If I die young, bury me in satin
Lay me down on a bed of roses
Sink me in the river at dawn
Send me away with the words of a love song

. . .

In the middle of night
I was far from the flight
They freely pass me by

Then I'm totally out of space and seeking my friends
Is there anyone who needs me?

Smile like you've never done
I'm so fine
Then you hold me tight under bad weather
If you understand why
I was crying on the river so
Dwell on my self
All the time

Kenapa berharap terlalu tinggi ? Sudah jelas kan, kau bukan siapa-siapa. NAIF ! Ya, cocok sekali dengan kau ! kenapa berfikir kau special ? pemikiran konyol yang terus kau jejalkan pada benakmu itu kini membuahkan hasilnya. Sakit ya ? ku pantas menerimanya ! Siapa kau yang terus berharap lebih ? Jiwamu bergejolak melantunkan syair-syair pembunuh kewarasanmu !

Sosok itu terus menatap refleksinya di cermin datar di hadapannya. Sosok lain dalam cermin yang juga dirinya terus mengikuti segala gerakannya. Mata gelap miliknya mulai panas. Tatapan jijik dan tajam ia hadiahkan untuk 'diri'nya. permata bening itu mulai meleleh menelusuri pipinya. Rambut hitam miliknya ia tarik. Ia kutuk dirinya sendiri. Redupnya cahaya mendampingi pria ini dengan setia. Suara kesunyian membaur dengan suara serak dari isak tangis pria berkulit agak coklat itu. Rasa penyesalan yang amat mendalam menyiksanya parah. Dia membenci dirinya sendiri. Mimpi mimpi menyeramkan tentang 'hari itu' masih terlukis jelas pada benaknya. 'Diri' nya yang lain selalu membisikkan perkataan-perkataan yang ia benci, ia takuti, tapi benar adanya. Dia menciumnya. Jelas sekali, ya bau itu. Bau busuk hasil dari kebodohannya.

.

Menjijikkan ! Naif ! Enyah !

.

Dia mulai meringkuk memeluk dirinya sendiri. Perasaan jijjik dan kesal pada dirinya sudah semakin kental. Tak ada satu pun kebanggaan yang ia rasakan. Realitas memuakkan. Impian konyol. Harapan aneh. Motifasi jongkok. Idealis picisan. There's no place for you in this damn world. No one call your name.

-BertJan-

Udara dingin ini menjengkelkan. Salju yang terus turun beriringan telah membentuk selimut putih bersih. Suara hiruk pikuk kegiatan manusia bersenandung padu membentuk symphony 'elok' menlengkapi dunia ini. Dua sosok pria berjalan berdampingan membelah dnginnya udara yang melekat. Satu pria mempunyai rambut berwarna hitam dengan tubuh yang kelewat tinggi, yang lainnya mempunyai rambut coklat susu dengan tinggi badan dibawah pria berambut hitam. Pria berambut hitam it uterus memperhatikan sosok di hadapannya dengan mata gelap miliknnya. Mata coklat keemasan, rambut pirang seperti susu coklat, tatapan yang tajam dan focus. Dia…

"Hoy !... Berhenti memperhatikanku. Kau membuatku ngeri Bertholdt"

"aa.. maaf Jean"

"mm.."

….

Aku tau kau masih memikirkannya Jean. Kenapa kau tidak melihat kedepan, melihatku. Dia sudah mati, dengan tubuh yang tidak sempurna lagi.

Apa itu ? ada apa denganku ?

SETAN ! menjauh dari pikiranku ! tinggalkan aku !

Menyedihkan ! aku adalah kau, kau juga setan. Jangan kira kau bisa menghindari ini semua. harapanmu terlalu tinggi untuk jadi orang suci. Naif ! suatu saat kenaifanmu bisa membunuhmu, membunuh kita !

PERGI !

Perang diri itu semakin parah setiap harinya. Mungkin kewarasannya hanya tinggal beberapa persen lagi. Hanya satu sepercik cahaya yang masih bertahan di tengah minimnya kewarasan di batin pria yang bernama Betholdt itu.

Kenapa aku harus membunuhnya ? apayang sudah kulakukan ? sakit….

Setiap kali ia melihat sosok yang ia sayangi itu, rasa bersalah itu selalu datang. Menyakitkan. Bagaikan berada di ruang gelap gulita dan hanya diterangi sebatang lilin. Jika lilin itu habis, dan dia tidak punya apa apa, untuk mempertahankan cahaya itu, dia akan mulai membakar satu persatu baju yang melekat pada dirinya. Setelah dia tak punya baju lagi, dia akan mulai membakar bagian tubuhnya sehingga di bisa mati dengan cahayaa 'hangat' itu.

Tes…

Menangis ? sosok di hadapan pria kelewat tinggi itu menangis.

"Jean… k—" Bertholdt mengurunkan niatnya untuk bertanya 'kenapa menangis?' . Tentu sudah jelas pria dihadapannya menangisi hilangnya sosok berharga baginya.

"mm.. gak papa. Cuma mataku kemasukan debu" alasan konyol untuk hari di musim salju

Cepat cepat Jean hapus airmata itu. Seakan ditikam dengan belati tepat di jantungnya. Rasa bersalah sialan itu datang kembali. Kenapa harus ada rasa bersalah ? Dirinya yang hina itu tega membunuh orang hanya Karena diperintahkan. Kadang, dirinya merasa dihantui oleh arwah orang orang yang telah ia bunuh namun tak ia hiraukan. Tapi kenapa ? kenapa kali ini Sang Bertholdt Fubar, Pembunuh professional merasakan rasa bersalah. Dan kenapa rasa bersalah itu harus ada untuk Marco Bott, sahabat dari seseorang yang ia sayangi, Jean Kirschstein.

Menjadi seorang teroris atau seorang pembunuh bayaran sebenarnya bukanlah keinginannya. Terlahir di keluarga 'kriminal' menjadi kutukan baginya. Mungkin dia memang sudah ditakdirkan menjadi setan.

"Hoy ! kok malah bengong ? kan udah kubilang, aku gak papa. Gak usah dipikirin !"

"ma-maf…"

"ck, berhenti minta maaf terus ! lama lama aku muak"

"hehe… iya" ia ukir senyum palsu itu demi menutupi bopeng hitam dalam dirinya.

Sunyi…

"Bertholdt, ada rencana hari ini ?

"ka-kayanya enggak.."

"mau gak…ke rumahku ?" apa ? jean minta aku kerumahnya ?

"aku mau beres beres rumah. Banyak barang barang Marco yang harus dibersihkan. Tapi kalo gak mau, gak papa kok.." aku mau. Astaga, kenapa jantungku ini?

Wajah pria di hadapannya tampak muram. Aura kematian masih melekat disekitarnya. Garis hitam tebal di bawah matanya cukup menceritakan semuanya.

"kau takut sendirian dirumah ya.." pria tinggi berambut hitam itu mencoba mencairkan suasana. Cukup udara saja yang membeku.

"Sial kau ! b-bukannya takut, aku Cuma—" wajah pria bernama Jean itu mulai memerah. Entah karna suhu udara sekitar atau karna dia malu. Tak perduli alasan yang mana tapi Bertholdt menganggap itu imut. Mungkin itulah salah satu alasan kenapa Jean menjadi cahaya bagi dirinya. Tangan besarnya mengacak-acak rambut Jean.

"ok, Jean-Boy" senyuman manis asli terukir di wajah Bertholdt.

"Hoy ! singkirkan tanganmu ! aku bukan anak kecil, dan jangan panggil dengan sebutan itu !"

. . . . .

Rumah itu cukup luas atau justru sangat luas untuk ditiggali satu atau dua orang. Salah satu ruangan yang 'simple' kini diisi oleh dua orang pria. Beberapa furniture sederhna diletakkan sedemikian rupa untuk membentuk suasana ruangan yang nyaman untuk bersantai. Beberapa foto diletakkan di sudut meja. Tak banyak sehingga enak dilihat. Pada salah satu foto tampak dua pemuda saling berangkulan dengan seulas senyum serasi dan bahagia pada keduanya. Satu pemuda berambut hitam dengan pony belah tengah dan disampingnya adalah pemuda dengan rambut seperti susu coklat. Rekaman memory selalu terputar ketika Jean melihat foto foto itu. Sampai sekarang Jean masih merasakan kehadiran orang terkasihnya itu.

"Jean, ini ditaruh di mana ?"

Suara dari temannya yang bertubuh kelewat tinggi itu menyadarkannya dari lamunan nostalgia.

"di gudang"

Walau sudah dalam ruangan, rasa dingin di musim salju tetap memaksa masuk. Beruntung, masih ada pemanas ruangan di sana.

"Bertholdt, mau kopi ?"

"terima kasih"

"hmm.." Jean masuk ke dapur dan tak lama keluar dengan dua cangkir kopi hangat.

Didekatkannya bibir cangkir pada bibirnya. Hawa hangat dari kopi cukup menghangatkan daerah pernafasannya. Dua pria itu meringkuk di sekitar pemanas ruangan. Secangkir kopi hangat menghiasi tangan mereka. Canggung. Tak satupun dari mereka yang angkat bicara. Sampai..

"kau tau Bertholdt, di suasana seperti ini biasanya Marco berselimut di pinggir pemanas sambil membaca. Jika dia bosan, dia akan mulai mencari cemilan dan membuat dirinya sibuk. Lalu dia menawarkan cemilan dengan senyum dan mulai mengobrol, lalu-"

"Jean, dia tidak ada.."

"ya ya… aku tau. Haah.. hidup membosankan ya. Kau lahir, berkembang, bertemu seseorang, kehilangan orang itu, sampai akhirnya kau tewas"

Jean mengepalkan tangannya " aku… akan menemukan pembunuh Marco !"

Deg..

Tak bisakah kau lihat aku ? apa aku kurang mencolok ?

.

"se-semoga berhasil.." Hatinya sakit dipicu oleh nama itu. Nama yang keluar dari mulut pria dihadapannya.

Jean, seandainya kau tahu akulah… aku yang membunuh Marco

Seandainya kau tahu perasaanku.

Seandainya kau tahu, hatiku sakit saat menghancurkan hidupmu.

Seandainya kau tahu, aku cemburu saat kau sebut nama itu.

Bertholdt mendekati tempat Jean duduk. Cukup dekat…. Sangat dekat…

"Bertholdt, kau mau apa ?"

"Jean, aku… aku…" aku minta maaf

Sebuah pelukan hangat yang mengalahkan suhu dingin di udara ia berikan pada pria yang ia kasihi itu. Pelukan itu lembut…sangat lembut… mendekap Jean, sangat berbeda dari sosok pembunuh yang selama ini melekat pada pria berambut gelap itu.

"Apa-apaan ini ?! Hoy.. Bertholdt ! ngapain sih kau ?"

"Jean, aku tau kau sedih. Aku juga tahu kau kehilangan. Tidak masalah laki laki menangis, tapi jangan terlalu terlarut masa lalu" Bisa bisanya kau bicara itu, manusia hina.

"aku gak papa. Sudah berapa kali aku bilang?"

"Jangan menipu dirimu sendiri… " Untuk siapa pernyataan itu ? Jean atau Kau ?

"a-aku gak papa ! Sialan ! kenapa kau harus begini ?" Tubuh Jean mulai gemetar. Segala emosi yang ia pendam semenjak Marco tiada kini tumpah. Semua tumpahan emosi terkutuk itu kini memenuhi dirinya yang berpura pura menjadi pribadi yang kuat, sombong, dan menyebalkan bagi sebagian orang. Permata bening mulai meleleh dan mengalir deras dari mata hazel keemasan miliknya. Matanya sudah tak sanggup lagi membendung airmata itu. Jean membenci dirinya di keadaan seperti ini. Di pelukan Bertholdt, Kirschstein mulai meluapkan perasannya. Bertholdt merasakan bagaimana pria dalam dekapannya itu menderita karna perbuatannya.

Maaf Jean. A-aku…aku menjijikkan… tapi, aku—

"AAAAA…. MARCOO ! MARCOO ! A-AKU KESEPIAN DI RUMAH ! MARCOO ! WHY ? DAMN IT ! MARCOO ! MARCO ! A-aku.. AAAAA…. SIALAN ! SIALAN ! SIALAN ! SIALAN ! BERENGSEK KAU COLOSSAL KILLER !" Sstu tangannys mengepal dan memukul-mukul kencang punggung Bertholdt yang masih memeluknya. Tangan lainnya mencengkram baju bagian punggung Bertholdt

"akh… ugh.. Je-Jean..mm..akkhh.." sa-sakit.. kau pantas menerimanya

Jean berteriak-teriak, memaki maki. Suara berat nya yang serak karna menangis menggetarkan udara di sekitar mereka. Nafasnya tersengal-sengal. wajahnya mulai memerah karna menangis. Bertholdt menahan sakit karna hantaman tangan Jean yang berulang-ulang mendarat di punggungnya. Sakit itu muncul kembali di hati Bertholdt. Itu jauh lebih menyakitkan jika dibanding dengan pukulan Jean sekarang. Lehernya seperti terikat kuat hingga nafasnya menadi berat oleh kata kata Jean yang memaki-maki julukannya, dengan kata lain memaki dirinya. Dalam pelukan itu, Bertholdt merasakan sakit sekaligus rasa nyaman yang selama ini sudah tidak ia rasakan. Dia bahkan mulai berfikir dirinya telah menjadi masochist karna semua itu. Aneh, Bertholdt bisa mencium aroma shampoo di rambut Jean. Harum... aroma dari tubuh Jean special. Dia menyukai perasaan ini meski harus 'membakar' dirinya.

Tuhan, akankah kau dengar doa jiwa menjijikkan ini ?

Aku tidak mau waktu yang terulang kembali. Jika saja... Jika saja aku bisa mendapat kesempatan kedua, aku mohon.

Kesempatan kedua agar aku bisa memulai segalanya dari awal, agar aku bisa terus bersama cahayaku tanpa 'membakar'ku

Tapi untuk sekarang, tolong jangan akhiri ini. Sungguh, aku tidak mau ini berakhir dengan cepat.

. . .


halo pembaca, saya baru di sini. ini ff pertama saya. maaf bahasanya setengah baku atau rada nge-bingungin. maaf kalo typo. maaf juga ff nya cuma sampe segini dulu. aku mau liat, kalo ada yang suka bakal aku lanjutin, kalo enggak aku males ngelanjutin xD masih belajar. silahkan review atau menyaimpaikan saran/kritik/kesan tentang ff tijel ini. terimakasih kepada yang telah membaca ini xD