JY present
At the Intersection
.
Cast: OngNiel! Little Woojin!
Daniel, K! Seongwoo, O! Woojin, (?)!
Other Cast: Jinyoung, B! Jihoon, P! Jisung, Y!
Rate: T+
Length: Chaptered
Disclaimer: Produce 101 members belongs to Mnet and their agencies, the plot is mine.
.
Chapter One
.
.
Warning: Typo(s), too complicated, hurt gagal, etc.
Don't forget to RnR juseyo!
.
.
.
"Okay, kurasa kau perlu istirahat, beruang."
Wajah pemuda di balik kertas hasil rapat perusahaan melongok, mengintip pada suara yang baru saja menginterupsinya. Sosok pemuda dengan surai ungu pucat nyaris abu–abu melangkah santai dengan cangkir di tangannya, mendekat dan bersandar di tepian meja kerja milik sang surai hitam. Pemuda di balik kertas hasil rapat tadi tersenyum lelah, menanggapi seniornya barusan.
"Aku harus mengecek ini sekali lagi, hyung."
Helaan nafas di balas sang lawan bicara. "Ya, kau selalu menjawab seperti itu setiap mengerjakan pekerjaanmu. Sudahlah, aku akan sampaikan pada Tuan Kim, direktur kesayangan kita, kalau kau akan istirahat sejenak."
"Mana bisa.. Aku harus cepat mengerjakannya, Woojin menunggu di rumah."
"Dia sendiri lagi?"
Sang surai hitam mengendikkan bahunya pasrah. "Tak ada yang bisa menjaganya hari ini. Aku sudah meminta gurunya mengantar sampai rumah."
"Ong Seongwoo, dengarkan aku," pemuda surai hitam dengan 'rasi bintang' di pipinya, Ong Seongwoo, mendongak, menatap tepat pada wajah hyungnya. "Kau juga perlu istirahat. Kau mengejar waktu agar bisa pulang ke rumah tapi kau sendiri kelelahan, apa itu lucu? Woojin akan sedih melihatmu begini."
Seongwoo menghela nafasnya berat. "Jisung hyung, selama aku bisa melihat wajah Woojin, aku takkan merasa lelah."
Jisung menghela nafasnya. Seongwoo dan keras kepalanya itu sulit untuk di bantah. Tangan Jisung terangkat, pasrah dengan keputusan Seongwoo. Selama 'saudara'nya itu merasa mampu, Jisung takkan menghalanginya. Toh, ia akan tetap setia menceramahi Seongwoo saat pemuda itu jatuh sakit.
"Okay, terserah padamu, Ong."
Seongwoo melirik bingkai foto yang berdiri tegak di meja kerjanya. Di dalamnya, tampak foto seorang pemuda dengan surai hitam dan anak kecil berusia enam tahun dengan surai hitam pula tengah tertawa lebar menghadap kamera. Senyum Seongwoo terulas melihat pemandangan itu.
Namanya Ong Seongwoo. Pemuda dengan 'rasi bintang' di pipinya dan surai hitam andalannya yang selalu membuat siapa saja tersenyum melihat wajahnya. Usianya baru menginjak 27 tahun ini. Dengan pekerjaan sebagai sekertaris di Kim Corp., ia hidup dan menafkahi anaknya, Ong Woojin. Seorang diri. Jisung adalah satu–satunya 'keluarga' yang ia miliki saat ini –selain Woojin. Memang, kakak kelasnya dari SMA itu tidak memiliki hubungan darah dengan Seongwoo, tapi ia sudah memasukkan nama Jisung dalam daftar keluarganya. Jisung adalah tempatnya 'menuangkan' segala masalah yang ia alami. Tak heran hyungnya itu tau apa saja yang sedang Seongwoo alami.
"Seongwoo?"
Seongwoo mengedip. Tersadar dari lamunannya. Astaga, kenapa ia bisa melamun di saat seperti ini? Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan pulang sesegera mungkin, memastikan Woojinnya baik–baik saja. Seongwoo kembali fokus pada kertas penuh deret paragraf di hadapannya. Dan konsentrasinya terpaksa terpecah begitu suara Jisung menyapa telinganya.
"Seongwoo–ah."
"Hm?" gumam Seongwoo tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas.
"Sekarang.. tanggal berapa?"
"Oh, sebentar hyung," Seongwoo menegakkan tubuhnya. Irisnya melirik pada kalender meja yang juga berdiri di meja kerjanya, tepat di sebelah bingkai foto Woojin. Mencari deret angka disana dan tercekat setelahnya.
"Tanggal berapa, Ong?"
"K–kau bisa mengeceknya sendiri di ponsel–"
"Aku bertanya padamu, sekarang tanggal berapa?"
Seongwoo menoleh, menatap Jisung dengan pandangan memburam. Air mata perlahan menggenang disana. Senyuman pahit terlukis di wajah mungil Seongwoo. "Tanggal 31 Mei, hyung."
Jisung berpindah, melangkahkan tungkainya mendekat pada Seongwoo. Tangannya bergerak mengelus pundak Seongwoo pelan. "Pulanglah, aku akan mengerjakan pekerjaanmu."
"Tidak, aku–"
"Pulanglah, kau harus pulang. Banyak yang harus kau kerjakan saat ini."
"Tapi–"
"Ong Seongwoo! Berhenti membantahku! Kumohon, sekali ini saja, turuti perkataanku," Seongwoo berjengit di kursinya, terkejut mendengar bentakan Jisung yang datang tiba–tiba. Jisung hyungnya tak pernah membentaknya. Pemuda yang lebih tua darinya empat tahun itu selalu tersenyum meskipun marah. Tapi kali ini, Jisung membentaknya. Seongwoo jelas terkejut.
Oh tunggu, ini tanggal 31 Mei. Jisung selalu membentaknya setiap tanggal 31 Mei.
Seongwoo menelan salivanya berat. Apa sebaiknya ia pulang saja? Tapi pekerjaannya masih banyak. Justru dengan pekerjaan ini lah ia bisa melupakan segala hal tentang tanggal 31 Mei.
Seongwoo mendesah pelan. "Baik, aku pulang hyung."
.
.
"Mama!"
Seongwoo membentangkan tangannya, bersiap menerima pelukan dari seorang anak kecil dengan surai hitam dan pipi gempal yang berlari kencang dari ruang tengah apartment Seongwoo. Itu Woojin. Seongwoo terkekeh kala anak kecil itu menubruknya keras hingga ia terjungkal kebelakang.
"Woojinie, bagaimana sekolahmu em?"
"Sangat baik! Aku dapat nilai A ma!"
"Ah, pintarnya Woojin," Seongwoo berdiri. Telapaknya bergerak mengusap puncak kepala Woojin penuh rasa sayang. "Kajja, kita me–"
"Mama, kenapa mama pulang cepat? Ini baru pukul 5 sore ma."
Seongwoo mengatupkan bibirnya. Fokusnya tenggelam dalam wajah bulat Woojin, memperhatikan bagaimana anak itu menahan tangannya dan menatapnya penuh rasa penasaran. Hati Seongwoo berdenyut. Terasa sesak dan berdarah kembali untuk kesekian kalinya di tanggal 31 Mei.
"Mama melakukan pekerjaan mama dengan baik 'kan?"
Seongwoo mengangguk.
"Apa karena ini tanggal 31 Mei?"
Hati Seongwoo berdarah. Pandangannya sempat memburam sesaat. Tidak, ia tak boleh menangis di hadapan Woojin. Anaknya tak boleh melihatnya menangis. Seongwoo sudah membesarkan Woojin tanpa tangisan di depan anak itu.
"E–eh," sial, kenapa suaranya jadi serak dan tercekat seperti ini. "Memangnya kenapa kalau ini tanggal 31 Mei sayang? Tidak kok, Jisung samchon sudah mengerjakan pekerjaan mama."
"O~h, begitu," kepala Woojin bergerak naik turun. Berlagak paham dengan wajah polosnya. "Jinie kira karena ini tanggal 31 Mei. Mama suka menangis diam–diam di tanggal ini. Yoon ssaem bilang, tidak baik menangis diam–diam ma. Aduh, apa ya kata Yoon ssaem tadi..."
Woojin.. tau?
Dan detik itu juga, Seongwoo merasa seluruh jiwa dan raganya sudah terbanting keras di tanah.
Seongwoo menarik nafasnya, menghilangkan rasa sesak yang mencekik tenggorokannya. Tangannya kembali mengusap puncak kepala Woojin. Ia tak berani menatap bocah itu saat ini, bisa–bisa air matanya jatuh jika ia melakukannya.
"Woojinie masuk kamar dulu, okay? Mama akan berganti baju, mandi, dan kita akan makan malam. Arrachi?"
"Siap captain!"
.
.
Seongwoo menatap Woojin tanpa henti. Memperhatikan bagaimana malaikat kecilnya tertidur pulas setelah makan malam mereka beberapa saat lalu. Jari Seongwoo bergerak, merapikan surai Woojin yang mengganggu kelopak matanya. Ah, wajah bulat itu, mata yang selalu tertutup pipinya sendiri kala bocah itu tersenyum dan tertawa.. Ah, Seongwoo rindu.
"Woojin–ah, mama tidak menangis diam–diam," senyum masam Seongwoo terkembang. "Mama.. hanya sedang berusaha melepaskan beban mama."
DRRT
Seongwoo menoleh, memperhatikan layar ponsel yang sudah ia genggam sejak ia menidurkan Woojin. Panggilan masuk. Atas nama kontak yang sama selama enam tahun belakangan ini. Yang berarti... sejak Woojin lahir.
Seongwoo menarik nafasnya dalam. Di tenangkannya pikirannya sejenak. Ia berusaha keras menahan gemetar yang mulai merambat di tiap jengkal tubuhnya.
"Halo?"
Hening.
"Halo?"
"Hai."
Hanya 'hai' yang ia dengar dari seberang sana, namun tubuhnya sukses 'diremukkan' dengan suara berat itu. Air mata Seongwoo mulai turun membasahi pipinya. Cepat–cepat ia mengusapnya dan berlari keluar, tak ingin Woojinnya terbangun dan melihatnya menangis.
"Kau masih disitu?"
"Ya, aku disini."
"Woojin.. sudah tidur?"
"Sudah, beberapa saat lalu."
"Bagaimana makan malam kalian?"
"K–kami makan bibimbap dan tteokbokki."
"Baguslah."
Seongwoo menarik nafasnya dalam. Tangannya membekap mulutnya yang nyaris saja mengeluarkan isakan. Tidak, ia tak boleh terisak. Tidak saat ia menerima telepon tanggal 31 Mei ini. Tungkai Seongwoo mulai bergerak, berpindah menuju meja makan.
Setelahnya, hening menjalar disana. Seongwoo sibuk menenangkan isakannya yang nyaris lolos beberapa kali, sementara di seberang sana, ia bisa mendengar nafas yang berhembus berulang.
"Ini.. tanggal 31 Mei."
Ya, Seongwoo ingat. Ini tanggal 31 Mei.. yang ke enam tahun.
"Aku– aku tau."
"Jangan menangis, Ong."
Seongwoo tersenyum masam. Apa suaranya terdengar jelas kalau ia sedang menahan tangis? Air mata yang semula menggenang di balik pelupuknya perlahan turun, mengalir membasahi pipinya. Sebuah 'sungai' kecil terbentuk disana.
"Aku– hiks sudah berusaha," isakan itu lolos juga. Seongwoo meremat tepian meja makan erat hingga buku jarinya memutih. Tak lupa ia menggigit bibirnya kuat. Tidak, tidak ada isakan, tidak ada tangisan, tidak ada.. luka lama.
"Aku mohon, jangan menangis."
Seongwoo ingin menjerit. Mendengar suara serak di seberang telepon sana benar–benar membuat seluruh pertahanannya runtuh. Seongwoo terisak beberapa kali. Rasanya sakit. Kepalanya berdentam kuat, jantungnya seakan diremat, tubuhnya.. 'remuk'.
"Aku– hiks ti–tidak menangis."
"Ya, kau tidak menangis. Kau tak boleh menangis."
"Mama?"
Seongwoo tersentak dari posisinya melihat Woojin berjalan mendekat padanya dengan tangan yang mengusap kelopak matanya. Seongwoo gemetar. Lututnya seketika selemas jelly. Woojin melangkah lebar, mendekat pada Seongwoo, dan memeluk kakinya kuat.
"Mama, kau menangis lagi tanggal ini."
Seongwoo tergagap. Tangannya mengusap cepat lelehan air mata di pipinya.
"Apa itu.. suara Woojin? Woojinie?"
Kepala pemuda surai hitam itu menunduk. Ditatapnya Woojin lekat hingga anak kecil itu merengut keheranan. Seongwoo terdiam, bibirnya kelu untuk menjawab pertanyaan sang penelepon.
"Itu Woojinie.. Itu Woojinie 'kan?"
"Mama? Mama sedang apa? Kenapa menangis? Apa mama mengiris tangan mama?"
Tubuh Seongwoo limbung. Kepalanya berdentam hebat. Dunianya mulai berputar. Pegangannya di tepian meja melemah. Nafasnya mulai melambat. Seongwoo menyipitkan matanya, mengamati bibir Woojin yang bergerak. Tak ada suara yang ia dengar.
Detik berikutnya, semuanya menjadi gelap.
.
.
.
–TBC–
a/n: Okay, dd bawa FF baru lagi.
Astaga besok ku UKK dan apa? Justru bikin cerita baru.
Ampuni dd mak /istighfar/
Toh saya juga udah menyerah:" .g
.
GIMANAA, SERU TIDA?
Seruin aja ya.
Seru kok, yang ini seru serius.
Hope you like it, guys!
.
XOXO,
Jinny Seo [JY]
