Naruto Fanfiction

Disclaimer : Masashi Kishimoto

I just borrow his Chara

Between You and I

Warning!

As you know, there will be so much typo, AU, YAOI, OOC, and so much more.

Pairing!

SasuNaru

Read first, and please give me your Review.. It's my pleasure...

Oke, sebelum ke fict ini, aku ingin menjelaskan beberapa hal.

Setting-nya bukan di Jepang, tapi di Korea Selatan. Jadi jangan heran jika menemukan beberapa bahasa Korea. Tapi, aku udah antisipasi. Akan ada terjemahannya. Tapi tenang aja, nanti akan ada setting-an di Jepangnya kok.

Please Enjoy.. ^.^

Pemeran Utama :

Sasuke Uchiha

Naruto Uzumaki

Chapter 1 : Break Up

"Kayaknya, kita temenan aja ya." Akhirnya kalimat itu keluar juga. Kalimat mengerikan dari sang gadis imut yang berada tepat dihadapanku ini. Saat ini kami sedang berada di sebuah restoran Cina terkenal di Korea Selatan. Aku berusaha untuk tetap tenang dihadapan calon mantan pacarku ini.

"Maksud kamu?" tanyaku untuk memastikan. Dia bergerak gelisah dan melanjutkan,

"Iya.. Maksud aku kita putus." Kalimat itu tepat merobek jantungku hingga menjadi atom (atau mungkin lebih kecil lagi).

"Kita.. putus?" ulangku sedih. Dia mengangguk.

"Iya. Maaf ya. Aku rasa kita udah ga cocok lagi. Aku yakin kamu bisa dapet yang lebih baik dari aku," katanya lagi. Aku tak tahu harus merespon apa. Perasaanku campur aduk. Tapi yang lebih dominan itu perasaan kecewa.

Memang sih, yang dia katakan ada benarnya. Belakangan ini kita juga udah ga cocok. Sering berantem, salah paham, tuduh-tuduhan. Tapi bukan berarti aku mau hubungan kami berakhir gini aja! Kalo mau jujur aku sayang banget sama gadis itu! Tapi, segala sesuatu yang tidak cocok dipaksakan, maka yang ada malah rusak.

"Sasuke? Gwaenchanha{1}?" tanyanya khawatir padaku yang mendadak diam. Aku menoleh padanya dan mencoba tersenyum tenang. {1. Baik-baik saja?}

"Gwaenchanha... Ya udah. Kalo ini yang terbaik, ga masalah." Dia terlihat sedikit khawatir. Tapi aku mengangguk meng-iyakan. Akhirnya dia sedikit tenang. Dia mulai bangkit dari tempat duduknya dan berkemas.

"Setelah ini aku ada janji ketemu klien. Biar aku yang bayar. Dah." Setelah itu, dia pergi dan aku tak menghentikannya.

.

.

.

Aku tak ingat apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas aku merasa sangat pusing dan sepertinya tubuhku sedang diangkut seseorang. Tapi aku terlalu pusing untuk mengetahui siapa yang mengangkut tubuhku. Aku berusaha mengingat kejadian setelah aku diputuskan oleh orang yang kusayangi. Yang aku ingat aku menelepon seseorang (aku lupa siapa) dan aku menuju Club malam yang berada di Seoul. Setelahnya? Aku tak ingat lagi.

Aku merasa seseorang membaringkanku di tempat tidurku yang empuk. Aku tak tahu siapa dia. Mataku berkunang-kunang dan kepalaku sakit sekali. Aku berjengit saat merasakan sakitnya menjalar di kepalaku. Dan, ketika sakitnya menekan perutku, aku merasakan seperti seseorang menekan perutku sangat kuat sampai,

HOEK!

Cairan berbau alkohol itu keluar dari mulutku. Aku masih sangat pusing (yah agak legaan sedikit) dan aku mendengar seseorang mengumpat. Mataku masih berkunang-kunang jadi aku tidak tahu siapa. Yang kutahu dia orang berambut kuning. Itu saja. Karena pusingnya semakin menjadi-jadi, hal yang kuingat aku jatuh tidur.

.

.

.

Aku tidur tanpa mimpi. Saat aku bangun, aku masih merasakan pusing sedikit, tapi tidak seperti kemarin lagi. Aku bagkit dari tempat tidur untuk mencari minum. Karena kerongkonganku serasa terbakar. Dan, aku melihat ada sebutir aspirin dan gelas berisi air putih.

Aku meneguk aspirin itu, dan seketika aku merasa baikan. Kamarku masih rapih, seperti saat aku meninggalkannya. Aku turun pelan-pelan dari tempat tidur dan membuka gorden kamar. Hal pertama yang kulihat dari apartemenku adalah pencakar gedung Seoul.

Gedung pencakar tersebut diselimuti kabut disekelilingnya dengan diterangi sinar matahari pagi. Karena udara kali ini segar, aku memutuskan untuk jalan-jalan di alun-alun Seoul. Lagipula ini hari Minggu dan yah... Aku sudah putus dengan pacar, setidaknya hal positif yang bisa diambil, aku bisa menggoda cewek manapun yang kumau.

Saat aku keluar dari kamarku, aku mendengar suara orang dari dapur. Aku berjalan ke dapur dan menemukan seorang pemuda berambut kuning sedang menyeduh teh hangat.

"Kau sudah bangun senpai?" tanya pemudaitu. Senpai.. Kakak kelas dalam Bahasa Jepang. Yah, aku ini orang jepang.

"Hn," jawabku seadanya. Dia menyerahkan teh hangat itu kepadaku. Kami duduk di meja makan apartemenku dengan posisi saling berhadapan.

Dia duduk sambil mengotak-atik HP-nya. Dan aku meminum teh hangat buatannya dalam diam. Kadang dia tersenyum, dan kadang tampangnya biasa saja. Dia manis.

Terlalu manis untuk ukuran pemuda. Dia memiliki rambut kuning cerah. Matanya berwarna biru muda seperti langit, hidungnya mancung, dan kulitnya tak ada jerawat. Badannya, kurus untuk ukuran pemuda berusia 22 tahun. Dan bahkan tingginya hanya se telingaku. Jika dia seorang perempuan, pasti dia perempuan yang manis.

"Kau terlihat kacau senpai..." katanya. Aku hanya diam saja.

"Bersemangatlah sedikit! Jangan karena diputuskan wanita kau jadi murung seperti ini! Ikan di laut masih banyak," katanya menyemangatiku.

"Iya sih. Tapi, apa masih ada lagi ikan yang kayak dia?" jawabku murung. Suasana mendadak galau. Dia jadi salah tingkah. Wajahnya yang sedang salah tingkah imut sekali.

"Kenapa jadi galau begini? Sudahlah, aku ingin pulang. Sudah ya," katanya dan dia bangkit dari tempat duduknya. Sebelum dia benar-benar bangkit aku ikut bangkit dan menahan tangannya.

Dia menatapku aneh. Aku juga kaget. Aku tak mengerti kenapa aku tiba-tiba aku menahannya.

"Eh? Ada apa?" tanyanya bingung. Aku masih diam. Lalu perlahan melepaskan tangannya.

"Tak ada. Pulang sana!" kataku dengan keras. Dia terkejut sedikit dan kemudian mengangkat bahu tak acuh. Lalu dia berjalan ke luar dapur dan aku mendengar pintu depan di buka dan tak sampai sedetik kemudian tertutup lagi.

Aku kembali duduk di dapur. Aku tak mengerti, mengapa tadi aku menahannya? Aku menghirup teh hangat buatannya yang sudah mendingin. Kenangan kemarin sore terlihat jelas. Haah...

Memang putus cinta bagiku sudah biasa. Tapi, itu karena akulah yang memutuskan mereka. Dan kali ini wanitalah yang memutuskanku. Dan, yah.. Memang saat aku berpacaran dengan gadis itu, dia memang berbeda dengan wanita lain.

Aku mengakui itu. Dan ternyata, rasanya diputusin pacar itu SAKIT. Memang waktu saat dia memutuskanku rasanya hanya hampa. Tapi, begitu besoknya, sakitnya langsung terasa.

Mungkin ini juga karma untukku. Karena sering mempermainkan wanita. Jadi, Tuhan ingin aku merasakan bagaimana sakitnya dipermainkan. Jadwal hari ini berubah. Pergi ke Gereja dan berdoa agar dosa diampuni. Dan, gerejanya tak jauh dari alun-alun Seoul. Gerejanya besar, disana tempat yang sering menjadi kelangsungan misa, pembaptisan, upacara besar seperti Natal, Tahun Baru, dan.. yah pernikahan juga.

Kalau mau jujur, aku tidak suka ke Gereja. Dan aku hanya pergi ke Gereja sekali setahun, itupun dipaksa oleh orangtua. Tapi, semenjak aku pergi ke Korea, belum pernah aku ke Gereja. Faktor sibuk karena pekerjaan (pekerjaanku Dokter, tapi masih melanjutkan studi S2), dan karena aku tak suka.

Mengapa? Entahlah, dari dulu aku tak suka. Hanya itu.

"Eh, tumben sekali senpai datang ke Gereja," kata seseorang yang suaranya sudah kuhapal. Aku menoleh. Hal terakhir yang ingin kupikirkan adalah bertemu adik kelasku di Gereja. Dia terlihat kaget. Kaget seperti seorang yang baru saja menyaksikan Kronos menjadi baik hati.

"Jangan berwajah kaget seperti itu! Memangnya tak boleh orang pergi ke Rumah Tuhan?" kataku sambil mengomel sedikit. Dia semakin ternganga. Aku kesal sekali melihatnya,

"Hentikan wajah tololmu!" bentakku. Dia menutup mulutnya tapi masih terbelalak.

"Kau kerasukan apa senpai?"tanyanya dengan nada polos. Aku ingin mencubitnya.

"Tak ada! Hanya ingin pergi ke Gereja saja, apa itu salah?" jawabku. Sebelum sempat dia menjawab, seorang gadis menghampirinya dan merangkul tangan adik kelasku itu.

"Kau lama sekali Oppa{2}. Ayo, kita masuk sekarang." Aku memperhatikan gadisitu. Dia manis. Berambut coklat keemasan. Kurasa dia Korea asli. Dan, bisa kulihat wajah adik kelasku salah tingkah dan, sedikit malu. {2. Kakak laki-laki. Tapi bisa juga panggilan untuk pacar}

"Eh, baiklah. Ayo kita masuk. Kami duluan senpai.." Setelah berkata begitu, dia merangkul pinggang gadisitu dan mereka masuk ke dalam Gereja.

Tiba-tiba niatku ke Gereja hilang. Entah kenapa aku merasa mual dan panas. Aku tak tahu kenapa, tapi melihat mereka bermesraan seperti itu, rasanya menjijikan. Mungkin karena aku baru putus cinta. Jadi, aku berjalan keluar dari Gereja dan hanya berjalan tanpa arah yang pasti.

Dan, sepertinya pilihanku untuk berjalan-jalan nampaknya pilihan yang salah. Karena di setiap jalan yang kulewati dipenuhi oleh orang berpacaran. Membuat mulas perut. Jadi kuputuskan untuk pulang ke apartement.

.

.

.

Aku membaringkan diri diatas tempat tidur empukku. Tak pernah aku merasa sekosong ini sebelumnya. Mungkin ini yang namanya perasaan galau. Tuhan memang adil. Aku mendengus. Mataku beralih kepada sebuah foto yang dipajang di dalam sebuah figura imut. Fotoku dan mantan pacarku. Sudah 3 tahun aku berpacaran dengannya. Tapi, aku masih ingat saat aku pertama bertemu dengannya. Saat itu musim semi dan kami sedang mengerjakan skripsi bersama. Aku bertemu dengannya di Paris. Kami jadian beberapa bulan kemudian.

Aku juga masih ingat saat pertama kali kami berciuman. Sebenarnya itu konyol sekali. Aku didorong oleh temanku dan tersandung. Kebetulan dia berada di depanku, dan aku tak sengaja menabraknya (tepatnya bibirku menabrak bibirnya). Aku juga masih ingat saat kami merayakan ulangtahunku.

Dia datang tengah malam ke kamarku dan menyerahkan kue tart. Aku juga masih ingat saat kami merayakan hari jadi kami yang pertama. Aku harus memohon pada orangtuaku agar mereka mau membooking sebuah restoran sekaligus karoke dan kami seharian disana. Semua kilas balik ini sembuat hatiku semakin nyeri saat mengingatnya.

Aku merasa mataku panas, tapi tak ada yang keluar. Airmataku bahkan tak keluar. Kasihan sekali aku. Aku mengambil pelan-pelan foto itu dari dalam figura. Aku mengusap fotonya seakan aku mengusap wajah halusnya.

Dan, dengan memantapkan hati, aku merobek foto itu menjadi dua lembar. Lalu, kurobek lagi menjadi 4 lembar, lalu menjadi delapan lembar, lalu kurobek lagi sampai tak bisa kurobek lagi. Setelah itu, aku membuang lembaran itu keluar jendela kamar. Biar saja, angin membawa kenangan kami, dan perasaanku jauh-jauh.

Aku kembali merenung. Aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya dengan api. Aku menghirup rokok itu perlahan-lahan. Semenjak aku berpacaran dengannya, aku berhenti merokok demi dia yang alergi asap rokok. Tapi, sekarang rasanya hanya rokok yang mampu menenangkanku.

Aku hanya menghisap rokok itu tanpa berpikir apapun. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan 5 batang rokok. Aku menatap jam dinding dan ternyata sudah jam 5 sore. Berarti selama seharian ini aku tidak melakukan apapun. Aku kembali mengasihani diri sendiri lagi.

"Aaaarggghhhh!" Aku berteriak putus asa. Aku mengambil telepon dan kartu teleponnya. Disaat seperti ini aku ingin menemui kedua orangtuaku dan mendengar suara mereka yang mencemaskan keadaanku. Tertawa saja jika kalian mau! Aku memang anak mami.

"Moshi-moshi," kata suara ibuku yang merdu. Aku menjadi tenang mendengar suaranya.

"Okaa-san, ini aku," jawabku dengan suara serak.

"Eh, Sasuke-kun? Ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya ibuku dengan nada cemas. Aku mengangguk, meskipun aku tahu dia tak akan bisa melihatnya dari Jepang sana.

"Aku putus sama dia," kataku dengan nada hampa.

"Eh? Kamu putus? Kenapa?" tanya ibuku bingung.

"Soalnya kita udah ga cocok lagi. Dia yang mutusin aku," jawabku. Dia diam sebentar dan kemudian melanjutkan,

"Apa yang kamu rasakan saat dia mutusin kamu?" tanya ibuku.

"Awalnya rasanya hampa. Terus kosong, habis itu saat inget rasanya sakit," jawabku.

"Kenapa sakit?" tanya ibuku lagi. Aku mengerutkan kening mendengar pertanyaannya.

"Tentu saja! Bagaimana mungkin tidak sakit jika habis diputuskan oleh orang yang kita sayangi," kataku.

"Kalau begitu, seperti itu juga perasaan para wanita yang sering kamu mainkan kan?" kata ibuku yang langsung menohok jantungku.

"Hn," kataku tak jelas. Dia menghela nafas dari seberang telepon.

"Kalau begitu, kamu tahu apa pelajaran yang didapat?" tanya ibuku.

"Hn," aku bergumam lagi.

"Iya, aku tak akan mempermainkan wanita lagi," jawab diriku akhirnya.

"Baguslah kalau kamu sadar akhirnya, jika tak ingin di permainkan oleh orang, jangan pernah mempermainkan orang. Apalagi jika hati perempuan yang kamu mainkan seperti boneka," kata ibuku lagi. Aku mulai kesal karena dia terus menceramahiku.

"Aku ada pekerjaan. Nanti aku telepon lagi. Dah," kataku dan kumatikan teleponnya.

Aku berjalan menuju ruang kerjaku. Disana banyak arsip-arsip tentang Rumah Sakit di Seoul. Arsip-arsip ini adalah undangan menjadi dokter tetap di Rumah Sakit. Itu jarang di dapatkan, dan butuh perjuangan agar bisa mendapatkannya. Tapi, undangan itu datang sendirinya padaku. Aku bahkan tak berminat menjadi dokter di Rumah Sakit.

Tapi, aku tak memberitahu pada ibuku. Jika dia tahu aku punya banyak undangan, maka dia pasti mendesakku agar memilih yang terbaik. Dan dia pasti terus merongrongku setiap hari. Ini alasan terkuat mengapa aku menyembunyikan arsip-arsip ini dari ibuku.

Beda dengan ayah. Aku sudah memberitahunya, dan dia hanya tertawa di telepon (tentu saja tidak sampai ibu tahu). Dia hanya bilang pilih sesuai kemauan. Dan aku berkata bahwa aku tak ada kemauan bekerja di Rumah Sakit. Dia bertanya lagi aku ingin bekerja dimana jika bukan di rumah sakit. Dan aku menjawab, bahwa aku hanya mengambil S2 dan setelahnya akan pulang ke Jepang. Setelah itu, akan tinggal di desa-desa dan mengobati yang sakit disana.

Ayah bilang itu bagus, tapi dia berpendapat ibuku tak akan setuju. Aku bilang bahwa ibu hanya mementingkan materi, dan ayah hanya tertawa dan berkata bahwa ibu ingin yang terbaik untukku. Aku memohon pada ayah agar merahasiakan hal ini pada ibu. Ayah setuju dan begitulah percakapan antara ayah dan anak berakhir.

.

.

.

Besoknya hari Senin. Aku harus bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan Skripsi. Memang skripsinya akan dikumpul bulan depan, sekaligus wawancara, tapi tetap saja. Membuat skripsi adalah tugas yang berat, dan aku tak mau mengeluarkan uang untuk membeli skripsi. Jadi aku mulai duduk di depan komputerku dan mengerjakannya dengan serius.

Aku mengerjakannya sampai perutku berdemo ingin diisi. Awalnya aku menghiraukannya, tapi semakin lama mereka semakin keras berdemo, akhirnya aku menyerah. Aku menyimpan kerjaanku di komputer dan melirik jam. Jam 14.00. Jamnya makan siang. Aku mengambil jaket tebalku, syalku, dan sarung tanganku. Setelah siap, aku keluar dari apartement-ku dan menuju kedai terdekat.

.

.

.

"Ah! Senpai.. Kebetulan sekali. Aku juga mau makan siang," sapa adik kelasku saat aku sampai di depan kedai kecil dekat apartement-ku. Aku memandangnya.

"Kau datang sendiri?" tanyaku tiba-tiba. Dia terkejut, apalagi aku. Aku bahkan tak menyangka bahwa aku akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia mengangguk.

"Iya. Aku datang sendiri. Biasanya juga aku datang sendiri kan?" katanya.

"Kau tidak datang bersama gadis itu?" tanyaku lirih dan entah mengapa aku merasa marah dan mual mengingatnya. Tapi sepertinya dia tidak mendengar.

"Ha? Kau bicara apa tadi Senpai?" tanyanya. Aku mendengus.

"Lupakan saja." Dan aku masuk ke dalam kedai diikuti oleh adik kelasku.

"Wah. Penuh sekali," gumamku.

"Selamat datang. Dua orang ya? Kebetulan ada tempat untuk dua orang," sapa pelayannya. Dua orang? Aku melihat belakangku dan menemukan adik kelasku sedang tersenyum lima jari kearahku.

"Aku bareng ya. Lagian hanya ada tempat untuk dua orang. Ya?" mintanya dengan tatapan memelasnya yang imut. Tapi, aku terlalu gengsi mengakuinya.

"Terserah," balasku datar. Kami mengikuti pelayan itu menuju meja 'dua orang' itu. Entah beruntung atau sial aku tak tahu. Mejanya beada agak jauh dari keramaian dan lumayan tenang, berita bagusnya. Mejanya menghadap ke sebuah danau yang nyaman untuk pacaran, dan banyak sekali orang yang pacaran, kabar buruknya.

"Silahkan ini menunya. Jika ada apa-apa silahkan panggil saya, atau yang lainnya. Permisi," pamitnya. Dia membungkuk dan meninggalkan kami berdua duduk berhadapan. Aku berusaha mengabaikan pemandangan di luar dan fokus pada menu.

Tapi, hari ini adik kelasku sangat menyebalkan. Dia malah mengomentari pemandangannya dan setiap orang yang pacaran. Dan lebih parahnya dia malah bercerita tentang kencannya dengan gadis yang kulihat bersamanya di Gereja hari minggu kemarin.

"Kau harus tahu, sehabis dari gereja, kami pergi menuju Seoul Tower dan menghabiskan waktu disana. Dia berkata ingin selamanya begitu. Apa lagi saat itu dia minta diperkenalkan pada orangtuaku," katanya berapi-api. Aku hanya diam saja. Setiap kalimat yang keluar darinya mengenai gadis itu, aku merasa marah.

Aku tak tahu perasaan apa ini, yang jelas aku marah jika dia mengungkit soal kencannya. Seperti aku mau tahu saja.

"Hei! Apa kau mendengarkanku?" tanyanya. Aku hanya menatap menu dan bergumam tak jelas,

"Hn."

Dia sedikit menggerutu dan bilang bahwa aku tak menghargainya berbicara. Aku menambahkan dalam hati bahwa itu salahnya sendiri karena berbicara tentang gadis itu.

Akhirnya aku hanya memesan shabu-shabu dan sake satu botol. Adik kelasku memesan Ramen dan jus jeruk. Dia memang penggila Ramen dan tak tahan minum minuman beralkohol. Selama menunggu makanan jadi, dia kembali berceloteh soal pertemuan pertamanya dengan gadis itu.

Tapi aku tak mendengarnya lagi. Aku bahkan tak mendengar apapun, hanya merasakan ada hawa panas dari dalam perutku. Sebelum aku sempat menyadarinya, aku sudah tahu bahwa itu hawa kemarahan. Aku marah. Bahkan aku tak tahu mengapa aku marah. Karena pemandangannya? Karena diputusin pacar? Karena karma? Atau karena dia yang bercerita tentang gadis itu terus tanpa henti? Sepertinya Iya.

Tapi aku mencoba merasionalkan penyebab kemarahanku. Mungkin karena aku baru putus dan merasa kesal karena ada orang yang berbicara tentang pacar mereka. Ya! Pasti begitu. Aku hanya masih sedih karena di tinggal kekasih. Tapi sekali lagi, betapa salahnya aku. Bahwa setelah kejadian di kedai ini, hidupku akan berubah 180 derajat!

To Be Continued

Hai! Aku kembali lagi dengan membawa fic multicap.

Ya, aku tahu kalau ada fict multichap lain yang masih belum kelar, tapi ini hanya threeshot kok..

And, as always..

RnR Please...