aku langsung menuruni tangga.

.


.

TBC

.


.

A/N: halo, walau bukan fict pertama yang Fei publish di fandom ini, tap ini adalah fict OUAT pertama yang Fei ketik. Sejauh ini Fei baru ketik sampai 10 chapter, itu selesai untuk season 1. Semoga bisa kelar ngetik untuk season 2. Tentang judul 'RED', itu maksudnya adalah 'warna merah', dan judulnya tidak ada hubungan dengan Red/Ruby yang cucunya Granny itu. Chapter satu ini belum ada nyerempet tentang unsur warna merah sendiri.
Review?