.

.

Summer In Seoul

.

.

HunKai

.

KKaiOlaf

.

.

Warn!

GS Genderswitch! , typo, Cerita ini remake novel milik Ilana Tan dengan judul yang sama

Don't Like Don't Read

.

.

Happy Reading ^^

Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?

Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?

Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?

Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?

Tak tahu kelak ataupun dulu

Cuma tahu kini aku begini

Cuma tahu kini aku di sini

Dan kini aku melihatmu

KONON ketika seseorang dalam keadaan hidup dan mati, ia akan bisa melihat potongan-potongan kejadian dalam hidupnya, seperti menonton film yang tidak jelas alur ceritanya. Benarkah begitu?

Oh ya, ia sedang mengalaminya. Ketika tubuhnya terlempar ke sana-sini, pandangannya mendadak gelap, namun anehnya ia kemudian bisa melihat wajah seseorang dengan jelas. Ia juga bisa mendengar suaranya.

Betapa ia sangat merindukannya sekarang, ingin bertemu dengannya, ingin berbicara dengannya. Ada yang harus ia katakan pada orang itu. Ia harus memberitahunya ia rindu.

Hanya sekali saja…

Kalau boleh, ia ingin mengatakannya sekali saja…

Kalau boleh, ia ingin melihatnya sekali saja…

Tapi tidak bisa…

Suaranya tidak bisa keluar…

Ia tidak punya tenaga untuk bicara….

.

.

Bab 1

.

"Sekarang aku masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga tahu sekarang sudah jam sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah."

Jongin melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan kecil merah.

Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan mengerutkan kening. Saat ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah Park Chanyeol, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti kekasih yang protektif.

"Chanyeol, sudah dulu ya? Aku lelah sekali," Jongin menyela ucapan Chanyeol dan langsung menutup panggilannya. Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap ponselnya dengan kesal.

Kenapa hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan?

Tadi pagi ia sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian diomeli atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.

Jongin semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah dialaminya sepanjang hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir.

Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang.

Ini bukan pertama kalinya Jongin harus bekerja sampai larut malam, tapi hari ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana itu.

Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.

Ia berhenti melangkah dan mendesah. "Bisa gila aku," gumamnya pada diri sendiri.

Jongin memandang sekelilingnya. Kota Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk.

Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea Selatan yang menakjubkan itu.

Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Jongin masih terkagum-kagum pada suasana kota ini.

Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu-lalang.

Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu disko terdengar samar-samar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang yang berbicara, berteriak, dan tertawa.

Tiba-tiba Jongin merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan kecil di seberang jalan.

Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam, "Baiklah," seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.

Jongin menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin dilakukan sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan masuk ke toko itu.

Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang sudah lama dikenalnya, Jongin langsung berjalan ke rak keripik.

"Nah, Jongin, ada masalah apa lagi di kantor?" tanya bibi pemilik toko setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan Jongin di meja kasir.

Jongin tersenyum malu. "Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres."

Ia membuka tas tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu?

"Sebentar, Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…"

Jongin mengaduk-aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir.

Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, buku kecil yang agak lusuh, bolpoin yang tutupnya sudah hilang, bedak padat, lipgloss, kunci, payung lipat, tiga keping uang logam, saputangan merah, ponsel, dua lembar struk belanja yang sudah kusam, bungkus permen kosong, dan jepitan rambut.

"Kenapa tidak ada?" Jongin bergumam sendiri sambil terus mencari.

Ketinggalan di rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa dompet?

Tiba-tiba ia mendengar dering ponsel. Jongin melirik ponselnya yang tergeletak di meja kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi.

"Kau sudah sampai di rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana."

Jongin menoleh ke arah suara bernada rendah itu. Suara itu milik pria bersetelah putih yang berdiri di belakangnya. Rupanya bunyi tadi adalah bunyi ponsel pria tersebut.

Sekarang Jongin melihat orang itu menutup ponsel dan memasukkannya ke saku celana panjangnya. Sebelah tangannya memegang keranjang kecil berisi lima botol soju.

Pria berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi sekali seperti seseorang yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan besar.

Pria itu memandang Jongin, lalu tersenyum ramah. O-oh.

Baru pertama kali Jongin melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa lelahnya seakan menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan, sangat…

Jongin menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan perhatian pada barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.

Tiba-tiba Jongin merasa tangannya ditepuk-tepuk.

Ia mengangkat wajahnya dan melihat bibi pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata, "Jongin, bagaimana kalau tuan itu membayar belanjaannya duluan?"

Jongin memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang berdiri di belakangnya.

"Oh, ya. Maaf."

Jongin menyingkir ke samping dan pria itu melangkah maju.

"Berapa?" tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang dipegangnya di meja. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel lagi.

Kepala Jongin mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah sangat lelah dan sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas kendali.

Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya sekilas. Lalu ia meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah lagi.

Ia mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah yang sedang berbunyi nyaring.

Astaga, cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin pusing, kenapa harus punya dua? pikir Jongin sambil memijat-mijat pelipisnya.

Pria itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu berjalan ke pintu.

Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang tadi diletakkan di meja kasir. "Maaf," gumamnya sambil tersenyum kepada bibi pemilik toko dan Jongin.

Lagi-lagi senyum itu, senyum yang bisa menghangatkan hati yang beku sekalipun.

Tunggu, kata-kata apa itu tadi? Jongin memejamkan matanya kuat-kuat dan ketika ia membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk ke mobil sedan putih yang diparkir di depan toko.

Karena Jongin tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik toko mengizinkannya membayar besok.

Jongin mengumpulkan kembali barang-barangnya yang berserakan di meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda terima kasih sekaligus permintaan maaf.

Begitu keluar dari toko, Jongin langsung membuka sebungkus keripik dan mulai makan.

"Sekarang pulang ke rumah," katanya pada dirinya sendiri.

Selesai berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia mengutuk hari ponsel diciptakan.

Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya karena merasa harus menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak tahu diri itu terus menjerit minta diangkat.

Akhirnya Jongin menyerah dan mengaduk-aduk tasnya dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu sebelum ia sendiri yang bakal menjerit histeris di tengah jalan.

"Haloo!" Jongin ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa.

Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?

"Halo? Siapa ini? Silakan bicara… Halo?" Jongin baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang pria yang ragu-ragu di seberang sana.

"Maaf… bukankah ini ponsel Oh Sehun?"

Siapa lagi orang ini?

"Anda salah sambung. Ini ponsel Kim Jongin" ujar Jongin ketus dan langsung menutup panggilan dengan keras.

Jongin menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol.

"Tidak bisakah kaubiarkan aku tenang sedikit?" Ia baru akan mencabut baterai ponsel itu ketika ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia akan segera sampai di rumah.

Walaupun Jongin tinggal di Seoul dan orangtuanya berada di Jepang, mereka sering menelepon dan mengecek keberadaannya.

Tadi ibunya malah sudah sempat menelepon untuk menanyakan kenapa Jongin belum sampai di rumah.

Ia membuka ponselnya kembali dan menekan angka satu yang akan langsung terhubung ke rumah orangtuanya di Tokyo, tapi ia heran ketika melihat tulisan yang tertera di layar ponselnya setelah ia menekan angka itu.

Bukan tulisan "Rumah Jepang" yang tertera seperti biasa, tapi nama "Choi Minho".

Jongin cepat-cepat memutuskan hubungan dan tertegun. Jongin memerhatikan ponsel yang dipegangnya. Memang itu ponsel miliknya, setidaknya bentuk dan warnanya sama persis dengan ponsel miliknya.

Ia membuka daftar telepon di ponselnya dan melongo melihat nama-nama yang tidak dikenalnya. Otaknya yang sudah lelah dipaksa berpikir.

Tadi di toko bibi itu, semua barangnya berserakan di meja kasir, termasuk ponselnya.

Ketika ponsel milik pria yang berdiri di belakangnya tadi berbunyi untuk pertama kali, ia mengira ponselnya sendiri yang berbunyi karena dering ponsel mereka sama.

Kemudian ponsel kedua pria itu berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Jongin.

Jongin teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang sama dengan bentuk ponselnya sendiri.

Sebelum keluar dari toko, pria itu berbalik untuk mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Jongin memegang ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.

Otaknya mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya…

Artinya…

Orang itu telah mengambil ponsel yang salah. Pria tadi mengambil ponsel Jongin.

Jongin memukul-mukul dadanya dan mengerang putus asa.

"Bagaimana ini? bisa gila aku. Gila." Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mobil pria itu sudah tidak tampak.

Jongin merasa tubuhnya nyaris ambruk ke tanah. Rasanya ingin menangis saja. Ke mana ia harus mencari orang itu?

Tiba-tiba ide muncul di otaknya yang sudah hampir lumpuh.

Ponselnya ada pada pria itu, bukan? Berarti Jongin bisa menelepon ke ponselnya dan pria itu akan menjawab. Sebersit tenaga muncul kembali.

Ia menghubungi ponselnya dengan ponsel pria tadi yang sedang dipegangnya.

Jongin berjalan mondar-mandir di tepi jalan dengan gelisah sambil menunggu hubungannya tersambung.

"Cepat angkat… cepat… tolong… ce—Halo?"

.

.

"Oh, Hyung. Kenapa lama sekali?"

Choi Minho tersenyum meminta maaf kepada laki-laki bertubuh tinggi yang membuka pintu, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah sering didatanginya.

"Maaf, jalanan agak macet," katanya sambil berjalan ke ruang duduk yang luas.

"Hei Sehun. Punya makanan ringan? Aku sudah beli minuman."

Sehun mengikuti Minho ke ruang duduk. Ia tidak menghiraukan pertanyaan temannya dan balik bertanya, "Hyung sudah dengar gosipnya?"

Minho memerhatikan temannya mengempaskan diri ke sofa. Tatapan Sehun terlihat menerawang dan cemas.

Sebagai manajer Oh Sehun, Minho memahami alasan kekhawatirannya.

"Dari mana asal gosip itu?" kata Sehun, seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri.

Choi Minho hanya tersenyum kecil dan mengulurkan sebotol soju kepadanya.

Sehun membuka tutup botol itu dan meneguk isinya. "Aku dibilang gay." Sehun tertawa pahit.

"Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Memangnya sikapku seperti wanita? Atau aku pernah terlalu dekat dengan pria? Katakan padaku, Hyung. Jangan-jangan selama ini Hyung juga berpikir seperti mereka?"

Minho duduk di kursi di hadapan Sehun, ikut meneguk soju langsung dari botolnya.

"Kau tahu aku tidak pernah berpikir seperti itu," ujarnya tenang.

"Masalahnya, tabloid dan majalah memang suka mencari berita. Kau juga tahu mereka sering menulis artikel yang tidak-tidak. Kau tanya padaku kenapa mereka bisa berpikir kau gay? Mungkin karena selama ini kau tidak pernah terlihat dekat dengan wanita mana pun di depan publik."

Sehun mengangkat bahu. "Kalau begitu, terserah mereka mau berpikir apa. Kalau kita tidak menanggapinya, gosip itu tentu akan mereda sendiri."

Minho menggeleng.

"Dua minggu lagi album barumu akan diluncurkan. Aku takut rumor ini bisa memengaruhi penjualan albummu nantinya. Satu gosip bisa menimbulkan gosip-gosip lain. Bahkan masalah lama juga bisa diungkit-ungkit. Produsermu tidak akan senang. Ditambah lagi, bagaimana dengan para penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan? Kau bisa kehilangan pasar."

Sehun mendongak menatap langit-langit dan mengembuskan napas berat. "Lalu bagaimana?"

Minho meneguk minumannya lagi dan berkata, "Untuk masalah gosip gay itu, kurasa sudah saatnya bagimu untuk memperkenalkan seorang wanita kepada publik."

Kepala Sehun berputar cepat ke arah Minho.

"Apa?"

"Sederhana saja. Kenapa kau tidak mulai pacaran?" usul Minho langsung.

"Apaa?"

Minho tidak memandang Oh Sehun dan melanjutkan dengan nada serius,

"Yang penting jangan berpacaran dengan artis. Bisa jadi skandal. Terlalu berisiko. Kita juga tidak bisa segera membuat pengumuman resmi kepada wartawan bahwa kau sedang menjalin hubungan dengan wanita karena mereka pasti curiga dan akan menduga itu hanya sandiwara untuk mengelak dari gosip gay."

Choi Minho mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikiran.

Akhirnya ia menoleh dan mendapati Sehun sedang menunggu hasil renungannya.

"Baiklah," katanya sambil tersenyum.

"Kita misalkan saja bahwa sebenarnya kau punya kekasih tapi kekasihmu tidak bersedia diekspos, jadi kau terpaksa merahasiakan hubungan kalian. Dengan begitu, tidak ada yang tahu siapa wanita itu dan tidak ada yang pernah melihatnya."

Sehun mengerutkan kening karena bingung.

"Tidak ada yang pernah melihat dan tidak ada yang tahu. Apa untungnya begitu? Orang-orang tidak akan percaya pada sekadar kata-kata belaka."

"Tapi kita bisa memberikan bukti."

"Bukti apa?"

"Foto dirimu bersama wanita itu."

"Wanita yang mana?"

"Wanita yang menjadi kekasihmu."

"Kekasih yang mana?"

"Semua bisa diatur kalau memang kau mau."

"Maksudnya?"

Senyum Minho bertambah lebar. "Kita cari wanita yang tidak dikenal siapa pun dan memintanya menjadi kekasihmu selama beberapa saat. Kau hanya perlu memamerkannya di depan wartawan. Beres, bukan?"

Sehun merenung, lalu berkata, "Bagaimana kalau wartawan mulai menyelidiki asal-usul wanita itu? Lagi pula di mana kita cari wanita yang bersedia dan bisa dipercaya untuk diajak bekerja sama? Masa dipilih sembarangan?"

Minho meneguk soju-nya lagi dan menatap Sehun.

Temannya itu tampak mempertimbangkan usulnya dengan ekspresi sangat cemas. Alisnya berkerut, sesekali ia menggigit bibir bawahnya.

Setelah beberapa saat, Sehun mendesah dan melanjutkan,

"Wanita yang seperti apa yang akan kita pilih? Boleh aku pilih sendiri? Atau kita pilih saja wanita pertama yang berjalan melewati pintu itu?" Ia menunjuk pintu depan rumahnya dengan dagu.

Tawa Choi Minho meledak. Sehun menatapnya dengan pandangan bingung. "Hyung, ada apa?"

Minho mendorong pelan bahu Sehun.

"Astaga, Sehun. Aku hanya bercanda. Kenapa kau serius begitu?"

"Hah Apa?"

Minho menggeleng-geleng. "Aku hanya bercanda soal usul tadi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Pasti ada jalan keluarnya."

Sehun mendengus, lalu tertawa kecil. "Ah, pusing! Aku mau keluar jalan-jalan sebentar. Hyung mau ikut?" kata Sehun sambil merebahkan kepala di sandaran sofa dan memandang langit-langit ruang duduk.

Minho mengangkat bahu. "Oke."

Sehun mengayun-ayunkan botol soju yang sedang dipegangnya, lalu bertanya, "Oh, Hyung, ponselku sudah diperbaiki belum?"

Minho mengeluarkan ponsel dan mengulurkannya kepada Sehun. Tiba-tiba ia teringat pada telepon yang diterimanya dalam perjalanan ke rumah Sehun tadi.

Wanita yang mengaku bernama Kim Jongin itu berkata ponsel mereka tertukar. Karena ia sendiri tidak bisa kembali mengambilnya, Minho meminta wanita itu datang ke rumah Sehun.

Mungkin permintaannya agak keterlaluan karena bagaimanapun tertukarnya ponsel mereka bukan salah wanita itu, tapi apa boleh buat. Oh Sehun sedang uring-uringan dan kalau sedang uring-uringan, ia tidak suka menunggu lama.

Ia baru akan menceritakan hal ini kepada Sehun ketika bel pintu berbunyi.

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gumam Sehun heran.

Jongin benar-benar tidak mengerti kenapa hari ini ia sial sekali.

Mungkin begitu sampai di rumah ia harus cepat-cepat mandi kembang tujuh warna seperti yang pernah diajarkan ibunya, apa pun untuk mengguyur hingga tak bersisa segala kesialan.

Sekarang ia berdiri di depan pintu rumah besar berwarna putih. Pria yang katanya bernama Choi Minho menyuruhnya kemari untuk mengambil ponselnya yang tertukar.

Jongin jengkel. Kenapa ia yang harus datang, bukankah orang itu yang duluan mengambil ponsel yang salah? Ia bahkan sampai harus meminjam uang dari bibi pemilik toko supaya bisa naik bus, ditambah harus berjalan kaki untuk sampai di kawasan perumahan elite ini.

Jongin kembali menghembuskan napas. Sudahlah, tidak apa-apa. Hal terpenting sekarang adalah mendapatkan ponselnya kembali. Setelah ini ia bakal bisa bergegas pulang. Hari sudah semakin larut dan ia sudah menguap empat kali dalam lima belas menit terakhir.

Pintu terbuka dan Jongin mengenali wajah pria yang membuka pintu itu. Ia pria yang ada di toko tadi. Walaupun agak sulit, Jongin memaksakan seulas senyum sopan. Pipinya terasa agak kaku, tapi ia berharap senyumnya terlihat normal.

"Apa kabar? Saya Kim Jongin yang tadi menelepon. Saya ingin mengembalikan ponsel Anda. Ini." Jongin mengulurkan tangannya yang memegang ponsel.

"Oh, terima kasih banyak," kata pria itu ramah.

"Saya benar-benar minta maaf karena sudah merepotkan. Silakan masuk. Ponsel Anda ada di dalam."

Sebenarnya Jongin tahu ia tidak boleh masuk ke rumah pria yang tidak ia kenal, apalagi pada jam selarut ini. Tapi otaknya sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah supaya bisa pulang ke rumah dan tidur.

Lagi pula pria itu kelihatannya sangat baik.

Jongin melangkah masuk dan membiarkan dirinya dibawa ke ruang duduk luas dengan perabotan mewah. Di sofa panjang yang mendominasi ruang tamu itu duduk laki-laki yang sedang berbicara di telepon.

Wajahnya tampan, potongan rambutnya bagus dan rapi, walaupun Jongin pribadi tidak terlalu suka dengan warna rambut yang agak pirang. Ia merasa pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana ya?

"Mungkin Anda salah sambung," Jongin mendengar pria itu berkata di ponselnya.

"Tidak ada yang namanya Kim Jongin atau Kai di sini."

Jongin menatap Minho dengan pandangan bertanya sambil menunjuk ke arah ponsel yang sedang dipegang laki-laki tampan di sofa itu.

"Ya, itu ponsel Anda," kata Minho sambil tersenyum kecil.

Laki-laki yang duduk di sofa masih sibuk sendiri, tidak menyadari kedatangan Jongin. Keningnya tampak berkerut sebal. Ia berkata dengan nada agak marah.

"Maaf, Park Chanyeol-ssi , saya benar-benar tidak mengenal Anda. Saya juga tidak kenal Kim Jongin. Bagaimana saya bisa meminta dia menjawab telepon? Anda salah sambung."

Selesai berkata seperti itu, laki-laki itu menutup panggilan ponselnya dengan keras. "Orang aneh," ia menggerutu sendiri.

"Hei…," Jongin mendengar Minho memanggil laki-laki itu.

"Ponsel itu milik nona ini."

Laki-laki di sofa itu berpaling ke arah Minho, lalu ke arah Jongin. Ketika mata mereka bertemu, Sandy baru sadar siapa laki-laki itu.

Oh Sehun agak bingung mendengar penjelasan Minho. Pandangannya berpindah-pindah dari sang manajer ke gadis yang berdiri di hadapannya, lalu kembali ke manajernya lagi.

Secara sekilas, ia mengamati orang asing yang sekarang ada di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan rambut dikucir dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas tangan. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat.

Gadis itu diam tak bersuara sementara Minho menjelaskan apa yang sudah terjadi.

"Oh, jadi ini ponsel anda?" tanya Sehun sambil bangkit dari sofa.

Ia mengulurkan ponsel yang sedang dipegangnya. "Itu… tadi—siapa namanya, maaf, saya lupa—menelepon mencari Kim Jongin atau Kai. Anda sendiri Kim Jongin atau Kai?"

Gadis itu tersenyum samar dan menjawab, "Dua-duanya nama saya."

Tiba-tiba ponsel itu berbunyi dan membuat Sehun tersentak kaget. "Silakan dijawab," katanya cepat.

Kim Jongin menerima ponsel itu dan langsung mengangkat panggilan ponsel itu.

"Moshi moshi?"

Kemudian Sehun dan Minho tertegun ketika mendengar gadis itu berbicara dalam dalam bahasa Jepang. Jujur Sehun belum menguasai bahasa itu.

'Apa ia blasteran?' Menurutnya ia berwajah agak ke Jepang jepangan dan berbicara lancar sekali.

Sehun menoleh ke arah manajernya untuk bertanya dan sebagai jawaban Minho menggeleng.

Percakapan itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon si gadis memandang Minho dan Sehun bergantian dengan sikap serbasalah. Sambil tersenyum kaku ia berkata, "Ehm, terima kasih banyak. Saya pulang dulu."

"Tunggu," Minho menyela. Gadis itu memandangnya tanpa ekspresi. "Kalau boleh tahu, apakah kau bukan asli korea?"

"Tidak, Saya memang asli Korea" jawab gadis itu langsung.

"Oh, begitu." Minho tersenyum dan mengangguk-angguk karena sepertinya gadis itu tidak ingin menjelaskan lebih lanjut.

"Anda bisa berbahasa Jepang rupanya."

"Saya permisi," kata gadis itu lagi sambil beranjak ke pintu.

"Sebentar," Minho kembali menahan gadis itu. Ia memandang Sehun sekilas, lalu kembali memandang gadis itu.

"Anda tidak datang dengan mobil, bukan? Tadi saya lihat tidak ada mobil di luar. Begini saja, kebetulan kami juga mau keluar. Bagaimana kalau Anda kami antar? Saya merasa tidak enak karena Anda harus mengantar ponsel itu kemari."

Gadis itu tersenyum kaku dan menggoyang-goyangkan sebelah tangannya. "Tidak usah. Saya bisa naik bus."

"Kami bisa mengantar Anda ke halte bus," timpal Sehun. Ia tidak yakin gadis itu bisa pulang sendiri karena bila dilihat dari keadaannya sekarang, gadis itu sepertinya bisa jatuh pingsan kapan saja.

"Anggap saja sebagai tanda terima kasih sekaligus tanda maaf dari kami."

Gadis itu memandang mereka berdua bergantian dengan matanya yang besar. Raut wajahnya tampak bimbang. Sepertinya otaknya sedang berputar, mencari cara untuk menolak tawaran itu.

Sehun bisa memahaminya. Seorang gadis yang langsung bersedia diantar dua pria tidak dikenal sudah pasti gadis yang tidak beres.

"Tidak usah khawatir. Kami tidak akan macam-macam. Percayalah," kata Sehun sambil tersenyum lebar, walaupun ia tahu pasti kalimat itu terdengar tidak terlalu meyakinkan.

"Oh, bukan. Saya tidak bermaksud begitu," kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tangannya lagi.

"Ayo, biar kami antar sampai ke halte bus," sela Sehun sambil meraih kunci mobil manajernya yang ada di meja. Ia menoleh ke arah Minho.

"Hyung, kita pakai mobilmu saja, ya?"

Sepanjang perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bila diajak bicara, ia hanya menjawab seperlunya.

Sehun melirik manajernya yang sedang menyetir dan melirik ke kaca spion untuk mencuri pandang ke kursi belakang. Gadis itu duduk bersandar dan memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong.

Sehun ingin tahu apa yang membuat gadis itu terlihat begitu lelah.

Tiba-tiba gadis itu membuka suara, "Saya turun di depan sini saja."

Sehun membalikkan tubuhnya sedikit supaya bisa melihat gadis itu.

"Di sini saja? Yakin tidak mau kami antar sampai di rumah?"

"Benar, kami tidak keberatan," Minho menambahkan.

Gadis itu menyunggingkan seulas senyum yang terkesan dipaksakan. "Tidak usah. Berhenti di sini saja."

Minho menghentikan mobilnya di tepi jalan, di dekat halte bus.

"Terima kasih," kata gadis itu sambil keluar dari mobil. "Selamat malam."

Ketika gadis itu membungkuk untuk memberi salam kepada mereka berdua, Minho menurunkan kaca mobil dan bertanya, "Nona Kim Jongin , ada yang ingin saya tanyakan. Apakah Anda mengenal teman saya ini?"

Sehun menyadari manajernya sedang menunjuk ke arahnya.

Jongin mengerjapkan matanya sekali, lalu mengangguk.

"Hmm Oh Sehun yang penyanyi itu?"

Lalu seakan baru menyadari sesuatu, ia memandang Sehun dan berkata, "Hmm Lagu Anda… lagu Anda… bagus."

.

.

.

To be Continued

.

.

.

Next Chapter..

.

.

"Siapa yang mengambil foto-foto ini?"

"Oh Sehun itu artis terkenal,"

"Untunglah wajahku tidak terlihat..."

.

"Kita pernah bertemu."

"Jadi pacarku."

.

"A-apa?!"

.

.

RnR?

See you again ..