SUMMARY :

Chanyeol pikir, menyibukkan diri dengan bertumpuk-tumpuk tugas akan membuatnya lupa akan masa lalu. Tapi tetap saja, disetiap ia melangkah, ia seolah melihat sosok itu. Seseorang yang selama ini tidak pernah jauh dari jangkauan matanya. Si pemilik payung biru di tangannya. "Kencan saja dengan payungmu, sialan!" —Luhan. BL/CHANBAEK

.

CRUSHER

['FOOLISH CRUSH'—SEQUEL]

.

Chapter 1 : Someone who own the blue-umbrella

.

Chanyeol menatap rintik hujan di luar dengan pandangan tanpa ekspresi. Kepalan tangannya menumpu dagu, kakinya bergerak seirama lagu yang terputar dari earphone yang tengah menyandungkan lagu hits minggu ini. Jam sekolah telah usai sejak sepuluh menit yang lalu, namun rata-rata murid memilih untuk menunggu hujan reda. Sebagian besar lupa membawa payung, sementara yang lain memang malas untuk pulang.

"Ya! Park Chanyeol!" Luhan menggebrak mejanya, berteriak dengan semburan liur yang nyaris mengenai wajahnya. Ia mengernyit tidak suka. Jarinya melepaskan earphone di telinga kirinya dan Luhan langsung mencercanya dengan kalimat panjang, "Kau menunggu hujannya reda kan? Jadi, pinjami aku payung itu. Aku benar-benar ingin pulang sekarang. Cacingku mengamuk karena butuh asupan dari ibu ratu di rumah!" Mata peri si pemuda tinggi melirik payung biru di lacinya, dan tanpa menjawab, ia kembali memasang earphonenya. "YAAAAAA!" Wajah Luhan memerah marah.

"Kau bisa menumpang Jongin." Masa bodoh dengan ekspresi kesal si cantik itu, ia menjawab dengan nada acuh.

"Dasar pelit!"

"Sudahlah, Lu." Jongin menarik lengannya. Menatap jengah pada sikap bar-bar Luhan. "Kau pulang bersamaku saja. Payungku cukup untuk berdua." Si pemilik wajah bak perempuan itu menggeram kesal. Dengan kaki terhentak, ia berganti menarik lengan Jongin menjauh.

"Kencan saja dengan payungmu, sialan!" teriaknya dari arah pintu sembari mengacungkan jari tengah pada Chanyeol. Yang diteriaki hanya tersenyum kecil dan kembali menikmati pemandangan di luar sana tanpa menggubris temannya. Memilih untuk memanjakan mata dengan melihat dedaunan yang basah dan menghirup aroma tanah begitu menenangkan.

"Ternyata hujan memang indah." bisiknya lirih.

e)(o—

Di jam yang sama, namun di tempat berbeda, Luhan masih saja meruntuk kesal pada kelakukan masa bodoh Chanyeol yang semakin menjadi-jadi. Jongin pun terpaksa menjadi penenang si cantik pemilik manik rusa itu.

"Sudah satu tahun berlalu, dia masih saja seperti itu. Padahal sebentar lagi ujian masuk universitas." runtuk Luhan kesal. "Seharusnya keparat itu hidup dengan baik, bukan menjadi pecundang seperti itu." Tiba-tiba bulir air mata jatuh tanpa disadari pemuda itu. Lengannya mengusap kasar lelehan liquid itu kemudian menatap Jongin sendu. "Apa Baekhyun pernah menghubungimu?" Hidungnya memerah lucu. Kalau saja Luhan itu tidak main pukul, Jongin pasti sudah memencet hidung bangir itu keras-keras saking gemasnya. Sayang, ia tak mau mengambil resiko babar belur di tangan kawannya.

"Kau saja tidak, apalagi aku." jawabnya sekenanya. Terlalu fokus pada ekspresi Luhan.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Baekhyun?"

"Coba cek e-mailmu, mungkin dia ganti nomor dan hanya bisa menghubungimu lewat e-mail."

"Sialan!" Luhan memukul kepala teman seperjuangannya dengan senyuman selebar daun kelor. Seolah lupa akan kesedihannya beberapa waktu yang lalu. "Kenapa aku tidak berpikir sampai kesana? Kau dan otak dangkalmu itu ternyata berguna juga, Jongin-ah." Sebelum mendapat protes, Luhan sudah lebih dulu berlari pulang dengan payung Jongin ditangannya. Melupakan si pemilik yang berteriak-teriak memanggil namanya.

e)(o—

Esok pagi…

"Aku berangkat—"

"Berhati-hatilah, sayang."

"Iya, bu." Chanyeol menutup pintu pagar rumahnya perlahan, merasakan hawa dingin semakin menusuk kulitnya. Pagi yang seharusnya cerah tergantikan dengan awan kelabu dan gerimis. Suasana hatinya sedang memburuk dan diperburuk dengan cuara yang menyambut. Jalanan tampak sepi dan hanya ia yang berjalan seorang diri dengan payung warna biru yang menaunginya.

Tap.

Tap.

Tap.

"Chanyeol! Ya! Chanyeol-ah! Tunggu aku!"

Langkahnya terhenti. Jantungnya berdebar kala suara-suara itu memenuhi pendengarannya.

"Chanyeol!"

Bruk.

"Aww!" Detik itu pula kepalanya menoleh—

"Yaa, Byun Baekhyun! Perhatikan langkah—" Dan ekspresi kesalnya menghilang kala tak mendapati apapun di belakangnya selain kehampaan. Daun-daun yang menguning terbawa angin, mengores pipinya dengan kasar. Menyadarkannya akan ilusi yang terbentuk beberapa detik yang lalu. Goresan yang tak menimbulkan luka, namun hati yang merasakan sakitnya. Ia tersenyum kecut dan mengeratkan pegangan pada payungnya.

Ia kembali melangkah dalam kesendirian… ditemani payung biru yang telah termakan usia.

e)(o—

"Ujian masuk universitas akan diadakan seminggu lagi. Ujian ini bukan permainan. Jika kalian gagal, kalian tidak akan bisa melanjutkan studi kalian. Bapak menyarankan kalian untuk belajar bersama di perpustakaan sekolah atau perpustakaan kota agar tidak bosan—" Bisik-bisik siswa memenuhi ruangan. Belajar bersama tidak terlalu buruk. Mereka bisa saling bertukar pikiran, bisa mengisi jeda dengan obrolan, dan melakukan hal-hal lain yang tidak bisa mereka lakukan sendiri.

"Bagaimana dengan café, pak?"

"Atau club malam?"

"Hahahaaa—"

Dug.

Dug.

Suara penghapus bergema.

"Jika niat kalian untuk belajar, café pun tidak masalah. Bar, club, dan sejenisnya? No." Dan kalimat itu mengakhiri diskusi pagi itu. "Hari ini kalian kosong, guru mengadakan rapat." Kemudian disambut riuh siswa-siswa tingkat akhir disana. "Ingat, jangan berkeliaran, kecuali ke toilet."

"Ya, pak!" Setelah sang guru keluar dari ruangan itu, Luhan segera menghampiri meja Chanyeol di dekat jendela. Pemuda itu masih dengan kebiasaannya. Duduk diam, mendengarkan lagu dan memandang ke langit yang mulai terbias rona mentari. Langit mendung berangsur menghilang dan tergantikan udara hangat. Pemuda bermata rusa itu menghela nafas, memasang wajah ceria andalannya dan menepuk pundak temannya. Hingga kedua pasang manik mereka pun bertemu.

"Hei, Yeol. Bagaimana dengan belajar bersama di De Latte? Aku, kau, dan Jongin?"

Pemuda itu mengangguk.

"Baiklah." Lagi-lagi membuang wajahnya, enggan menatap siapapun.

Hening.

Pandangan mata Luhan meredup. Entah bagaimana, ini bahkan terlihat lebih menyedihkan ketimbang kisah drama yang berakhir sad ending. Dulu, saat melihat Baekhyun, rasa bencinya terhadap Chanyeol menjadi semakin besar tiap detiknya dan ia juga sempat berpikir bahwa ia akan terus membenci pemuda itu.. Tetapi, melihat Chanyeol yang sekarang… seolah melihat Baekhyun kedua. Meskipun pemuda itu tidak pernah secara lantang mengatakan kalau ia mencintai Baekhyun, tapi setelah kepergian sahabatnya dan perubahan sikap Chanyeol, semuanya membuatnya yakin jika mereka sama-sama memendam perasaan… yang sama pula besarnya.

e)(o—

I blame on you….

Dari dulu, setiap kesalahan selalu kuletakkan padanya. Tanpa peduli apa anak itu terlibat atau tidak. Bagiku, hanya Byun Baekhyun yang selalu menjadi akar permasalahanku. Cinta pertamaku pada saat Sekolah Menengah Pertama, kandas karena Baekhyun. Acara spesialku dengan kekasih keduaku, gagal karena Baekhyun. Bahkan hingga hubungan-hubungan selanjutnya, semua berakhir karena Baekhyun selalu mendekatiku tanpa peduli jika ada kekasihku.

Anak itu sebenarnya tidak mengganggu dengan cara menggodaku, menjadi liar, atau bahkan menjadi jalang. Sungguh, Baekhyun bukan orang seperti itu. Dia menyukaiku dengan lugu dan sederhana. Dia hanya membuatku kesal dengan ucapan cerewetnya itu. Selalu berada di radius dua meter dari tempat kencanku, karena itulah mantan-mantan kekasihku jengah pada hubungan kami. Karena aku lebih banyak menghabiskan waktuku berdebat dengan Baekhyun dibandingkan memperhatikan kekasihku sendiri.

"Aku hanya khawatir kau akan memperkosa pacar-pacarmu, Yeol. Diumurmu sekarang, hormonmu sedang meledak-ledak." ucapnya kala aku bertanya. Lebih dari itu, aku tahu dia mengkhawatirkan hatinya sendiri. Ia hanya terlalu gengsi untuk mengatakannya atau mungkin… hanya berusaha menyembunyikannya dariku.

"Urusi urusanmu sendiri, sialan!" Aku akan selalu menjawab demikian.

Pergi meninggalkannya tanpa ingin berbalik hanya untuk menemukan anak itu menitikkan air mata dengan bibir yang menyunggingkan senyuman. Ekspresi yang perlahan memberikan luka yang sama padaku.

Tanpa sadar, aku mulai terbiasa akan kehadirannya yang mengganggu.

"Chanyeol-ah, kau ini selalu lupa membawa payung. Ini, pakai payungku." Ketika aku gengsi mengulurkan tanganku, dia selalu menjadi yang pertama memaksaku menurutinya. Memberikan payung warna biru di genggamanku "Tenang saja, aku selalu membawa cadangan di tasku." Ia memberi alasan. Lagi-lagi dengan senyuman lebar. Aku mengangguk percaya saja, sebelum akhirnya aku menyadari kalau dia selalu berbohong selama empat tahun ini.

Payung itu… satu-satunya miliknya. Satu-satunya yang selalu ia bawa.

Namun setiap aku ingin menolak, senyumnya selalu menghipnotisku untuk berkata 'ya'. Andai dia bertanya dengan serius apa aku mau menjadi kekasihnya… mungkin aku juga akan mengangguk dan berkata 'ya'. Walau itu terasa tidak akan pernah terjadi. Karena kutahu dia menunggu pengecut sepertiku untuk mengajaknya berkencan.

'Aku juga mencintaimu… aku menginginkanmu, Baekhyun-ah…' bahkan kalimat sesederhana itu saja terasa sangat sulit terucap.

e)(o—

Seperti yang telah dijanjikan sebelumnya, Luhan, Chanyeol, Jongin, ditambah Kyungsoo, Jongdae dan Sehun, belajar bersama di De Latte. Café yang sering Luhan kunjungi bersama Baekhyun dulu. Tidak ada maksud tertentu sih. Luhan hanya merindukan sahabatnya dan berada di tempat yang pernah mereka kunjungi, membuatnya merasa berada dekat dengan sahabatnya. Alunan musik dari girlband Red Velvet dengan lagunya Would You, membuat suasana semakin hangat. Ditempat ini, disediakan makanan ringan dari kentang goreng, ice cream, waffle, hingga pizza dan beragam jenis kopi.

"Kalian ingin memesan dulu?" Luhan bertanya, sementara yang lain tampak sibuk mengeluarkan buku-buku mereka.

"Bisakah kau memesanku chocopuccino dengan banyak krim?" Luhan memberi anggukan pada Jongdae dan disusul pesanan yang lain. Kyungsoo memutuskan untuk ikut memesan dan keduanya beranjak menuju counter makanan untuk memesan camilan dan kopi.

"Kurang siapa?" Luhan bertanya pada Kyungsoo yang memang memegang note.

"Chanyeol."

"Apa yang dipesan Chanyeol?"

"Capuccino dan…" Kyungsoo mengernyit sembari memajukan wajahnya. "Waffle strawberry?" Yang lebih tinggi tersentak dan merebut kertas ditangan Kyungsoo. "Bukan perpaduan yang bagus kan?" Kyungsoo terkekeh hambar. "Seharusnya Chanyeol memesan coklat panas atau vanilla latte." Lalu disambut tawa garing Luhan. Tanpa Kyungsoo sadari, pemuda itu berpikir keras dan tersenyum kecil setelah mendapatkan jawabannya.

Perpaduan lucu itu…

Adalah minuman favorit Chanyeol dan makanan kesukaan Baekhyun.

Ia tahu betul kalau Chanyeol bukanlah penyuka strawberry.

Luhan dan Kyungsoo kembali ke meja mereka setelah memesan. Menemukan Sehun, Jongin, dan Jongdae saling melempar canda tanpa Chanyeol di dalamnya. Berulang kali Jongdae dan lainnya mencoba memancing Chanyeol, namun pemuda itu hanya tersenyum kecil dan kembali berkutat dengan bukunya. Seolah lembaran soal-soal matematika di depannya lebih menarik ketimbang cerita mengenai celana Daeho yang sobek di bagian pantat.

Luhan menghela nafas, entah untuk keberapa kali.

Kemudian memasang senyuman lebar ketika berada diantara teman-temannya.

e)(o—

[2014] Baekhyunee : 'Jangan lupa sarapan sebelum berangkat~'

[2014] Baekhyunee : 'Selamat tidur, mimpi indah~'

[2015] Baekhyunee : 'Chanyeol-ah! Ayo pergi bersama ke game center sore ini~'

[2015] Baekhyunee : 'Bagaimana ujianmu? Kau bisa mengerjakannya 'kan?'

[2016] Baekhyunee : 'Aku tadi menyapamu. Kau tidak melihatku?'

[2016] Baekhyunee : 'Kau lebih suka strawberry atau vanilla?'

Chanyeol tersenyum kecil ketika membaca deretan chat dari Baekhyun yang selama tiga tahun ini tidak pernah ia hapus. Sejak memasuki masa SMA, ia memutuskan untuk tidak lagi memblokir nomor Baekhyun. Ia juga tidak tahu mengapa. Ia hanya merasa jika ia tak berhak melarang Baekhyun untuk menyukainya. Meskipun akal sehatnya mengatakan jika ia terlihat begitu memalukan, tapi hanya itu yang bisa ia lakukan untuk menebus semua rasa sakit hati Baekhyun selama masa SMP mereka dulu.

Meskipun berulang kali ia berkata kasar atau bersikap risih, sebenarnya ia hanya berbohong. Gengsilah yang membuatnya harus berbohong. Selama ini, ia baik-baik saja. Bahkan terbiasa melihat Baekhyun di sekitarnya. Justru terasa aneh jika anak itu tidak berada di radius semeter saja darinya. Melihat senyum dan tingkah konyol Baekhyun, jujur saja membuatnya terhibur.

"Dasar bodoh." Ia tersenyum menatap foto Baekhyun di ponselnya. Si bodoh yang suka membajak ponselnya. Puluhan foto selca Baekhyun yang dibidik anak itu sendiri menggunakan ponsel miliknya. Jemarinya mengusap pelan layaknya gambar sederhana itu adalah permata paling berharga. "Kau sibuk membuat orang lain tersenyum, sementara kau sendiri?" Mata perinya lalu beralih pada payung biru di atas meja belajarnya. Sendu, penuh emosi dan perasaan yang ia pendam selama setahun ini.

"Ya!" teriaknya jenaka. Bibir kissablenya menyandungkan kekehan kecil sebelum tangan besarnya menepuk-nepuk payung tersebut. "Kapan pemilikmu akan kembali, hm?" Tawanya luntur perlahan, tergantikan dengan senyuman kecut. "Setidaknya biarkan aku meminta maaf padanya…"

e)(o—

Luhan menatap layar laptopnya dengan pandangan penuh arti. Berulang kali ia menggumamkan doa absurd demi kelancaran internetnya malam ini. Setelah ia pulang dari kegiatan belajar bersama, ia memutuskan untuk mengecek e-mailnya seperti saran Jongin kemarin. Bagaimana pun terasa aneh jika Baekhyun tidak mengabarinya sama sekali. Mereka itu sudah seperti saudara kembar yang tak terpisah, oke.

"Aku mohon Baek…." Tangannya saling bertautan, matanya memandang was-was pada layar laptopnya yang masih menampilkan halaman loading. "Please… please…." Memang kebodohannya juga. Kenapa ia tak berpikir jika Baekhyun pasti ganti nomor ponsel karena anak itu berada di luar negeri. Tapi… jika dipikir kembali… bukankah harusnya Baekhyun menghubunginya duluan?

Jemarinya langsung men-scroll inbox di dalam e-mail perlahan-lahan. Mata rusanya memicing demi melihat nama-nama pemilik e-mail. Sial sekali ia selalu menggunakan e-mailnya untuk akun-akun SNSnya sehingga banyak sekali notifikasi di dalam e-mailnya. Belum lagi game-game online yang sering ia mainkan.

"Shit! Game sialan!"

Ia sudah men-scroll keatas dan kebawah, ke email-email yang masuk beberapa bulan terakhir, namun nihil. Merasa pegal, ia menegakkan punggungnya. Merilekskan tangan dan mata yang tak berhenti bekerja sejak tadi. Ia melirik jam dinding dan menganga ketika melihat jarum pendek menunjuk angka 12. Ia melakukan ini sampai satu jam? Keren. Mana pernah ia berlama-lama di depan laptop selain bermain game.

"Dia baik-baik saja kan?" tanyanya entah pada siapa.

"Baekhyun mengalami gejala awal leukimia dan mengalami pingsan tadi malam."—sekelebat ingatan tentang ucapan wali kelasnya dulu sedikitnya membuat Luhan gundah. Pikiran-pikiran negatif mulai memasuki otaknya. Leukimia memang penyakit yang sangat berbahaya, tapi Baekhyun masih dalam tahap gejala. Bisa jadi kalau leukimia itu tidak benar-benar menjangkit temannya kan? Atau… leukimia itu ternyata sudah stadium dua atau tiga? Atau… mungkinkah Baekhyun sudah….

"Omong kosong apa itu." Refleks ia memukul kepalanya. "Jangan berpikir macam-macam, Luhan. Baekhyun pasti baik-baik saja. Ia hanya lupa tidak menghubungimu!" Sekali lagi ia membuang nafas dan kembali berselancar di depan laptopnya. Ingin sekali ia mengamuk lantaran tak mendapatkan apapun. Merasa nihil dan percuma. "Coba pikir, idiot! Jika kau tidak menemukannya di inbox, berarti… ah!"

Cepat-cepat jemarinya mengklik pesan spam. Men-scroll ke bawah secara perlahan. Ia berhenti ketika menemukan sesuatu. Dikirim sekitar dua bulan yang lalu. Dengan jantung yang berdebar, ia mendekatkan matanya, meyakinkan dirinya jika ia tidak salah baca lagi—

"AAAAAAAAAAAAA!" —kemudian menjerit ketika menemukan alamat e-mail asing dengan subjek 'Hai Luhan, ini Baekhyun'.

"LUHAN, TIDUR!" disusul teriakan wanita paruh baya dari kamar bawah.

e)(o—

Detik jam dinding memecah keheningan. Desir angin malam membelai gorden di samping meja belajar. Berayun sesuai hembusan. Chanyeol, dengan kacamata bertengger di hidungnya, tengah mengerjakan soal-soal latihan matematika dan biologi. Ia tampak fokus, tak terusik bahkan oleh suara-suara serangga malam. Ketukan terdengar dari luar, tiga kali, kemudian menampilkan sosok wanita paruh baya yang setelahnya tersenyum lembut. Dengan langkah ringan dan segelas susu vanilla di tangannya, wanita itu menghampiri. Mengusap rambut anaknya dan menatap sedih tanpa disadari Chanyeol.

Entah apa yang membuat Chanyeol berbeda. Ia hanya berharap anaknya kembali menjadi pribadi yang cerah. Bukan seseorang yang menghabiskan bermenit-menit hanya untuk menatap lembaran buku hingga mimisan beberapa kali karena seringnya begadang.

"Istirahatlah, Chanyeol."

"Sebentar, bu. Aku hampir menyelesaikannya."

"Dan memulai dengan soal lain?" Chanyeol menghentikan gerakan tangannya. "Ibu tidak peduli seberapa berprestasinya dirimu, sayang. Ibu hanya ingin kau selalu sehat dan selalu berada di sisi ibu." Usapan lembut ia rasakan dirambutnya. Jemari rapuh ibunya menyisirnya dengan penuh kehangatan dan cinta. "Jangan terlalu memaksakan diri. Tubuhmu bahkan menghianatimu." Ibunya melirik lembaran tisue di bawah kakinya. Dengan darah mengering di setiap ujungnya. Ia meringis merasa bersalah.

"Maaf, bu."

"Jja! Sekarang tidurlah. Sudah hampir jam 2 pagi." Tepukan berulang kali, akhirnya membuat Chanyeol bergerak untuk membereskan buku-bukunya. Sedikitnya ia merasa bersalah karena ibunya ikut terjaga karenanya. Layaknya anak kecil, sang ibu membimbingnya untuk tidur diatas ranjangnya dan kemudian mematikan lampu di atas nakas sebelum berucap selamat malam dan keluar.

Ketika pintu telah tertutup rapat, ia beranjak kembali ke tempat belajarnya. Membuka salah satu laci di samping dan mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna biru. Ia tersenyum kecil dan membawa payung tersebut sebagai teman tidurnya.

"Selamat tidur, Baek…"

.

"To Be Continued—"

.

OGP :

Well, hello. It's your gift. Sekuel ini aku buat karena rasa terima kasihku untuk temen-temen yang suka ama Foolish Crush —sampe dapet 300+ reviews. Padahal cuma 2 chap dan pendek2. Aku minta maaf karena sempet cantumin genre 'fluff' di Foolish Crush, mianh karena aku lupa kalau fluff harus hepi end Sori lagi, disini galau gini. Aku usahain tetep ada kekonyolannya di chap-chap biar gak terlalu kaku. Hehe.

Salam Tsadesst!