Secret.

SnK © Hajime Isayama

Genre : Romance/Drama

Pairing : Levi x Petra akan muncul seiring berjalannya cerita

Warning! : AU, OOC, Typo (?), dan mungkin banyak kesalahan.


Tok tok tok. Palu diketuk tiga kali, keputusan telah diambil.

"Baiklah. Kalian sudah resmi bercerai." ujar hakim tegas.

Orang-orang di ruangan itu terlihat lega. Beberapa hanya tersenyum prihatin.

"Ah iya, tentang pengasuhan anak," hakim itu berujar tiba-tiba.

Perdebatan terjadi lagi, sedikit cekcok sana sini, keluhan tidak terima, dan berbagai hal memuakkan terjadi.

Dan setelah semua itu, keputusan diambil.

"Rivaille akan diasuh oleh keluarga Ral."

.

.

.

Itu kejadian lima tahun yang lalu.

Sekarang ini, keadaanku sudah jauh—sangat jauh—berbeda dari sebelumnya. Aku diberi makan sempurna tiga kali sehari, sebelumnya syukur sekali jika aku dapat makan di tengah lemparan piring-piring kaca. Aku diberi kekuasaan untuk mengatur kamar sendiri, sebelumnya aku hanya bisa tidur di atas sofa tua. Aku bisa menikmati channel-channel terbaik dari televisi, sebelumnya aku hanya bisa menonton drama pertengkaran suami-istri —live action.

'Aku selalu benci mengingatnya.'

Bagaimana tidak? Bertahun-tahun aku hidup di tempat yang tidak pantas untuk sekedar disebut 'rumah'.

Sekarang ini, di hadapanku ada banyak tumpukan buku beserta kertas-kertas berserakan. Aku selalu menyibukkan diri dengan belajar, tentu saja agar aku dapat berprestasi di sekolah. Aku masuk kelas unggulan, sekarang ini sudah memasuki tahun kedua.

Sebenarnya tujuan utamaku sibuk belajar bukan untuk berprestasi, tanpa belajar pun nilaiku jauh dari kata 'buruk'. Aku hanya beralasan agar tidak sering berkumpul dengan keluargaku.

Keluarga yang sekarang.

Biasanya jika sedang berkumpul, mereka hanya menanyakan bagaimana sekolahku, dan topik lain tidak jauh dari kata sekolah. Mereka tahu aku bukan tipe orang yang suka bercerita panjang lebar. Setelah menjawab pertanyaan mereka, aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka, kemudian pamit undur diri terlebih dahulu dengan kalimat 'Aku harus belajar.'

Mereka tidak masalah dengan sikapku, mereka semua kagum dengan keseriusanku belajar. Mereka bilang mendukung total dengan apa yang kukerjakan. Dan terkadang aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang kukerjakan.

Mereka yang ku maksud hanya dua orang sebetulnya, ayah dan ibu.

Kami berempat tinggal di rumah ini, satu lagi anggota yang lain adalah anak perempuan mereka, berambut cokelat keemasan, bermata karamel, dan—aku tidak ingat lagi detail wajahnya.

Namanya—lagi-lagi aku tidak ingat.

Bukan tidak ingat, aku hanya terlalu tidak peduli. Garis bawahi itu, aku terlalu tidak peduli.

Dia adalah anak satu-satunya keluarga Ral sebelum kedatanganku. Aku masih ingat ekspresi wajahnya ketika melihatku datang, ia memanggilku dengan "Onee-san.." yang langsung kubalas dengan tatapan tajam. Dia sedikit terkejut kemudian berlari ke belakang badan ibunya.

Ibunya hanya tertawa dan berkata, "Tidak apa, Petra. Kalian pasti bisa berteman."

Ah ya, namanya Petra.

Petra- siapa?

Tentu saja, Petra Ral. Sepertinya dia tidak punya nama tengah.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, gadis yang kubicarakan muncul.

"Ibu menyuruhku memanggilmu untuk makan." ujarnya tanpa berani menatap wajahku.

"Kau- tidak mengetuk pintu?"

Dia sedikit tersentak, kemudian wajahnya mengerut kesal, "Aku sudah mengetuknya berkali-kali." protesnya tidak terima.

"Oh."

Dia mengangkat wajahnya, menunggu kalimatku selanjutnya.

"Aku menyusul."

Diluar dugaanku, gadis itu menolak. "Aku turun bersamamu."

Satu alisku terangkat.

"Eh, ano- maksudku ibu menyuruh kita turun bersama."

Tak mau memperpanjang, langsung kulangkahkan kakiku keluar kamar. Kami menuruni tangga bersama. Entahlah ini bersama atau tidak, yang jelas jangan bayangkan aku dengannya berjalan bersisian dengan langkah yang sama. Aku berjalan di depannya, sementara dia berjalan mengikutiku dari belakang.

Aku tidak suka berjalan bersisian, karena itu berarti akan ada pembicaraan sekecil apapun itu.

"Rivaille, Petra. Ayo sini." ibu yang baru saja meletakkan semangkuk sup memanggil.

"Hari ini makanannya istimewa." ayah berujar kemudian tertawa.

Aku memilih duduk di hadapan ayah. Sementara Petra menempati kursi di sebelahku.

"Kalian tahu ini hari apa?" ibu bertanya pada kami, aku dan Petra.

"Ulang tahun pernikahan kami yang ke-16." ayah dan ibu berujar bersamaan, kemudian mereka berdua tertawa.

Aku dan Petra hanya diam.

"Ah, ya. Selamat." Petra angkat suara, kemudian tersenyum.

Aku berusaha tersenyum, walau sepertinya gagal. Aku pun tidak tahu seperti apa wajahku ketika aku memaksakan senyum.

"Nah, mari kita makan." ayah memulai.

Ayah dan ibu bilang, bahwa sampai saat ini, mereka selalu saling mencintai. Petra ketika mendengar hal itu langsung menunjukkan ekspresi kagumnya, sementara aku hanya diam dan berpikir.

'Cinta?'

.

.

.

.

.

Kami sekolah di Trost Senior High School. Petra berbeda kelas denganku, walau sebenarnya ia cukup cerdas.

Di sekolah, kami jarang bertemu. Kelasnya ada di gedung bagian kanan, sementara kelasku ada di bagian kiri. Sekali-dua kali kami berpapasan ketika menaiki tangga. Hanya sekedar bertatap muka kemudian pergi, tidak ada percakapan yang terjadi.

Tidak ada yang tahu tentang kami. Aku tidak menceritakannya dan dia- sepertinya sama. Tentu aku bersyukur akan hal itu.

Kau tahu kenapa? Karena dia adalah gadis populer di sekolah ini, berbeda denganku yang populer dari sudut pandang yang lain.

Aku pernah membayangkan, apa jadinya bila satu sekolah tahu mengenai kami yang tinggal serumah, mungkin aku akan jadi bulan-bulanan para pengagumnya yang semua berasal dari kalangan laki-laki.

Hey- bulan-bulanan yang ku maksud bukan jadi korban bully atau semacamnya. Itu tidak mungkin terjadi, mengingat aku sudah mencapai sabuk hitam di klub karate yang pernah ku ikuti. Bulan-bulanan yang ku maksud adalah jadi tempat penitipan surat dengan kertas berwarna merah muda, cokelat, buket bunga, dan semacamnya. Seperti yang pernah ku lihat dari salah satu drama. Tentu bukan drama live action yang dulu ku lihat.

Tiap berangkat sekolah, kami diantar sopir dengan mobil pribadi keluarga Ral. Sepanjang perjalanan aku fokus dengan buku-bukuku,—tentu kau tahu kenapa—. Ketika jarak sekolah tinggal 1 km lagi, aku akan turun dan memilih melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Pak sopir pun sudah tahu kebiasaanku ini.

Berbeda ketika pulang, Petra selalu pulang duluan ketika mobil datang menjemput di depan pagar. Sementara aku memilih pulang naik taksi. Agar tidak ada yang melihat kami pulang bersama.

Begitu pula hari ini. Hari pertama menginjak tahun ajaran baru setelah libur panjang yang memuakkan—bagiku.

Aku sudah turun dari tadi, berjalan kaki dengan mata fokus pada buku. Yeah, entah ini kemampuan hebat atau bukan, aku bisa berjalan tanpa harus menatap jalanannya. Mungkin karena aku sudah hafal betul seluk beluk kota ini.

"Yo, Rivaille!" seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Tak perlu menoleh aku pun tahu dia siapa.

"Nanti ulangan kimia, ya?" ujarnya lagi, "Kau tahu- bla bla bla.

Selanjutnya aku tidak dengarkan, masih sibuk menatap lembaran-lembaran penuh rumus.

"Hanji, berhenti mengganggunya." seseorang yang lain berujar kemudian tertawa.

Perempuan yang tadi menepuk pundakku namanya Hanji, aku tidak tahu nama keluarganya—lupa. Dia pintar kimia, nilainya tidak pernah dibawah 9. Pelajaran lain? Penuh coretan merah. Mungkin aneh, tapi nyatanya, gadis itu memang hanya mau menekuni apa yang membuatnya tertarik. Ya, kau benar, dia tertarik dengan kimia dan segala rumus di dalamnya.

Laki-laki di sampingku saat ini, namanya Erwin Smith. Aku ingat nama lengkapnya. Kenapa? Karena dia orang jelmaan malaikat yang —entah kenapa— baik sekali, sehingga banyak orang yang datang ke kelas kami kemudian memanggil "Erwin Smith." untuk meminta bantuannya. Entah sudah berapa kali aku mendengar panggilan itu.

Mereka sekelas denganku, sekaligus 'satu-satunya' yang berani dekat denganku. I don't care about that. Selama mereka tidak ada niat buruk denganku, aku tak akan ambil pusing untuk menjauh dari mereka.

Kami sudah sampai di kelas, kelas yang berbeda dari yang lain. Kalau sepagi ini kelas-kelas sedang gaduh dengan lemparan kertas dan sorakan ramai, kelas ini malah 'benar-benar' damai. Bukan karena penghuninya tidur di atas meja seperti kelas sebelah, namun sebaliknya, karena semua mata fokus pada buku yang dibawa masing-masing. Tentu bukan bermaksud untuk menyalin tugas teman, mereka sedang serius mempelajari materi yang akan datang.

Walau Hanji selalu melakukan hal yang berlawanan.

Perempuan freak berkaca mata ini tiap pagi sibuk memamerkan alat-alat yang tak kalah anehnya dengan dirinya, hasil percobaan semalam suntuk di rumah—katanya.

Dan itu sukses membuat ketentraman kelas ini terganggu dengan sikapnya.

.

.

.

.

.

"Rivaille, ini berkasnya." setumpuk lembaran kertas langsung memenuhi mejaku.

"Baiklah. Kau bisa pergi."

Di ruangan yang cukup luas ini, hanya aku yang menempati. Biasanya di meja seberang ada Erwin, entah kemana dia sekarang.

Aku menjabat sebagai ketua komite kedisiplinan. Tugasku mudah saja, mencatat para pelanggar aturan dan langsung memberi mereka sanksi. Namun nyatanya, aku lebih sering menghukum mereka langsung tanpa perlu mencatat nama-nama yang sudah bosan ku dengar karena seringnya mereka melanggar.

Lembaran-lembaran yang sering diberikan padaku adalah jumlah pelanggaran dan tingkatannya. Semakin besar pelanggaran yang dilakukan, maka semakin kecil kesempatan untuk tetap bersekolah disini. Akulah yang menetapkan mereka dapat dipertahankan atau tidak.

Dan semakin banyak lembaran-lembaran yang harus ku periksa, maka akan semakin lama aku pulang ke rumah.

Dan itulah yang ku butuhkan.

Tugas Erwin membantuku, tapi aku lebih senang jika ia tak ada.

Kau tahu tipe orang yang suka mengerjakan pekerjaan banyak sendirian? Aku salah satunya.

.

.

.

.

.

Hari sudah gelap ketika aku sampai di rumah. Tadi aku terpaksa berjalan kaki karena taksi banyak yang sudah diisi.

Well, itu bukan masalah bagiku.

Ayah dan ibu sejak pagi sudah berangkat keluar kota. Mereka bilang akan pergi dua-tiga hari. Otomatis di rumah hanya ada aku, Petra, dan beberapa pembantu di rumah ini.

Sampai di kamar aku langsung mengguyur tubuhku di kamar mandi. Air hangat cukup menghilangkan penat, kau tahu?

Setelah berganti baju dan memastikan tidak ada tugas hari ini, aku langsung membuka buku sampul cokelat tua milikku. Sama seperti malam-malam sebelumnya, inilah yang ku lakukan sebelum tidur. Tanganku bergerak lincah menulis kata demi kata. Di buku itu, ada satu nama yang sering ku tuliskan.

Dan di buku itu, aku menyimpan rahasiaku.

Rahasiaku sejak masuk SMP.

.

.

.

TBC.

Hore, fic baruu :'D Idenya udah lama kepikiran, baru bisa sekarang nulisnya.

Lanjutin gak nih?

Untuk kritik dan saran akan saya terima~