Setiap geraknya, setiap lakunya, candanya, tawanya, bahasa bahkan senyumannya, terasa begitu istemewa. Bagaimana ia menutupi luka yang tercipta lantaran duka. Bagaimana ia menorehkan makna dalam setiap suka.
Dan bagaimana ia mengubah rasa biasa menjadi sebuah cinta penuh warna.
Dia.
Haruno Sakura.
.
.
Naruto©Masashi Kishimoto
.
Love Silhouette
cepheidale, 2013
.
SUARA BEL PINTU YANG ditekan berkali-kali. Diiringi dengan ketukan, kemudian berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih keras seolah pintu itu baru saja diterjang dengan ujung kaki. Uchiha Sasuke meringis sambil menggaruk belakang kepalanya hingga surai-surai hitamnya awut-awutan. Pemuda itu berkecak pinggang sementara ia mencoba mengingat-ingat di mana ia meletakkan kunci lemari pakaiannya.
Duk! Duk!
Tok, tok, tok!
"Sebentar!" Sasuke berteriak dari dalam. Setelahnya ia kembali meringis dan bergegas berlari masuk ke kamarnya lagi. Ia menyambar cepat keranjang pakaian kotor dan mengeluarkan sebuah kaus lengan panjang berwarna biru tua beserta celana training panjang abu-abu. Tanpa banyak basa-basi, Sasuke segera memakainya.
Tok, tok, tok!
"Ya, maaf—" kata-kata Sasuke terhenti. Ia baru saja membuka pintu apartemennya dan seketika terkejut saat mendapati sesosok gadis berambut merah muda sebahu di depan matanya. Gadis itu menampakkan raut sebal dan bibirnya mengerucut. Tak jauh dati kakinya, Sasuke bisa melihat sebuah koper berisi sedang yang sudah pasti adalah milik gadis itu.
"Sakura?"
Sakura sama sekali tidak merespon kecuali menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Apa yang kau lakukan di sini?" sebelah alis Sasuke terangkat menatap gadis itu. Setahunya, saat ini seharusnya Haruno Sakura sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Namun ketika melihat gadis ini tiba-tiba saja berada di depan pintu apartemennya pada jam sekarang—jam enam lima belas menit pagi—Sasuke amat terkejut jadinya.
Sakura terlihat memejamkan matanya sambil menggaruk-garuk sisi pipinya cepat. Ia kemudian menyilangkan lagi kedua tangannya di depan dada dan menatap Sasuke dengan ekspresi jengkel. "Bisa aku masuk dulu, Sasuke-kun?"
…
Dulu sekali, saat masih sama-sama tinggal di Kyoto, orang tua Sasuke dan Sakura merupakan tetangga dekat. Rumah mereka bersebelahan dan seringkali Sakura kecil dititipkan di rumah keluarga Uchiha karena kedua orang tuanya merupakan pengusaha yang teramat sering bepergian ke luar negeri. Sedangkan Sasuke sendiri berasal dari keluarga seniman. Ayahnya memiliki sekolah musik, sedangkan ibunya memiliki tempat kursus menari balet.
Sasuke dan Sakura tumbuh bersama. Usia mereka tak jauh berbeda—Sasuke hanya lebih tua sekitar sembilan bulan dari Sakura. Hampir semua hal yang ada pada Sakura diketahui oleh Sasuke dan begitu pun sebaliknya. Mereka amat sangat dekat hingga tak jarang selalu berbagi hal bersama. Namun ketika memasuki sekolah menengah atas, Sakura dan keluarganya pindah ke Tokyo. Dan tak lama setelah itu keluarga Sasuke pun menyusul dengan pindah ke Korea Selatan untuk mengembangkan sekolah musik dan tari milik mereka.
Meski demikian, hubungan antara Sasuke dan Sakura tidak pernah terputus. Setelah lulus SMU, Sasuke memutuskan untuk kembali ke Jepang dan meneruskan kuliah di universitas yang sama dengan Sakura. Sasuke mengambil jurusan seni fotografi sedangkan Sakura mengambil jurusan drama dan perfilman. Seringkali mereka menghabiskan waktu berdua di kampus walau pun setelahnya akan menimbulkan banyak masalah-masalah kecil.
Sasuke yang terkenal akan prestasinya di kampus, belum lagi pemuda itu memiliki wajah yang tidak akan pernah bisa dibilang biasa-biasa, tentu saja mempunyai banyak pengagum dari kalangan gadis-gadis dan rekan kuliahnya. Sedangkan Sakura, oh, jangan tanya. Sudah sejak SMU gadis itu bergabung dengan sebuah agensi keartisan dan kini ia lebih terkenal sebagai seorang model dan bintang iklan.
Tetapi semoga saja itu tidak akan berpengaruh pada kedekatan mereka. Seperti saat ini.
"Kenapa lama sekali buka pintunya?" Sakura melempar tanya tatkala gadis itu melepas sepatu hak tingginya. Ia kemudian menyimpannya di dalam rak sepatu dan menggantinya dengan sandal rumahan bermotif kepala kucing yang memang tersedia di sana. Ia memang sudah terbiasa main dan menginap di apartemennya Sasuke.
Sasuke tidak langsung menjawab. Ia yang sudah terlebih dahulu masuk dan pergi ke dapur untuk membuatkan Sakura minuman hanya mengangkat bahunya ringan. Setelahnya Sasuke berbalik dan menyerahkan secangkir cokelat hangat pada Sakura yang sudah duduk di depan meja konter.
"Aku mencari pakaianku dulu," jawab Sasuke kemudian.
Sakura membungkus cangkir itu dengan menggunakan kedua tangannya. Hangat. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap Sasuke. Geez, pasti pemuda itu tidur tanpa berpakaian lengkap lagi. Dasar. Namun Sakura berusaha untuk tidak memerotesnya. Ia tahu benar jika Sasuke sering merasa kepanasan dan suka sekali mencopot pakaiannya ketika hendak tidur—meski tidak semuanya, sih.
"Seharusnya tidak berpakaian pun tidak apa-apa," Sakura membuang napasnya. "Aku sudah melihat semuanya," gadis itu menukas cuek. Pura-pura tidak peduli dengan ekspresi Sasuke dan mulai menyeruput minumannya. Sayangnya tiba-tiba saja gadis itu terbatuk ketika rasa nyeri dan pedas menyerang keningnya yang lebar. Sasuke baru saja menyentilnya tepat di sana.
"Jangan bicara sembarangan," Sasuke mengingatkan. Mungkin perkataan Sakura ada benarnya—karena saat masih kanak-kanak dulu mereka sering mandi bersama. Tapi itu dulu, kan. Sekarang mana mungkin terjadi. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Sakura yang tengah bersungut-sungut. "Jadi jelaskan padaku. Apa yang kau lakukan di sini pagi-pagi begini?'
Mata Sakura melirik Sasuke sekilas. Setelahnya gadis itu mengembuskan napas lesu. "Kau mau kujelaskan dari awal, atau langsung pada titik permasalahannya saja?"
Satu hal dari Sakura yang Sasuke hapal betul. Gadis itu suka sekali berbelit-belit dan itu sangat bertolak belakang dengan Sasuke yang lebih menyukai sesuatu yang simpel. Tapi ia sudah terbiasa dan itu tidak akan jadi masalah. Maka dari itu Sasuke mengangkat bahunya sebagai tanda silakan mulai dari mana pun kau mau.
"Baiklah," Sakura memutar kursi konternya agar berhadapan dengan Sasuke. Setelahnya ia menggaruk belakang kepalanya lagi. Membuat rambut lurusnya yang harum jadi sedikit berantakan. "Sebenarnya pemotretanku sudah selesai sejak dua hari yang lalu," kata Sakura. "Tidak banyak shot yang diambil, sih. Dan hasilnya juga lumayan bagus."
Sebelah tangan Sakura terulur dan membetulkan kerah bundar kaus Sasuke yang agak melorot hingga memperlihatkan sedikit bagian bahu pemuda itu. Setelahnya ia mendesah berat sambil memandang Sasuke putus asa. "Lalu tadi ketika aku tiba di rumah," jeda, Sakura mencoba mengingat-ingat,"sekitar jam lima pagi, kurasa. Kau tahu, tidak ada siapa-siapa di rumahku dan semua pintunya terkunci. O, tidak, bahkan pagarnya pun terkunci! Aku tidak bisa masuk dan saat kuhubungi ayah dan ibuku… kau tahu di mana mereka sekarang?"
Sasuke tahu jika Sakura menunggunya menggelengkan kepala agar gadis itu bisa meneruskan ceritanya. Jadi Sasuke melakukannya—menggelengkan kepala sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu.
Kedua tangan Sakura terangkat dan gadis itu mengerang frustasi. "Mereka sedang berlibur ke Macau, Sasuke-kun!" Sakura setengah berteriak. Lalu tiba-tiba saja kepalanya menggeleng cepat dan bibir tipisnya mengeluarkan ringisan dramatis. "Walau pun alasan mereka adalah karena bisnis, tetapi tetap saja mereka pergi bersenang-senang dan meninggalkan rumah dalam keadaan tertutup rapat seperti itu."
Sudut-sudut bibir Sasuke berkedut dan perlahan-lahan tertarik membentuk sebuah senyuman geli yang amat tipis. Sudah sejak kecil Sakura selalu ditinggalkan, namun gadis itu sepertinya masih belum terbiasa dan intensmemerotes.
"Lalu?" tanya Sasuke. Ia melirik pada cangkir minum Sakura yang isinya tinggal setengah. Tanpa perasaan bersalah sama sekali, Sasuke menyambarnya dan menyeruput isinya. Rasa hangat langsung membanjiri kerongkongannya yang sedari tadi sudah terasa kering dan panas.
"Lalu…" Sakura mengembungkan pipinya. Memerhatikan Sasuke yang masih meminum cokelat hangatnya dengan sorot mata kagum sekaligus senang. Well, meski semua orang memang sudah sering mengatakannya, namun Sakura tak pernah bosan untuk mengakui pada dirinya sendiri bahwa wajah seorang Uchiha Sasuke memang sangat-sangat-sangat-tampan-dan-memesona hingga mampu membelah lautan menjadi dua. (Haha, oke, itu berlebihan). Tapi, uh, ayolah. Bahkan dengan rambut acak-acakan seperti itu—dan Sakura yakin jika Sasuke bahkan belum mandi, dan cara minumnya yang biasa-biasa saja, Sasuke masih terlihat tampan maksimal.
Merasakan pikirannya sudah melantur ke mana-mana, Sakura segera berdehem kecil dan membetulkan posisi duduknya. "Lalu," sambungnya, "Aku putuskan saja untuk ke apartemenmu. Untung saja taksi bandara yang kunaiki belum pergi."
"Hn," Sasuke mengguman entah untuk apa. Ia meletakkan cangkir Sakura yang sudah kosong ke atas meja. "Setelah ini kau akan ke mana?"
Nah. Itu dia yang sedari tadi berputar-putar di dalam pikiran Sakura. Setelah ini ia akan ke mana? Pulang ke rumahnya yang terkunci? Mana mungkin. Menginap di rumah saudaranya? O, itu artinya Sakura harus terbang ke Kyoto sementara dia harus kuliah dan bekerja di sini. Menyewa kamar hotel? Yang benar saja. Uangnya tidak akan dihabiskan untuk itu. Menumpang di rumah salah satu rekannya sesama model, atau teman kuliahnya? Itu tidak mungkin. Sakura bukan orang yang akan dengan senang hati merepotkan orang lain. Kecuali…
"Karena aku tidak punya pilihan…" kalimatnya menggantung. Sakura menatap Sasuke lekat-lekat dengan sepasang matanya yang bulat dan besar.
Sasuke balas menatap Sakura. Entah mengapa pemuda itu bisa langsung menebak apa yang ada di dalam pikiran Sakura tanpa gadis itu perlu untuk melanjutkan. Ia menghela napas. Bibirnya yang kering ia sapu dengan lidahnya.
"Hn," katanya acuh tak acuh. "Terserah kau saja."
Dan ekspresi Sakura selanjutnya semakin meyakinkan Sasuke bahwa tebakan pemuda itu memang benar adanya. Sakura ingin tinggal di apartemennya. Yah, Sasuke tidak akan keberatan akan hal itu. Tentu saja. Lagi pula, kemana gadis itu harus pergi kalau pada akhirnya masih tetap akan kembali ke apartemennya Sasuke? Meski dengan demikian itu artinya Sasuke harus tidur di sofa ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai ruang menonton TV—karena apartemennya hanya memiliki satu kamar tidur.
"Aah, kau sangat, sangat, sangat, baik dan murah hati," Sakura memuji berlebihan. Ia menepukkan telapak tangannya pada pipi Sasuke. Setelahnya gadis itu melompat turun dari kursi dan mencium pipi pemuda itu sekilas. Kemudian ia langsung berlari ke ruang tamu dan menyeret kopernya menuju ke kamar Sasuke.
Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa Sasuke tengah memerhatikannya.
"Hei, kenapa lemarimu tidak bisa dibuka?!"
Sasuke mendengar Sakura berteriak dari dalam kamarnya. Pemuda itu menarik napasnya pelan sebelum akhirnya turun dari kursinya dan menyusul Sakura ke dalam kamar.
"Aku baru pulang tengah malam," jawab Sasuke. Ia berjalan santai menuju ke tempat tidurnya, kemudian berguling dan menelentangkan tubuhnya di atas sana. "Dan lupa di mana meletakkan kuncinya."
"Dasar ceroboh," Sakura mendengus tak percaya. Ia berkecak pinggang dan memandang Sasuke yang mulai memejamkan mata di hadapannya. "Kenapa harus dikunci segala, sih?" tanya gadis itu, namun Sasuke sepertinya sama sekali tidak akan merespon. Setelahnya ia menarik napas menyerah dan merangkak ke atas tempat tidur. Gadis itu kemudian menjadikan perut Sasuke sebagai bantalannya—tentu saja pemuda itu langsung membuka mata dan berjengit terkejut.
"Aku sangat lelah," gerutu Sakura. "Sepertinya aku jet-lag sampai-sampai merasa melayang seperti ini."
Sakura mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti hendak menggapai langit-langit kamar Sasuke. Ia memejamkan matanya, lalu membiarkan saja kedua tangannya jatuh di sisi tubuhnya dengan amat cepat.
Sasuke tak menjawab. Ia memberikan waktu agar napasnya menjadi teratur meski pun perutnya tertekan kepala Sakura. Gadis ini… Selalu saja berbuat seenaknya pada Sasuke. Meski pun Sasuke hanya diam dan tak banyak memerotes.
Detik berikutnya, Sasuke merasakan sebelah tangannya terangkat. Jemarinya menyentuh poni-poni tipis yang jatuh di atas dahi Sakura. Ia memainkannya selama beberapa waktu—menyingkirkannya dari sana, kemudian mengembalikannya lagi ke kening Sakura untuk ia pilin dan gulung dengan jemarinya.
Mata Sakura perlahan-lahan mulai tertutup rapat dan napas gadis itu jadi teratur lembut. Sasuke menurunkan tangannya, kemudian menyentuh ujung hidung Sakura yang kecil seraya bergumam, "Tidurlah, Sakura."
Dan tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk Sakura—dan Sasuke—segera terlelap dan menuju ke alam mimpi. Sama sekali lupa bahwa salah satu dari mereka seharusnya tidur di sofa. []
.
A/N: Saya ini memang plin-plan. Bikin fict, publish, kemudian hapus. Lalu bikin lagi, publish dan hapus lagi. Tapi semoga fict—utang—saya yang satu ini tidak akan bernasib sama. Oke, feedback? ;)
