Semua properti Partikel adalah karya Dee Lestari. Saya tidak mengambil keuntungan apapun.
Oneshot singkat.
Zarah tumbuh bersama fungi, biologi, dan ide-ide gila milik ayahnya. Zarah jatuh cinta pada singa, beruang, orangutan, yang bisa memacu adrenalinnya. Zarah tahu ada yang salah. Ia tahu dirinya tidak seperti wanita kebanyakan yang mendambakan sepatu terbaru keluaran Jean-Paul Gaultier atau berada pada urutan pembeli pertama kala Burberry mengeluarkan koleksi musim dinginnya. Ia hidup di London untuk kerja, setelah ditemukan oleh dia, jauh di pedalaman Kalimantan. Zarah rela meninggalkan segala kesederhanaan di Tanjung Puting dan terbang ke London untuk mencari ayahnya. Atau setidaknya, berusaha mencari petunjuk di mana ayahnya berada.
Awalnya, nama itu tidak begitu mengusik pikiran. Nama yang sudah terlampau sering diucapkannya dengan riang, sekadar untuk memastikan keberadaannya. Walaupun ia tahu tindakan itu tidak perlu, karena dengan tinggi nyaris dua meter, dia dengan mudah menangkap indera penglihatan Zarah.
Sampai Storm menghiasi harinya pun, Zarah tak pernah sadar. Mata itu selalu mengawasinya, seakan tahu bahwa kebahagiaan yang gadis itu alami adalah semu. Tidak nyata. Bagai bom waktu, dia tahu suatu saat Zarah akan meledak. Ia tahu, jauh sebelum Zarah menyadarinya.
Oleh karena itu, Zarah tidak bisa menyembunyikan rasa terima kasih kala dia menemukan pengirim Nikon Titanium-nya, suatu hal yang sudah ia lakukan dengan ulet oleh Storm tapi tak pernah membuahkan hasil. Sedangkan dia? Tiba-tiba menyerahkannya seperti berkata, "Kau mendapat hadiah dari tetangga sebelah. Mau?"
Tidak. Zarah tidak pernah mengerti arti tatapan itu. Bukan tatapan hangat, melainkan tatapan melindungi. Seolah Zarah adalah binatang peliharaan yang dibiarkan bebas tetapi tetap dalam pengawasan. Dia selalu siap merentangkan tangan jika gadis itu menghambur ke pelukannya, membutuhkan sosok kakak yang tidak pernah ia dapatkan. Terlebih saat Storm mengkhianatinya. Dia, bersama Zach, selalu setia mendengarkan, tanpa menginterupsi.
Ia bodoh, 'kan? Memuja Storm begitu hebat, padahal dia jauh lebih hebat. Mengagungkan kebaikan Storm karena bersedia membantu mencari pengirim Nikonnya, padahal dia membantu tanpa diminta. Selalu memuji betapa wangi dan rapinya Storm dalam setiap kesempatan, padahal dia, Zarah mengakui sendiri, adalah fotografer yang dapat dengan mudah disenangi banyak orang karena keunikannya.
Oh, Zarah. Kau memang begitu buta. Paul memelukmu di terminal, dengan kau hanya setinggi dadanya, Paul yang kau kira sudah pergi namun kembali hanya untuk melayangkan ciuman perpisahan, seakan kau tidak akan kembali. Paul yang selalu ada, baik saat kau meminta maupun tidak.
Dan jangan hiraukan gema hati itu, Zarah. Hatimu yang selalu menggaungkan pertanyaan sama, "Masih perlukan aku bertanya atas sesuatu yang sebetulnya sudah kuketahui jawabannya?"
Jangan terus bertanya "Apakah?" seperti, "Apakah aku sudah tahu jawabannya?", karena kau sudah tahu, dan pertanyaan dengan awalan "apa" hanya memiliki jawaban pendek dan kau tidak bisa mengelaborasi. Mulailah dengan "Bagaimana?". Selanjutnya, itu terserah padamu.
THE END
...fail banget ya :(
