Disclaimer : Masashi Kishimoto. Pinjam lagi yah, untuk mengisi semua karakter dalam ide cerita saya

.

.

.

.

WARNING! : Out Of Character, Many mistakes here, Mainstream, Boring, Story from me

Genre : Romance and family

Main chara : Sakura, Hanami and Naruto. INGAT! Buat yg gk suka atau anti atapun benci sama pair ini silahkan pergi, dan jangan menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak berupa flamer menjijikan!

Rate : T slight M. Gk tahan pengen nulis yang sedikit mengandung unsur dewasa, tapi ini cuma selingan tipis yg hanya digunakan untuk menambah mumbu asam(?) pedas(?) manis(?) pahit(?) di dalam fanfic ini xD

.

.

.

.

I'm Sorry and I love you, Papa

.

.

.

.

Wanita dengan surai merah muda sepanjang diatas pinggang itu sibuk memasangkan dasi hitam dileher seorang lelaki berambut pirang yang panjang dibagian kedua sisi wajah hingga menyentuh tulang pipi kokohnya.

Lelaki itu, yang jatuhnya seorang CEO tampan di Namikaze corp terus mengamati wajah cantik sang Istri yang entah kenapa terpasang sendu di pagi hari yang cerah.

Setelah selesai berkutat dengan leher Naruto, Sakura yang hendak menjauh seketika pula gagal kala sebelah tangan kokoh pria itu melingkari bagian pinggangnya, menahan dirinya agar tak menjauh.

"Ada apa sayang, kenapa kau terlihat sedih begitu ?" Tanyanya sambil merapatkan celah diantara tubuh mereka, menghilangkan jarak sehingga keduanya merapat tanpa ada celah.

Sakura menghela nafas, kepala pinkishnya mendongak tinggi keatas untuk membalas tatapan penuh cinta dari sepasang iris safir tajam di hadapannya. "Harusnya kau tak berjanji, aku takut kejadian itu terulang lagi..." Tuturnya cemas, kedua iris hijau menyala miliknya menatap lembut wajah tampan Naruto.

"Jangan cemas, kali ini aku pasti tak akan mengecewakan dia lagi." Balas lelaki itu sambil menunjukan senyum tipis, menenangan Sakura yang terlihat resah.

"Tapi Naru—"

"Papa !" Kalimat Sakura tersela ketika seorang gadis yang baru menginjak di usia awal memasuki remaja berseru dari dalam ruang tamu. Dua pasang Suami dan Istri itu melihat kedalam secara bersamaan, dengan sang wanita yang menoleh dan Naruto hanya menilik dari atas puncak kepalanya.

"Putriku sayang...!" Lelaki itu berseru senang, senyum lebar terukir manis di wajahnya yang masih terlihat muda dan tampan walau sudah memiliki satu anak perempuan yang baru berusia dua belas tahun.

"Papaaaa...!" Hanami memanggil sang Papa dengan begitu bahagianya, kaki mulusnya menapaki lantai marmer dalam rumah. Gadis serupa dengan sosok Sakura itu berlari kecil sambil merentangkan kedua tangan, bersiap untuk memeluk sang Papa tercinta.

Naruto tertawa kecil, tubuh tingginya sedikit merunduk untuk bisa langsung menerima terjangan dari tubuh mungil sang putri yang kini jarak mereka terpaut semakin dekat.

"Papaaa..." Dalam panggilan rindu diakhir, Hanami semakin dekat di tempat Naruto berdiri menyambut dirinya, hingga kemudian gadis bermahkota merah muda itu langsung melompat kedalam pelukan hangat Naruto.

"Aku sangat merindukan Papa..." Tutur gadis itu seraya memeluk erat leher Naruto, wajah cantiknya tersembunyi dilekukan sang Papa, menyesap dalam wangi parfum yang sama seperti miliknya.

"Iya sayang, Papa juga sangat merindukan Hanami." Naruto melirik Sakura melalui ekor mata, mengerling pada wanita yang masih terlihat muda dan cantik itu, mengakatakan betapa manjanya putri semata wayang mereka.

Sakura terkikik geli, ia mendekati tempat Papa dan anak itu kemudian memanjangkan tangan lalu mengelus dengan lembut surai soft pink sang putri yang tumbuh panjang hingga sebatas pinggang atas.

"Papa pergi lama sekali, aku bahkan sampai tak bisa makan karena sangat merindukan Papa." Imbuh Namikaze cilik itu sambil berusaha menahan tangis. Sungguh, ia benar-benar sangat merindukan Papa pirangnya yang baru pulang dari pergi keluar kota selama dua minggu, dan itupun tanpa sepengetahuan dirinya bahwa Papanya telah pulang.

Salahkan saja Sakura, sang Mama yang dengan tega tak menyampaikan kabar gembira ini padanya.

"Hiks... Mama jahat, tega tak memberi tahuku kalau Papa sudah pulang hiks hiks..." Tangis Hanami pecah dilekukan leher wangi Naruto, jari-jemari mungil nan lentik miliknya mencengkram erat kerah kemeja putih pada bagaian belakang yang di kenakan oleh Naruto.

"Maafkan Mama sayang. Bukan maksud Mama tak ingin memberi tahumu, tapi Mama tak mau sampai mengganggu tidur nyenyakmu hanya untuk memberitahukan kepulangan Papa." Jelas wanita Namikaze itu sambil menyisiri setiap helai lembut mahkota pink Hanami.

"Hanami...!" Naruto menjauhkan kepala Hanami dari lehernya, kemudian menetapkan wajah cantik putri tunggalnya di hadapannya tanpa menurunkan tubuh kecil itu dari gendongannya. "Papa yang melarang Mama agar tak membangunkanmu Nak..." Ucapnya dengan seulas senyum lebar.

"Isshh... Papa !" Tangis gadis itu terhenti, dengan gemas ia menarik sebelah pipi Naruto menggunakan tangan mungilnya. "Selalu saja seperti itu." Sakura yang melihat tingkah manja Hanami mau tak mau ikut tertawa bersama Naruto.

"Jangan marah pada wanita merah muda kita ya..." Hanami mengangguk mantap, menerima dengan senang hati permintaan sang Papa tampan.

"Papa, aku masih belum lupa dengan janji yang kemarin Papa ucapkan melalui telefon..." Telapak mungil Hanami menangkup pipi Naruto, menyalurkan kasih sayangnya yang diberikan penuh untuk Papanya.

"Janji ?!" Hanami menghembuskan nafas bosan. Selalu saja begini, Papanya yang terkadang bisa jahil mengerjai dirinya dengan berpura-pura tak ingat akan janji yang telah ia buat supaya dirinya lupa dan tak menagih lagi janji tersebut.

"Iya janji. Janji setelah Papa pulang dari meeting diluar kota kita bertiga akan jalan-jalan keluar dan makan Ramen di Ichiraku..." Ujarnya, masih ingat dengan sangat jelas ucapan Naruto kemarin lusa melalui sambungan telefon. Sudah sekitar dua hari yang lewat, sewaktu Naruto masih berada diluar kota.

"Baiklah sayang. Berdandanlah yang cantik nanti sore, okay !" Setika itu pula wajah cantik Hanami berbinar cerah, waktu yang sudah sangat lama sekali ia tunggu-tunggu akhirnya tercapai juga.

Ia dan Mama merah mudanya akan jalan-jalan diluar dengan Papanya, bersenang-senang bersama setelah sekian lama mereka tak pernah lagi berkumpul dan menghabiskan waktu bersama karena kesibukan Naruto dalam mengurusi pejerkaan kantor yang di katakan oleh Hanami 'sial' karena telah merebut sosok Papa pirangnya dari dirinya.

"Naruto-kun...!" Lelaki itu melihat ketempat Sakura berdiri, ia terlihat tenang dalam mengelus kepala pink Hanami yang kini bertumpu kembali diatas bahunya.

Sakura menggelengkan kepala dengan menujukan raut cemas, mengisyaratkan agar Naruto menggagalkan rencana jalan-jalan keluar mereka bersama Hanami. Wanita itu takut, sangat takut sekali. Ia tahu apa yang terjadi bila Naruto sampai tak memenuhi janjinya pada putri mereka, yang jelas sangat menyuramkan rumah tangga mereka bila itu sampai terjadi.

"Tenang saja sayang !"

"Tapi Naru—"

"Sshh !" Naruto meletakan telunjuk panjangnya dibelahan bibir mungil Sakura, menahannya agar tak berbicara lagi. "Kau tenang saja, semuanya akan baik-baik saja." Imbuhnya sambil tak henti mengelus lembut kepala Hanami yang kini tengah sibuk menghirup nyaman harum yang menguar dari kulit lehernya.

Menghela nafas, kemudian Sakura menangkup sebelah pipi Naruto. "Semoga yang kau katakan itu benar-benar tepat, aku tak mau kalian sampai bertengkar lagi." Ujarnya seraya mengukir senyum manis.

"Yah, semoga saja sayang..." Dan setelahnya Naruto langsung mengecup kening Sakura, meninggalkan cinta di dahi lebar tersebut.

.

.

.

.

Wanita yang memiliki dua pasang zambrut terang itu menutup telefon dan di iringi dengan hembusan nafasnya. Tatapan matanya terlihat sendu, ia sedih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan semuanya pada Hanami.

Mengatakan pada anak itu bahwa Naruto akan pulang larut karena ada meeting mendadak di kantor dan terpaksa harus menggagalkan acara jalan-jalan mereka. Sakura tahu bahwa saat ini Hanami pasti sedang sibuk berkutat di depan meja rias, mendandani dirinya agar terlihat cantik dan sempurna saat nanti akan pergi keluar dengan kedua orang tua.

Inilah dia yang Sakura takutkan. Naruto yang menebar janji manis pada putri mereka dan tak menepatinya dengan alasan yang tak pernah jauh dari meeting atau pulang larut malam, bisa sampai jam dua belas malam, bahkan pernah juga pulang dari kantor pada dini hari.

Sakura tak boleh lemah seperti ini. Sebagai seorang Istri dan Ibu dari satu anak, ia harus bisa mengatasi semua masalah yang ada. Dengan begitu, ia harus bisa menjelaskan dengan pelan kepada Hanami bahwa hari ini Naruto tak bisa pulang cepat dan akan pulang tengah malam.

"Tuhan, tolong bantu diriku untuk bisa mengatasi semua masalah ini..." Wanita itu mendongak, kedua kelopak lentiknya terkatup rapat sambil berdoa kepada sang pencipta alam semesta serta kehidupan. Meminta pertongan kepadanya untuk sedikit mempermudahkan menyelesaikan masalah yang memimpa keluarga kecilnya.

.

.

Cklekk...

Sakura membuka pintu kamar tidur Hanami, segera ia masuk kedalam lalu menutup kembali pintu bercorak bunga mawar hidup tersebut.

Wanita itu meringis kecil, semangatnya langsung patah untuk menjelaskan semuanya pada saat mendapati Hanami yang sedang sibuk berkutat dengan diri sendiri melalui pantulan cermin rias. Ia tak tahu harus bagaimana, melihat Hanami yang tampak bersemangat merias diri di depan cermin sungguh membuat hatinya perih, seperti disayat oleh ribuan pisau silet.

"Hanami !" Mendengar panggilan dari arah jalan masuk ke kamar, gadis itupun langsung menoleh kesamping kanan untuk melihat siapa orang yang baru saja masuk kedalam kamarnya.

"Mama !" Serunya sembari tak henti menyisir dengan lembut rambut panjangnya. "Kenapa Mama belum berdandan,? Nanti kalau Papa pulang dan melihat Mama belum bersiap-siap maka Papa pasti akan marah..." Tuntut gadis itu panjang lebar, lantas kembali lagi menatut diri sendiri yang terdapat dalam pantulan cermin.

Sakura memaksakan senyum, kaki kecilnya menapaki lantai kamar, berjalan pelan menghampiri tempat Hanami yang saat ini sedang menyemprotkan parfum dibagian leher kemudian turun kepermukaan baju merah yang ia kenakan.

"Sayang, Papamu..." Hanani terdiam sambil menatap dirinya dari pantulan cermin, tangan kecilnya terjulur panjang meletakan parfum semprot miliknya diatas meja rias, tempat susunan semua kosmetik baru kemudian melihat kearah Sakura.

"Kenapa dengan Papa ?" Ia bertanya sambil masih setia berduduk di depan meja rias, wajah cantiknya sedikit menampilkan raut cemas. Sakura berdiri disamping Hanami, mereka sama-sama menatap diri sendiri melalui pantulan cermin.

"Ada meeting mendadak dan Papa tak bisa pulang..." Wanita cantik itu menyentuh bahu sang putri, sedikit memijatnya guna menghilangkan rasa gugup yang menghantui dirinya. "Jadi—"

"Papa membatalkan semuanya lagi. Benarkan, Mama ?!" Hanami menimpal datar, seketika wajahnya tertampil dingin membuat Sakura yang melihatnya jadi menggigit bibir bawah.

"Sayang, Pap—"

"AKU TAHU !" Sakura tersentak saat Hanami terlebih dulu menyela kalimatnya dengan suara tinggi. "Mama pasti mau bilang tolong maafkan Papa, iyakan !?" Iris safir tajam milik anak itu melirik Sakura dari samping dengan sorot penuh amarah.

"Kau benar, tapi semua ini memang bukan salah Papa"

"Tentu saja ini semua salah Papa..." Gadis itu menepis kasar tangan Sakura yang ada diatas bahunya, hingga berhasil menjauhkan tangan itu dari dirinya. "Papa yang menjanjikan ini semua, dan Papa juga yang membatalkannya. Lalu, apakah pantas ini disebut bukan salah Papa." Tuntutnya penuh ketajaman dan rasa kecewa yang sangat mendalam.

"Dengar Hanami, putriku sayang..." Kembali Sakura meraih bahu bergetar Hanami, menandakan bahwa kini gadis berusia dua belas tahun itu sedang menangis tanpa mengeluarkan suara isak. "Ini juga bukan kemauan Papa, dia hanya terpaksa membatalkan semuanya." Jelas wanita itu sambil mengelus puncak kepala Hanami yang memiliki warna rambut sama seperti miliknya, dan juga sama panjangnya.

"Hiks, kenapa ?" Isak gadis itu mulai terdengar, empunya suara isak tersebut mendongak kesamping untuk menatap wajah dewasa sang Mama. "Ke–kenapa hiks Papa se–selalu tak menepati janjinya hiks hiks..." Adunya sambil deras meneteskan liquid kelantai marmer.

"Mengertilah Hanami. Papa orang yang sangat sibuk, dia selalu di bebani oleh pekerjaan." Ucap wanita itu dengan melempar tatapan sendu pada Hanami.

"Tinggalkan aku sendiri Mama, biarkan aku bersama dengan rasa kecewa ini." Tatapan tajam Hanami beralih kedepan cermin, menatap dirinya sendiri dengan perasaan hancur.

"Hanam—"

"Please Mama...!" Menghela nafas, lalu Sakura mengecup cukup lama puncak kepala Hanami, sebelum kemudian menjauhkannya lagi lantas pergi berjalan pelan menuju letak pintu.

"Turunlah kebawah jika kau sudah merasa cukup baikan." Hanami tak merespon dalam bentuk apapun, yang dilakukan olehnya hanya mendunduk dalam sembari tak henti menangis karena sang Papa.

"Hiks hiks... Papa jahat hiks..." Isaknya setelah Sakura benar-benar pergi jauh dari letak kamarnya. "Hiks, tak pe–pernah hiks hiks, tepat dengan ja–janji sendiri..." Lirih gadis itu kecewa berat kepada Naruto yang kerap mendustai dirinya, memberinya angan-angan untuk menghabiskan waktu bersama.

Tapi nyatanya itu semua hanya sekedar kata-kata manis sebagai penghibur dirinya yang kurang akan kasih sayang dari sosok orang tua laki-laki.

Dulu Hanami selalu membanggakan Naruto pada semua teman-temannya disekolah. Mengatakan ia sangat beruntung dan bahagia bisa memiliki seorang Papa yang sangat tampan, dan juga selalu rapi dalam berpenampilan.

Tapi sekarang gadis merah muda itu sadar, bahwa belum tentu memiliki Papa sempurna dirinya tercukupi dengan kasih sayang penuh dari seorang Ayah. Saat ini ia hanya bisa berfikir, apakah mungkin cuma dirinya seorang yang sulit mendapat perhatian dari seorang Ayah.

Hanami merasa bahwa semua temannya tak pernah mengeluh dalam mengatakan Ayah mereka tak bisa menghabiskan waktu banyak bersama keluarga. Dan yang membuatnya jadi bertanya-tanya, bagaimana bisa Ibundanya sanggup hidup dengan Naruto yang sering bepergian keluar kota meninggalkannya seorang diri.

Dan mereka hanya sering bermikomunikasi melalui ponsel, atau jejaring internet untuk bisa melihat masing-masing wajah orang yang sangat di rindukan akan sosoknya.

.

.

.

.

Langkah Naruto memelan saat telah tiba diruang tamu, tas hitam di tangannya ia jatuhkan begitu saja dilantai ketika melihat Hanami yang sedang menangis dalam pelukan Sakura sambil mereka berdua duduk diatas sofa.

Lelaki itu memacukan langkah, menghampiri letak sofa yang menjadi tempat kedua wanita merah mudanya duduk dengan Hanami yang menangis tersedu-sedu. Sakura melihat kesamping, dan seketika itu pula ia langsung terkejut kala mendapati sosok Suami pirangnya sedang berjalan ketempatnya duduk.

"Naruto-kun, kau sudah pulang !" Seru wanita itu seraya berdiri sambil menggendong Hanami yang menyembunyikan wajah dilekukan lehernya.

"Iya Sakura..." Naruto mendekati Sakura, kemudian ia menyentuh punggung kecil Hanami yang masih bergetar. "Sayang, tolong maafkan Papa." Ucapnya sedih, merasa bersalah pada putri semata wayangnya.

"Hanami...!" Gadis itu bergerak dalam gendongan Sakura, ia menjauhkan kepala dari leher sang Mama kemudian turun dari gendongannya lalu membalik badan menghadap kearah sang Papa lantas mendongak tinggi untuk bisa menatap sosok tampan itu dengan kedua mata sembabnya.

"Papa jahat, egois !" Hardiknya dengan suara serak, menandakan bahwa sejak tadi ia menangis tanpa henti sampai tak bisa tidur. "Selalu berbohong padaku." Tangan panjang Naruto yang terbalut oleh kemeja putih terulur kedepan untuk menyetuh pipi halus Hanami, namun langsung ditepis kasar oleh empunya.

"Sayang, jangan bersikap seperti itu pada Pap—"

"Papa yang mengajarkanku untuk bersikap seperti ini..." Shappire tajam milik Hanami melirik kesamping tempat Sakura berdiri. Tak lama melempar lirikan sinis pada Sakura, lalu tatapan tajamnya berlalih lagi kedepan dan menatap Naruto dengan sorot yang sulit dibaca.

"Papa yang tak pernah menepati janjinya padaku, lalu Papa yang jarang menghabiskan waktu bersamaku dirumah, terus saja sibuk dengan urusan kantor, kantor dan kantor..." Bibir mungil bocah gulali itu bergetar, ia benar-benar tak sanggup mendapati tatapan penuh bersalah yang ditujukan oleh Naruto untuk dirinya. Itu semua karena rasa sayangnya yang begitu kuat untuk sosok Papa pirang tercintanya.

"Sudah lama aku menantikan hari dimana aku bisa bersama Papa, aku bahkan tadi sampai menghabiskan waktu selama dua jam untuk berdandan agar aku terlihat sempurna saat pergi jalan bersama Papa dan Mama..." Kepala pirang Naruto tertunduk dalam kebawah, menatap wajah kusut sang putri merah muda karena ulah dirinya.

"Aku sangat menginginkan seperti apa rasanya mendapat kasih sayang penuh dari Papa." Bocah itu menutur sedih, kelopak bengkaknya menatap sendu wajah tampan Naruto. "Aku ingin menjadi seperti teman-temanku disekolah, mereka semua bahagia karena tak pernah jauh dari Papa mereka..."

Sakura terkesiap, yang bisa dilakukan olehnya hanya diam dan mendengarkan dengan seksama curhat lirih Hanami yang baru malam ini terungkap langsung di hadapan Naruto. Mengatakan semua isi hatinya lanngsung kepada sumber kekecewaan.

"Kenapa Papa ?" Lelaki bersurai pirang panjang itu maju kedepan, mendekati sosok Hanami yang terlihat sangat kacau. "Kenapa Papa harus melahirkan diriku di dunia ini jika Papa tak pernah bisa menyisakan waktu untuk diriku dan Mama."

"Sungguh sayang, Papa benar-benar menyesal telah membuatmu sedih seperti ini karena Papa..." Naruto mencekal pundak Hanami, akan tetapi kembali di tepis oleh empunya hingga terlepas dari bahu kecil tersebut.

"Jangan sentuh aku !" Gertak bocah itu dengan mata memicing tajam, mengerahkannya pada Naruto. "Untuk apa Papa bersikap sok perhatian padaku bila kejadian seperti ini terulang lagi..."

"Papa benar-benar jahat, tak pernah bisa meluangkan waktu sehari saja untukku." Naruto hanya diam, bahkan ia juga membiarkan tangan mungil Hanami menuding pelan perutnya dengan sebuah pukulan-pukulan kecil sambil tak henti menangis.

"Hiks hiks... Papa ja–jahat hiks." Sakura menarik pelan Hanami dari hadapan Naruto, membawa gadis mungil itu kedalam dekapan hangatnya dari kasih sayang seorang Ibu. Kembali Naruto menyentuh bahu kecil Hanami, dan kali ini tak ada penolakan, melainkan hanya suara isak tangis yang terdengar perih dalam telinga Naruto.

"Sayang, dengarkan Papa du—"

"TAK ADA YANG PERLU AKU DENGARKAN LAGI DARI PAPA." Naruto dan Sakura tersentak dalam bersamaan saat mendengar suara lantang Hanami yang menggema di dalam rumah mereka, meramaikan malam yang sunyi. "PAPA JAHAT !" Lagi, kalimat itu meluncur dari bibir mungil Hanami dan ditujukan pada Naruto. Gadis cilik itu meninggalkan perut rata Sakura, lalu menatap wajah sedih sang Papa dengan sorot mata penuh kekecewaan.

"Aku benci Papa..." Usai menuntaskan kalimat lirihnya, Hanami langsung berlari menaiki anak tangga yang menuju ke kamar atas dan meninggalkan kedua orang tuanya dalam tangis pilu dan penuh akan rasa kecewa.

Sakura menahan pergelangan Naruto saat lelaki itu hendak menyusul putri mereka ke kamar atas, melarang Suami pirangnya kesana agar tak membuat Hanami semakin sedih karena melihat dirinya.

"Sebaiknya kau mandi, lalu makan dan setelah itu istirahat. Aku tahu kau pasti kelelahan sehabis menangani semua masalah di kantor..." Suruhnya dengan suara lembut.

"Tap Saku—"

"Kau tenang saja Naruto-kun, masalah Hanami biar aku yang mengurusnya..." Sela wanita merah muda itu seraya mengulas senyum manis, seolah mengatakan bahwa ia bisa mengatasi semuanya.

Menghela nafas pendek, kemudian Naruto menganggukan kepala, menurut pada semua perintah sang Istri. "Tolong aku ya Sakura..." Pintanya, lalu mendapat anggukan kecil dari wanita itu.

"Sudah, cepat sana mandi, setelah itu jangan lupa makan dan istirahat." Meniggalkan senyum samar dalam sejenak, kemudian Naruto berbalik lantas berjalan menuju letak tangga yang akan membawa dirinya pergi ke kamar tidur.

Jade terang milik Sakura terus menatap lekat punggung lebar Naruto dari tempatnya berdiri, menatap sosok tegap itu dengan penuh cinta dan sayang.

"Kau jangan cemas Naruto-kun, aku pasti akan bisa membuat Hanami dapat mengerti betapa sibuknya dirimu untuk memberikan kami kesenangan..." Sakura bergumam halus, bibir mungilnya tak pernah pudar dari mengulas senyum manis. Ia pasti bisa membuat semuanya kembali normal seperti biasa, dimana keluarga kecil mereka yang selalu di penuhi dengan canda tawa ria bersama

.

.

.

.

To Be Continue...

.

.

.

.

Two-shoot lagi... Cari yang simple karena kalau terlalu banyak perchapter-nya bikin saya pusing untuk ngorek-ngorek otak supaya mendapatkan ide untuk chap selanjutnya.

Kan, kalau cuma two-shoot ringan dan gk terlalu terbebani, bisa dengan mudah mendapat ide untuk ffn lainnya :)

Okay, cukup itu saja. Sampai jumpa di chap akhir nanti.