Disclaimer : Naruto BUKAN punya saya. Kalau punya saya, Naruto bakal banyak adegan mesranya :V

.

GHOST © Vandalism27

.

Warning : BOYS LOVE, OOC (PARAH), Gaje tingkat tinggi, alur gak jelas, dan sederet kecacatan lainnya yang dapat menyebabkan mata berkunang, pusing, mual, muntah, baper, krisis kuota dan berbagai keluhan lainnya.

.

Sinopsis:

Niat hati berteduh untuk menyelamatkan kameranya dari hujan yang turun dengan deras. Siapa sangka, sesuatu malah mengikutinya.

.

.

SELAMAT MEMBACA!

.

.

"Huaah! Konohaaaaa!" Turun dari kereta, Naruto merentangkan kedua tangannya sambil menghirup udara segar yang ada di Konoha, tempat asal Jiraiya, kakeknya.

Naruto yang tumbuh di kota besar macam Tokyo sudah pasti sangat merindukan udara bersih dan sejuk seperti di Konoha ini. Daerah pinggiran yang terletak di kaki gunung. Tempat favorit Naruto.

Jiraiya bukanlah kakek kandungnya. Naruto adalah yatim piatu, sejak dirinya bisa mengingat, dia sudah berada di panti asuhan bersama anak-anak yatim piatu lainnya, Naruto tidak tahu siapa orang tuanya, bahkan kenapa bisa dia ada di panti asuhan, dirinya juga tidak tahu.

Jiraiya adalah kakek yang dia temui ketika Naruto yang kala itu masih kecil diajak Chiyo, nenek pengurus panti asuhan untuk bertamasya. Mereka pergi ke Konoha. Naruto yang memang dasarnya super kepo dan tidak bisa diam, tersesat di dalam hutan.

Beruntung, dia bertemu dengan Jiraiya yang berada di dalam hutan sehabis dari sungai. Naruto di bawa ke rumahnya, diberi makanan. Jiraiya kemudian mendengar dari kepala desa kalau ada anak yang tersesat di dalam hutan, dengan ciri-ciri yang mirip dengan Naruto. Jiraiya mengantarkan Naruto ke rumah kepala desa, disanalah Nenek Chiyo sudah menunggu.

Setelah bertemu dengan Jiraiya, Naruto jadi sering meminta tamasya ke Konoha. Nenek Chiyo mengajak mereka ke Konoha tiap tahun. Tetapi semenjak Nenek Chiyo meninggal, Naruto tidak pernah ke Konoha lagi. Ketika sudah cukup dewasa untuk bepergian sendiri, Naruto pergi ke Konoha untuk mengunjungi Jiraiya. Sejak saat itulah mereka jadi dekat, bagaikan kakek dan cucu.

"Ero-jiisan! Tadaima!" Naruto berteriak di depan rumah sederhana milik Jiraiya.

Kakek yang masih kuat di usia senja itu terkejut, lalu menyambut Naruto yang baru saja tiba. "Oooh, Naruto! Kau ke sini lagi rupanya. Ayo, masuklah. Aku baru saja mendapatkan makanan enak dari Megumi-chan."

Naruto memutar matanya. Kenapa Naruto memanggilnya Ero-jiisan? Inilah sebabnya, sudah tua tapi masih saja menggoda gadis-gadis muda. Kalau lagi mujur, bisa dapat makanan atau kue-kue gratis seperti sekarang ini. Kalau lagi apes ya… dapat tamparan di pipi.

"Kau ini, masih sama saja seperti dulu." Naruto melepas sepatunya, lalu masuk ke dalam rumah. Dia meletakkan tasnya di lantai, lalu melepas jaket yang dia pakai. "Wow, kelihatannya enak. Kau sedang mujur ya, Jiisan?"

Jiraiya tergelak, "Begitulah. Ayo, di makan!"

Setelah mencuci tangannya, Naruto menyantap makanan dari kecengan Jiraiya itu dengan lahap. Lumayan juga, dapat makanan enak, gratis pula. Setelah makan, mereka duduk di teras rumah sambil mengobrol dengan santai, membahas keseharian Naruto di Tokyo sebagai seorang photographer terkenal.

Malam semakin larut, Naruto baru sadar kalau suasana di desa ini begitu sepi, tidak seperti jaman dia masih kecil dulu yang selalu ramai meskipun sudah malam.

"Jiisan, aku baru sadar. Kenapa di sini sepi sekali kalau sudah malam?" tanya Naruto yang penasaran. "Dulu waktu aku kecil kan ramai?"

"Ya, sejak peristiwa pembantaian yang merenggut nyawa satu keluarga, desa ini jadi mencekam jika malam tiba." Jiraiya menjelaskan.

Naruto mengerutkan keningnya, "Pembantaian?"

"Ya, pembantaian keluarga yang menewaskan keluarga Uchiha. Ayah, ibu, dan anak sulungnya tewas mengenaskan, dibantai oleh perampok. Hanya menyisakan anak bungsu mereka saja."

"Ya ampun, tega sekali."

Jiraiya mendekatkan wajahnya ke Naruto, "Kau tahu, apa yang membuat desa ini mencekam tiap malam tiba?"

"T-tidak?"

Jiraiya terkekeh misterius, "Itu karena setiap malam tiba, arwah dari sang Ibu meneror warga, menanyakan di mana anak bungsunya, apakah dia baik-baik saja? Awalnya ku pikir hanya kerjaan orang iseng, tapi ternyata banyak yang mengalaminya. Hingga akhirnya tidak ada yang berani keluar jika sudah malam."

"B-begitu, ya?" Naruto menelan ludahnya gugup, dia tidak suka cerita horror. "Eheheheh…" dia tertawa gugup sambil memandang sekitar yang gelap dan sunyi.

"BOOO!"

"WHOOOAAAA!" Naruto berteriak ketika Jiraiya tiba-tiba menepuk kedua bahunya dengan keras. "Kau mengagetkanku, Kakek Tua Mesum!" Naruto mengelusi dadanya, rasanya jantungnya hampir copot.

"Hahahahaha! Kau masih saja takut dengan hantu ya, padahal sudah sebesar ini? Lihatlah, untuk apa kau punya otot di lenganmu dan perut kotak-kotak kalau mendengar cerita seram saja kau takut?" Jiraiya tertawa terbahak-bahak, mengingat betapa takutnya Naruto pada hantu.

"Tidak lucu!" Naruto merengut.

Tawa Jiraiya sudah sedikit mereda, tapi sesekali masih tertawa. Diusapnya sudut matanya yang mengeluarkan air mata. "Tapi serius, Naruto. Wajahmu itu lucu sekali kalau sedang ketakutan begitu." Jiraiya berdiri, menepuk kepala Naruto yang masih cemberut. "Ayo masuk, istirahatlah. Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh."

Naruto mau tidak mau menurut, dia tidak mau duduk sendirian di sini.

Ketika Naruto hendak berbaring di futon di dalam kamarnya, Jiraiya memanggil dari pintu. "Naruto?"

"Ya?"

"Awas ada hantu di sebelahmu."

"DIAM KAU!" Bantal tidak bersalah pun melayang …

Keesokan paginya, Naruto sudah bersiap untuk menjelajahi Konoha. Dia sudah membawa kamera dengan lensa terbaiknya, untuk memotret setiap tempat indah yang akan dia temui.

Baginya, tiada tempat indah selain Konoha.

"Oh, kau sudah siap, Naruto?" Jiraiya keluar dari kamarnya, sambil mengencangkan ikatan obi yang dia pakai. "Jangan pulang terlalu malam, dan jangan tersesat!"

Naruto mencibir, "Kau pikir aku bocah? Aku tidak akan tersesat." Naruto mengetukkan sepatunya ke lantai, mengecek apakah talinya longgar atau tidak. "Kau mau kemana, sudah rapi pagi-pagi begini?"

"Aku ada kencan dengan Ayura-chan~ Bye, Naruto-kuuun~" Jiraiya melambai genit, yang mengakibatkan Naruto membuat gesture seolah-olah dia ingin muntah.

Abaikan Pak Tua Genit itu, sekarang saatnya Naruto berburu foto.

Keluar dari rumah Jiraiya, Naruto melihat ke kiri dan ke kanan. Situasi sudah kembali normal, ramai seperti biasanya. Bukan sunyi mencekam seperti semalam. Naruto bergidik mengingat kembali cerita Jiraiya.

"Ah, sudahlah. Lebih baik aku fokus."

Naruto memotret segala hal yang menarik baginya. Ibu-ibu yang sedang tawar menawar di pasar, anak kecil yang sedang menangis, rumah-rumah warga, pegunungan yang terlihat di kejauhan, sungai, persawahan, dan berbagai macam tanaman yang cantik.

Naruto terus berjalan, mendekati daerah hutan.

Dia tersenyum, di sinilah dia bertemu dengan Jiraiya untuk pertama kalinya. Dia masuk ke dalam hutan. Karena sering diajak Jiraiya, dia jadi tahu tempat-tempat menarik di dalam hutan.

Seperti air terjun, yang terletak satu jam berjalan kaki dari pintu masuk hutan. Air terjun ini cukup tinggi. Naruto hanya bisa memandang air terjun ini dari atas tebing, dia tidak tahu cara untuk ke bawah. Suatu saat nanti dia akan mencari tahu jalan untuk turun ke bawah.

Hmm, apa dia mencari pasangan asli Konoha saja, ya? Haha.

Karena keasyikan memotret, Naruto jadi lupa waktu. Matahari tidak tampak karena langit mendung, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Jalan untuk keluar hutan cukup jauh, Naruto berjalan dengan terburu-buru.

Naruto memeluk kamera yang tergantung di lehernya agar aman.

Ketika dia keluar dari hutan, hujan turun tiba-tiba dengan derasnya. Naruto panik, dia harus berteduh untuk menyelamatkan kameranya. Benda kesayangannya itu tidak boleh lecet, apalagi kena air hujan.

Naruto berteduh di depan sebuah rumah yang sepi. Dia menyisir rambutnya yang basah ke belakang, lalu memeriksa kameranya apakah basah atau tidak. Syukurlah, kameranya baik-baik saja. Bajunya juga tidak terlalu basah, hanya basah di bagian bahu saja.

Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, sekarang keadaan desa sudah sepi.

Gulp. Naruto meneguk ludahnya, dia mulai merasakan hawa dingin yang tidak enak. Tetapi pemuda pirang itu berusaha berpikir positif. Siapa tahu hanya karena dia kedinginan, kan?

Krieeeet…

"HUAAAAAA!" Suara pintu terbuka membuat Naruto seketika menjerit.

Seorang wanita–mungkin usianya sekitar 30 tahunan–keluar dari dalam rumah, "Apa yang kau lakukan di depan rumahku? Di luar sedang hujan deras." Katanya. Wanita itu cantik, dengan kulit putih dan rambut hitam panjang.

Naruto sedikit bersyukur, ternyata bukan hantu. "Uhm, maaf. Namaku Naruto. Aku tidak bermaksud jahat, hanya ingin menumpang berteduh. Aku membawa kamera jadi tidak bisa menerobos hujan. Apa aku mengganggu?"

Wanita itu tersenyum, "Tidak. Masuklah, tunggu hujannya reda di dalam. Aku tahu kau tidak bermaksud jahat." Wanita itu membuka pintu lebih lebar lagi, mempersilahkan Naruto untuk masuk ke dalam.

"Eh? Bolehkah? Y-ya, terima kasih, Nyonya… uh?"

Wanita itu menatap Naruto dengan tatapan datar, "Mikoto. Panggil aku Mikoto."

"Oh, baiklah, Mikoto-san. Terima kasih atas kebaikannya. Maaf mengganggu." Naruto masuk ke dalam rumah itu. Dia melepas sepatunya yang basah, lalu duduk dengan sopan di ruang tamu.

Rumah itu luas dan… sepi. Ke mana penghuni yang lain? Apa Mikoto-san tinggal sendiri?

"Naruto-kun, minumlah teh ini supaya tubuhmu lebih hangat."

Naruto yang sedang mengelap lensa kameranya mendongak, menatap wajah pucat Mikoto. "Ah, terima kasih, Mikoto-san. Harusnya tidak usah repot-repot, diijinkan untuk berteduh saja aku sudah berterima kasih, kok."

"Tidak apa-apa."

Naruto tersenyum, baik juga wanita ini. Peduli pada orang asing. Di Tokyo, hanya orang-orang tertentu saja yang ramah pada orang asing. "Terima kasih." Kata Naruto, tangannya terulur hendak meraih cangkir itu. Atau itu yang dia pikirkan, sebelum …

"Naruto-kun… Apa kau tahu, di mana anak bungsuku berada? Apakah dia baik-baik saja?"

… Pertanyaan itu terlontar dari bibir pucat Mikoto.

Deg.

Tangan Naruto yang terulur, hampir menyentuh cangkir pun membeku seketika.

"Itu karena setiap malam tiba, arwah dari sang Ibu meneror warga, menanyakan di mana anak bungsunya, apakah dia baik-baik saja? Awalnya ku pikir hanya kerjaan orang iseng, tapi ternyata banyak yang mengalaminya. Hingga akhirnya tidak ada yang berani keluar jika sudah malam."

Cerita Jiraiya semalam, kembali terngiang.

Naruto menarik tangannya yang gemetaran, lalu dengan gugup membereskan kameranya. Dia sudah ingin menangis, mati-matian dia menahan air kencingnya yang sudah hampir keluar. Bisa-bisa Jiraiya tertawa kalau tahu dia kencing di celana.

"Mikoto-san, sepertinya a-aku harus pulang. Maaf ya. Permisi." Naruto berdiri, mengalungkan kameranya di leher lalu berjalan menuju ke pintu keluar tanpa melihat wajah Mikoto.

Ketika pintu sudah terbuka, Mikoto kembali bertanya. "Naruto-kun… Apa kau tahu, di mana anak bungsuku berada? Apakah dia baik-baik saja?"

Naruto tidak menjawab, dia membanting pintu dengan suara Brak! kencang lalu berlari keluar. Tidak mempedulikan kameranya yang terguyur air hujan, mata Naruto terpaku pada papan nama di tembok pagar.

Papan nama yang bertuliskan, "UCHIHA".

Naruto tersentak ketika dia mendengar suara teriakan histeris yang menyayat hati dari dalam rumah itu.

"HAAANTUUUUUUUUU!" Pemuda pirang itu lari terbirit-birit dengan wajah pucat pasi.

.

.

.

Crip… crip… crip…

Suara burung berkicauan, menyambut datangnya pagi yang cerah.

Biarpun tidak secerah pemuda pirang yang bergelung di dalam kotatsu.

Pemuda yang meringkuk ketakutan akibat peristiwa ganjil yang dia alami. Semalam, Jiraiya yang baru pulang dari rumah tetangga kaget ketika mendapati Naruto berlari sambil teriak-teriak. Wajahnya juga pucat pasi.

Ketika sudah mulai tenang, Naruto menceritakan kalau dia bertemu dengan hantu Mikoto, hantu yang mencari keberadaan anak bungsunya. Jiraiya kemudian memberikan secangkir teh hangat dan juga handuk untuk mengeringkan tubuh Naruto yang basah.

"Ayolah, Naruto. Mau sampai kapan kau meringkuk di situ? Keluarlah, nikmati cuaca yang indah ini!" Jiraiya menyesap kopinya sambil duduk santai di teras. Dipandanginya Naruto yang saat ini hanya terlihat kepalanya. Badannya ada di dalam kotatsu.

"Haaah~ Kan sudah aku bilang jangan pulang terlalu malam. Untung kau bisa lari. Kalau Mikoto menahanmu di rumahnya, bagaimana? Kau akan dihantui lalu diajak ke alamnya, lalu–"

"Whoaaa! Stop! STOP!" Naruto menutupi telinganya menggunakan kedua tangannya. "Jangan katakan hal mengerikan begitu, Jiisan!"

Jiraiya terkekeh kecil, cucunya itu pasti takut sekali. "Kenapa kau tidak lari saja begitu melihatnya, hah? Malah mampir ke rumahnya seperti kau kenal dia saja."

Naruto keluar dari kotatsu, lalu duduk bersila. Menatap Jiraiya dengan sengit, "Mana aku tahu kalau hantu itu ternyata seorang wanita cantik?!" Kerutan pertanda kesal muncul di dahinya.

"Apa kau bilang? Cantik? Ah, yang benar? Aku mau kalau dia cantik."

"Ish, kau ini bisa serius tidak sih?!"

Jiraiya kembali tertawa, "Sudahlah. Aku mau ke rumah tetangga, dia memintaku untuk memperbaiki pagarnya yang rusak. Bayarannya lumayan. Kau mau ikut?"

Naruto menggeleng, "Tidak. Aku tidak ingin keluar rumah setelah peristiwa kemarin." Pemuda itu kembali meringkuk di kotatsu. Menghangatkan dirinya, padahal cuaca di luar sedang hangat.

Tiga puluh menit kemudian, Naruto yang mulai merasa lapar akhirnya beranjak menuju ke kamar mandi. Dia membersihkan dirinya, setelah itu dia menuju ke dapur untuk memakan sarapannya yang sudah disiapkan oleh sang kakek.

Naruto terdiam. Kenapa dia merasa seperti sedang di awasi? Ah, sepertinya hanya perasaannya saja. Tidak ada siapa-siapa di sini. Lagipula ini masih siang. Tidak ada yang namanya hantu.

Setelah sarapan, Naruto merebahkan dirinya kembali. Dia sedang malas melakukan apapun. Memejamkan matanya, Naruto mencoba untuk tidur, karena semalaman dia tidak bisa tidur gara-gara hantu.

Srek… srek… srek…

Naruto mengernyit ketika mendengar sesuatu. Apa Jiraiya melupakan sesuatu? Pemuda berambut pirang itu membuka mata birunya. Oh, betapa menyesalnya dia membuka mata…

"Hai, Naruto-kun!"

"HUUUAAAAA!" Naruto terlonjak, mundur sejauh-jauhnya sampai punggungnya menabrak tembok. "M-Mi-Mikoto-s-s-san! Kenapa kau ada di sini?!" Naruto menunjuk Mikoto yang sedang duduk bersila di sebelah meja kotatsu.

Bagaimana hantu itu bisa di sini? Naruto melotot horror.

"Kemarin kau tidak menjawab pertanyaanku sih, makanya aku mengikutimu ke sini. Jadi, apakah kau tahu anak bungsuku ada di mana? Apakah dia baik-baik saja?" Mikoto kembali mengulangi pertanyaan semalam, membuat Naruto semakin mengkeret di tempatnya.

"A-a-aku tidak tahu! TIDAK TAHU! Pergi kau hantu! Jangan ganggu aku!"

Mikoto mengerucutkan bibirnya, "Heeee~ kau ini sama saja dengan orang-orang di desa. Aku hanya bertanya, di mana anakku, bagaimana keadaannya, tapi kalian semua malah lari ketakutan, seolah-olah aku ini hantu."

"Tapi kau memang hantu!"

Mikoto nyengir, "Oh iya. Hehe. Aku lupa." Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Jadi, aku harus bertanya pada siapa agar aku bisa mengetahui putraku ada di mana? Aku kan kangen padanya. Dia tidak pernah mengunjungiku di sini."

"M-mana aku tahu! Memang siapa putramu?!"

"Namanya Uchiha Sasuke." Mikoto merangkak mendekati Naruto yang meringkuk di pojokan. Naruto semakin merapat pada tembok di belakangnya, "Kenapa kau meringkuk ketakutan begitu, Naruto-kun? Aku tidak akan menyakitimu."

"T-tapi kau itu hantu!"

Mikoto menghela napasnya, "Ya memang. Tapi aku tidak akan menyakitimu. Kau tahu, aku ini hantu yang baik." Mikoto menjaga jarak dari Naruto, ketika sadar Naruto begitu takut padanya. "Baiklah, aku akan duduk di sini. Aku hanya ingin meminta bantuanmu, Naruto-kun."

"B-bantuan?"

Mikoto mengangguk, "Yap! Bantu aku mencari putraku!"

Naruto melotot, bagaimana caranya dia mencari anak dari hantu ini? Bentuknya saja dia tidak tahu, bagaimana bisa mencarinya? "Bagaimana aku bisa mencari anakmu?" tanyanya.

"Aku akan ikut denganmu ke Tokyo. Dari yang aku dengar dari beberapa kerabat, Sasuke pergi ke Tokyo. Aku belum pernah ke sana, jadi aku tidak tahu Tokyo itu dimana dan seperti apa."

"Kalau aku tidak mau?"

Mikoto tersenyum, entah mengapa firasat Naruto tidak enak melihat senyum itu. "Aku akan menghantuimu sepanjang hidupmu."

"A-apa?" Naruto menatap Mikoto tidak percaya. "Menghantui sepanjang hidupku… T-tidak! Aku tidak mau! Jangan ganggu aku!"

"Aku kan hanya meminta tolong padamu. Ayolah, apa susahnya?"

Naruto berdebat dalam pikirannya. Bagaimana bisa dia bertemu dengan hantu keras kepala seperti ini? Bagaimana caranya dia membantu hantu ini? Kalau dibantu, dia takut. Kalau tidak dibantu, dia pasti akan menghantui Naruto.

Apa yang harus dia lakukan? Lagipula, sepertinya… Mikoto hanya hantu yang merindukan anaknya, dan ingin memastikan anaknya baik-baik saja, apalagi setelah kejadian mengerikan itu.

"… Baiklah, aku akan membantumu." Naruto sudah memutuskan untuk membantu hantu wanita itu. "Jadi, seperti apa Uchiha Sasuke anakmu ini?"

"Hmm…" Mikoto berpikir, sepertinya mengingat-ingat seperti apa anaknya sekarang. "Dia mirip seperti aku, rambutnya gelap, matanya hitam. Dia ceria, ramah, dan sedikit manja. Dia juga suka tersenyum. Tapi kejadian itu terjadi enam belas tahun yang lalu, jadi aku tidak tahu fisiknya yang sekarang." Mikoto tersenyum lembut mengingat putra bungsunya itu.

"Berapa usianya?"

"Hmm… sepertinya 23, atau 24."

Naruto melotot, "Hei, berarti dia seumuran denganku?" Pemuda berambut pirang itu sudah tidak setegang tadi, sudah mulai memberanikan diri berbicara pada Mikoto. Sepertinya, hantu wanita itu tidak jahat.

Jadi, dia harus mencari Uchiha Sasuke berambut gelap, bermata hitam, ceria, ramah, sedikit manja dan selalu tersenyum? Di Tokyo? DEMI TUHAN! Tokyo itu luas!

.

.

.

Naruto menghela napas lega ketika turun dari kereta. Sebenarnya dia masih ingin tinggal di Konoha, tapi ternyata Mikoto ini terus memaksanya untuk mencari Sasuke. Jadi, dia sudah kembali ke Tokyo dan melupakan liburannya.

Mikoto ini berisik sekali, seperti orang baru keluar dari gua yang terisolasi dari dunia. Katanya dia begitu bersemangat untuk menemukan Sasuke-nya yang sudah enam belas tahun tidak pernah dia lihat wajahnya.

"Jadi, kita mau kemana, Naruto-kun?"

"Ke apartemenku dulu, aku lelah. Aku tidur sebentar tidak apa-apa, ya? Serius. Aku lelah setelah perjalanan jauh." Naruto memijat bahunya yang kaku. Dirinya benar-benar lelah dan memerlukan kasurnya yang empuk.

Mikoto tersenyum, "Ya, tidak apa-apa. Aku tahu kau lelah."

Naruto men-stop taksi yang melintas, lalu memberitahukan alamatnya pada sopir taksi. Sebenarnya bisa naik bus atau berjalan kaki, tapi Naruto sudah lelah dan tidak ingin berjalan kaki, apalagi naik bus. Dia takut ketiduran.

Naruto berusaha mengabaikan Mikoto yang terkagum-kagum dengan kemegahan Tokyo. Pikirannya berpusat pada bagaimana cara menemukan Uchiha Sasuke? Nama itu bahkan bukan nama unik, siapa saja bisa menggunakan nama itu. Bagaimana kalau bocah itu ternyata sudah mengganti marganya, atau sudah pindah dari Tokyo, atau lebih parahnya… sudah meninggal?

Naruto melirik hantu yang sedang menatap keluar jendela taksi. Sedikit kasihan, dia hanya seorang ibu yang merindukan anaknya. Apakah ibu kandungnya juga merindukan dia? Entahlah, Naruto sudah sebesar ini tapi ibunya tak kunjung mencarinya. Mungkin ibunya sudah melupakan dirinya.

Naruto sedikit iri pada Sasuke ini, ibunya sudah menjadi hantu pun, masih tetap mengkhawatirkan dan merindukan putranya. Seandainya dia punya ibu yang seperti itu …

Sampai di apartemen Naruto, Mikoto membelalak kaget melihat betapa berantakannya apartemen pemuda pirang itu.

"Astaga! Kau tinggal di tempat yang besar dan bagus. Tapi kenapa berantakan sekali?" Mikoto melayang di udara, mengamati beberapa pakaian dan kertas-kertas yang berserakan di sekitar meja.

"Yah, aku tinggal sendiri jadi tidak terpikirkan untuk berberes."

"Memangnya orang tuamu tidak pernah berkunjung? Kalau rumah Sasuke seperti ini juga, aku pasti akan mengomel."

Naruto terdiam. Mikoto tidak tahu apa pun tentang dirinya. Dihelanya napasnya, "Aku tidak punya orang tua, Mikoto-san. Aku bahkan tidak tahu orang tuaku siapa. Aku besar di panti asuhan sejak kecil." Naruto memaksakan senyumnya, membuat Mikoto jadi tidak enak hati.

Wanita itu menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya, "Maafkan aku, Naruto-kun…"

"Tidak apa, santai saja."

Mikoto membiarkan Naruto yang merebahkan dirinya di kasur. Wanita itu duduk di pinggir kasur, lalu membelai rambut Naruto perlahan. "Kasihan, kau pasti kesepian. Sasuke juga pasti kesepian ditinggal seluruh anggota keluarganya hanya dalam waktu satu malam."

Naruto yang awalnya tegang disentuh oleh Mikoto, perlahan rileks. "Apa seperti ini, rasanya dibelai oleh seorang ibu? Rasanya nyaman, Mikoto-san…" Naruto memejamkan matanya, tidak melihat ekspresi sedih di wajah Mikoto.

Tanpa Naruto sadari, hari sudah beranjak pagi. Astaga, sudah berapa lama dia tertidur? Naruto mengernyit ketika hidung mancungnya mengendus aroma masakan yang enak. Hah? Siapa yang memasak? Dia kan masih tidur?

Naruto buru-buru beranjak dari kasurnya, dibukanya pintu kamar dengan sedikit tergesa…

"HUUUAAAA!"

"Eh? Selamat pagi, Naruto-kun. Kenapa kau berteriak?"

Naruto mengelus dadanya yang berdetak dengan kencang. Sepertinya dia masih belum terbiasa melihat sosok hantu itu. Bagaimana pun, dia itu takut hantu dan berbagai macam hal yang berkaitan dengan mistis.

"Kau mengagetkan, Mikoto-san." Naruto mendekati Mikoto yang sedang sibuk di dapur. "Aku baru tahu, hantu bisa memasak." Liur Naruto hampir menetes melihat masakan yang tersedia di atas meja.

Mikoto terkekeh pelan, "Bisa saja, itu hal yang mudah. Di lemari es mu tidak banyak bahan makanan, tetapi ada banyak ramen instan. Berbelanjalah, tidak baik memakan makanan instan terus menerus.

Naruto tidak menjawab. Dia memperhatikan tangan cekatan Mikoto yang berkutat di dapurnya. Padahal dia hantu, tapi kenapa terasa nyata, ya?

Dulu, Naruto memang sering memperhatikan Nenek Chiyo memasak. Tapi entah kenapa sekarang rasanya beda. Seperti melihat… seorang ibu sedang memasak.

"Apa yang kau lakukan, Naruto-kun? Cepat di makan."

Naruto mencicipi masakan buatan Mikoto. Hmm, tidak buruk juga. Satu sendok. Dua sendok. Tiga sendok. Sialan, ini sih enak namanya! Pagi ini Naruto sarapan dengan bahagia.

Setelah sarapan, Naruto segera bersiap-siap untuk mencari Sasuke. Tentu saja, Mikoto ikut dengannya. Naruto kan tidak tahu bagaimana bentuk dan rupa anaknya Mikoto itu. Bagaimana kalau salah orang?

"Naruto-kun, itu apa?" Mikoto menunjuk salah satu layar LCD super besar yang dipasang untuk keperluan iklan dan sebagainya.

"Itu… seperti televisi? Biasanya disana menayangkan iklan, atau informasi penting. Baru pertama kali melihatnya, ya?" Naruto merogoh sakunya ketika ponselnya bergetar, nama boss-nya tertera di layar. "Eh, Mikoto-san, bisa tunggu di sini? Aku harus mengangkat telepon penting ini." Tanpa menunggu jawaban, Naruto segera mengangkat panggilan.

"Ya, baiklah boss. Nanti aku infokan kalau Akita-san menghubungiku. Baik. Selamat pagi." Naruto mematikan sambungan teleponnya, lalu menoleh di mana Mikoto tadi berada–Lho? Ke mana perginya hantu itu?

Naruto menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Mikoto. Ke mana dia? Padahal tadi Naruto sudah berpesan untuk menunggunya di sini. Tanpa sengaja, Naruto melihat Mikoto sedang terpaku menatap layar LCD yang membentang di atas kepalanya.

"Mikoto-san, apa yang–"

"Sasuke-kun…" gumam Mikoto. "I-itu Sasuke-kun." Mikoto menunjuk ke arah LCD itu, yang sedang menampakkan berita tentang seorang pengusaha yang sedang naik daun.

Uchiha Sasuke. CEO Akatsuki Corp.

"Astaga…" Naruto berdecak kagum. Ternyata, anak yang dicari oleh Mikoto-san adalah CEO terkenal itu?! Yang sering menjadi bahan pembicaraan seluruh negeri bahkan seluruh dunia itu? Hah, yang benar saja. Kenapa Naruto bisa lupa kalau CEO itu memiliki nama yang sama?

Tapi, ada beberapa hal yang membuat Naruto ragu.

Menurut Mikoto-san, Uchiha Sasuke itu:

Satu, Uchiha Sasuke ramah.

Dua, Uchiha Sasuke ceria.

Tiga, Uchiha Sasuke sedikit manja.

Empat, Uchiha Sasuke selalu tersenyum.

Sedangkan sepengetahuannya–berdasarkan berita di televisi maupun di internet–Uchiha Sasuke itu:

Satu, Uchiha Sasuke sama sekali tidak terlihat ramah.

Dua, Uchiha Sasuke tidak pernah terlihat ceria.

Tiga, Uchiha Sasuke manja? Naruto tidak yakin.

Empat, Uchiha Sasuke selalu tersenyum? Iya sih senyum, tapi senyum bisnis. Naruto yakin bukan senyum yang dimaksud Mikoto-san. Wajahnya saja sedatar jalan toll.

Apa itu benar Uchiha Sasuke yang mereka cari? Ternyata semudah ini menemukan seorang Uchiha Sasuke di Tokyo yang luas begini. Ya, semoga…

.

.

TBC

.

.

Hahahaha, apaan nih? Maap yak, kalo gaje. Tadi sore tiba-tiba mood nulis, malah jadinya begini…

Rencananya mau bikin one shot, tapi kok udah 3000+ kata. Terlalu panjang kalo one shot. Jadi mau aku bikin two shot aja, biar pernah. (Alasan sebenarnya sih, aku capek ngetik. Hahaha…) #tonjokramerame

Okay, semoga masih bisa dinikmati pembaca sekalian.

Review, please, biar aku tahu gimana respon kalian sama fic ini, layak dilanjutkan apa dihapus aja? Biar aku semangat update chapter selanjutnya juga sih ;)