Title: One for All

Character: Izuku Midoriya, Shouto Todoroki, Ochako Uraraka, Katsuki Bakugou, and other.

Disc: My Hero Academia beserta semua karakternya adalah milik Om Kouhei Horikoshi, yang saya punya hanya FF-nya.

Genre: Friendship, Drama, Hurt-Comfort.

Rated: K+

Warning: Alur cepat, Typo, AU, OOC.

HAPPY READING!^^

.

.

.

Sepasang netra sewarna jamrud itu sayu, menatap datar layar pada televisi. Pandangannya dingin—nyaris kosong. Entah ke mana pikirannya beranjak meninggalkan raga, menyisakan seonggok tubuh yang seolah mati meski masih bernapas.

Di depan sana, di dalam layar itu tampak sosok serupa dirinya—memang dirinya, dalam sebuah berita yang dikemas penuh pujian dan sanjungan. Ia tak menghitung sudah berapa kali ia melihat sosoknya sendiri di sana, padahal ia jelas ingat sebelum ini dirinya hanya seorang anak laki-laki biasa yang tak dikenal, hidup tenang seorang diri sejak sang ibu meninggal dua tahun yang lalu.

Semua berawal ketika dirinya menolong seseorang. Gadis muda yang belakangan diketahuinya ternyata adalah anak dari salah satu orang paling berpengaruh di negaranya. Dari situ, pemberitaan tentang dirinya mulai meluas, jauh lebih cepat dari kabar yang dibawa oleh burung-burung.

"Begadang lagi, Deku-kun? Dan lagi-lagi kau tidak habiskan makan malammu."

Suara seseorang yang sarat akan kekhawatiran menarik pemuda itu dari lamunan. Ia menoleh, mendapati seorang wanita menghampirinya. Tetangga yang tinggal di sebelah rumah sekaligus orang yang paling peduli padanya, terlebih sejak kepergian Inko Midoriya.

Izuku menanggapi suara itu dengan gelengan singkat, lantas mulai hanyut dalam dunianya kembali. Namun layar TV yang tiba-tiba dimatikan membuat pemuda itu mau tak mau kembali terfokus pada sosok yang mengajaknya bicara, wanita muda yang kini menatapnya dengan sepasang lengan terlipat di depan dada.

"Sudah kubilang jangan lihat-lihat lagi berita seperti itu. Kondisimu bisa makin memburuk!" omelnya kemudian.

"Ahhahah … gomenne, Uraraka-san," balas Izuku dengan cengiran kecil di wajah kusutnya.

"Aku bawakan makan siang. Kali ini pastikan kau memakannya sampai habis, aku mengawasimu!" kata wanita muda itu sembari kedua tangannya sibuk membersihkan sisa makanan yang tak habis di meja, kemudian meletakkan bawaannya di sana.

"Oh, dan kurasa kau harus mulai biasakan tak memanggilku begitu lagi, Deku-kun. Sebentar lagi margaku akan berganti, kau tahu itu bukan?" lanjutnya lagi.

"Kalau begitu, haruskah aku mulai memanggilmu Nyonya Bakugou—aduh!" Izuku mendengus, mengusap kepalanya yang baru saja dicatuk dengan sendok sayur oleh lawan bicaranya.

"Tidak perlu begitu juga! Belum menikah, lho. Belum!" Ia kembali mengomel. "Panggil saja nama belakangku."

"Tapi segera, 'kan? Kudoakan hubunganmu dengan Bakugou-san lancar."

Mendengar itu, lawan bicaranya tertawa kecil. "Aku tidak yakin akan selancar itu. Sampai sekarang pun aku sendiri masih sedikit kesulitan menghadapi Katsuki yang mudah sekali naik darah itu, kautahu?"

"Tapi kulihat dia orang yang baik." Izuku kembali menanggapi, ia ingat pernah beberapa kali bertemu dengan pria tunangan anak perempuan keluarga Uraraka itu. Kebetulan mereka bekerja di tempat yang sama.

"Umn, dia baik. Sangat baik. Dan lebih dari apa pun, aku tahu dia akan selalu melindungiku, apa pun yang terjadi."

Izuku turut menarik segaris senyum ketika mendapati lawan bicaranya tersenyum malu-malu, raut bahagia tampak jelas di wajah manisnya. "Syukurlah kalau begitu."

Pemuda itu mulai menyendokkan nasi ke mangkuknya ketika makanan telah tersaji rapi di atas meja. Di hadapannya duduk Ochako Uraraka, anak perempuan tetangga yang beda usia sekitar tujuh tahun darinya dan ia tahu sebentar lagi akan menikah.

Di menit-menit selanjutnya, ia menikmati makan siangnya dalam diam, sementara Ochako yang duduk di hadapannya ternyata benar-benar mengawasi kegiatan pemuda itu dengan tatapan tajam. Sedikit banyak membuat Izuku merinding, ia merasa beberapa bagian tubuhnya akan remuk jika ia tak menghabiskan nasi di mangkuknya.

"Maaf ya, Uraraka-san. Sejak ibuku meninggal, aku selalu merepotkan kalian." Izuku setengah menggumam, tiba-tiba kembali merasa tak enak hati.

Nyatanya Izuku cukup sadar diri bahwa ia sudah terlalu banyak merepotkan keluarga yang tinggal di sebelah rumahnya itu, meski mereka selalu berkata bahwa mereka tak keberatan dan sudah menganggap Izuku seperti anggota keluarga mereka sendiri. Padahal Izuku cukup tahu bahwa kondisi ekonomi keluarga itu termasuk pas-pasan.

"Bicara apa kau ini? Aku sudah bosan menjelaskan padamu kalau kami sama sekali tak menganggapmu sebagai beban. Berhentilah merasa tak enak hati, Deku-kun." Tampaknya Ochako mulai berniat melanjutkan kembali omelannya. "Lagipula kau itu hanya bocah yang baru kemarin lulus SMP. Mana mungkin kami membiarkanmu begitu saja!"

"Begini-begini sekarang uangku banyak lho." Izuku setengah bercanda.

"Apa gunanya banyak uang kalau kau tampak seperti orang yang mau mati saja dari hari ke hari?"

Kalimat terakhir yang diucapkan Ochako membuat Izuku bungkam. Menyadari ia telah salah bicara, wanita muda itu berniat segera berusaha menghibur pemuda di hadapannya, tetapi belum sempat ia bicara, Izuku lebih dulu bersuara.

"Uraraka-san … aku memikirkan ini selama berhari-hari …," Izuku menjeda ucapannya sejenak, "dan aku sudah putuskan."

Ochako kini menatap lawan bicaranya dengan raut serius. "Apa itu, jika aku boleh tahu?"

Izuku menghela napas. Ia mengangkat wajah, menatap lurus ke mata lawan bicaranya dengan secercah keyakinan yang tampak jelas dalam pantulan sepasang netra hijau jernih.

"Aku akan berhenti bekerja di rumah sakit itu …," kata Izuku setelah beberapa lama berdiam. "Dan sebagai gantinya, aku akan memberikan seluruh kosei-ku untuk mereka yang kuanggap sungguh membutuhkannya. Dengan begitu … setidaknya aku bisa menghilangkan semua penyesalan yang terus menghantuiku sampai sekarang."

Pandangan Ochako menjadi kian tajam. Ia menangkap sesuatu yang janggal dari kalimat yang diucapkan oleh lawan bicaranya itu.

"Kata-katamu terdengar seperti kau berencana untuk mati, Deku-kun."

"Memang itu rencanaku."

#

Izuku diberkahi dengan sebuah kosei yang istimewa. Sejak kecil, ketika Inko Midoriya masih hidup, ibunya itu selalu melarang Izuku menggunakan kosei-nya. Jangankan menggunakan, Izuku bertanya perihal apa sebenarnya kekuatan yang ia miliki saja, sang ibu nyaris tak pernah memberikannya jawaban yang pasti. Ia hanya akan menjawab "suatu saat nanti kau akan mengerti dengan sendirinya" setiap kali Izuku bertanya.

Hal itu bahkan sempat membuat Izuku merasa dikucilkan karena anak-anak sebayanya menganggap dirinya adalah anak aneh yang tidak memiliki kekuatan. Nyatanya, meski Inko selalu berusaha meyakinkan bahwa Izuku memiliki kosei yang hebat, Izuku sendiri bahkan tidak tahu apa kekuatannya itu.

Belakang hari, barulah tanpa sengaja ia mengetahui kosei yang sesungguhnya ia miliki dalam sebuah kejadian tak terduga.

Tepat di hari kelulusannya, ia menyaksikan sebuah kecelakaan. Tabrak lari yang tersangkanya meninggalkan sang korban sekarat di tengah jalan. Dalam panik, Izuku yang kebetulan berposisi dekat dengan lokasi kejadian tanpa pikir panjang memeluk tubuh sekarat itu, mencoba memanggil orang-orang yang melintas untuk menolongnya.

"Siapa pun! Tolong! Nona ini akan mati jika tidak segera mendapat pertolongan!" pekiknya di jalan yang ramai itu.

Izuku takut. Sungguh takut. Bayangan kematian sang ibu menghantui kepalanya. Ia selalu takut pada kematian sejak menyaksikan sendiri Inko yang meninggal tepat di depan matanya, tanpa ia bisa melakukan apa pun.

"Bertahanlah, kumohon. Jangan mati," bisiknya pada gadis sekarat dalam pelukannya. Ia nyaris menangis.

Dan itulah awal ia mengetahui kekuatan yang sesungguhnya ia miliki. Ketika secara tak sengaja ia mengaktifkan kosei-nya dan membuat gadis yang tadinya telah berada di ambang kematian itu tiba-tiba kembali seperti sediakala tanpa sedikit pun luka di tubuhnya. Hanya menyisakan darah yang sebelumnya telah mengotori pakaian yang ia kenakan.

Kemudian Izuku mengetahui, bahwa kosei miliknya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan. Ia menyebutnya One for All, di mana dari penjelasan Dokter yang didengarnya, kemampuannya itu dapat menyembuhkan penyakit apa pun dengan perantara sebuah pelukan.

Sakit separah apa pun, bahkan seseorang yang telah berada di ambang kematian, Izuku dapat menyembuhkannya. Namun timbal balik dari kekuatan yang besar itu adalah suatu risiko yang besar pula, di mana setiap kali Izuku menyembuhkan sesuatu atau seseorang, ia akan kehilangan 5% dari sisa hidupnya.

Satu untuk semua.

Berbagi nyawa.

Kini Izuku mengerti mengapa ibunya selalu melarang ia menggunakan kekuatan itu. Ia juga baru sadar alasan Inko selalu melarangnya untuk terlalu dekat dengan orang lain. Ia bahkan ingat wanita itu pernah menangis dan memarahinya habis-habisan karena ia mencoba menyelamatkan seekor anak kucing yang nyaris mati di jalanan, dan membawanya pulang dalam pelukan.

Izuku menyesal pernah menganggap ibunya jahat karena kejadian itu.

Belakang hari, tanpa diduga, orang-orang mulai mencari keberadaan Izuku. Gadis yang sebelumnya ia tolong ternyata adalah anak perempuan dari salah satu menteri yang sedang menjabat saat ini. Pemberitaan tentang aksi heroiknya mulai menjadi pembicaraan yang hangat dan tersebar-luas dengan cepat, hingga akhirnya sebuah Rumah Sakit menawarkan kontrak kerjasama dengan Izuku.

Dalam pekerjaannya, Izuku hanya perlu menyembuhkan pasien yang datang untuk menerima pelukannya. Awalnya Izuku sama sekali tak merasa keberatan dengan hal ini, dalam kontrak juga telah disepakati bahwa Izuku akan dipensiunkan jika telah menyembuhkan 10 orang sebab ia sendiri hanya memiliki kesempatan sebanyak 20 kali untuk mengaktifkan kosei-nya itu. Dan Izuku mendapatkan upah yang sangat lebih dari kata cukup atas pekerjaannya.

Upah yang ia dapatkan itu bahkan mungkin cukup untuk membiayai hidupnya hingga lulus kuliah—meski nyatanya Izuku ragu ia akan bertahan hidup selama itu. Ia sendiri tak pernah tahu berapa lama lagi sisa umurnya.

Namun semakin lama, Izuku merasakan bahwa sesungguhnya yang ia lakukan adalah salah. Ia mulai tersadar bahwa dirinya hanya dijadikan semacam alat oleh Rumah Sakit untuk menyembuhkan orang-orang yang mampu membayar sangat mahal. Sementara di depan matanya, berkali-kali ia melihat orang-orang yang menemui kematian tanpa bisa menolong mereka.

"Jangan lakukan apa pun yang menyalahi kontrakmu, Midoriya-san. Kau hanya boleh menyembuhkan pasien yang seharusnya kausembuhkan. Jangan libatkan emosi dalam pekerjaanmu atau kau akan membuat masalah!"

Itu kalimat yang ia dapatkan ketika dirinya memprotes larangan dari pihak Rumah Sakit untuk menyembuhkan seorang anak kecil yang meninggal karena gagal jantung.

Ini salahmu! Banyak orang yang sesungguhnya lebih membutuhkanmu tapi tidak kautolong. Sementara orang-orang berduit banyak di luar sana mendapatkan pertolonganmu bahkan untuk penyakit yang sepele! Kau bahkan gagal menggunakan kekuatanmu ini untuk menyelamatkan ibumu sendiri!

Suatu bisikan yang sarat akan rasa bersalah mulai menghantui Izuku. Menghancurkan mentalnya perlahan-lahan hingga semakin lama ia mulai menderita depresi yang mengerikan. Ia tak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri, membuat kondisi kejiwaannya memburuk dari hari ke hari. Hingga kemudian akhirnya, di puncak dari penyesalannya itu, Izuku menentukan pilihan.

Melakukan sesuatu yang seharusnya ia lakukan. Yang sejak awal ia lakukan.

Menolong orang yang menurutnya pantas ia tolong, tanpa imbalan.

Dan kini ia berdiri di depan sekumpulan anak-anak kecil yang telah lama mendiami rumah sakit. Anak-anak itu menyambut bahagia kedatangan Izuku tanpa mengetahui apa pun. Yang mereka tahu, Izuku hanyalah seorang kakak baik hati yang berkunjung untuk menemani mereka bermain.

Izuku menyapa mereka dengan seulas senyum hangat di wajah, dan sebuah papan yang dihias warna-warni bertuliskan dua kata.

Free Hug.

#

"Kau gila, Deku. Tiba-tiba mengundurkan diri dari pekerjaanmu dan melakukan hal seperti ini. Dasar sinting!"

Izuku hanya bisa meringis menanggapi ucapan Katsuki, tunangan Ochako yang secara kebetulan bekerja di tempat yang sama dengannya. Seorang calon dokter yang sedang kerja magang.

Sesungguhnya Izuku sedikit heran memikirkan mengapa Katsuki memilih profesi ini ketika ia tahu kosei yang dimiliki pria muda itu sungguh bertolak belakang dengan aktivitas kerjanya—ledakan. Rasanya akan lebih cocok jika pria muda itu bekerja sebagai seorang hero, atau bergabung dalam pasukan militer.

Dalam hati Izuku hanya bisa mengelus dada mendapati seorang dokter dengan rangkaian kalimat sehalus itu. Ia hanya berharap Katsuki tidak meledakkan atau membuat pasiennya terkena serangan jantung karena kalimat manisnya itu jika suatu saat ia sudah benar-benar menjadi seorang dokter.

"Dengan begini setidaknya aku mendapat dua keuntungan. Aku bisa menolong orang-orang yang seharusnya kutolong, sekaligus menyembuhkan mentalku sendiri. Bukankah ini bagus, Bakugou-san?" jawab Izuku seadanya. Ia memang tak menyangkal, setelah semua yang ia lakukan hari ini, perasaannya menjadi lebih ringan.

Katsuki mengedikkan bahunya, tampak tak begitu peduli. "Jadi, berapa banyak sisanya?"

Butuh beberapa waktu bagi Izuku untuk bisa memahami pertanyaan itu, hingga ketika akhirnya ia menangkap maksudnya, seulas senyum tanpa dosa melebar di wajah pemuda itu.

"Jika aku tidak salah menghitung, mungkin …," Izuku menjeda sejenak, "sekitar sepuluh persen?"

Jduagh!

Izuku gagal menghindar ketika di detik selanjutnya kepalan tangan Katsuki telah menghantam kepalanya hingga ia sontak berjongkok, mengusapi kepalanya yang kini berdenyut nyeri.

"Ba-bakugou-san?!"

"Kau ini memang idiot sejati!" sembur Katsuki, sama sekali tak merasa berdosa atas apa yang baru saja ia lakukan.

Setidaknya Izuku harus bersyukur Katsuki tidak menggunakan kosei-nya ketika menghantam kepalanya barusan. Izuku bahkan tak berani membayangkan jika itu benar terjadi.

"Sumimasen. Maaf mengganggu waktu kalian …." Sebuah suara menghentikan keributan di antara Izuku dan Katsuki. Seorang wanita paruh baya dengan warna rambut seputih salju tampak melangkah mendekati mereka.

"Kau … Izuku Midoriya-san, 'kan? Bolehkah aku bicara sebentar denganmu?" kata wanita itu lagi.

Izuku dan Katsuki saling pandang sejenak. Mendengus malas, Katsuki akhirnya memutuskan untuk menjauh dan membiarkan mereka bicara.

"Kubunuh kau jika melakukan hal yang aneh-aneh lagi, bocah sialan!" pesannya sebelum melenggang pergi.

Dalam hati, lagi-lagi Izuku hanya bisa mengeluh pasrah.

Kalau begitu, apa pun yang kulakukan, pada akhirnya aku hanya akan mati juga, Bakugou-san ….

Beberapa saat kemudian, Izuku teringat sosok yang mengajaknya bicara. Ia memberikan seluruh atensinya pada wanita itu kini, membiarkannya memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuannya.

"Sebelumnya aku datang kemari dan mencoba menemuimu, tapi kudengar kau sudah berhenti bekerja," ujar wanita yang mengenalkan dirinya sebagai Rei Todoroki itu. "Aku ingin meminta pertolonganmu, Midoriya-san."

Izuku tahu ia seharusnya tak perlu lagi merasa terkejut akan hal seperti ini. Jelas sekali semua orang yang ingin menemuinya memiliki tujuan yang sama.

"Ma-maafkan saya, tapi saya sudah—"

"Kumohon. Aku akan melakukan apa pun!"

Izuku terdiam ketika wanita itu merendahkan tubuhnya, memohon. Dengan gelagapan ia berusaha menghentikannya.

"Aku akan lakukan apa pun, tapi kumohon sembuhkan anakku …."

To be continued


Catatan penulis.

Bukannya lanjutin Wishes, ku malah nulis ini. Nyahhah. FF satu itu kulanjutin nanti deh. :3

Ini FF berchapter pertamaku untuk fandom BnHA. Sepertinya tidak akan panjang, cuma sekitar 4-5 chapter.

Oh, dan sedikit info, Izuku dan Shouto tetap di usia mereka yang biasanya di sini. 15-16 tahun, sisanya menyesuaikan kebutuhan cerita. Mohon dimaklumi yak. :3

Aku pribadi merasa chapter pertama ini agak membosankan dan lebih banyak narasinya ketimbang dialog cerita, tapi kuharap hal itu tidak membuat kalian berhenti untuk membaca bagian selanjutnya. Hehe.

Chapter kedua akan kupublish besok.

Akhir kata, terima kasih sudah mampir dan membaca.

Best regards, Sakyu.