Disclaimer : Yana Toboso
A PROMISE TO BESIDE YOU, ALWAYS
Pair : Sebastian x Ciel
Warning : boyxboy, typo bertebaran, deskripsi minim, OOC, alur kecepetan, and many more.
Ini adalah fict pertama saya di fandom Kuroshitsuji.
DONT LIKE, DONT READ!
HAPPY READING MINNA!
Pagi yang cerah. Dimana kicauan burung dengan riang bernyanyi, sedikit menghibur sang kepala Keluarga Phantomhive, Earl Ciel Phantomhive. Ciel yang sedang duduk di kursi kerjanya mengalihhkan pandangan pada jendela yang mengarah langsung pada halaman mansionnya yang cukup luas. Ketenangan yang akhirnya ia dapatkan karena hari ini Sebastian membebaskan dari semua jadwal yang selalu membuatnya sibuk. Ia meminum Earl Grey miliknya dengan tenang. Tak lama kemudian, Sebastian mengetuk pintu lalu berjalan masuk kedalam ruangannya.
"Bocchan, saya menemukan sesuatu yang menarik di ruang bawah tanah." Gumam sang butler, Sebastian Michaelis. Ciel phantomhive, pemilik perusahaan mainan dan juga permen yang terkenal seeropa terlihat memikirkan apa yang dikatakan oleh butlernya.
"Sesuatu yang menarik? Maksudmu?" tanya anak lelaki tersebut dengan nada penasaran. Sebastian hanya mengangguk dan senyum tipis terlihat dibibirnya.
"Ya sesuatu yang menarik, apa anda ingin memeriksanya?" tanya Sebastian.
"Ya, bawa aku kesana, Sebastian!" ternyata sang Earlpun memiliki rasa penasaran yang tinggi. Dia berjalan mendahului sang butler dan Sebastian hanya mengikutinya. Ciel berjalan cepat dan ia membuka pintu yang mengarah pada ruang bawah tanah. Sebastian masih berada di belakang sang master dan kini ia membawa lilin untuk menerangi ruang yang lembab dan gelap tersebut.
"Dimana Sebastian?" tanya anak laki-laki bersurai kelabu itu saat ia tak menemukan apapun di ruang bawah tanah tersebut.
"Sebelah sini, bocchan." Sang butler menekan salah satu foto kusam yang terdapat di ruangan tersebut dan dinding tersebut sedikit bergetar dan sebuah pintu terlihat. Ciel ternganga karena ia sama sekali tidak tahu akan hal ini. "Ayo Sebastian." Sang bocchan sedikit berlari menuju sebuah ruang baru tersebut. Namun sang butler menarik tangannya.
"Biar saya yang masuk duluan, bocchan. Saya tidak ingin mengambil resiko apabila terjadi sesuatu kepada anda." Ujar Sebastian dan akhirnya mendapat anggukan setuju dari Ciel. Sebastian mulai berjalan memasuki ruang rahasia tersebut dan yang hanya ia lihat sebuah ruang seperti laboratorium ilmiah yang sudah tidak terpakai yang kira-kira menurut Sebastian berukuran 10 x 20 meter. Terdapat banyak debu dan sarang laba-laba. Sebastian yang tahu bahwa masternya berada di belakangnya langsung menutupi mulut Ciel dengan tangannya. Sang master memiliki penyakit asma yang bisa saja kambuh jika menghirup debu sebanyak ini.
"Bocchan, kita keluar dari sini. Saya akan membersihkan ruangan ini lalu kita bisa memeriksa kembali." Ujar sang butler dan sempat mendapat protes dari sorot iris biru Ciel saat tangan yang menurutnya besar itu mendadak membekapnya. Ciel kembali mengangguk pelan dan mereka berdua segera keluar dari ruang bawah tanah tersebut.
Xxx
Setelah mengantarkan Ciel kembali kedalam ruangannya dan membuatkan kembali teh dan juga cemilan, Sebastian kembali memasuki ruang bawah tanah tersebut. Dengan bantuan sebuah lilin yang menjadi satu-satunya penerang, iris crimsonnya menyipit tak kala ia sangat tidak menyukai betapa kotornya ruang rahasia tersebut. Ia yang kini menggunakan masker dan membawa pembersih debu bersiap menyingkirkan kotoran tersebut.
'Ruangan ini seperti berasal dari masa depan, ini aneh.' Gumam Sebastian dalam hati. Yang terpenting ia sekarang harus menyelesaikan acara bersih-bersih ini secepat mungkin.
Tak banyak waktu yang harus Sebastian habiskan untuk membuat ruangan tersebut menjadi sangat bersih. Namun kembali Sebastian dikejutkan saat ia tak sengaja menekan sebuah tombol merah dan membuat laboratorium ilmiah itu terlihat bekerja dan semua lampu yang terdapat di ruangan tersebut menyala. Pandangannya tertuju pada sebuah benda besar seperti sebuah lemari besi yang berada di tengah-tengah laboratorium yang memiliki tinggi kirakira dua meter. Ia membuka pintu benda tersebut dan tidak terisi apapun.
'Laboratorium dan benda asing, ini sungguh membuatku bertanya-tanya' batin sang butler sambil mengusap dagunya.
"Sebastian?" sebuah suara yang sangat Sebastian kenal memanggil namanya. Ia menoleh dan mendapati sang bocchan berjalan kearahnya.
"Benda apa ini?" tanya sang Earl sambil memasuki ruangan tersebut. Sebastian yang hendak mencegahnya tak bisa berbuat apa-apa dan iapun mengikuti sang bocchan.
"Saya tidak tahu, bocchan." Ujar sang raven jujur. Ia merasakan ruang tersebut cukup panas. Mereka berdua seperti berada di dalam sebuah oven yang berukuran cukup besar.
"Disini cukup panas." Gumam Ciel yang mendesah kecewa saat tak mendapati apapun didalam ruang atau kotak besar—yang berukuran tidak lebih dar meter itu. Namun saat mereka berdua tengah berada di ruang sempit tersebut, tiba-tiba pintu tertutup dan sontak membuat keduanya terkejut.
"Sebastian!" Teriak Ciel panik dan mendapat anggukan dari sang butler. Ia mencoba mendobrak pintu besi tersebut namun sia-sia. Sebastian mengerutkan keningnya karena dengan kekuatannya sebagai iblis sama sekali tidak bisa membuka pintu tersebut. Saat Sebastian masih berusaha untuk membuka pintu tersebut, Ciel Phantomhive hanya bisa meringkuk dipojokan. Ia berusaha untuk tenang namun sebenarnya ia cukup ketakutan. Akankah ia mati disini? Beberapa menit kemudian, ruang besi tersebut berguncang hebat. Sebastian mengalihkan pandangannya pada sang bocchan lalu memeluk tubuh rentan itu erat.
"Tenang bocchan, saya selalu berada bersama anda." Ujarnya pelan dan Ciel membalas pelukan tersebut.
Sebastian mengira, ia dan Ciel telah berada didalam ruang besi tersebut selama satu jam. Tak lama kemudian, guncangan dari ruang tersebut mereda dan perlahan menghilang. Sebastian memutuskan untuk kembali mendobrak pintu tersebut. Ia menggendong masternya ala bridal style, lalu dengan sekuat tenaga menendang pintu besi tersebut dan usahanya kini berhasil. Matanya kembali menyipit tak kala ia melihat laboratorium itu kembali ke bentuk asalnya, sangat kotor dan semua lampu yang tadinya menyala, kini mati. Mata crimsonnya terlihat menyala didalam kegelapan. Ia berjalan keluar dari ruang bawah tanah yang menurutnya aneh.
"Sebastian?" panggil sang Earl pelan. Ia yang tadi tertidur dalam pelukan sang butler mulai mengerjapkan matanya. Sebastian sama sekali tidak memberikan jawaban. Ia terlalu terkejut melihat maansion Phantomhive yang seperti telah ditinggal berabad abad yang lalu. Kini mereka berdua ada di ruangan sang bocchan.
"Sebastian, ada apa ini?" teriak sang Earl terkejut. Ia memaksa untuk turun dari gendongan tersebut sambil berlari menghampiri kamarnya yang sudah diselimuti oleh kain kain putih. Ciel yang nampak shock segera berlari menuju ruangan yang lain dan tak sengaja menabrak Sebastian. Sebastian yang terlihat bingung hanya mengikuti sang bocchan dari belakang.
"Meirin, Finny, Bard, jelaskan padaku apa yang tengah ter-" perkataan Ciel terhenti saat melihat ruangan yang paling luas kini hanyalah sebuah ruangan yang nampak sudah lama tak terurus.
"Rumahku, ada apa dengan rumahku?" lirihnya pelan. Sebastian segera memberikan jas hitamnya karena suhu terasa cukup dingin.
"Coba kita lihat apa yang terjadi diluar sana, bocchan." Gumam sang raven sambil berjalan untuk membuka pintu. Saat itu, angin kecang khas musim dingin berhembus menerpa wajahnya. Ciel berjalan menghampiri sang butler.
"Sebastian, bukankah seharusnya masih musim semi?" tanya sang bocchan penasaran. Sebastian mengangguk, ya seharusnya begitu.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" pertanyaan tersebut terlontar dari mulut kecil sang master dan itu juga menjadi pertanyaan sang iblis. Pandangan Sebastian menangkap adanya seseorang yang sedang menyingkirkan tebalnya salju di halaman mansion. Ia berjalan mendekati seorang lelaki itu.
"Permisi, apa anda melihat pelayan mansion ini?" tanya sang butler sopan. Iris crimson tersebut menyipit tak kala yang ia lihat adalah seorang pemuda yang terlihat mirip dengan Bard namun ia memiliki rambut berwarna merah.
"Eh? Apa yang kau maksud itu kakekku? Kakekku dulu adalah seorang pelayan mansion ini. Tentu saja ia sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu." Jawab pemuda itu dengan menatap Sebastian penasaran.
"Begitu. Boleh saya tahu ini abad keberapa?" tanya Sebastian lagi yang sepertinya mulai menemukan jawaban.
"Pffttt bercandamu sungguh keterlaluan. Tentu saja ini abad ke dua puluh. Apa kepalamu terbentur, tuan?" ejek sang kepala merah. Sebastian akhirnya menemukan jawaban. Sepertinya ia dan bocchan terlempar ke masa depan dimana mereka tidak seharusnya berada.
"Maukah anda menceritakan apa yang anda ketahui, tuan? Tentunya dengan imbalan yang impas." Tawar sang butler sambil memperlihatkan satu kantong hitam dengan isian emas murni. Pemuda itu mengambilnya lalu melihat isi dari kantong tersebut.
"Ini terlalu banyak, tapi tak apalah. Ayo ikut denganku." Ujar pemuda berambut merah itu sambil melempar begitu saja sekop yang ia pegang. Sebastian melirik pada sang bocchan dan dibalas dengan anggukan. Mereka berdua lalu mengikuti pemuda tersebut.
Tak berapa lama, mereka sampai disebuah rumah yang tidak terlalu besar,dan hanya terlihat salju disana sini. Pemuda yang belum mereka kenali itu membuka pintu rumah tersebut.
"Silahkan, maaf rumahku terlalu kecil." Ujar pemuda itu mempersilahkan mereka berdua untuk masuk. Sang Earl memasuki ruang tamu itu terlebih dahulu lalu duduk dikursi. Ia masih terlihat berpikir bagaimana ia dan Sebastian bisa berada di abad dua puluh? Tak lama kemudian, pemuda itu kembali membawakan mereka berdua teh. Dengan terpaksa Sebastian duduk disamping bocchannya. Ia menatap ruang tamu tersebut dan tak sengaja melihat sebuah lukisan yang membuat matanya menyipit.
"Apakah itu kakek anda?" tanya sang butler. Ciel ikut mengarahkan pandangannya pada lukisan tersebut, begitupula dengan pemuda itu. Pemuda tersebut terkekeh pelan.
"Ya itu adalah kakekku." Ujar pemuda itu dan membuat alis sang earl mengernyit.
"Begitu, beliau menikah dengan hmm Meirin-san?" tanya Sebastian lagi dan di jawab dengan anggukan.
"Dulu, kakekku pernah bercerita bahwa beliau pernah bekerja di mansion besar tadi. Namun semenjak pemilik beserta butlernya menghilang, lama-kelamaan perusahaan pemilik mansion itupun mengalami kebangkrutan. Banyak pengusaha yang ingin membeli mansion tersebut namun salah seorang pelayan senior terus mempertahankannya. Sampai pada akhirnya pelayan bernama Tanaka itu meninggal dunia dan tinggallah kakekku, nenekku, dan satu teman mereka. Merekapun tidak bisa terus-terusan merawat mansion tersebut karena tidak ada yang menggaji mereka. Akhirnya rumah itu di ambil oleh Kerajaan karena sang pemilik merupakan anjing penjaga Ratu. Setelah itu pemilik manor tersebut dikabarkan meninggal dan kata kakekku kematian tersebut dipalsukan. " jelas sang pemuda lalu meneguk teh hangat miliknya. Ciel yang mendengarnya cukup terkejut dibuatnya. "eh tapi ngomong-ngomong, kalian siapa ya? Apa kalian kerabat dari pemilik mansion tersebut?" tanya pemuda itu. Sebastian yang akhirnya mengerti mulai membuka suara.
"Anda betul, kami adalah cucu dari kerabat sang pemilik manor. Perkenalkan nama saya Sebastian dan disamping saya adalah Ciel. Nama yang sengaja diberikan kedua orang tuanya karena mereka sangat mengagumi Ciel Phantomhive, sang pemilik mansion. Kami meneruskan pencarian kedua orang tua kami mengenai kebenaran tentang keluarga Phantomhive dimasa lampau. Kalau berkenan, bolehkah anda memperkenalkan diri juga?" tanya Sebastian balik. Ciel yang mendengarnya hanya diam tak bersuara. Pemuda itu mengangguk.
"Ah begitu. Namaku John. Sebenarnya aku bekerja di London sebagai wartawan. Namun karena hari ini aku mengambil cuti, aku hanya mengerjakan tugas yang seharusnya aku lakukan. Ya membersihkan halaman mansion tersebut dari salju."
"Apakah informasi ini cukup, bocchan?" tanya sang butler berbisik. Ciel hanya mengangguk lemah.
"Ah ya kata kakekku, sebelum pelayan bernama Tanaka itu meninggal, ia sempat berpesan kepada kakekku untuk menyampaikan suatu kalimat jika sang pemilik manor kembali." Gumam John sambil terlihat berpikir. "Hm kalau tidak salah 'dimana anda dapat melihat semua tempat, disitulah harapan anda'."
"Dimana anda dapat melihat semua tempat, disitulah harapan anda?" ujar Sebastian mengulangi ucapan pemuda itu. Ciel terlihat berpikir keras mengartikan maksud dari pelayan Tanaka.
"Ya, semua pelayan tidak mengerti akan maksud dari Tanaka. Kakekku hanya mengiyakan saja. Sepertinya hanya itu yang aku ketahui mengenai mansion tersebut. "
"Baiklah, terimakasih atas bantuan anda tuan. Kami permisi." Ucap sang butler sambil mempersilahkan Ciel keluar terlebih dahulu dari rumah tersebut.
"Ya sama-sama." Jawab John sambil kembali memeriksa kantung berisi emas miliknya.
Xxx
Ada apa dengan Ciel? Sedaritadi ia hanya diam mendengarkan. Sebastian yang melihatnya menjadi khawatir.
"Anda tidak apa-apa, bocchan?" tanya sang butler dengan nada khawatir. Ciel yang kini memakai jas Sebastian, hanya menggelengkan pelan. Ternyata jas tersebut cukup ampuh membuatnya terhindar dari dinginya musim dingin.
"Sebastian, aku sungguh bingung." ujar sang majikan yang akhirnya buka suara dengan suara lirih. Sebastian mengangguk memahami perasaan sang bocchan.
"Saya mengerti bocchan, bagaimana jika kita menyelidiki perkataan yang diucapkan Tanaka-san. Sepertinya ia ingin menunjukan sesuatu kepada anda." Usul Sebastian.
"Ya, kita harus kembali ke manor segera."
Xxx
"Dimana anda dapat melihat semua tempat, disitulah harapan?" gumam sang bocchan sesampainya mereka di mansion Phantomhive yang sudah sangat tak terawat. Ia menoleh kearah atap karena secara logika hanya tempat itulah dimana kita bisa melihat semua tempat. Ia menoleh kepada sang butler dan mendapat anggukan.
"Bocchan, sebelumnya ada sesuatu yang saya ingin katakan." Ujar sang butler dan mendapat tatapan heran dari Ciel.
"Cepat katakan!" Ujar Ciel tegas. Sebastian menarik nafas dalam.
"Saya adalah iblis. Tidak bisa merasakan panas ataupun dingin. Namun, untuk kali ini saya kembali dapat merasakan dinginnya salju pada musim ini." Ujar Sebastian sambil membuka sarung tangannya dan terlihat tidak ada segel iblisnya lagi. Itu tandanya….
"Jadi kau sekarang adalah manusia, sepertiku?" tanya Ciel sedikit berteriak. "Dan segel iblis itu?" Ciel membuka penutup matanya dan sama, tidak ada lagi segel iblis yang terdapat pada mata kanannya. Ya ampun ada kejutan apalagi.
Sebastian mencoba untuk melakukan lompatan yang biasanya dapat ia lakukan sampai keatap mansion tersebut. Namun tampaknya benar, kekuatan iblisnya telah hilang. Ia kini hanyalah seorang manusia biasa, sama seperti Ciel. Jadi kesimpulannya, ia juga tidak bisa memakan jiwa sang bocchan.
"Sepertinya benar, saya saat ini hanya manusia biasa seperti anda, bocchan." Gumam Sebastian dengan suara lirih. Dia masih menatap punggung tangannya yang tak memiliki segel iblis. Ciel merasa tubuhnya mendadak lemas. Ia pasti akan jatuh jika tangan Sebastian tidak sigap menangkapnya.
"Anda harus beristirahat bocchan." Gumam pemuda berambut raven itu sambil menggendong Ciel ala bridal style. Ciel tidak menolak dan membiarkan saja Sebastian memperlakukannya demikian. Hanya semburat merah yang nampak menghiasi pipinya. Namun sepertinya Sebastian tidak mengetahui hal tersebut dan mereka berjalan memasuki manor. Sebastian menarik kain putih yang menutupi tempat tidur sang bocchan. Ya meskipun telah ditinggal selama bertahun-tahun, tempat tidur tersebut masih layak untuk dipakai. Dengan hati-hati Sebastian membaringkan tubuh Ciel. Sebastian menatap sekitar dan ia berniat untuk membersihkannya segera. Namun sepertinya, sang bocchan mengetahui gelagat itu.
"Tidak usah dibersihkan. Kau boleh pergi, Sebastian." Ujar Ciel dengan suara tertahan. Sebastian yang mendengarnya tentu saja membulatkan mata, terkejut dengan apa yang diucapkan Ciel.
"Kau sudah tidak punya seseorang untuk diikuti bukan? Kontrak kita hilang begitu saja dan aku sendiri belum membalaskan dendamku." Lanjut Ciel dan terdengar suara sesegukan dari mulut mungil itu. Sebastian hanya bisa diam. Ia sendiri bingung mesti berkata apa. Ciel membalikkan tubuhnya membelakangi sang raven. Ia tidak ingin mantan pelayannya itu bahwa ia sebenarnya menangisi kepergiannya. Ia tidak ingin Sebastian pergi namun apa daya. Sepertinya memang mereka harus berpisah disini. Mata Ciel tiba-tiba memandang sebuah frame yang terlihat sangat tua. Dalam frame tersebut terdapat foto ia yang tengah tertidur di ruang kerjanya dan ada Sebastian disampingnya. Foto yang memberikan tanda betapa Sebastian adalah seseorang yang sangat berharga baginya. Meskipun ia sendiri tak ingin mengakui hal tersebut.
"Anda memang benar, kontrak iblis diantara kita hilang begitu saja. Tapi tidak dengan janji saya untuk selalu bersama anda, bocchan." Ujar Sebastian sambil memegang punggung Ciel lembut. Ciel yang mendengarnya memilih diam tak bersuara.
"Saya dulu memanglah seorang iblis. Tidak bisa merasakan apa itu rasanya makanan manusia, apalagi dengan namanya kasih sayang. Namun dua tahun terakhir bersama anda, saya menyadari bahwa saya menyayangi anda, Ciel Phantomhive." Baiklah, pengakuan jujur dari sang Raven membuat jantung Ciel berdebar tak karuan. Wajahnya terasa memanas dan ia sangatlah terkejut, namun entahlah hatinya bersorak kegirangan. Dia terkekeh pelan.
"Seorang iblis bisa merasakan kasih sayang? Jangan membuatku tertawa, Sebastian." Ujar Ciel sambil menghapus air mata yang tertinggal di pipinya. Dia menoleh pada Sebastian dan mantan butlernya itu menatapnya penuh keseriusan. Namun bukanlah ucapan yang pembelaan diri yang terdengar dari mulut sang raven tersebut. Tapi Sebastian malah memberikan kecupan ringan pada bibir mungil Ciel. Sentuhan bibir yang singkat itu mampu membuat seorang Ciel Phantomhive diam tak berkutik. Setelah itu, Sebastian segera berdiri menghadap kepada Ciel yang terduduk diam di tepi ranjang. Sepertinya kecupan tersebut membawa efek yang besar bagi anak laki-laki bersurai kelabu tersebut. Sebastian langsung membungkuk dan memperlihatkan sebuah kotak. Ia membuka kotak tersebut dan terlihat sebuah cincin perak dengan berlian biru cerah, cincin yang diturunkan dari generasi ke generasi keluarga Phantomhive.
"Ijinkan saya untuk selalu menjaga anda, Ciel Phantomhive." Ujar Sebastian dengan ekpresi wajah serius. Ciel menoleh dan ia membiarkan tangannya terjulur begitu saja menerima cincin tersebut menghiasi ibu jarinya.
"Jangan pernah meninggalkanku dalam keadaan apapun, Sebastian. Ini perintah!" ucap Ciel absolute. Sebastian tersenyum mendengarnya.
"Yes, my Lord." Jawab sang raven kembali menundukan kepala. Ia meraih tangan Ciel lalu mengecup lembut punggung tangan itu penuh dengan perasaan. tanpa Sebastian ketahui, semburat merah muda kini tengah menghampiri kedua pipi Ciel dan seulas senyumanpun terpangpang jelas pada bibir mungil sang bocchan. Akankah mereka berdua yang kini sama-sama manusia biasa, bisa bertahan di abad kedua puluh—abad dimana mereka tidak seharusnya berada? Tunggu di chapter selanjutnya.
