My First Fanfic ;D Happy Reading and Be Fun!
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Summary : Karena cinta itu tak perlu sebuah paksaan, melainkan ketulusan. Karena cinta itu… berdasarkan hati, bukan logika. Karena cinta itu… akan selalu bersama, selamanya.
=3=
A Couple of Doves
Bisakah aku bahagia?
Jika tidak, untuk apa aku terlahir…
Jika gunaku hanya untuk merepotkan orang lain?
Kenapa kau tak langsung cabut nyawaku, Tuhan?
Bukankah aku pengganggu bagi tiap insane manusia?
Bahkan, ketika kuketahui garis hidup ini semakin jelas…
Duniaku semakin gelap, duniaku semakin muram
Akankah aku berbahagia?
Berikan aku bukti kasih sayangmu…
Sebelum rohku kaukirimkan ke dunia sana…
Di malam yang begitu kelam, dengan hujan yang begitu deras, seorang ibu tanpa payung berlari di tengah hujan sambil membawa anaknya yang baru dilahirkannya dua hari yang lalu. Jika kalian melihatnya lebih teliti, dibalik derasnya hujan itu, sang wanita menangis lirih.
Wanita itu berhenti tepat di depan sebuah rumah perlindungan anak.
Panti Asuhan Konoha.
Wanita itu tersenyum, sambil menatap anak kandungnya. "Maaf Nak, tapi ibu tak bisa mengurusmu lagi. Semua terasa berat untuk dilaksanakan."
Tanpa butuh waktu lama, wanita itu segera menaruh bayi hasil hubungan gelapnya dengan orang lain di depan pintu panti asuhan tersebut. Tak lupa, selembar surat terselip diantara kain pembungkus sang bayi. Wanita itu mengetuk pintu panti asuhan, sebelum menghilang dari hadapan sang bayi.
"Ya, ada perlu ap-ASTAGA, ANAK SIAPA INI?"
Seorang wanita tua keluar dengan wajah kaget sambil menatap seorang bayi dengan beberapa helai rambut merah muda yang tumbuh di ubun-ubun bayi berkelamin perempuan tersebut. Wanita tua bernama Chiyo itu langsung membawa bayi tersebut masuk.
Wanita yang tadi menaruh bayi tersebut, hanya terharu di tengah isaknya.
Maafkan ibu, Nak…
Wanita tua tersebut segera menaruh bayi yang baru ditemukannya diatas sebuah sofa ruang keluarga. Wanita itu menenangkan sang bayi yang sedang menangis meraung-raung, ia kemudian mengambil selembar kertas yang terselip diantara kain baju sang bayi.
Tolong rawat bayi ini. Maafkan sifat tidak peduliku padanya, karena aku tak bisa menutupi aibku dengan adanya ia di sisiku. Jagalah dia, beri nama yang cocok untuknya. Aku ingin ia tumbuh menjadi gadis yang sehat dan ceria, tidak seperti ibunya yang terpuruk dan menderita.
"Kau di tangan yang tepat, Nak…"
Wanita tua tersebut mencium kening bayi berkelamin perempuan itu, tak lama kemudian sebuah nama tercipta di pikirannya. "Namamu Sakura, Sayang."
Sedangkan sang bayi masih menangis, sepertinya ia merindukan bayangan ibu kandungnya saat ini.
16 tahun kemudian…
Konoha yang dulu menjadi pemukiman termiskin, kini menjadi negeri paling populer dan canggih di dunia. Pertanian, teknologi, kecanggihan, semua ada disini. Bahkan, tak dielakkan, setiap rumah keluarga besar pun memiliki paling tidak lima mobil di garasinya. Benar-benar negara dengan penduduk yang semuanya kaya.
Itu yang kau pikir sebelum kau lihat Konoha yang sesungguhnya.
Hei, mana mungkin tak ada orang miskin di sebuah negara? Pastinya ada. Bahkan di Konoha saja, masih terdapat pemukiman miskin dengan penduduk bertaraf rendah yang tak bisa bersekolah dan bekerja dengan pendapatan yang cukup.
Sebuah rumah perlindungan anak, adalah contohnya.
Di panti asuhan ini, hanya ada seorang nenek tua yang biasanya menjaga para anak asuhannya agar tetap terdampingi dan terlindungi. Ada sekitar dua puluh anak sekitar umur lima tahun sampai enam belas tahun disini. Untuk gadis-gadis berumur enam belas tahun, di panti asuhan ini ada dua orang, yaitu Sakura dan Tenten.
Mereka sudah seperti anak Nenek Chiyo –pengurus Panti Asuhan Konoha-, karena mereka bisa mengganti tugas Nenek Chiyo jika Nenek Chiyo memiliki masalah pada jantungnya dan harus beristirahat dahulu.
Hari ini, tepatnya hari Minggu. Saat yang tepat untuk bersantai.
"Hya… origami burung bangaunya sudah jadi! Tinggal diwarnai dan dihanyutkan di sungai!" seru Sakura ceria, sambil menatap origami burung bangaunya yang sudah jadi dua buah. Seorang gadis bercepol dua menatapnya iri sekaligus kagum.
"Ah! Sakura-chan, ajarkan aku dengan baik dong! Masak aku sendiri belum selesai?" kata Tenten sambil menatap origami burung bangaunya yang lebih tepat disebut origami jadi-jadian. Sakura tertawa menatap origami burung bangau hasil lipatan Tenten. Hahaha, bisakah kau bayangkan bagaimana bentuknya? Author saja tidak.
Sakura lalu berjalan kearah Tenten, kemudian membantu Tenten membuat origami burung bangau.
Saat itu, di panti asuhan, hanya ada Sakura dan Tenten. Sementara Nenek Chiyo mengantar delapan belas anak lainnya untuk berjalan-jalan di sekitar pasar Konoha. Sakura dan Tenten menolak dengan alasan malas, lagipula mereka berdua berjanji akan membuat origami bersama.
"Huh, kau selalu pintar ya Sakura-chan! Aku jadi iri…" kata Tenten sambil menatap Sakura.
"Heh, iri? Dasar bodoh, nilai matematikaku saja setengahnya itu adalah nilai matematikamu lho!"
Mereka pun tergelak bersama, padahal menurut author tak ada hal yang perlu ditertawakan #ditonjok Sakura plus Tenten.
TOK! TOK! TOK!
Sakura segera beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Tenten yang masih asyik dengan origami burung bangaunya yang sudah berhasil dibuatnya sendiri.
"NENEK CHIYO!"
Sakura tersenyum bahagia kala melihat wajah teduh Nenek Chiyo yang kemudian memeluknya. "Sakura-chan, senang bertemu kau. Mana Tenten-chan?" sapa Nenek Chiyo sambil berjalan menuju ruang keluarga. "Di ruang keluarga, Nek. Sedang bikin origami."
Ketika Nenek Chiyo bertemu Tenten, ia segera memeluknya. "Tenten-chan, apa kabarmu? Senang melihat wajah imutmu."
Tenten hanya cemberut mendengar perkataan Nenek Chiyo. Iyalah, masa gadis tomboy mau-maunya disebut imut oleh neneknya sendiri?
Ketika Sakura tengah tersenyum melihat kebersamaan Nenek Chiyo dan Tenten, tubuhnya langsung diburu delapan belas adik tirinya yang satu rumah dengannya. "SAKURA-NEECHAN! BAGAIMANA KABARMU!"
Sakura gelagapan, kemudian segera menyingkir dari belasan anak yang memenuhi punggungnya. "Huh, kalian jangan asal menyerbuku dong! Bisa-bisa aku mati ditindih kalian! Omong-omong, apa yang kalian bawa dari pasar? Adakah kalian membawakanku sesuatu?"
"Aku bawa makanan, tapi pas untukku sendiri."
"Aku sih ada, tapi tak mau kubagikan untuk Sakura-neechan."
"HAH! Kenapa begitu?"
"Kalau mau kubagikan, gendong dulu tubuh beratku!"
"Huh! Udang dibalik batu!"
"Aku bawa! Mau kubagikan!"
"Eh, Hanabi-chan! Kau baik sekali!"
Diantara delapan belas anak jahil itu, Hanabi memang satu-satunya anak perempuan tercantik yang begitu murah hati. Tak sungkan-sungkan ia berikan pertolongan yang ia bisa pada orang yang membutuhkannya.
"Nah, Anak-Anak! Kalian langsung ke dapur ya, aku sudah siapkan makan siang untuk kalian!" seru Sakura dengan wajah riang. Tenten hanya menatap sambil tersenyum bangga.
Para anak itu langsung menyingkir dari hadapan Sakura, kemudian melaju menuju ruang makan. Perhatian mereka hanya tertuju pada satu. Wajan besar berisi nasi goreng baru masak.
"HUAH! NASI GORENG… !"
"Hei, jangan berisik! Ambil seporsi yang kau bisa makan!"
"Aku mau nambah dua kali nanti ya Nee!"
"Heh, rakus amat!"
"Tenten-nee, ambilkan dong!"
"Hih, kau kira aku pembantumu! Tinggimu bisa disejajarkan dengan wajan, jadi kau bisa mengambil nasi goreng tersebut!"
"Huah, Sakura-nee, ambilkan aku dong!"
"HUWE, KALIAN MANJA SEKALI!"
Meskipun rumah ini diisi berbagai keributan dan perbedaan pendapat, tetapi mereka semua tak merasa risih. Warna-warni kehidupan pun takkan pernah hilang dari hadapan mereka, yang membuat hidup mereka kian berwarna dan penuh kebersamaan.
A Couple of Doves
Sementara itu, di sebuah daerah di Konoha…
Terlihat seorang lelaki bermata onyx dengan motor ninjanya, bersiap-siap melakukan balapan dengan berbagai pembalap motor di sekolahnya. Lelaki itu menyeringai, sambil mengendarai dengan penuh keyakinan.
Aku jamin, uang ratusan ribu yen itu akan sampai ke tanganku.
Ayolah, apakah kau mau bernasib seperti pembalap yang akhirnya malah jatuh ke jurang penderitaan?
"Hoah, Sasuke! Kau sudah datang, Jagoan!"
"Kalahkan para preman itu!"
"Berisik kau, Dobe, Nara! Aku juga sudah pasti menang!"
"Heh, jangan sok yakin begitu! Mereka itu dari keluarga liar lho!"
"Masa bodoh! Memang latar belakang mempengaruhi?"
BRRM… BRRM…
Lelaki berambut biru kehitam-hitaman itu langsung menarik gas dengan liar. Tanpa pontang-panting, ia melaju meninggalkan belasan motor pembalap liar yang katanya 'akan bisa mengalahkan seorang pemuda bermarga Uchiha'.
Akan tetapi, pasti kemenangan di tangan pembalap liar itu.
Karena, dalam waktu detik saja…
JRASHHH!
Ketika motor ninja tersebut melaju di sebuah jembatan, motor tersebut hilang kendali dan menabrak sebuah penyangga jembatan. Tanpa butuh waktu lama, lelaki tersebut terlempar ke dalam sungai deras yang akan mengantarkannya ke sebuah tempat yang mungkin akan menjadi tempat kenangan untuknya.
A Couple of Doves
Sakura dan Tenten tersenyum bangga, sambil menatap sepasang origami burung bangau yang sudah siap di tangan mereka. Di dalam sepasang bangau kertas itu, ada permintaan mereka tersendiri, yang tak boleh diketahui siapapun.
"Kau sudah siap, Tenten?"
"Iya dong. Kau?"
"Pasti!"
Dua gadis itu kemudian meninggalkan panti asuhan mereka, dan berlari menuju sebuah sungai yang biasa menjadi tempat bermain mereka sejak kecil.
Sakura menatap bangau kertasnya. Ia cukup bingung. Bisakah sepasang bangau kertas yang dibuatnya hanyut dengan sempurna, hingga mencapai surga? Walau sesuatu yang tak mungkin terjadi, tapi Sakura tetap berharap setinggi yang ia bisa.
Perlahan tapi pasti, Sakura melepas sepasang bangau kertas itu diantara lajuan deras sungai yang membawa bangau kertasnya entah kemana.
Selesai sudah tugasku, tinggal Tuhan yang mengaturnya.
Sakura menatap Tenten, yang masih menghanyutkan bangau kertasnya dengan takut-takut. "Jangan takut, Tuhan pasti akan mengambil bangau kertas itu dengan keadaan selamat, dan membacakannya."
Tenten menoleh kearah Sakura sebentar, sebelum akhirnya dengan rela ia hanyutkan dua burung bangau yang benar-benar dibuatnya dengan susah payah. Iyalah, karena origami bukan keterampilannya sih!
"Semoga saja keinginan kita terpenuhi ya, Sakura-chan!" seru Tenten dengan wajah yang amat ceria.
"Iya. Semoga."
Sakura tersenyum menatap bangau kertasnya yang mulai hilang ditelan bumi. Ia yakin, apa yang dituliskannya berubah menjadi kenyataan. Semoga.
"Uahk…"
Percaya atau tidak, Sakura merasakan suara lenguhan pelan seorang lelaki. Eh, di sungai ada suara? Setan atau bukan, ya?
Sakura menatap penuh misteri sungai tersebut. "Hah, kau dengar sesuatu tidak, Ten?" tanya Sakura sambil menatap Tenten. "Nggak tuh, kamu ngelindur kali."
Bukan aku tak percaya kau, tapi kurasa aku memang nggak ngelindur.
Ketika sesuatu terhanyut di sungai, Sakura dan Tenten membelalakkan kedua bola mata mereka.
Bahkan, mereka nyaris tak mempercayai apa yang mereka lihat.
Seorang lelaki, terhanyut, dengan keadaan masih hidup. Akan tetapi, suara yang keluar dari lelaki itu hanya keluhan pelan. Sepertinya, ia sedang sekarat.
"TOLONG DIA, TENTEN!"
Sakura mengambil tindak cepat. Ia langsung menangkap bahu pemuda itu dan menariknya ke tepi sungai. Tenten yang tak dapat tugas apa-apa, hanya mampu menatap ketelatenan Sakura menarik pemuda tersebut. Tenten kemudian mendekatkan lengannya ke lengan lelaki itu. Nadinya masih terasa berdenyut dan mengalir.
"Masih hidup, tapi begitu lemah. Nyaris sekarat."
"Tunggu apa lagi? Ayo kita bawa dia ke panti asuhan!"
Mendengar itu, Tenten segera menarik lengan jenjang Sakura. Sakura yang merasa risih dengan perlakuan Tenten, hanya menatapnya memohon. "Apa dibolehkan Nenek, jika kita membawa seorang pemuda ke panti asuhan? Di panti asuhan saja lelaki itu paling tidak anak kecil!"
"Ayolah Tenten, berpikir logis! Apakah kita harus membiarkan seorang pemuda sekarat? Tidak kan!"
Sebenarnya, Sakura pun merasa bingung. Kenapa ia harus menyelamatkan pemuda tersebut? Tetapi, di hati Sakura, Sakura merasakan suatu perasaan ingin melindungi. Singkat cerita, ia seperti tergerak untuk menyembuhkan pemuda tersebut.
"Kalian sudah da-APA YANG KAU BAWA, SAKURA-CHAN?"
Nenek Chiyo terlihat kaget sekaligus marah, ketika melihat seorang pemuda dengan luka membekas di sekujur tubuhnya, tengah dalam gendongan Sakura. "Nek, ia butuh perawatan! Tadi kami menemuinya di sungai!"
Nenek Chiyo berlari menuju dapur, dan keluar dengan kotak obat-obatan di tangan kirinya. Ia menyuruh Sakura membaringkan pemuda itu di sebuah ruangan tidur tak terpakai. Nenek Chiyo lalu memeriksa pemuda tersebut, sekaligus menyembuhkan luka di sekujur tubuhnya. "Kelihatannya lukanya parah, tapi bisa sembuh dalam waktu dekat. Apakah ia terhanyut?"
"Iya, Sakura-chan yang menemuinya barusan."
Sakura tersenyum, sambil menatap Nenek Chiyo dan Tenten. "Nek, kali ini semua kuserahkan ke Nenek ya! Capek juga menggendong seorang laki-laki!"
Sakura menggandeng Tenten keluar, Nenek Chiyo menatap mereka sambil geleng-geleng kepala. "Menolong kok setengah-setengah? Aneh sekali."
Di teras panti asuhan, Sakura segera melamunkan kejadian yang baru dialaminya. Menghanyutkan bangau kertas, kemudian menemukan seorang pemuda terluka di sungai? Ini menganehkan. "Ada apa Sakura? Tampangmu seperti habis kena musibah."
"Iya sih, aku memang kena musibah. Eh Tenten, kau tahu tidak, kenapa pemuda itu bisa terhanyut di sungai."
"Hah, boro-boro. Tau dia terhanyut saja mendadak, apalagi tahu kenapa ia terhanyutnya! Persetan dengan semua itu!"
"Hahaha…"
Sakura tertawa hambar, kemudian menatap panti asuhan tempat tinggalnya sejak dulu.
Hn, kenapa yang kutemui harus pemuda? Kenapa nggak wanita?
Sakura benar-benar merindukan keluarganya yang membuangnya. Ia tak peduli seberapa benci keluarganya dengannya. Tetapi, ia ingin, sekali saja, mendapat kasih sayang dari orang tua kandungnya. Meski itu untuk pertama dan terakhir, ia siap.
Menjelang malam, para keluarga panti asuhan segera makan malam dengan masakan buatan Nenek Chiyo.
"Maaf mengganggu. Aku dimana ya?"
Semua segera menatap seseorang yang mengganggu acara makan malam mereka. Sakura menatap lelaki yang baru ditemuinya di sungai tadi sore, kemudian segera menelan air minum yang sedang di minumnya. "Di panti asuhan," jawab Sakura enggan.
Lelaki itu mengangguk-angguk paham, kemudian duduk di samping bangku meja makan kosong, tepat di samping Hanabi dan Sakura.
"Jauh nggak dengan pusat perkotaan Konoha?"
Sakura mendelik kearah pemuda tersebut. Lelaki perkotaan? Kenapa hanyut di sungai sampai ke daerah pemukiman miskin Konoha? Makin aneh saja pemuda ini.
"Banget. Memang kau mau pulang ke rumahmu? Kau tahu rumahmu dimana?"
"Tahulah. Masak nggak tahu?"
"Ya sudah, pergi sana!"
"Hush! Sakura-chan, hargai tamu barumu," nasihat Nenek Chiyo yang sedang melahap makan malamnya. Pemuda tersebut tersenyum meledek kearah Sakura, yang dibalas Sakura dengan senyum kecut, penuh kebencian.
Sepertinya akan ada pertengkaran kecil di keluarga harmonis ini.
A Couple of Doves
Suasana berubah, menjadi di kamar Sakura.
Sakura menatap seisi kamarnya. Tak ada satupun barang yang bisa mengingatkannya pada anggota keluarganya, tak ada satupun. Ia mematut dirinya di hadapan cermin. Tampak cerminan seorang gadis cantik dengan rambut merah muda yang terberai-berai di sekitar wajahnya. Ia tersenyum. Tuhan sudah memberikan anugerah untuk kondisinya saat ini.
"Tuhan, terima kasih untuk hari ini. Nenek, adik-adik, dan Tenten. Semua menyenangkan."
TOK! TOK! TOK!
Sakura menatap kaget pada pintu kamarnya. Siapa orang yang menggang-gunya malam-malam begini? Biasanya Nenek Chiyo sudah tidur bersama dengan adik-adik dan Tenten.
Ketika Sakura membuka pintu, terlihat wajah tampan seorang lelaki yang menatap teduh padanya.
"Ada apa?" tanya Sakura sinis dengan wajah kesalnya. Jika ia tak memiliki adab, mungkin ia sudah menendang lelaki tersebut tepat di wajahnya.
"Nggak muluk-muluk, cuma minta keterangan tentang tempat tinggalku saat ini."
Sakura menatap malas sosok bermarga Uchiha itu, kemudian segera keluar dan mengantarkan pemuda tersebut ke halaman belakang panti asuhan.
"Ini."
Sakura menawarkan segelas cokelat hangat yang baru dibuatnya di dapur. Lelaki bernama Sasuke itu ber'hn' ria, kemudian meminum pelan cokelat hangat yang baru dibawakan teman barunya.
"Kalau kau berniat tinggal disini, ada aturan yang perlu kau patuhi."
"Apa itu?"
"Jangan pernah mengeluh."
"Eh?"
"Ya, begitulah. Sekali mengeluh kena denda enam ratus yen."
"Whoa, lumayan juga."
"Kata Nenek Chiyo, mengeluh itu salah satu syarat masuk Neraka. Kau nggak mau kan, masuk Neraka?"
"Hn."
Mereka terdiam sejenak. Hingga suara barithon Sasuke pun memecah keheningan.
"Sejak kapan kau tinggal disini?"
"Sejak lahir. Sepertinya orang tuaku tak mau menganggapku anaknya."
"Jangan bodoh. Orang tua akan senang bila mendapat keturunan."
"Kalau begitu, kenapa aku harus dibuang kesini?"
"Mungkin saja mereka melahirkanmu dalam keadaan belum menikah. Jadi mereka tak sanggup menutup aib mereka dengan kehadiranmu."
"Iya, kau yang terbenar. Tapi, kenapa sampai sekarang ibu atau ayahku tak pernah mau menjengukku? Adakah mereka memiliki rasa peduli padaku?"
Sasuke kembali meneguk cokelat hangatnya, Sakura pun mengimbangi kelakuan Sasuke.
"Kau sendiri? Kehidupanmu bersama orang tuamu bahagia, kan?"
"Hn, siapa bilang. Orang tuaku tak pernah memberiku kasih sayang, kalau memberi pun, mungkin hanya dengan perantara uang? Aku bosan tahu. Ya, aku tahu kalau aku ini laki-laki, tapi masak laki-laki nggak boleh dapat kasih sayang dari orang tuanya sih? Aku juga butuh perhatian tahu."
"Hn, kita saling mengharapkan kasih sayang."
"Kuharap orang tuamu menyadari kerinduanmu pada mereka."
"Ya, kuharap. Walau sejujurnya aku tak pernah yakin."
"Jangan nggak yakin, tapi yakin. Kalau nggak yakin terus, yang ada kamu malah jadi orang gagal."
"Ya deh Pak Guru, aku yakin…"
Mereka tergelak bersama. Sakura merasa nyaman, demikian pula dengan Sasuke. Walau hanya ditemani dua gelas cokelat hangat, tapi malam itu tetap terasa istimewa bagi mereka. Semua tertumpahkan bersama, baik itu curhatan atau masalah. Mereka tak sungkan-sungkan menceritakan masa lalu mereka, dan memperbaiki kekurangan mereka bersama. Mereka saling melengkapi.
Namun, tanpa mereka sadari, seorang gadis mengintip pembicaraan mereka dari belakang. Tatapan gadis itu begitu teduh, hatinya terasa kecewa namun senang. Ia menatap dengan kesedihan yang bertumpuk di pelupuk hatinya.
Bisakah kau beri aku kesempatan untuk menang, Sakura-chan?
Gadis itu segera pergi ke kamarnya. Dibalik kesenangannya menjadi sahabat gadis bubble gum, ia juga merasa cemburu dengan setiap kelebihan gadis bubble gum tersebut. Kenapa gadis bubble gum itu terus lebih baik darinya? Kenapa ia tak pernah bisa menang dari gadis bubble gum itu?
Merasakan menjadi pecundang itu buruk.
.
.
.
Pagi yang datang, menemani Sakura untuk mengawali aktivitas barunya. Ia memang tak pernah bersekolah, tapi sebagai gantinya ia dan Tenten selalu membaca buku bersama di perpustakaan berjalan yang menjadi kepemilikan Paman Jiraiya itu.
"Tenten-chan, kita baca buku lagi ya!" seru Sakura riang sambil menggan-deng lengan sahabat karib yang sudah dianggapnya kakak itu. Ia kaget ketika mendapat gelengan dari Tenten.
"Gimana, ya? Mau nggak ya?" tanya Tenten gengsi sambil menatap langit dengan mata cokelatnya. Sakura menjadi cemberut mendengarnya.
"HAH! Pokoknya ikut ya! Kau kan sudah seperti kakakku, Tenten-nee," kata Sakura. Author bingung. Tadi Tenten-chan, sekarang Tenten-nee?
Tenten telah selesai mencepol dua rambut panjangnya. Ia kemudian menatap Sakura, lalu mengangguk. "Pasti, aku juga mau lihat bacaan terbaru dari mobil perpustakaan Paman Jiraiya! Mau ajak Sasuke nggak?"
Sakura terdiam. Oh iya, Sasuke! Kenapa ia melupakannya, ya?
"Oh, jadi aku nggak diajak nih?"
Sakura dan Tenten menoleh, mereka melihat Sasuke sedang asyik menikmati teh hangat. Wajahnya terlihat culas, sepertinya ia kesal tak diajak Sakura ke perpustakaan berjalan Paman Jiraiya.
GREP!
Sakura tersenyum. "Boleh, tapi jangan ngacau ya," kata Sakura sambil menggandeng lengan Sasuke. Merasakan tangannya digandeng, Sasuke menjadi sedikit blushing. Sedangkan Tenten? Tanpa diberitahu juga pasti sudah tahu apa perasaannya saat ini.
"Ayo!"
Tanpa menunggu, Tenten langsung menarik tangan Sakura. Sontak, Sakura segera menarik tangan Sasuke, membuat Sasuke kaget.
Bagaimana dengan teh hangatnya Sasuke? Persetan saja deh.
Setelah lima belas menit berlari, ketiga orang itu sampai di depan sebuah mobil dengan isi buku yang begitu banyak. Baca Buku Jiraiya.
"BACA BUKU JIRAIYA!" seru Tenten dan Sakura bersamaan. Sasuke hanya ber'hn' ria, kemudian berjalan memasuki mobil bacaan tersebut. Terlihat seorang kakek berambut putih panjang menatap mereka dengan misterius.
"Sakura-chan, Tenten-chan… dan Raven-kun?"
Sontak, Tenten dan Sakura tertawa berbarengan. Sasuke yang diejek, hanya bisa cemberut dan menatap Jiraiya dengan pandangan malas. Paman Jiraiya yang ditatap kesal oleh Sasuke, hanya tertawa kecil.
"Oh, maafkan Paman… Namamu siapa, Nak?"
"Sasuke."
"Oh, Sasuke-kun. Nah, masuklah kalian bertiga. Baca buku yang kalian mau, tapi jangan ambil buku di bagian 'DEWASA' ya."
Khukhukhu, kalian tahu kan apa yang ada di rak buku khusus 'DEWASA'?
"BAIK, PAMAN!" seru Tenten dan Sakura, mereka berdua langsung meninggalkan Sasuke yang terbengong-bengong. "Saking akrabnya mereka, ngobrol aja bersamaan. Ckck."
Ketika Sasuke memasuki mobil bacaan tersebut, ia terperangah kaget. Di dalamnya, ada begitu banyak rak buku berisi bacaan berilmu dan berkualitas tinggi. Sasuke pun mendekati rak buku khusus 'NOVEL REMAJA', dan meneliti apa saja yang ada di dalam rak buku khusus remaja itu. Pandangannya terhenti ketika ia melihat sebuah novel dengan judul yang cukup bagus. Sepertinya novel tersebut bertema angst. Smile Without You.
"Pilihan yang tepat."
Sasuke menoleh, dipandanginya wajah Jiraiya yang sedang menyengir kearahnya. "Kenapa?" tanya Sasuke polos. "Yah, buku itu memang buku terbaru yang kusediakan di rak buku remaja. Isinya cukup bagus, penyemangat masa muda."
Penyemangat masa muda?
Sasuke berlalu meninggalkan Paman Jiraiya, kemudian duduk di sebuah bangku kosong. Ia mulai membuka lembar per lembar dari novel yang baru ditemuinya itu. Ya, benar. Novel ini memang bertema angst.
Sasuke sesekali tersenyum membaca isi dari novel tersebut. Ia tak memalingkan pandangannya ke siapapun, hanya ke novel tersebut seorang. Bahkan, Sasuke tak menyadari bahwa Tenten dan Sakura sudah ada di sampingnya, sedang menekuni novel yang mereka baca.
"Pulang, yuk!"
Seseorang menepuk pundak Sasuke, ternyata Sakura. Sasuke mendelik, menatap wajah cantik Sakura. "I-iya. Oh, boleh kupinjam novel ini? Besok akan kukembalikan," kata Sasuke.
Sakura berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Paman Jiraiya pasti memperbolehkanmu meminjam novelnya, kecuali ensiklopedia."
Sasuke mengangguk, kemudian berjalan pulang sambil membawa novel yang baru dipinjaminya itu. Tenten kemudian menyamakan langkahnya dengan Sasuke. "Kau nggak kembali ke tempatmu dulu?"
Sasuke menatap Tenten, kemudian menggeleng. "Nggak. Ngapain? Aku kesana juga nggak ada artinya buat orang tuaku."
Tenten agak iba dengan Sasuke, kemudian mengajaknya ke suatu tempat. Sakura yang tak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa menatap Sasuke dan Tenten. Diam-diam, ia menyimpan rasa cemburu terhadap kedua insane yang sedang berjalan berdua itu.
Tenten berhenti tepat di sungai tempatnya menemukan Sasuke. Sasuke heran dengan tempat yang disinggahi Tenten, maka ia hanya bisa duduk di singgasana batu yang kosong. "Mau apa kita kesini, Ten?"
"Hanya bersantai, tempat menyalurkan perasaan kita."
Sasuke terdiam, kemudian mulai menyamankan diri di tepi sungai tersebut. Nyaman, memang. Seperti apa yang dikatakan Tenten, tempat tersebut benar-benar menyalurkan perasaan kita dan membuat perasaan kita kian terobati.
Tempat yang lebih baik dari teras panti asuhan.
Tenten kemudian menatap Sasuke, sambil tersenyum.
Terima kasih, Tuhan. Aku bisa bersama dengan Sasuke begini saja, aku sudah senang.
Tenten kemudian duduk di dekat sungai, sangat dekat dengan sungai. Tanpa ia sadari, arus sungai mulai meninggi. Dan tanpa ia kira, sungai malah mengajaknya bermain arus bersamanya. Ia mulai ditenggelamkan bersama sungai yang berarus deras itu.
"KYAAAA!"
Sasuke dan Sakura menoleh, ditatapnya Tenten yang sedang berjuang mati-matian selamat dari kerasnya arus sungai tersebut. Sasuke terperangah. Ia kemudian melepas sepatunya, dan langsung melompat ke sungai tersebut.
"SASUKE? TENTEN?"
Sakura terdiam. Ia memang tak bisa menyelam, apalagi berenang. Baginya, air adalah suatu tantangan. Ia hanya bisa menatap jalur Sasuke untuk menyelamatkan Tenten. Ia tetap berharap, Tenten bisa selamat dari arus deras sungai tersebut.
GREP!
Dengan cekatan, Sasuke menangkap pinggang Tenten dan menggendong-nya menuju tepi sungai. Tenten hanya bisa mengeluh, dengan air yang masuk ke kerongkongan mulutnya. "UAHK… UAHKKK…" Ia tetap mengeluh, meski tubuhnya sudah terselamatkan oleh Sasuke. "Bertahan, Tenten!"
Ketika sampai daratan, Sasuke segera menghempaskan tubuh Tenten dan menghirup udara sebentar.
"HAH… HAH…"
Sakura langsung mendekati Tenten, dan memberinya nafas buatan. Air sungai pun langsung terbuang dari mulut Tenten, membuatnya bisa bernafas seperti sedia kala. "Ukh,, terima kasih Sakura-chan," kata Tenten dengan nada lemah, membuat Sakura iba. "Jangan bersikap lemah, Tenten! Kau harus kuat!" seru Sakura sambil memegang tangan kiri Tenten. Tubuh Tenten dingin tak karuan.
Sasuke kemudian mengeringkan rambutnya, serta badannya yang basah. "Syukurlah, ia bisa naik ke daratan. Kalau nggak, tamat sudah dia di air terjun nanti."
Sakura mengangguk. Tanpa mempedulikan tubuh basah Tenten, ia langsung memeluk Tenten. "Jangan sampai jauh dariku, Tenten! Aku tak mau kau mati, tak mau!" seru Sakura dengan tangisan yang membuncah di pipinya. Tenten tersenyum, kemudian menepuk bahu Sakura.
"Aku tak apa, Sakura-chan! Kau tak perlu kuatir."
Tenten kemudian berdiri, namun kakinya terasa begitu berat. "Biar kubantu." Sasuke segera membopong Tenten, sementara Sakura mengikuti mereka dari belakang. "Terima kasih Tuhan, untung saja Tenten selamat!"
Begitu sampai rumah, Nenek Chiyo segera membantu Tenten ke kamarnya. "Syukurlah Tenten bisa selamat."
Sakura dan Sasuke mengangguk. Sasuke lalu segera menuju kamarnya, dan mengeringkan tubuhnya. Sakura menuju teras, membiarkan tubuhnya yang agak basah akibat memeluk tubuh basah Tenten tadi.
Sakura kemudian memegangi kepalanya. Kenapa sejak kemarin ia selalu menemukan masalah di sungai?
"Jangan takut, semua pasti akan baik-baik saja."
Sakura menoleh. Didapatinya Sasuke sudah mengganti baju, dengan wajah datarnya yang duduk di samping Sakura. "Kau takut semua ini makin memburuk, kan? Jangan kuatir, semua pasti akan baik-baik saja."
Entah karena apa, tapi Sakura menjadi lebih baik ketika mendapat semangat dari Sasuke. "Terima kasih."
Sakura kemudian menunduk. Dibalik tundukannya, ia merasa begitu bersalah telah merasa cemburu atas hubungan Tenten dengan Sasuke. Seharusnya ia tak boleh cemburu pada sahabat sendiri. Jika Tenten dan Sasuke berpacaran pun, ia juga tak boleh cemburu.
Sebab, cemburu adalah awal menemui jurang kegelapan.
"Kok dari tadi bengong sih?" tanya Sasuke, membuat Sakura gelagapan akibat tersadar dari lamunannya.
Sakura menggeleng cepat. "Nggak kok," katanya sambil melambai-lambaikan tangannya kearah Sasuke. Sasuke hanya mengangkat bahu, lalu meninggalkan Sakura. Sakura terdiam, ia masih memikirkan keadaan Tenten hingga saat ini.
Menjelang sore, Tenten segera sadar. Ia masih memegangi keningnya yang terasa pusing. "Kau baik-baik saja? Keadaanmu terlihat lemah," kata Sakura, sambil menahan Tenten untuk bangkit dari ranjangnya. Tenten menggeleng pelan, sembari memaksa tersenyum kepada Sakura. "Aku tak apa, Sakura-chan. Sudah kubilang tak usah terlalu kuatir akan keadaanku."
"Jangan kuatir bagaimana! Kita ini sudah sahabat sejak kecil, aku tak mau melihat sahabatku terlihat lemah ataupun terluka!"
Tenten terperangah mendengar bentakan Sakura. Sebegitu pedulinyakah Sakura padanya?
"Aku hargai semua ketulusanmu, Sakura-chan. Tetapi, aku ingin makan sekarang," kata Tenten. Mendengar itu, Sakura langsung menahan Tenten. "Biar kubawakan!"
Alih-alih, Sakura langsung mengambil makanan untuk Tenten.
Beruntungnya aku memiliki sahabat sebaikmu, Sakura-chan.
"Nee-chan…"
Tenten menatap Hanabi yang ada di depan pintu kamarnya. Tak lama kemudian, ia tersenyum dan mengajak Hanabi duduk di sampingnya. "Ada apa, Hanabi-chan?" tanya Tenten sambil menatap mata lavender Hanabi kelam. "Sakura-neechan mana?" tanya Hanabi, membuat Tenten terperangah.
"Sakura? Ia sedang membawakanku makanan, kenapa kau mencarinya? Adakah pesan yang ingin kau sampaikan padanya?" tanya Tenten dengan nada begitu lembut, yang tak diindahkan oleh Hanabi. "Nggak mau, aku mau menyampaikannya langsung pada Sakura-neechan!"
Hanabi langsung bangkit dari ranjang tempatnya duduk, kemudian berlalu meninggalkan Tenten.
Tenten hanya bisa menghela napas panjang.
Kenapa adik-adik lebih menyukai Sakura daripada aku?
Ingat Ten, cemburu adalah awal menuju jurang kegelapan.
.
.
.
TBC :D
Salam dari si Manis dari Monas ini :D
