Gekkan Shoujo Nozaki-kun
©Izumi Tsubaki sensei
.
A/N: Pernikahan lagi? Ya. Pernikahan adalah tema sakral penuh dengan ambiguitas. Sangat-sangat OOC. Less descriptions, much conversation.
.
—Hubungan: Darah dan Cinta—
[ Chapter 1 ]
"Izin"
By shirenihime
.
.
.
Putri keluarga Hori terduduk di sudut kamarnya. Sepasang kaki kecil itu terlipat, menekan dadanya. Pelukan kecil menjaga kakinya untuk bertahan. Mata ungu itu melirik jam dinding yang berdetak konstan. Pukul 23.35, dan alunan detiknya menemani keheningan malam. Lampu-lampu jalan berjajar rapi, membentuk sebuah garis dari bintik cahaya. Tubuhnya masih bergeming. Tidak ingin menyerah dengan keputusan pelik sang ayah. Ia ingin menjalani hidupnya sendiri.
Sebuah suara bergema dikeheningan telinganya. Matanya melirik tajam menangkap sebuah warna kemerahan dari balik pintu. "Makan malammu, Chiyo," katanya. Namun yang diajak bicara membuang wajahnya, ia kembali menatap bayang dirinya di kaca jendela. Begitu menyedihkan.
Pria itu mendekatkan langkah kakinya. Ia meletakkan nampan berisi sup ayam beserta nasi, juga air mineral di atas meja belajar adiknya. "Aku tidak lapar," tukas gadis kesayangannya.
"Oh. Ayolah, kau belum makan seharian ini." Pria berambut merah itu duduk tepat dihadapan adiknya. Tangannya mengambil sesuap nasi yang sudah dimasukkan kuah sup. "Sup ayam kesukaanmu," ia menyodorkan sendok itu mendekati mulut Chiyo. Namun, telapak peri itu memblokade suapannya. "Hei." Seru sang kaka.
"Aku tidak akan makan sebelum ayah memenuhi keinginanku."
"Aku mengerti bagaimana perasaan ayah. Aku pun tidak akan mengijinkanmu." Chiyo menoleh, menatap tajam kakaknya. "Kau baru enam belas tahun, Chiyo. Lalu pria itu?"
"Kau tahu kenapa aku sangat ingin menikah dengannya, Mikorin!"
"Setidaknya tunggu dua tahun lagi."
"Pria itu tidak bisa menunggu. Begitu juga hatiku." Chiyo mengenggam sebuah cincin mungil di atas meja. "Ayah harus setuju, bagaimana pun caranya."
Hembusan napas berat serupa menyerah keluar dari bibir Mikoto. "Terserah kau saja. Sekarang," ia memindahkan mangkuk sup dari nampan tepat kehadapan Chiyo. "...makan dulu. Aku akan mencoba membujuk ayah." Sebuah senyuman hangat terlempar bersamaan dengan acakan lembut dikepala Chiyo. Rambut oranye nya yang berantakan semakin tak beraturan.
"Terimakasih, kaka." Ujarnya lembut. Chiyo melepaskan rangkulan pada kakinya. Membiarkan mereka terjatuh ke lantai, menjuntai dari tepian bangku belajarnya.
.
.
Sepasang kaki jenjang berjalan tak sabaran. Langkahnya cepat dan panjang. Sesekali mata hijaunya menelisik ke atas tangga. Menanti sosok anak pertamanya membawa kabar gembira.
"Duduklah. Anak mu tidak akan mengeram di kamar adik perempuannya." Sebuah suara berat menginterupsi langkah dan pandangannya. Matanya kini tertuju pada seorang pria yang sedang menikmati sebuah opera dari layar berukuran 21inch. Tangan kanannya tertidur diatas sofa. Sedang yang kiri memegang remote televisi.
"Chiyo belum makan apapun, suamiku." Wanita itu duduk disisi pria dengan wajah tegas. "Apa kau tidak bisa membiarkannya saja menikah?"
Tangan kanan pria itu turun ke pangkuannya sendiri. Matanya intens menatap padang rumput yang menyejukan. "Tidak."
"Izinkan saja, yah." Cela sebuah suara dari arah tangga. Ibu di rumah itu berdiri dan menghampiri Mikoto. Wajahnya cemas, namun gembira melihat Mikoto turun tanpa makanan.
"Apa Chiyo memakan makanannya? Apa dia memakannya?"
"Tidak." Jawab anak laki-lakinya. "Aku hanya meninggalkannya, siapa tahu ia tergoda." Mikoto turun menghampiri ayahnya. Suara opera di televisi tidak terlalu keras hingga sang ayah dapat menggubris pernyataan dari anak laki-laki semata wayangnya. Namun, tidak. Pria itu malah lebih serius memperhatikan opera. Tanda bahwa keputusannya sudah bulat.
"Ayah...," Mikoto menegaskan. Ia bisa melihat pancaran mata ayahnya, sedih. "Kumohon."
"Adikmu," suaranya agak berat. "Ia bahkan belum bisa mengurus dirinya sendiri."
"Pria itu sangat kaya. Dia tidak akan membiarkan istrinya bekerja. Chiyo tidak akan mengurusnya sendiri. Akan banyak pelayan yang mengurus dirinya."
"Apa kau merelakan masa muda adikmu untuk kepentingannya sendiri? Chiyo tidak mengerti apa arti pernikahan. Biarkan dia untuk sesaat, ia tidak akan merengek lagi"
"Mikoto." Ibu memotong percakapan antara ayah dan anak itu. "Tidurlah, besok kau kuliah pagi." Ia menyentuh pundak Mikoto. "Biarkan ayah dan ibu yang menyelesaikan ini."
Mikoto mendengus kesal. Tubuhnya terangkat cepat kemudian terbawa langkah kaki, berjalan ke lantai atas. Ibunya menatap sosok rambut merah itu, menelisik tubuhnya yang sudah hilang dari jarak pandang.
"Apa dia sudah ke kamarnya?" tanya suaminya. Sang istri memasang telinganya lebih tajam. Ia mendengar sebuah suara, pintu tertutup.
"Ya."
"Yuu." Tuan Hori merebahkan dirinya di sofa secara horizontal. Membuat dirinya lebih rileks. "Chiyo itu putriku, bagaimanapun juga ia putriku. Apa yang harus ku lakukan saat rasa cintanya lebih besar pada pria lain?"
Yuu (Kashima) duduk di tepi kursi, disisi kepala Hori. "Kau cemburu?" tanyanya singkat. Pria itu menenggelamkan wajahnya pada pangkuan sang istri.
"Sangat."
.
.
.
Sebuah suara bergema di tengah ruangan kaca. Pulpen itu terkatuk-katuk pada meja kayu. Sesekali suaranya berubah menjadi 'ceklik-klek-ceklik-klek'. Mata tajam sang empunya menatap statis layar laptop, namun dengan cepat laptop itu di tutup. Lemparan matanya kini tertuju melewati batas dinding yang terbuat dari cermin. Beberapa orang dibaliknya berubah menjadi tegang. Ada yang menghentikan aktivitas berbincangnya dan kembali ke meja kerja. Ada juga yang pura-pura bekerja dengan membolak-balikkan dokumen.
Kini gemaan berubah menjadi sebuah hempasan udara yang berat. Tangannya memijat pelipis yang sudah memberat. Kepalanya tertunduk bertumpu pada telapak besar. Matanya mengekor pada layar ponsel. Pop up message itu masih terpampang disana. Ia tidak berani membuka pesan itu setelah mengetahui isinya. Isi pesan yang membuat kepalanya berdenyut hebat.
"Ayah tidak mengijinkanku. Lakukan sesuatu. Aku ingin menikah denganmu, Nozaki-kun."
"Hanya ada dua pilihan. Menikah atau hubungan ini berakhir." Gumamnya. Ia kini menumpu kepalanya dengan dua telapak tangan . "...dan aku tidak ingin hubungan ini berakhir."
.
.
.
Mobil sedan putih terparkir di depan gerbang berwarna hitam. Gerbang itu kecil, hanya cukup untuk orang lewat. Sementara disisinya terdapat gerbang yang lebih besar, namun telah terisi dengan minivan putih berlogo Honda. Sedan putih memundurkan dirinya, mencari tempat untuk berteduh. Satu blok dari rumah ber-gerbang hitam terdapat sebuah taman, disanalah ia termenung untuk sementara waktu.
Menanti dengan tenang. Seorang pria dengan tubuh tingginya. Ingin sekali memencet bel untuk yang ketiga kalinya. Entah apa yang membuat tuan rumah begitu lama membukakan pintu. Beberapa saat kemudian terdengar suara kunci yang terbuka. Daun pintu itu mengambang, menampakkan sosok pria yang lebih kecil darinya. Kedua pasang mata yang sama tajamnya itu bertemu. Yang satu begitu hebat mendongak, dan yang satu begitu hebat menurun.
"Oh. Kau," sergah pemilik rumah. Ia menahan daun pintu dengan tangannya, bergeming membiarkan si tamu tetap berdiri di teras. "Ada perlu apa?" imbuhnya.
"Apa kau tidak ingin membiarkan ku masuk terlebih dulu, tuan Hori?"
Sebelah alis Hori naik. Matanya semakin tajam menatap tamunya. "Maaf saja, tuan Nozaki. Tapi aku tidak akan mengijinkanmu masuk hanya untuk perdebatan alot."
"Tidak." Jawabnya singkat. Jemari besarnya membawa sebuah kotak. Ia mengangkatnya, "Chiyo belum memakan apapun. Aku membawa bubur kacang hijau untuknya."
Sebuah tangan menarik daun pintu dengan lebar. Menghalau pertahanan tuan Hori. matanya melirik tajam pada warna merah berantakan. "Dasar bodoh", tukasnya.
"Ah. Tuan Nozaki? Chiyo menunggumu, naiklah." Mikoto menarik lengan kanan Nozaki. Memaksa tubuh jangkung itu melewati calon mertuanya.
"Permisi." Gumamnya melewati bahu kecil sang calon ayah mertua.
"Kamar Chiyo ada di atas. Di dekat tangga."
Nozaki mengangguk tegas. Kakinya berjalan melewati ruang tengah dan langsung naik ke tangga.
"Apa yang kau lakukan, bodoh?" Hori memukul kepala anaknya. Tidak terlalu keras hingga menyakitinya. "Kau membiarkannya masuk ke kamar adik mu"
"Aku juga sering masuk ke kamar Yuzuki. Tidak masalah."
"Kau!" bentak Hori tanpa membuka mulutnya lebar-lebar. Gigi grahamnya saling beradu. "Pergi sana!"
.
.
"Apa yang kau lakukan? Duduklah dengan tenang. Atau pergilah ke theater." Geram seorang wanita yang sedang merapikan piring sehabis sarapan. Ia dibuat sakit kepala oleh suaminya sendiri yang tidak bisa diam. Pria itu terlalu khawatir hingga lupa dengan apa yang dikatakkannya semalam kepada sang istri. "Duduklah, tuan Hori!" teriak Kashima.
"Yuu!" pria itu kini berdiri di depan meja dapur. "Apa kau tidak khawatir? Chiyo sendirian dengan makhluk itu!"
"Ia tidak akan melakukan apapun disini. Tenanglah." Tangan wanita itu dengan cekatan mencuci perabotan di westafel.
"Tapi, Yuu!" Hori terduduk di meja makan. Matanya dengan gelisah melirik tangga. "Bagaimana jika terjadi sesuatu?"
"Terjadi apa maksudmu?"
"Ya. Sesuatu, kau tahu..."
"Dia bukan Mikoto. Chiyo anak polos yang baik, ku jamin berciuman saja dia belum pernah."
"Apa kau yakin?" tiba-tiba suara Hori meninggi. "Pria itu sangat, kau tahu." Ia menatap istrinya. "...dewasa."
"Tenangkan pikiranmu. Kau hanya takut untuk kehilangannya."
Hori terdiam. Ia melenguh pasrah, "Apa aku harus mengijinkannya, Yuu?"
"Aku tidak memaksamu. Kau saja yang putuskan."
"Aku tidak percaya jika aku harus melepaskan putri semata wayangku. Dia putriku, Yuu."
"Chiyo juga putriku." Kashima mengenggam telapak tangan Hori. Ia tersenyum hangat, mencoba menenangkan hati suaminya. "Aku akan bahagia selama ia bahagia."
"Apakah mereka akan bahagia? Apakah ia akan bahagia? Chiyo tidak sama sekali mengerti kehidupan berumah tangga."
"Temui mereka, sekarang. Kau hanya membuatku sakit kepala." Kashima menarik poninya ke belakang. Menggaruk rambut pendeknya yang tidak gatal.
Hori melakukan apa yang di minta istrinya. Kakinya melangkah dengan hati-hati, moncoba berjalan seperti ninja—walau tidak mungkin. Ketika wajahnya menatap sebuah papan bertuliskan 'Chiyo' napasnya sedikit beradu. Tangannya mengepal dengan ragu. Dalam hitungan ketiga napasnya, ia mengetuk. Tanpa dipersilahkan ia membuka pintu kamar putrinya. Tidak ada hal mengerikan yang ia lihat. Hanya Chiyo yang sedang menangis di ranjangnya kemudian, seorang pria jangkung yang duduk sedikit terbungkuk. Mereka saling menggenggam tangan. Pemandangan yang biasa.
"Ayah." Ujar Chiyo lemah.
Hori melangkahkan kakinya hingga tak ada jarak yang berarti antara dirinya dan putri tunggalnya. Ia bisa melihat kesedihan mendalam dari mata Chiyo. Pipinya bahkan belum mengering dari sisa air mata. Hori duduk di sisi Chiyo begitu Nozaki menegakkan tubuhnya. Matanya menatap semangkuk bubur yang telah tandas. Simpul senyum yang amat tipis terpantri disana, tanpa disadari. Hatinya cukup lega. Setidaknya perut gadis kesayangannya tidak kosong.
"Aku tidak mengerti. Apa yang membuatmu begitu ingin menikah dengan pria ini." Hori melempar pandangannya pada wajah tajam Nozaki. "Aku mengerti jika kalian saling mencintai. Tapi menikah? Usia mu bahkan belum legal untuk melakukan pernikahan, Chiyo."
"Ayah." Akhirnya Chiyo berujar. Matanya menatap iris cokelat sang ayah yang kontras dengan miliknya. "Pria ini akan meninggalkanku jika aku tidak menikah dengannya." Suara Chiyo terdengar kesal. sang ayah hanya menaikkan alis kanannya.
"Hei. Tidak seperti itu." Cela seorang yang merasa tersinggung. "Biar ku jelaskan, tuan Hori." tambahnya cepat begitu calon mertua memasang mata setajam elang. Ia tak berujar apapun, tapi bahasa tubuhnya banyak berbicara.
"Usiaku 26 tahun. Aku tidak berminat dengan hubungan yang main-main—"
"Kalau begitu jangan pacari anak perempuanku! Kau tahu, usianya baru 16 tahun!" Hori menyela kalimat Nozaki. "E-NAM BE-LAS!" ia menegaskan penuh dengan tekanan dalam setiap katanya. Nozaki hanya menarik napas menghadapi ayah yang super over protective itu.
"Aku tidak main-main. Aku mencintainya. Karenanya aku ingin menikahi putrimu, tuan Hori."
"Jika aku tidak mengijinkan?"
Nozaki terdiam. Lirikan matanya beralih pada ungu yang cantik. Untuk beberapa detik ia membuat Hori menunggu. Calon mertuanya itu hanya menampakkan wajah tegas khas tentara yang bersiap perang. "Apa yang membuatmu tidak mengijinkan, tuan Hori?" ia kembali menatap intens Hori. "Aku memiliki apapun yang putrimu inginkan. Kesuksesan, aku memilikinya. Ia tidak akan kekurangan satu apapun selama menikah denganku. Kebahagian, aku akan memberikannya. Rasa cintaku mungkin lebih besar dari cintamu, walau itu hampir tidak mungkin. Aku—"
"Apa kau bisa memberikan waktumu?"
Lidah Nozaki bergeming. Pikirannya mencoba memproses apa yang di pertanyakan Hori, "Maksudmu?"
"Ya." Hori memutar matanya. Menatap Chiyo dan kembali pada pria saingannya. "Kau kaya. Kau, kesuksesan dan posisi yang bagus dalam pekerjaanmu. Kau, orang penting yang bahkan tidak tidur dalam beberapa hari untuk pekerjaan. Bagaimana kau bisa memberikan semua yang kau katakan itu pada putriku jika," ia menjeda kalimatnya. Lalu melanjutkan dengan tekanan. "Ji—ka, waktumu kau habiskan untuk bekerja!"
"Apa kau membaca semua itu di majalah, tuan Hori?" Nozaki tersenyum sinis. "Aku menghabiskan waktuku di kantor karena tidak ada seseorang yang menantiku dirumah. Sepertinya kau melewatkan bagian itu"
"Ayah." Ujar Chiyo menghentikan perdebatan alot seperti dua hari yang lalu, saat Nozaki pertama kali melamarnya. "Kumohon. Aku menantikan ini sejak lama, sejak ibu pergi."
"Kenapa kau memiliki impian yang aneh, Chiyo?" Hori membuang napasnya agak berat. Bibirnya tersunging masam. Ia berdiri, berpaling dari kedua orang yang terdiam. Tidak mengerti kemana ayah Chiyo membawa arusnya. Sampai pria dengan tinggi rata-rata itu menyentuh daun pintu tidak ada kepastian yang tercipta. Semuanya terasa buram di benak Nozaki.
"Tetapkan saja kapan tanggal baiknya."
.
.
Senyum indah terlukis tanpa cacat pada wajah mungil Chiyo. Matanya berbinar luar biasa. Tak ada lagi air mata, tak ada lagi mogok makan. Langit-langit menjadi saksi kebahagiannya saat ini. Jemari mungilnya menari di udara bebas meskipun terikat oleh sebuah benda berwarna putih dengan sebuah berlian hijau di tengahnya. Sementara rambut merah yang menabrak surai oranyenya hanya mendengus.
"Hentikan itu."
Chiyo melirik ke arah kakak yang berbagi bantal dengannya. Ia menurunkan jemarinya, meletakkannya di perut. "Kau tidak senang?" dengusnya lebih ketus.
"Aku bahagia dengan pernikahanmu. Tapi—"
"Kau sudah berjanji akan membantu ku, kan?"
Mikoto hanya membuang karbondioksida dari rongga hidungnya. "Semoga kau tidak menyesal melakukan hal gila ini."
"Gila?" Chiyo bangun dari perbaringannya. "Aku akan menjadi keluarga Nozaki. Aku akan memiliki namanya. Aku selalu menginginkannya. Itu hak ku."
"Ya. Terserah kau saja. Aku sudah memperingatkanmu." Mikoto mengangkat tubuhnya. "Ada tugas yang harus ku kerjakan. Tidurlah, besok hari pernikahanmu." Ia mengacak lembut oranye Chiyo. Gadis itu hanya ber -humming ria.
Pintu tertutup, Mikoto meninggalkan adiknya dalam keheningan malam. Matanya menembus jendela kamar, kali ini bintang muncul menyemangatinya. Ia kembali menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Merentangkan tangan kanannya kedepan, memaksa jemari mungilnya menari pelan. "Semoga pernikahanmu penuh dengan kebahagian, Nozaki-kun."
.
.
.
To be Continued
.
