ANDROGINI GIRLFRIEND
.
Min Yoongi x Park Jimin
Park JImin x Min Yoongi
.
19 page; words 6,280
PG-17
Romance-Drama
Alternative universe
.
Warn! for genderswitch chara. Boy x boys scene –Lime content. Lil bit mild language-Long-one-shoot. Lot of typo's. OOC. Plot twist – .
Disclaimer: Tuhan YME; Big Hit Ent, mamak dan bapakenya Jiminten dan Agus beserta kawanananya. Semua tokoh bukan milik saya. pinjam nama saja, yha. Kalo ceritanya; plot alur dan idenya –ofc, mine. Plagiator ataupun yang curi-curi ide ini, seterah ajadah. Yang ngehukumkan bukan aing, ntar yang Maha Kuasa aja yang ngehukum key. Muehehe. –tapi gua tetep merhatiin loh plagiator. Hai. Nengok dong.
.
.
ANDROGINI GIRLFRINED
.
.
Jimin berjalan dengan riang dari dalam ruang kelasnya menuju kantin. Senyuman manisnya tak pernah luput dari wajahnya yang terbilang cute untuk ukuran seorang laki-laki dengan tubuh berbentuk lengkap dengan enam kotak dewa diperutnya dan lengan yang berotot. Rambutnya dicat berwarna oranye segar, menambah kesan muda diwajahnya layaknya anak kisaran 15 tahun yang nyatanya ia sudah menginjak usia ke-22.
Senyuamnnya semakin besar kala matanya menemukan sosok manusia paling ia puja seumur hidupnya –tidak, selama ia menginjakan kakinya didunia perkuliahan. Jimin melambaikan tanganya, langkah berubah menjadi sebuah larian kecil yang mengguncang rambutnya hingga sedikit tersapu angin saking lembutnya.
"Taehyung-ie!" Jimin menyeru sambil kakinya melangkah semakin dekat. "Kenapa kau pesan makanan lebih dulu? Tidak ingin makan bersama?" ia bertanya dengan ekspresi sedih dibuat-buat, pantatnya yang terbalut celana jeans belel yang modis ia dudukan diatas kursi kantin yang berwarna putih. "Enak tidak?" tanyanya lagi.
Lelaki yang rambutnya acakadut dengan sedikit warna pudar dari ungu didepannya hanya terus mengunyah tanpa ada niatan ingin menjawab pertanyaan dari Jimin. Alih-alih ia malah menyuapkan lebih banyak burritos kedalam mulutnya yang sudah penuh dan berlaku seperti Jimin transparan, tak kelihatan –dia itu Taehyung –lelaki super urakan tapi bangsatnya ia itu tampan. Begitulah opini Jimin sejak pertama kali ia berkenalan dengan Taehyung beberapa tahun lalu didepan kampus.
"Kebiasaan." Jimin menendang tulang kering Taehyung main-main, namun lelaki didepannya itu mengaduh sakit sampai beberapa makanan dimulutnya keluar dan berceceran diatas meja. Jimin lebih dulu berlari kearah kedai kantin guna menyelamatkan diri dari amukan singa bernama Kim Taehyung yang tampan dan gila –setidaknya lelaki itu memiliki sensualitas yang tinggi –Jimin mengakuinya, sungguh.
"Sialan kau, Park Jimin!" makinya dengan kesal, mulutnya yang masih penuh dengan makanan membuatnya semakin berceceran kemeja dan sedikit darinya jatuh kebawah. "Awas kau!" ia mengacungkan jari tengahnya kearah Jimin yang terbahak dikedai kantin. Lalu melanjutkan acara makannya dengan umpatan yang ia tujukan pada Jimin.
.
"Bagaimana dengan dosen baru itu? Oke?" Jimin bertanya ditengah perjalanan mereka menuju kelas kedua mereka yang ternyata sama. Taehyung menguap, lalu menjawabnya dengan energy yang meluap akibat mengantuk. "Biasa. Membosankan. Ia mendongeng dan aku tertidur lalu aku dikeluarkan dari kelasnya dan aku tidur diatas atap. Ulangi saja setiap dia ada dijadwalku." Taehyung menggaruk rambutnya asal, lalu merogoh saku celananya untuk mengambil sebatang permen untuk ia makan selama jam pelajaran ini.
Jimin menyikut lenganya, "Jangan begitu, Tae. Bagaimana bisa kau melakukan itu tapi kau selalu mendapat hasil yang gemilang? Kau memang bajingan sial, man." Taehyung tertawa sekilas lalu merangkul Jimin, "Kau tahu tidak? Aku melakukannya sambil tertidur, itu artinya, itu adalah keberuntungan seorang yang tampan dan itu artinya, kau butuh menjadi seperti aku jika kau inginkan hal instan yang mudah." Taehyung menarik senyuman dibibirnya lalu menggasak rambut Jimin hingga lelaki bertubuh yang lebih mungil darinya itu sedikit salah tingkah.
"Tae –"
"Tae-Hyung!"
Mereka berdua menolehkan kepalanya kebelakang, menemukan sesosok pemuda dengan balutan cardigan hitam yang dalamnya dilapisi sebuah kaus v neck putih bergaris tipis. Ia tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya dan dua gigi depanya yang besar seperti kelinci yang lucu.
Taehyung melepaskan kaitan tanganya pada pundak Jimin dan menghampiri seseorang itu dengan sedikit langkah yang dua kali lebih cepat lalu memeluk orang itu. Jimin tersentak kaget, matanya membola, dan bibirnya menganga saking kagetnya.
"Oh, aku lupa." Kata Taehyung. Ia membawa Jimin mendekat kearah orang tadi, kemudian membawa tangan Jimin menuju tangan orang itu dengan lembut. "Nah, silahkan berkenalan."
Jimin menelan rasa risaunya, lalu mencoba tersenyum dan menjabat tangan orang itu dengan riang, "Park Jimin, anak Management, semester 3. Salam kenal." Jimin menatap wajah pemuda itu dengan seksama. Kulitnya putih bersih, sedikit chubby dan sepertinya pipinya kalah chubby dari lelaki didepannya ini –termasuk soal tinggi badanya. Bibirnya murni merah muda, matanya berkilau seperti intan permata dan aromanya begitu menguar manis. Jimin rasa lelaki ini ada apa-apa dengan Taehyungnya.
"Jeon Jeongguk, kelas 3 highschool, jurusan musik. Salam kenal, Jimin-hyung?" ia tersenyum lucu, gigi kelincinya mencuat keluar kala ia menarik senyumnya semakin lebar. Matanya membentuk sabit yang cantik, matanya bahkan memancarkan cahaya magis yang membuatnya iri –hanya perasaan Jimin saja.
Taehyung melepaskan tautan tangan Jimin dari Jeongguk, lalu menautkan jari mereka dan memamerkannya pada Jimin dengan terang-terangan. Lengkap dengan senyuman bahagia seakan dunia merestui hubungan mereka ditengah mereka yang hidup berpasangan sesuai takdir. "Dia pacarku –cantik bukan? Jangan menganga begitu, kau iri 'kan? Aku tahu, cepat carilah pacar, Jimin." Ia tertawa renyah, sungguh berubah dari Taehyung urakan yang malas bicara.
Jimin tertawa canggung, lalu menggasak rambut belakangnya dengan gerakan yang pura-pura, "Ya tentu saja aku akan cari! Jangan pamer begitu, dong! Dasar, mentang-mentang punya pacar kau jadi seenaknya menyindirku secara halus? Bajingan. Yasudah, kelihatannya kau akan bolos bersamanya, jadi aku masuk dulu, Profesor pasti sudah ada didalam. Bye." Jimin melambai sambil berjalan membelakangi mereka dan menghilang usai membelokan arah didepan.
Taehyung memalingkan wajahnya dari punggung Jimin menuju wajah Jeongguk yang kelihatan begitu menyilaukan bagi dua bola matanya. Ia menyampirkan lenganya pada bahu Jeongguk kemudian mengajaknya menjauh darisana untuk membuat waktu berduaan saja. tanpa percakapan apapun lagi, mereka sudah benar-benar menghilang dari area kampus dan terlihat dijalan depan kampusnya dengan kendaraan roda dua Taehyung dengan Jeongguk dikursi penumpang –menempel erat diperut Taehyung dan dagu yang menempel dipundak lelaki itu.
Jimin mengeratkan kepalan tanganya. Matanya panas dan dadanya sesak. Ia tidak pernah merasakan sakit hati yang sampai seperti ini, tidak pernah sama sekali. "Jadi itu pacarnya?" katanya dengan pilu. Tanganya naik kedepan wajahnya yang memerah karena menangis. Ia mengusap wajahnya kasar, menggasak air matanya agar hilang. "Aku tidak punya kesempatan lagi."
Lalu ia meringkuk dikamar mandi sampai jam dinding menunjukan pukul empat sore dari pukul setengah dua siang. Dia meringkuk disana untuk merenung dan menangis. Membolos jam pelajaran Profesor kesukaannya demi menghilangkan perasaan sakit hati karena lelaki incarannya –Taehyung –memamerkan pacarnya –Jeongguk –didepan matanya tanpa basa-basi.
Itu sakit.
Dan Jimin berjanji pada dirinya untuk tidak mengulanginya.
.
.
Tapi sepertinya itu hanyalah janji bualan yang anak labil ucapkan dikala mereka dibawah tekanan dan galau. Buktinya kali ini Jimin menjalin hubungan dengan senior yang terkenal karena kemahirannya mengolah si kulit bundar dilapangan. Namanya Jung Hoseok, dia gemar menamai dirinya dengan 'Hope' karena ia menganggap dirinya membawa harapan dan terus berharap –ada makna dibalik maksud yang satu ini.
Awalnya hubungan mereka berjalan bagus. Banyak yang iri karena keduanya terlihat serasi. Jimin yang tampak charming dan Hoseok yang terlihat begitu charismatic ditengah keringatnya usai latihan sepak bola dilapangan dan Jimin dengan cekatan memberikannya handuk dan botol air mineral padanya kemudian lelaki yang lebih tua darinya itu akan mengecup dahinya sayang dan melanjutkan kegiatanya sampai petang hari meninggi dengan oranyenya.
Begitu saja. setiap hari, setiap minggu dan itu semua berakhir ketika Hoseok menelpon Jimin malam hari diminggu mereka yang keempat. Hoseok berbicara pukul delapan malam lewat sambungan telepon pintarnya, meminta bertemu disebuah taman kota yang berada ditengah-tengah rumah mereka. Awalnya Jimin menolak karena sudah malam, tapi ia berubah dan menerimanya karena ia fikir, kapan lagi bisa bertemu dengan kekasihnya selain dilapangan bola? Jadi Jimin mengenakan jaketnya dan pergi keluar untuk menemui Hoseok ditaman pusat.
Awalnya Jimin senang, namun melihat raut Hoseok yang berbeda, ia jadi merasakan hal tidak bagus akan terjadi sekarang juga.
"Mantanku, dia meneleponku kemarin malam."
Jimin menautkan alisnya bingung, dadanya bergemuruh ricuh karena risau, "Lalu kenapa?"
Hoseok menggigit bibirnya, lalu memasukan tanganya kedalam saku hoodie kelabunya yang bergambar tengkorak tersebut dengan gerakan yang menurut Jimin patut dicurigai. Entah kenapa. "Kau tahu kenapa aku senang mengumbar tentang nama lainku yang 'Hope' itu?"
Jimin menggeleng.
"Itu karena aku selalu berharap."
Perasaan Jimin mulai tidak enak. Jangan-jangan –
"Mantanku, aku berharap dia kembali padaku dan, yah. Dia kembali sekarang."
Hancur sudah.
"Jadi aku ingin berbicara serius padamu tentang hal ini. Aku tahu itu sejak awal, tentang perasaanku padamu hanya sebatas ini, rasa sayang tanpa judul cinta –maaf soal itu karena perasaan itu tidak bisa berbohong, ya jad –"
"Jadi kau ingin kita putus?"
"Iye?"
Jimin menocba tersenyum sok tegar, "Ya aku bisa merasakannya. Lakukan saja, lagipula kita sama. Perasaan itu, bukan cinta. Jadi, bisa kita mulai berhenti mengenal satu sama lain?" Jimin berkata tanpa memandang wajah Hoseok lalu detik berikutnya dia membalikan tubuhnya dan meninggalkan Hoseok dengan segumpal penyesalan dipundaknya.
Menyaksikan kepergian Jimin yang bahunya berguncang dengan hebat.
Tentu saja Jimin menangis. Siapa bilang hubungan yang sudah berjalan hampir sebulan tidak menggunakan hati? Siapa juga yang bilang jika ia tidak menyukai Hoseok? Mungkin dirinya sendiri. Bisa saja ia memaksa Hoseok untuk tinggal, tapi ia tidak suka cara itu jadi ia membiarkannya saja dan melepas semuanya.
Karena Jimin tahu, semua yang dipaksakan itu tidak akan berhasil dengan bagus.
.
.
.
Jimin semakin merubah pribadiannya yang ceria menjadi pemurung ulung. Wajahnya tergambar berawan-awan mendung yang bergumul diatas kepalanya, auranya begitu kelabu sampai terasa setiap saat Jimin bisa saja menumpahkan air matanya tanpa menunggu sebuah kejadian menyedihkan terjadi.
Ia menopang dagunya diatas meja kantin hari itu. Ditemani segelas lemonade, ia mencoba untuk merubah semuanya. Termasuk orientasinya untuk membantunya bangkit dan mendapatkan semuanya seperti sebelum-sebelumnya. Popularitasnya dikampus turun karena hubunganya dengan Hoseok kandas dan digosipkan jika Hoseok membuangnya karena bosan –sialan bukan? Padahal itu karena kesalah situasian –entahlah, bisa jadi begitu. Mantannya yang datang dan sesuatu yang baru buat Hoseok –Jimin –ia tukar dengan masa lalunya. Sial.
Jadi ia bertekad untuk bangkit dan berusaha pamer pada dua manusia yang membuatnya menangis akhir-akhir ini –tentu saja Taehyung dan Hoseok –lalu ia akan menertawakan mereka kala dua orang itu mencoba meraihnya dari bawah.
Ia bertekad, mencari teman kencan berupa gadis cantik atau lelaki manis nan mengemaskan atau bisa jadi semacam primadona kampus untuk dijadikannya kekasih atau sekedar teman satu malam. Jimin bisa melakukannya, tentu saja. badanya atletis, bukan? Ingat, Jimin punya enam kotak dewa diperutnya dan sepasang lengan berotot yang kuat.
Maka hari itu, Jimin melangkahkan kakinya menuju gerombolan gadis berpakaian modis dan mencoba peruntungan disana. menggoda mereka dan mencomot satu dari mereka untuk dijadikan bahan permainan atau sungguhan serius dengan salah satu dari mereka.
"Hai, ladies?"
Mereka memperhatikan Jimin dengan senyum merekah mereka yang redup, salah seorang dari mereka menyahuti, "Park Jimin?" tanyanya dengan wajah cerah. Jimin mengangguk, lalu menyandarkan pundaknya pada sebuah pilar tinggi disebelahnya, "Yup. Itu aku." akunya dengan percaya diri. "Namamu?"
"Oh, aku Nara –Hong Nara. Aku satu semester dibawahmu, senang berkenalan denganmu." Ia tersenyum, begitupun Jimin. "Ada waktu malam nanti?" Jimin bertanya, sedikit merendahkan suaranya dari yang biasa.
Gadis itu menarik senyumanya, melipat tangannya lalu menatap Jimin dengan sorotan yang berbeda dari yang tadi –lebih, menantang? Mengejek? Entah. "Kufikir, jadwalku penuh. Maaf, aku rasanya tidak bisa terlalu lama bersitatap denganmu. Kau tahu kenapa?" Jimin mengerutkan alisnya, menegakan tubuhnya dan terus menatap gadis didepanya itu dengan sedikit perasaan tak terima –masa ditolak? Lalu ia memasukan kedua tangannya kedalam saku dan menanti jawaban si gadis dengan was-was.
"Karena kau tidak macho –kau bahkan kalah dengan Hoseok yang pecicilan itu, maksudku, bukankah kau lebih atletis darinya? Kenapa pula kau yang jadi bottomnya?" gadis itu berbicara santai, tapi Jimin menangkapnya sebagai hinaan yang sungguh membuatnya mendidih. "Tidak perlu marah, itu adalah fakta. Aku sungguh tidak ingin bermalam denganmu, sudah pasti milikmu itu kecil. Hoho, duh, bicaraku mulai kotor. Sudah ya, sampai nanti." Lalu gadis itu melenggang pergi meninggalkan Jimin dengan serpihan perasaan sebalnya yang sudah nyaris meledak jika tidak ingat kodrat dan situasi.
"Sialan." Jadi ia memutuskan untuk mengumpat saja lalu memutar arahnya menuju taman kampus dan memilih untuk berdiam diri sejenak dengan santai ditemani beberapa tanaman harum disana. relaksasi.
.
Jimin membuka kelopak matanya kala suara ribut yang tak jauh darinya semakin ramai terdengar. Pekikan melengking para gadis lebih tepatnya dan Jimin sungguhan benci suara pekikan macam betina seperti itu –mengganggu katanya.
Ia ingin tidur kembali, namun suara itu terlalu besar dan terlalu berisik pula untuk kembali merangkai mimpi indahnya bersama Harry Styles atau mungkin juga dengan Ariana Grande? Keduanya juga boleh. Jimin bangkit, menggaruk rambutnya sementara matanya melirik sekitar, mencari sumber bising yang mengganggu tidurnya dan –gotcha. Ketemu.
"Apa-apaan kerumunan itu?" ia bergumam, lalu menguap. Menyambar tasnya lalu berjalan mendekat –tidak terlalu dekat, hanya naik kesebuah kursi taman lalu melihatnya darisana. Ia menggangguk paham, lalu mencibir, "Hanya karena seorang lelaki kurus ceking itu saja mereka berteriak –tidakah mereka harusnya memekik fangirl ketika melihatku topless?" ia mendengus lalu turun dan berjalan melewati gerombolan itu cuek bebek. Sedikit mendelik kesal karena kalah pamor.
Sepasang mata sipit memperhatikan gerakannya sampai Jimin menghilang dibalik persimpangan lorong. Ia menarik senyuman dinginya lalu menyampirkan jaketnya kepundak dan menyeret tasnya sambil berjalan menyusuri kampus tanpa memperdulikan teriakan dan puja-puji dari sekian banyak gadis dan lelaki manis yang mengerubungi sedari tadi ia datang dan duduk santai di tangga.
Ia berjalan memutar dari arah jimin, namun ketika kakinya menginjak lantai sebuah ruangan, ia melihat Jimin. Kebetulan, batinya menyeringai. Ia berjalan santai, menghampiri Jimin dengan wajahnya yang berlipat-lipat badmood. Jelas sekali ia marah karena apa. Tanpa ditanya jawabannya sudah tertera didahinya yang tersibak karena poninya terbang oleh angin.
"Yo." Sapanya.
Jimin mendelik, melengos tanpa niat menjawab sapaannya. Seseorang itu menyisir rambutnya dengan jari-jemarinya yang kurus dan panjang, lalu ikut mendudukan diri dikursi kosong sebelah Jimin dan mulai mengajaknya bicara lagi. Menarik juga bertemu satu jenis yang seperti ini, ia bersuara dalam hati. "Kau mengibarkan bendera perang transparan diantara kita, man?"
"Kenapa memangnya? Seharusnya kau itu mengikuti ospek, kenapa kau malah disini dan penuh penggemar, eh?"
Orang itu menyeringai, menampakan senyuman nakalnya kemudian mengedip kearah jimin sembari menyisir helai putihnya kebelakang dengan jari, "Tentu saja karena aku mempesona." Ia mengedipkan sebelah matanya pada Jimin, lalu meninggalkan lelaki itu dengan segenap perasaan dengki didadanya yang terlihat kembang-kempis.
Orang itu hanya terkekeh kecil.
"Ternyata dia itu kurang peka." Komentarnya sambil terus berjalan keren dilorong, beberapa kali melambaikan tangan ketika bertemu satu-dua yang lumayan untuk dikecengi. Ia sempat menoleh lagi kebelakang, kemudian mendapat pelototan sinis Jimin yang terus menghantuinya.
Ia tidak takut.
Sama sekali.
Malah, ia seharusnya berterima kasih. Karena, sebegitu mudahnya membuat Jimin tersulut emosi.
.
.
Semakin hari, rasa sebalnya pada orang itu semakin bertambah.
Ketika Jimin melangkahkan kakinya menuju manapun, pasti disitu ada orang itu. Berbincang ringan dengan beberapa orang gadis, bercanda gurau dan kadang sedikit mesra dengan beberapa selfie bersama dengan jarak yang begitu dekat. Jimin sebal, ia malas melihatnya selalu ada disudut-sudut kampus –termasuk kamar mandi.
Tidak untuk buang air atau hajat –hanya menyandari didinding masuk kemudian bergaya sok keren dan sesekali menebar pesona pada beberapa penggemarnya atau sekedar gadis cantik yang semok atau sebagian lagi lelaki manis menggemaskan semacam Jimin namun lebih akut dan parah imutnya. Eluan pada orang itu semakin hari semakin menggunung dan begitupula rasa bencinya pada orang itu.
Dia sekarang berada dikamar mandi, syukur manusia itu tidak disini untuk nongkrong selayaknya di cafeteria. Jimin menurunkan resletingnya, bersiap melepaskan urinya dipispot sembari menguping pembicaran dua orang dibelakangnya.
"Kau tahu? Kurasa kita punya pangeran baru." Kata seseoang yang mengenakan pakaian kaus berwarna merah. "Kurasa dia cocok menyandang gelar itu, wajahnya mendukung dan fansnya banyak." Tambahnya lagi. Teman disebelahnya menggumam setuju, "Tapi tidakah dia terlalu kurus untuk ukuran lelaki tampang preman urakan itu? Swager mungkin?"
"Bisa jadi –dan oh, kau harus tahu! Park Jimin –"
Jimin memasang kuping jelas-jelas, " –dikabarkan dia tertarik pada Yoongi, loh!" kata si baju merah sambil sedikit terkekeh, "Kukira dia masih patah hati soal hubunganya yang kandas bersama Hoseok, rupaynya sudah bangkit dan mengincar Yoongi."
Oh, jadi namanya Yoongi, si orang songong itu.
"Kufikir dia hanya ingin namanya naik lagi saja, klasik –pacaran demi ikutan naik pamor." Sebelahnya nyeletuk sambil menekan tombol air dipispotnya lalu merapihkan sabuknya, "Benar tidak?" teman berbaju merahnya hanya mengedikan bahu, "Mana tahu aku." Katanya cuek lalu ikut menekan tombol ari.
Sebelum dua orang itu keluar, Jimin beranjak lebih dulu dan kakinya mengarah menuju Yoongi –si songong itu –dan bertekad menumpahkan semua perasaan bencinya sekarang juga. Kalau perlu, berkelahi juga tidak masalah. Toh dilihat dari postur tubuh mereka berdua, sudah bisa dilihat siapa pemenangnya –tentu saja Jimin. Si Yoongi itu 'kan krempeng dan Jimin atletis.
Ia menyeringai, kakinya melangkah maju mencari keberadaan Yoongi dengan genderang perang yang bergemuruh didadanya. "Bukan ide yang buruk."
.
.
Ya, dia bernama Yoongi. Orang yang begitu Jimin benci dalam sekali lihat saja.
Gayanya mirip dengan preman. Sedikit lebih rapih dari gaya berpakainya si Taehyung. Warna rambutnya hijau mint yang pudar, nyaris putih. Wajahnya yang seputih salju terkesan dingin karena rautnya yang selalu lempeng –meskipun terkadang tersenyum, namun lumayan pelit untuk berbagi. Paling-paling, ia hanya menarik sudutnya sedikit lalu melambaikan tangan atau sekedar menganggukan kepalanya atau bahkan menaikan alisnya saja –dan parahnya para penggemar Yoongi langsung meleleh dengan sikapnya yang begitu. Tipikal Yoongi memang. Dingin tapi mempesona. Dan jangan lupkaan dua pasang mata runcingnya yang selalu menatap bosan orang dan selalu terlihat galak. –menurut Jimin sorot matanya itu terlihat mengejeknya. Jadi Jimin tidak menyukainya. Positif.
Sosok dingin yang memikat dan sulit dilepaskan dari pandangan. Orang itu selalu senang nongkrong ditangga manapun –entah tangga ingin naik kelantai atas atau tangga tribun ataumanapun. Yang penting tangga. Entah itu outdoor ataupun indoor.
Ia selalu senang mengemut permen gagang, mengunyah permen karet dan terkadang, hanya kadang-kadang saja, orang itu akan mengunyah beberapa potongan ritter sport ataupun menyeruput minuman kaleng berupa soda ataupun sekedar rootbeer, jarang sekali. Lebih dominan mengemut permen batangan.
Ia sedang duduk seperti biasanya –menyandarkan punggungnya ditembok sambil kakinya menyampir santai dianak tangga dan mengkalim jika tangga ini sekarang adalah kuasanya. Beberapa anak ada yang memutar arah dan memilih menaiki tangga lain untuk naik kelantai atas lantaran Yoongi tengah menguasai tangga tersebut.
Matanya mengerjab beberapa kali, pikiranya melayang kembali kesaat ia bertemu dengan Jimin. Bibirnya membuat simpul tipis, ekspresi dan perlakuan yang Jimin berikan padanya sedikit membuatnya bersemangat datang kekampus –selain untuk tidur dan jajan, kini Yoongi punya aktifitas lain dikampus; membuat Jimin marah dan mungkin, sedikit atau banyak membuat laki-laki itu mencak-mencak kesal karena mengganggunya tiap hari seperti mimpi buruk dimalam hari.
Yoongi mengeluarkan permennya dari mulut dan memegangnya dengan jari, mengayun-ayunkan permen itu diudara bebas. "Jimin, ya?" ia bergumam, "Sepertinya rasa bencinya padaku mudah sekali meledak. Bahkan dalam sekali lihat dia sudah membenciku –sebegitu tampankah aku?" ia tertawa kecil, matanya yang tajam bagai sorot serigala menyipit sabit dengan lucunya. Yoongi hendak memejamkan matanya, permen ditanganya sudah kembali masuk kedalam mulutnya dan menggelembung disebelah kiri pipinya yang putih. Namun derap langkah tergesa-gesa membuatnya kembali membuka kelopaknya didetik yang sama.
Yoongi tersenyum tipis –sangat tipis, alih-alih ia memasang wajah malas dan bersuara, "Mau apa kemari? Kangen padaku, eh?" matanya memejam lagi, tapi ia tidak tidur. Jimin maju kearah Yoongi dengan langkah cepat, lalu tanganya menarik kerah ham kotak-kota berwarna gradasi cokelatnya dengan kasar. Yoongi membuka matanya, wajahnya dengan Jimin begitu dekat sampai deru nafas panas Jimin yang berhembus berat menerpa kulit wajahnya yang dingin.
"Ayo berkelahi, Yoongi." Katanya penuh benci. Yoongi menyeringai, "Jadi kau sudah tahu namaku? Penasaran juga ternyata." Jimin mendecih, "Kaufikir namamu penting, hah?"
Yoongi mendorong tubuh Jimin menjauh dengan mudah, semudah mendorong pintu dari plastik. Ia memandang Jimin yang menatapnya penuh benci dengan sorotan bak serigala siap melahap mangsanya bulat-bulat. Ia berhenti didepan Jimin, bibirnya yang tipis berwarna merah muda pucat itu tersenyum meremeh, "Kau ingin berkelahi denganku? Tidak malu?" Yoongi bertanya dengan nada mengejek, positif memprovokasi Jimin.
Lelaki atletis itu kembali mencengkram kerah baju Yoongi, sorotnya benar-benar benci. "Malu untuk apa, huh? Bajingan sepertimu sungguh tidak pernah membuatku malu!" Jimin berteriak, matanya menantang dua bola tajam Yoongi untuk balik menantangnya. "Ayo kita tunjukan siapa yang paling jantan diantara kita." Tambah Jimin lagi.
"Aku ingin kau mempertaruhkan sesuatu diperkelahian kita." Yoongi kembali melepaskan tangan Jimin dari pakaiannya, kemudian ia memasukan kedua tanganya kedalam saku celana denim robek-robeknya dengan keren. Lalu ia menunduk untuk mensejajarkan wajah mereka –karena Jimin terlihat sedikit lebih pendek darinya –Yoongi tersenyum, lebih mirip seringan seorang serigala, "Bagaimana jika kau jadi pacarku jika kau kalah? Dan jika aku yang kalah, aku akan merubah imej ku menjadi anak kolokan yang menjijikan dan membuat pamormu naik –bertukar posisi denganku. Bagaimana?"
Yoongi menyodorkan tangan untuk berjabatan tanda setuju. Sengiran diwajahnya belum menghilang, alih-alih semakin lebar. Jimin membuat sengiran juga, sudah mengandai-andai ketika ia akan berdiri diatas dengan kemenangannya dari Yoongi, lalu menjabat tangan Yoongi tanda setuju, "Deal. Kutunggu malam nanti disini, diatap kampus. Jangan kabur, aku tahu kau akan melakukannya karena takut kalah dariku." Gurau Jimin sambil membalikan arahnya dengan senyum. Berfikir jika rencananya akan berjalan semulus paha Saori Hara.
Dan Jimin tidak akan pernah tahu apa yang Yoongi sembunyikan dibalik jaket gangsternya, dibalik semua ham dan celana ekstra ketat yang ia kenakan setiap hari.
"Selamat berjuang –untuk kekalahan." Yoongi berbisik, lalu menyambar ranselnya yang penuh pin dan gantungan kepundaknya kemudian pergi darisana menuju luar. Bibirnya tidak pernah melunturkan senyumannya. Bahkan semua fans-nya langusng memekik girang penuh adorasi berlebihan ketika melihat raut Yoongi yang model seperti ini –murah senyum dan menampakkan sisi lembutnya. Termasuk berbicara dengan intonasi sopan dan tidak ketus seperti biasanya.
"ajakan Jimin membuatku benar-benar goodmood." Riangnya didalam hati.
.
.
Jadi disinilah mereka sekarang. Diatap kampus dengan ancang-ancang saling siap menyerang. Jimin melepaskan jaketnya dan melemparnya kesembarang arah, lalu berjalan menghampiri Yoongi yang tampak santai diujung.
Jimin kembali mencengkram kerah baju Yoongi, "Ayo pukul aku." Ia memandangi wajah Yoongi, "Cepat."
Yoongi menyeringai, "Sebelumnya aku ingin memberitahumu satu hal sebelum aku menghajarmu, Jimin." Ia mengangkat dagunya angkuh, lalu mencengkram dagu Jimin dengan sengiran seram dibelah bibir tipisnya, "Jangan lupa membaca doa."
"Jangan takut, Yoongi. Aku tipikal orang yang rajin ibadah, Tuhan tahu aku akan menang, tenang saja." Jimin menyeringai, melepaskan tangan Yoongi, kemudian beralih mengayunkan kepalan tanganya untuk menghantam rahang sebelah kanan Yoongi, tapi tangan orang berkulit putih bersih itu menghentikanya tepat sebelum kepalan tangan Jimin mendarat barang seinci dirahangnya. Yoongi membuat wajah datar, tanganya memelintir lengan Jimin hingga lelaki atletis itu memekik kesakitan.
"Aku belum menyelesaikan perkataanku yang tadi. Kuberitahu padamu, aku ini pemenang lomba kejuaraan nasional taekwondo –sabuk hitam dan aku mahir muay thai dan juga aikido." Yoongi menekan lengan Jimin, menginjak punggung lelaki itu ketika ia berlutut dengan rintihan sakit. "Masih bisa berlagak sombong bisa menang dariku, eh?" Yoongi bersuara dicuping Jimin dengan nada rendah lengkap dengan hembusannya yang hangat.
Jimin bergidik, "Aku aka –"
"Jangan kaufikir karena kau atletis kau bisa menang –kau itu lemah." Lalu ia menghantam beberapa kali wajah dan perut Jimin dengan pukulannya yang sakit. Jimin mengerang sakit, berteriak hingga memintanya berhenti tanpa berniat membela dirinya. Yoongi menyeringai karena hal itu.
Ia berhenti memukuli Jimin, menarik dagu pemuda itu agar matanya membalas tatapan mata Yoongi yang penuh kemenangan. "Lengkapi taruhannya. Kalau tidak, kau akan kuperkosa." Yoongi berujar datar, lalu berlagak melucuti pakaian Jimin mulai dari sabuknya.
Jimin membola kaget, ia mencegah gerakan tangan Yoongi, "Aku melengkapinya! Apa-apaan tang –yah! Jauhkan tanganmu!"
.
.
.
Jadi mereka selalu bersama sejak itu. Dimana ada Yoongi maka disitu juga ada Jimin. Itu mutlak perintah Yoongi, dan selalu ada ancaman ketika Jimin membangkang dan menolak perintahnya. Lebih bisa disebut sebagai majikan dan babunya tapi Yoongi lebih senang menyebutnya dengan master dan peliharaannya. Jimin mendidih setiap kali Yoongi menyebutnya dengan peliharaan.
Bisa kemana-mana fikiran orang yang mendengarnya nanti 'kan?
Dalam waktu seminggu saja, mereka sudah menjadi bahan pembicaraan seisi kampus. Mulai dari sesama mahasiwa sampai dosen bahkan sampai orang luar seperti satpam mengetahui tentang hubungan mereka yang sudah berkembang menjadi sepasang kekasih termasuk Hoseok dan Taehyung. Kedua orang itu mengetahui kabar jika Jimin tidak sendiri lagi.
Siang itu Yoongi sedang ada kelas, meskipun jadwalnya selalu tidur didalam kelas, paling tidak ia masuk dan hadir. Begitu kata Jimin saat Yoongi sempat mengomentari kebiasaan buruknya ketika berada didalam kelas. Karena Yoongi sedang ada jadwal, Jimin memilih untuk duduk sendirian di kantin, selain untuk menjernihkan fikiran dan hatinya yang panas karena ulah Yoongi yang banyak mau dan terlalu hobi untuk memerintahnya, ia juga terlalu lama tidak menikmati waktu sendiri. Rindu rasanya.
Ia memesan segelas jus jeruk dengan sepiring steak sirloin biasa. Melahapnya dalam diam ditengah omongan manusia disekitarnya tentang dirinya dan Yoongi. Banyak yang mendukung maka banyak juga yang menentangnya. Fans Yoongi adalah golongan yang terpecah karena beda komitmen tentang Yoongi harus bersama Jimin atau tidak.
Terlalu sibuk dengan fikiranya, Jimin tidak sadar jika Taehyung sudah berada didepannya dengan dua bungkus extra-large double cheese burger kesukaanya lengkap dengan segelas besar rootbeer dan sebotol cola hitam. Ia membuka satu bungkus burgernya dan melapanya kala Jimin masih tidak menyadari keberadaannya. Ia mengetuk dahi Jimin, jengah juga lama-lama melihat Jimin melamun dan diabaikan oleh teman sendiri.
"Sej –"
"Sejak kau merubah letah steak itu daripiring menuju nampan." Taehyung menunjuk kearah piring Jimin, dan lelaki rambut oranye itu melotot kala menyadari jika perkataan Taehyung benar –steaknya pindah tempat karena terlalu asik bergerlung dipikirannya. "Belum lima menit." Kata Jimin santai lalu memindahkanya kembali kedalam piring dan memakannya usai dipotong kecil-kecil.
Taehyung mendecih, ia menyeruput colanya lalu bertanya, "Man, benar kau pacaran dengan Yoongi?" tanya Taehyung dengan mulut yang penuh –kebiasaan seorang Kim Taehyung, berbicara sambil makan, "Sudah normal rupanya kau ini. Selamat bung." Lalu Taehyung menepuk pundak Jimin dengan senyuman senang, sementara Jimin menautkan alisnya bingung, ia meletakan garpu dan pisaunya diatas piring, menatap Taehyung dengan pandangan penuh tanya. "Apanya yang normal? Yoongi 'kan laki-laki, kau tidak lihat dadanya yang papan itu?" Jimin menaikan alisnya bingung. Apa Taehyung berubah jadi buta? Tidak bisa membedakan begitu.
Taehyung terbahak, nyaris saja tersedak burgernya kalau saja ia tidak buru-buru menenggak rootbeernya cepat-cepat. "Itu gayanya. Kau pacaran dengannya tak tahu kebiasaan berpakaiannya? Pacaran macam apa kalian ini?" ia mendengus, lalu kembali sibuk membuang lembaran tomat dari dalam tumpukan burgernya.
Jimin mengerutkan alisnya, tidak bisa mengerti –percaya. "Apa.. maksudmu?"
"Dia itu perempuan. Min Yoongi, pacarmu. Si Yoongi itu menyukai berpakaian ala anrogini, bosan menjadi cantik katanya lalu ia memangkas rambutnya, menindik seperti gangster, celana denim gembel dan dada dibebat rata; menjadi lelaki. Itu adalah Yoongi, si perempuan tampan kampus kita –pacarmu. Makanya seisi kampus heboh. Kau yang notabene belok berubah lurus dan berpacaran dengan gadis macho seperti Yoongi yang punya banyak penggemar –lelaki dan peremuan."
Jimin mengepalkan tangannya, ia serasa dibohongi. "Dia.. perempuan?"
Taehyung mengangguk, "Semuanya sudah tahu. Dia baru kembali dari luar negeri, dia murid pertukaran dua tahun lalu. Dia senior disini, kau dan aku lebih muda darinya." Taehyung berkata sambil terus mengunyah makananya, "Kau sungguhan tidak tahu soal ini?"
Jimin menggeleng, matanya panas dan dadanya naik turun memompa rongga dadanya dua kali lebih berat. "Dia bahkan berlagak seperti preman –menyuruhku ini itu, mendominasiku dan dia perempuan?" Jimin tertawa, miris. Dia didominasi oleh perempuan jadi-jadian seperti Yoongi? Hellja.
"Kau oke?" Taehyung bertanya khawatir, "Wajahmu memerah begitu, alergimu kambuh?"
Bukanya menjawab, Jimin malah mendorong kursinya dan melenggang dari sana dengan langkah besar-besar. Taehyung tidak mengerti kenapa, tapi sepertinya dia dan Yoongi akan bertengkar. Salah Yoongi juga tidak memberitahunya, atau bisa juga salah Jimin karena dia tidak sadar padahal jelas sekali jika Yoongi tidak punya buah adam dilehernya dan Taehyung saja bisa melihat garis feminism diwajahnya yang garang itu. Persis seperti serigala betina. Kenapa Jimin tidak menyadarinya?
Atau bisa jadi salahnya, salah Taehyung yang tidak memberitahu temanya itu jika Yoongi seorang perempuan.
.
Yoongi sedang bersantai ditangga taman lengkap dengan berkaleng-kaleng soda disampingnya. Suasanya sedang panas, sangat cocok untuk menenggak dinginya soda. Ia mengadahkan kepalanya keatas langit, memandanginya seakan-akan matanya tak silau dengan terangnya mentari tengah hari.
"Aku sudah punya pacar." Katanya pelan. Ia tersenyum, "Aku bertemu denganya lagi. Aku berhasil bertemu denganya lagi." Ia mengangkat tanganya keatas, seakan menggenggam mentari dalam telapak tanganya yang kecil tersebut. "Tidak kusangka ia menyukaiku dengan rupaku yang seperti ini." Ia beralih memandangi penampilannya, mengusap bagian dadanya yang serata papan. "Ternyata dia memang tidak menyadariku aslinya seperti apa." Ia mengedikan bahunya, lalu membaringkan tubuh kurusnya disalah satu anak tangga dengan lengan kirinya yang menutupi wajah putihnya dari sengatan mentari.
"Min Yoongi!"
Ia bangkit, menyipitkan matanya begitu melihat sosok Jimin berjalan cepat dengan wajah kesal mendekat kearahnya. Ia mengernyitkan alisnya bingung, tapi kemudian ia teringat sesuatu dan berlaku kalem seperti biasa. Ia menoleh begitu Jimin sudah mendekat kearahnya, "Ada apa?"
"Kau membohongiku!" ia mencengkram kerah baju Yoongi, "Kau membohongiku!" ia berteriak marah didepan wajah Yoongi yang datar, matanya sudah memerah marah. "Siapa yang membohongimu? Aku?" Yoongi mendorong tubuh Jimin, menyoroti mata Jimin dengan matanya yang tajam.
"Kau –kau perempuan!"
Yoongi masih menatapnya dengan cara yang sama. Menunggu perkataan selanjutnya yang akan Jimin ucapkan selanjutnya.
"Apa?"
"Kau perempuan! Kau bukan laki-laki!"
"Memang, lalu kenapa? Kau keberatan? Lagipula memangnya kau tidak tahu, ya? Seluruh kampus sudah tahu jika aku ini androgini akut. Kau ingin marah pada keterlanjuran ini, huh? Kau saja yang tidak menyadarinya, Jim. Dan sekarang kau kemari untuk apa? Ingin menghajarku karena aku bukan laki-laki? Lucu sekali." Yoongi terbahak, lalu menghampiri Jimin dan meletakan kepalan tangan Jimin tepat diwajahnya. "Ayo pukul aku. Tidak masalah."
Jimin menarik tanganya, menghempaskan tangan Yoongi kasar kemudian menatap Yoongi dengan sorotan benci lebih dari rasa bencinya dahulu. "Tidak usah. Taruhan kita selesai sampai disini. Anggap saja kita tidak pernah mengenal."
Yoongi mengangguk, "Boleh."
Lalu mereka tidak pernah saling menyapa atau sekedar melirik satu sama lain. Seperti kesepakatan mereka saat ditaman waktu lalu, mereka berlaku seperti tak saling mengenal. Cuek bebek satu sama lain.
Tapi ketika hari menunjukan bulan kedua dari hari terakhir mereka bersama, Jimin diam-diam memperhatikan Yoongi yang melakukan harinya seperti biasa –datang, jajan dan tidur lalu diulang hingga hari berakhir. Ia mengernyitkan dahinya bingung, kenapa jadi memperhatikan Yoongi? Jimin menggelengkan kepalanya, memukul bahkan menjedotkan kepalanya ketembok saking tidak percaya dengan sisi lain didirinya yang ternyata melirik Yoongi dengan cara yang berlawanan dengan otaknya yang mengatakan jika ia membenci gadis itu.
Ya, Yoongi seorang gadis.
Bahkan ketika mereka bertengkar soal itu, Yoongi tidak mengubah imjenya sama sekali. Alih-alih semakin tampan disetiap harinya dan Jimin membenci hal itu. Ia serasa kalah, dan ia tidak bisa menerima kenyataan itu bahwa ia kalah tampan oleh seorang gadis. Dan parahnya, orang itu adalah Min Yoongi. Sial.
Malamnya, Jimin membuka kembali laptopnya setelah beberapa minggu ia tinggalkan tanpa sebab. Meraih earphonenya, ia memutar sebuah video asusila pedang dengan pedang karena ia rasa frustasi. Tapi setelah menyaksikannya –bahkan tidak sampai selesai, Jimin malah semakin pusing. Ada bisikan gaib yang menyuarakan jika ia harus memutar video yang lebih menantang –lubang bertemu pedang; video jorok yang normal.
Jimin menenggak liurnya, ini pertama kali semenjak ia menontonya ketika ia masih bersekolah menengah dulu. Bulunya meremang ketika video itu mulai, dan tubuhnya panas dingin. Matanya menajam begitu gamabr dilayarnya menampilkan sebuah kulit putih dan lekukan indah seorang perempuan. Jimin gelisah, bagian selatanya pun juga merasakan hal yang sama. Ketika durasi semakin jauh dan sensaninya semakin panas, Jimin mengeraskan suara audio dari video tersebut.
Artis panas dilayarnya begitu membuatnya enggan berpaling kelain arah. Sepintas ia jadi membayangkan bagaimana lembutnya jemari dan kulit itu. Apakah milik gadis itu selembut kelihatanya, mengusap permukaan kulitnya dengan jari-jermarinya yang halus. Jimin bisa meriang jika begini. Tapi ai tidak bisa berhenti. Ini candu. Membayangkan jika ia yang ada diposisi sang lelaki, membuatnya terlena dan terus menyuruh gadis itu untuk melakukan lebih ketika ia bersuara dan Yoongi aka –apa? Yoongi?
"Ah tidak benar! Ini tidak benar!"
Jimin menutup laptopnya horror. Ia menggasak rambutnya frustasi, lalu beralih untuk berbaring diatas ranjangnya usai meletakan laptopnya kedalam tasnya dan menyimpanya ditempat terdalam agar ia susuah mengambilnya lagi. "Aku tidak akan pernah menonton itu lagi!"
.
.
Sepertinya hal yang lebih buruk datang daripada yang Jimin bayangkan kemarin. Ia memang sudah tidak membayangkan hal iya-iya dengan Yoongi sebagai tokoh utamnaya bersama dengan dirinya. Tidak lagi. Tapi, sepertinya hal yang ini lebih parah.
Jimin mengarahkan ponselnya menuju objek bidikannya, lalu mengetukn layarnya untuk mengabadikan objek tersebut itu. Jimin menggigiti bibirnya, ia bahkan sampai melakukan hal paling konyol yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Memfoto orang yang kau benci secara diam-diam.
Ada apa dengan Jimin?
"Kau bilang kau tidak menyukainya?"
Jimin mengerang marah, "Jangan katakan hal itu sekarang, Tae. Merusak momen saja." ia mendecak marah, lalu kembali pada kegiatannya yang tadi namun ia mengerang frustasi kala objeknya sudah tidak ada, sudah menghilang entah kemana. "Gara-gara kau dia hilang!" Jimin menyalak marah, ia memukul lengan temanya. Taehyung mengaduh sakit sambil tertawa, "Lebih baik kau utarakan saja –mulai ulang, reset. Jengah juga melihatmu menjadi stalker dalam kedok benci."
"Mana sudi." Ia mencebik.
"Kau akan kutertawakan sampai hal itu terjadi."
Jimin mendecak sebal, " .pernah."
"Kupegang janjimu itu, Park." Jimin mengibaskan tanganya, wajahnya berubah jadi malas, "Terserah kau saja, Kim."
.
.
Dan sepertinya Jimin menjilat ludahnya sendiri.
Ia memutar langkahnya sore itu. Ia membatalkan janji makan malam bersama Taehyung dan Jeongguk demi melakukan tugas negara terpenting dari sekedar negosiasi di Pyongyang. Ia masuk kekamar mandi, membuka tasnya dan mengeluarkan gel rambut bermerk beserta sisir dan parfum mahal oleh-oleh Seokjin, sepupu cantiknya yang baru pulang dari Madrid bersama suaminya, si Namjoon.
Melakukan persiapan sebelum bertugas membuatnya kembali seperti pertama kali melakukan tugas negara seperti ini ketika masa sekolah menengah pertamanya dahulu. Memalukan sekali. Jimin mengakuinya. Ia bahkan ingin meninju kaca kamar mandi saking sebalnya karena wajah merah mesem-mesemnya terlihat begitu jelas.
"Sialan." Umpatnya, tanganya mengepal. Ia menggasak rambutnya yang rapih menjadi acak-acakan, lalu memasukan semuanya kedalam tas lagi lalu keluar dari sana dengan langkah lebar-lebar. Bibirnya tidak berhenti mengumpat, entah pada siapa. Untuk dirinya sendirinya mungkin.
Ia memberhentikan langkahnya begitu sosok yang ia bicarakan dengan Taehyung tadi sedang asik duduk santai ditangga. Kesukaannya. Kesukaan Yoongi. Jimin mengepalkan tanganya, menghembuskan nafasnya lalu melangkahkan kakinya mantap kearah Yoongi.
"Ayo berkelahi."
Jimin bersuara ketika ia sudah berada dihadapan Yoongi. Gadis itu malah memperhatikannya dengan malas. Ia tidak menghadap kearah Jimin, tapi ia menjawab ajakan Jimin itu. alih-alih malah menguap dan membenahkan letak jaketnya untuk dia jadikan alas kepalanya untuk tidur.
"Kukira kita tidak saling kenal? Boleh, kau ingin berkelahi dimana?" Yoongi mejawab sembari menguap lagi, tanganya menggaruk rambutnya asal dan kemudian berancang-ancang ingin tidur. Jimin terlihat berfikir. Sekilas fikiran iya-iya seperti video kemarin membayangi otaknya yang tiba-tiba macet begitu melihat perut putih dan datar Yoongi yang terpampang kala ia melakukan sedikit perergangan otot. Jimin menggigit bibirnya, lalu berlagak keren didetik berikutnya. Ia menyeringai ditengah kegugupannya sendiri.
"Ranjang." –Jimin mendekati Yoongi yang masih terduduk ditangga dengan wajah bingung yang terpintas lucu dibenak Jimin, dan Jimin menatapnya dengan wajah dan aura dominasinya yang kuat –entah kekuatan darimana, tapi Jimin sungguhan melakukan itu, berlagak mendominasi Yoongi. Jimin menaikan dagu Yoongi untuk bersitatap dengan iris cokelatnya yang terang. –"Jika aku menang maka kau harus jadi pacarku,dan jika kau yang menang, aku akan menjadi seperti yang kau bilang –homo pengecut yang mencintai batangan."
Yoongi menyeringai cantik ditengah pakaian serba hitamnya, ditengah bebatan ketat didadanya, ditengah pakaiannya yang ekstra manly dan beberapa tindik ditelinganya, Yoongi mengiyakan ajakan Jimin. Mengangguk singkat. "Tidak buruk juga. Ayo berkelahi."
Jimin membalasnya dengan seringaian kuat ala dominan, "Motel atau kamarku?" Yoongi berdiri, membuat Jimin mau tidak mau mundur beberapa langkah kebelakang, "Tidak perlu jauh-jauh." Yoongi mengerling kearah parkiran, "Aku bawa mobil." Alis mata Jimin menaik satu, "Kau tidak masalah dengan keterbatasan tempat?"
"Asalkan kau berjanji tidak bergerak berlebihan."
Jimin tersenyum –menyeringai, "Aku tidak ingin janji."
Jimin menarik pinggang Yoongi, entah insting darimana tapi gadis itu tidak menolak ataupun protes. Mereka bersitatap, masih dengan ekspresi yang sama dengan tadi. Bedanya, kini bibir mereka sudah menempel dibibir satu sama lain. Memagut dan melumat bibir lawanya dengan tak mau kalah. Mereka terus mencumbui bibir satu sama lain dan cumbuan itu terus berlanjut sampai kaki mereka berjalan menuju parkiran kampus.
Semua yang melihat mereka terkejut bukan main. Termasuk Taehyung. Tapi lelaki itu cepat menggantinya dengan tawa sampai ia terbahak kala melihat Jimin tampak tak sabaran; tanganya merayap masuk lewat belakang pakaian Yoongi. Tergesa-gesa dan penasaran.
"Kau akan kutertawai sampai puas besok, Park Jimin."
.
.
.
END
.
.
YELLO!
Felix in da house, yo! Im back, man!
Kembali dengan fanfik nista dengan konten anuanu emang paling dabes yekan /grins/ apalagi kupel minimini yang satu ini, yang bisa saling tukar posisi ehe gemas kadang mikirin tentang siapa-yang-ditindih-dan-menindih diantara our swagger sugar Min Yoongi dan our cutiepie muscle Park Jimin, ehe :']
So, guys! Senang rasanya kalo kalian meninggalkan jejak dikotak review buat pangeran pengemis cinta ini, ehe :'] bahagia bisa bacain respon dan pendapat kalian tentang fanfik ini /tsaah/
And, see you next time, puddin!
With [extra] love,
felixjedisson
