Author's note: Dibuat berdasarkan salah satu lagu 'terbuang' dari Melly Goeslaw, aslinya salah satu soundtrack dari Eiffel I'm In Love tapi nggak dipake. Kalo nggak tahu lagunya disarankan buat cari lagunya dulu, atau kalo nggak nemu boleh langsung donlot mediafiredotcom /?wk9lz11cwdo3q5l (ganti dot ke titik, dan hilangkan spasi). Nggak ada maksud buat promo kok. #dor It's worth it pals, really, go hear it.


Warnings: This is shounen ai, which means it's male x male story. Timeline maju mundur antara flashback dan present, ditandai dengan garis, bukan italic, jadi cek baik-baik keterangan waktunya. Bahasa pelangi #eh. Character(s) death. If it's not your cup of tea, leave it.


Disclaimer: We do not own Naruto, Naruto belongs to Kishimoto Masashi-sensei. Tulisan ini adalah fanfiksi, tidak ditulis dengan maksud untuk diakui sebagai karya asli, tidak untuk memperburuk karya asli ataupun kreatornya, juga tidak dibuat untuk memperoleh keuntungan komersial ataupun untuk menyinggung kisah dan tokoh nyata tertentu.


Jerman, 1965.

Di salah satu distrik, seorang pemuda bersurai mentari menuliskan serangkaian kalimat dalam secarik kertas bersama pena bulu mekanik. Tahun baru sebentar lagi akan tiba dan itu artinya ia harus membalas begitu banyak surat penggemar dalam kolom perihal kondisi politik di Jerman Barat dan Timur. Tembok Berlin berdiri kokoh seolah menjadi pembatas paling absurd antara dua negeri yang tampak sama. Pembedanya hanya terletak pada dasar pemikiran orang-orang sinting berkepala panas seperti Fuhrer.

Mungkin ia membenci dunia politik, tetapi selalu ada alasan untuknya tetap bertahan meski di dalam kemelut yang berkepanjangan ini. Satu-satunya cara untuk survive alias bertahan hidup, pikirnya. Menghimpun koin-koin emas hingga mampu menukar segalanya demi kehancuran tembok bata yang begitu sombong itu. Sekali lagi, jika ia memiliki kuasa dan kekuatan magis, sungguh, ia takkan segan meruntuhkan kebanggaan penguasa NAZI itu dengan jentikkan jemari saja. Imajinasinya meliar dan membungkam rasionalitasnya seolah kegilaan ini telah berujung pada satu kesimpulan.

Bagaimanapun caranya, ia harus keluar dari negeri ini. Bagaimanapun cara dan resikonya.

Menjadi tahanan rumah jua sama sekali tidak termasuk dalam daftar impiannya sejak kecil. Sikap kritisnya yang berakhir dengan pemindahan status kewarganegaraan serta seluruh isi koper butut yang dibelinya di toko loakan di sudut kota Lyon ke rumah kayu sempit ini adalah tamparan telak untuknya. Buket bunga mawar di sudut meja tulisnya melayu sesuai dengan kondisi hatinya bertahun-tahun yang lalu hingga saat ini. Meski yang tengah dihadapinya adalah dinding kayu, tetap saja, rasa-rasanya seperti tembaga murni yang teramat keras. Ia paham, satu-satunya jalan keluar hanyalah dengan tetap menulis—apapun yang sanggup meruntuhkan kekaisaran milik para komunis.

Neigedans la Brume—Salju dalam Kabut.

Aku melihatmu dalam sunyi suara hujan. Saat itu, hanya bungkam yang kau berikan padahal rasa penasaran terhadap tingkah lakumu menjadi titik balik agar aku tetap menyukai kaum Spartan—pekerja keras sepertimu yang selalu bersembunyi di balik tembok istana Kaplan. Well, itu hanya idiom. Yang sesungguhnya, aku ingin berkata bahwa aku bersyukur telah mengenalmu.

Seringkali aku mengintip di balik surat kabar yang sengaja aku lubangi saat kau berjalan dari arah kutub yang berbeda. Raut di wajahmu selalu tampak sama, meski kemarahan dan congkak sebagian besar menguasai darah kaum bangsawan. Aku tahu kau memiliki seorang abang yang jua berjuang demi menyelamatkan sistem ekonomi dunia yang kian merosot. Tetapi, tetap saja, aku membenci mereka yang terikat dalam komunisme. Kau semestinya mampu memahami gejolak dalam jiwaku ini. Betapa banyak anak kecil bersama ibunya berlarian di jalanan tanpa makanan dan pakaian yang layak. Apa yang diharapkan dari peperangan ini, huh? Aku bertanya padamu, mon cher(1). Apakah hati bangsawanmu tergerak 'tuk berjuang bersamaku? Di sampingku?

Bodoh aku menanyakan hal itu. Aku yakin, meski kau selalu memasang tampang katatonik, ada saat di mana aku menangkap satu momen ketika kau memberikan seisi tas ranselmu yang berisikan pakaian summer camp, sandwich tuna, dan beberapa kotak susu, pada bocah berpakaian lusuh di pinggir kota Berlin.

NAZI sialan ini telah mengancurkan mimpi-mimpi kecilku. Oh, aku terlalu melebih-lebihkan rupanya. Mungkin kaum NAZI tidak sepenuhnya jahat padaku sebab ia masih memberiku waktu untuk membusuk di rumah kayu ini.

Bagaimana kabarmu? Kuharap Jerman memberimu makan dan tidur yang cukup 'tuk tetap berada dalam kewarasan. Kurasa, aku sudah gila di sini. Haha. Tidakkah kau tahu dalam setiap bunga tidurku, hanya satu kabut yang kian menutupi butiran salju di musim dingin? Ada satu sosok yang berjalan ke arahku, tetapi aku tidak begitu yakin bila aku mengenalnya. Kurasa, itu adalah kau, mon cher. Ya.

Kabut dalam salju. Kuharap, kau sanggup memahami judul surat ini. Sebab, kau bagai kabut yang menutupi platonic love ini. Terkadang pula, sikapmu yang teramat dingin mengingatkanku pada salju yang tak pernah mencair meski sinar mentari diam-diam tersipu malu menemui musim panas. Dan, kau tahu, aku jadi teringat dengan kecupan-kecupan yang kau berikan ketika malam di atas ranjang permadani sutra menemaniku dalam mabuk wine Perancis. Kau sungguh seksi.

Biar kutegaskan di akhir surat ini, mon cher, bahwa aku merindukanmu. Jika tangan ini mampu meruntuhkan bebatuan bata milik Hitler, dengan segera aku akan berlari menculikmu dari para penjajah sialan itu. Perang ini membuat tulang belakangku terasa lemas dan karenanya…

je t'aime(2), Sasuke.

Aku bukanlah jenius dalam hal merayu, tetapi tulisan ini adalah bukti tersurat bahwa jiwa dan ragaku tetap milikmu, bukan milik bajingan-bajingan NAZI itu. Bukan milik para pemuja sang Fuhrer. Bahkan, bukan milik siapa-siapa selain engkau.

Aku mencintaimu.

Le soleil(3), Naruto.

Letih. Lalu, bayang-bayang masa depan membuat otot di bibirnya membuat senyum tak wajar. Langit di luar sana mendung dan tak sekalipun ia goyah 'tuk kembali merenung akan waktu-waktu yang takkan lagi lama untuknya dilalui. Penjara nyata ini melingkupi jasmaninya, tetapi tidak pada hati dan pikirannya. Perlahan demi perlahan, kelopak matanya merosot turun. Tak lagi berkedip dalam kondisi stabil. Rasa panas membara tercipta dari lambungnya. Ia yakin ia tak benar-benar memasukkan satu potongan roti croissant yang kini hanya menyisakan remahannya saja. Tikus-tikus got menari-nari riang di atas piring keramik di sudut kamar dengan perut-perut mereka yang membuncit. Euforia sesaat turut bergejolak dalam adrenalin sang matahari.

Darahnya mendidih. Dalam arti harafiah. Sklera matanya perih, bagai hanya ingin menutup mata ini selamanya. Air mata terjatuh meski ada tawa yang membuat detak jantungnya berirama tak stabil. Sudah beberapa kali ia mencoba tuk tetap hidup di bawah penderitaan panjang ini. Tetapi…

…kematian tidak terlalu buruk untuk dilalui, 'kan?

Asap-asap putih kemudian datang bersama aroma menyengat. Serangga-serangga perayap berjatuhan, tikus-tikus gemuk mengeluarkan isi croissant dari dalam mulutnya, dan ada sosok manusia yang seakan membentuk posisi penyaliban yang sempurna. Ia tertidur dalam kedamaian, tersenyum, dan bermimpi akan dunia yang hanya ia dan mon cher miliknya berada.

Lalu, hanya ia. Hanya ia.

'Sasuke, meet me in the eternity…'


Heidelberg, 1997.

Lelaki berambut hitam itu membuka matanya, memperlihatkan iris matanya yang berwarna senada kepada dunia. Sejenak ia terdiam, mengerling perlahan ke sisinya, berusaha mengenali situasi di sekitarnya.

Ia tengah terduduk di salah satu kursi dari beberapa benda kayu serupa yang berjejer mengelilingi sebuah meja cokelat panjang. Cahaya perak bulan purnama yang menyelip melalui sela-sela tirai berwarna abu-abu di sisi jendela memperlihatkan bayangan tinggi rak-rak dengan beragam buku yang berdiri di dekatnya. Beberapa buku milik rak-rak itu juga sedang berada di hadapannya sekarang, tepat di atas meja yang akan setinggi pinggangnya jika ia berdiri. Salah satu buku itu terbaring dalam posisi terbuka, sementara beberapa judul lainnya sedang tertumpuk di sisi, tak lagi melaksanakan tugas mereka karena sudah selesai dibacanya beberapa jam lalu.

Ah. Perpustakaan. Ternyata dia tertidur di sini tadi. Lalu karena ia tertidur, dia memimpikan orang itu lagi.

Naruto.

Bibir Sasuke membentuk satu garis tipis yang hampir melengkung ke bawah. Tatapannya berada di buku berukuran sedang dengan kertas yang terlihat mulai menguning itu, tapi sinar matanya tak terarah ke situ. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah sosok yang terasa begitu nyata akan seorang lelaki muda berambut pirang dan bermata langit, seorang lelaki yang suratnya baru saja ia baca dalam mimpinya.

Namikaze Naruto.

—Siapa kau sebenarnya?


Dedicated to Sasuke & Naruto Shrine's Bloody Valentine; When Darkness Meets Romance,

a Naruto fanfiction,

Racun Tidur

[Chapitre I]

written by denayaira and ceruleanday


Berlin, 1962.

Berlin dalam hiruk pikuk. Kota yang kini telah dimajukan dalam bidang industri setelah Perang Dunia II itu kian disibukkan oleh kecaman propaganda yang tersebar dalam berbagai media. Aklamasi perang Rusia terhadap negeri adidaya, Amerika Serikat, tak pelik menebar konfrontasi militer dari kubu yang selalu mengagung-agungkan ideologinya yang maha sempurna ini. Lambang swastika terlihat di mana-mana bersama palu arit yang tergambar dalam bendera berkain merah.

Pemuda bersurai segelap malam baru saja turun dari kereta berbahan bakar batubara. Tepat di sebuah gedung parlemen yang cukup tua dengan gaya arsitektur zaman Kekaisaran yang identik. Tanpa senyum ia mengangguk hormat pada salah satu anggota parlemen yang menunggunya tepat di sebuah pintu mahoni besar. Hatake Kakashi, begitu ia memerkenalkan dirinya. Seorang veteran dengan penutup mata yang seolah tak ingin memberitahu siapapun bahwa bola orbita yang berada di sana telah hilang. Ia tersenyum simpul dan memersilakan pemuda berusia dua puluh satu tahun itu memasuki ruangan sidang.

"Cuaca di luar sana sedang tidak bagus, saya rasa. Saya harap, Anda bersiap-siap dengan payung Anda, Herr Uchiha," ujarnya penuh takzim. Respon pemuda di belakangnya hanya deheman pendek. Mengerti dengan kebiasaan pemuda itu yang membenci basa-basi, sang veteran berambut perak ini memilih topik lain, "Militer sedang mempersiapkan banyak misil. Perdana Menteri mengizinkan salah satu perwakilan kaum bawah untuk berbicara, tetapi saya tidak begitu yakin jika persidangan akan berjalan Anda adalah salah satu yang berasal dari golongan netral yang tentu saja akan membantu dalam pemutusan suara akhir. Untuk itulah, kami benar-benar membutuhkan kehadiran Ayah Anda di dalam sidang kali ini. Hanya saja—"

Nada tercekat dan tertahan. Kakashi melirik dari sudut mata yang tak tertutup oleh kain pelindung dan mendapati Herr Uchiha muda ini mengeluarkan secarik surat. Kakashi menerimanya meski agak ragu, "Oh, surat kuasa? Tidak—sungguh—sangat tidak biasa. Ada apa dengan—"

Terpotong dan detik berikutnya keramaian suasana sidang parlemen berbentuk bundar dengan tangga spiral membuat sang Uchiha muda mengangguk sekali lagi. Seperti pasar tradisional, pikirnya, atau mungkin saja bagai pelelangan ikan di pelabuhan. Apa yang telah terjadi dengan manusia-manusia dalam ruangan persidangan yang tertutup untuk kalangan otoritas ini? Benar-benar tidak terkendali dan hukum rimba seolah mewakili deskrip yang tepat untuk menggambarkan betapa banyak dari anggota sidang yang saling silat indah dan beradu argumen. Belum lagi perwakilan dari kaum papa yang sedari tadi menjadi sumber dari keributan itu.

"A-ah, Es tut mir leid(4), Herr Uchiha. Situasi saat ini benar-benar sedang kacau. Bisa dilihat sendiri bagaimana—"

Uchiha muda itu tak sekalipun berkedip, menyaksikan pemandangan yang tak ubahnya dengan peperangan mini dalam ruang sidang dan membiarkan kedua kakinya berjalan maju tanpa alasan. Ia mengarahkan tujuannya pada titik episentrum kekacauan. Tepat di sebuat titik di mana hanya ada seorang pemberani yang begitu bodoh berteriak-teriak seolah gedung parlemen ini adalah miliknya. Mungkin orang itu seumuran dengannya, namun entah kenapa seolah ia hanya membeku dalam posisi statis saat menangkap bagaimana surai kekuningan itu berkobar dalam api perjuangan berdasar argumen kaum papa.

"Herr Uchiha? Anda—"

Sadar oleh suara Kakashi, sang Uchiha muda sedikit menoleh dan menjawab dalam suara parau, "saat ini Ayahku sedang berada di Perancis bersama Perdana Menteri. Ia mengirimku bersama dengan surat kuasa ini untuk menggantikannya dalam sidang kalian."

"Oh, ya kurasa. Menurut saya, tanpa surat kuasa ini pun, saya yakin Anda telah jauh melampaui Ayah Anda."

Ia sibuk dengan alam benaknya yang mengalami distorsi sesaat. Pusat keributan di sana menarik perhatiannya. Kedua manik obsidiannya memerhatikan dengan baik bagaimana pemuda bersurai sekuning mentari itu menceritakan delik hidup kaumnya yang tersiksa oleh propaganda perang. Belum lagi camp-camp konsentrasi yang diletakkan oleh pihak militer di tapal batas Jerman Barat dan Timur. Sesaat ia memerhatikan tanpa berkedip dan di saat itu pula keempat mata saling bertemu. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Uchiha muda ini yakin ada kesungguhan teramat jelas tersirat oleh manik sebiru lautnya. Hatinya seolah tersentil dan ada yang meletup-letup girang dari dasar perutnya. Cukup dengan perasaan ambigu ini, sang Uchiha muda semakin mantap mendekati meski dengan langkah yang teramat pelan.

Detik berikutnya, ia yakin ada suara bernada ceria menggaung seantero ruang parlemen.

"Aah! Aku yakin, saudaraku! Aku benar-benar yakin jika bangsawan Uchiha ini akan berkata 'tidak' pada konklusi imbisil pihak militer!"

Dan, menit berikutnya, Uchiha muda ini merasa dunianya seakan berputar tak menentu dari dasar jejak kakinya sendiri. Sebab, meski ia tampak mengagumi sosok yang tak dikenalnya itu, ia harus menerima kenyataan bahwa kini ia berada di antara dua jalan yang berbeda ideologi. Namun, lidahnya seakan terselip sesuatu sehingga apa yang tersirat kemudian hanyalah kata 'ya'. Penjebakan yang berjalan sukses. Entah bagaimana ia harus menghadapi stigma para anggota parlemen dengan kemurnian darah Fuhrer dalam diri mereka nantinya. Persetan dengan hal itu, lugasnya.

"SEE? HAHA. KINI BANGSAWAN UCHIHA BERADA DI PIHAKKU!"

Menit-menit berlalu dan suasana parlemen yang ramai berubah diam oleh jawaban seorang Uchiha muda. Akan tetapi, kegusaran kembali terdengar meski Kakashi kini mengambil alih persidangan sesaat setelah Uchiha muda itu terdiam oleh kebodohannya. Ia tak paham mengapa ia seolah tak menjadi pribadi sesungguhnya saat ini. Entah racun apa yang tersebar hanya melalui senyum dan cengiran kekanakan yang terlukis oleh bibir pemuda peasant di hadapannya. Seolah ada sesuatu yang mengusik alam bawah sadarnya dan ia ingin mengenal sosok itu.

"Namamu?"

"Huh?"

Sang empunya surai hitam mendecih, "Kau bukan salah satu dari mereka. Aku tanya, siapa namamu, peasant."

"Oh. Hihi. Well, sepertinya aku berhasil menjebakmu ya. Tetapi, aku cukup yakin kok kalau Uchiha muda nan kaya raya ini memang tidak seperti salah satu dari mereka—seperti yang sudah kau sebutkan tadi. Maka dari itu—" pemuda ini mengedipkan sebelah matanya dengan nakal, "rencanaku benar-benar sempurna. Dan, oh ya, astaga. Kau menanyakan namaku, ya?"

Kedua alis sang Uchiha muda meninggi beberapa milisenti. Dengan posisi melipat tangan di dada seolah membuat pertahanan akan respon atas pertanyaan sendiri, ia tetap terdiam. Memutuskan 'tuk mendengarkan betapa cerdas sosok yang sudah dengan berani menampakkan diri ke ruang parlemen dengan alasan bahwa putra bungsu bangsawan Uchiha akan datang demi menggantikan Ayahnya yang kini tengah berada di Perancis.

Cukup cerdas tapi bodoh juga. Orang seperti dia akan mati muda. Kasihan sekali.

"Namikaze Naruto! Dan aku yakin namamu adalah Uchiha Sasuke, bukan?"

Masih menyertakan senyum bersama cengiran manisnya. Makhluk kaum papa yang pandai bersilat lidah itu kemudian berlalu dengan santai sembari menepuk pundak Sasuke—yang diketahuinya akan menjadi kunci kemenangannya di persidangan parlemen. Sebuah perasaan aneh meletup-letup dan membiaskan riuh ramai yang terdengar dari gonjang-ganjing anggota parlemen dan para bangsawan lainnya atas keputusan Uchiha bungsu ini. Sasuke meyakini setelah ini ia akan mendapatkan ultimatum keras dari Ayah dan Kakeknya. Entah bagaimana bentuknya, ia tak peduli. Yang lebih membuat adrenalin ini kembali berdentum-dentum dalam pembuluh nadinya adalah sosok bernama Namikaze Naruto.

Naruto, huh?


Frankfurt, 2009.

"Hei, kenapa lampunya menyala?"

Suara itu membangunkan Sasuke dari lelapnya, membuat mata oniksnya yang terbuka perlahan menemukan cahaya matahari yang masuk melalui jendela dengan tirainya yang kini terbuka lebar.

"Entahlah? Aku yakin lampunya sudah kumatikan semalam," suara lain menjawab pertanyaan yang didengarnya tadi.

Dengan perlahan Sasuke bangkit meninggalkan kursinya tanpa berkeinginan untuk merapikan kembali posisi kursinya ke semula. Kakinya yang tidak beralas menapak tanpa suara di atas lantai berlapis ubin. Meski masih merasa agak lemas, ia berusaha agar tidak menyentuh sisi meja ataupun menabrak punggung kursi-kursi yang ia lewati, pelan namun pasti bergerak menuju arah pintu masuk. Saat itulah dengan ekor matanya ia melihat dua sosok lelaki yang berdiri di dekat meja penjaga.

Ia berjalan melewati punggung dua orang berseragam yang kedengarannya sibuk berbicara itu—

"—siapa tahu kau minum semalam karena si gadis kutu buku itu tidak mau datang lagi ke sini."

"Aku serius—ya Tuhan, lihat tumpukan buku di atas meja itu!"

"...Tunggu, kau yakin sudah mengunci pintunya waktu pulang semalam?"

—dan berjalan melewati pintu yang bertuliskan 'geschichte'sejarah—itu.

Dalam langkahnya membelah udara pagi yang dingin dan lembab, Sasuke teringat kembali pada seseorang yang hingga beberapa menit lalu masih ada di dalam frame pemikirannya.

Kali ini tentang 'pertemuan pertama' kita, eh?

Mimpi-mimpi ini terlalu random untuk selera Sasuke.

Mimpi. Ya, mimpi. Mimpi-mimpi itu datang tanpa ia undang. Mereka datang di tengah tidur malamnya, menelusup di dalam tidur siangnya, bahkan kadang berkelebat di balik matanya yang sedang terbuka lebar.

Kadang mimpi itu menunjukkan dirinya sendiri dalam tubuh bocah mungil, dikelilingi wajah-wajah familiar milik orang-orang yang sebagian besar berambut hitam dan sama sekali tidak bisa ia ingat namanya. Di lain waktu ia bermimpi sedang terkurung di dalam sebuah ruangan gelap yang lembab pengap, sesak dan sempit, dan ia tidak bisa bergerak sampai ia terbangun. Kadang kala ia juga bermimpi tentang barisan orang-orang berpakaian hijau beserta propaganda yang terdengar berkoar menggetarkan sudut-sudut bangunan.

Dan di atas itu semua, sering, sering sekali... mimpi itu menunjukkannya sosok seorang lelaki. Seorang lelaki yang namanya terus menempel di ingatannya bahkan setelah ia terbangun, meninggalkan rasa sesak tidak terjelaskan di rongga dadanya, menarik sisi rasionalnya dengan emosi tak bernama yang bahkan mampu mengisi dirinya hingga ia jatuh tertidur lagi.

Ia tidak tahu apa mereka sebenarnya dan mengapa mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata. Satu hal yang ia tahu adalah mimpi-mimpi ini sangatlah mengganggunya. Karena ketimbang menjadi bunga tidur, mereka malah seperti toksin yang mencemari tidurnya, terlebih setiap kali ia harus bangun dan menyadari apa yang ia alami barusan hanyalah mimpi. Karena itu ia tidak ingin bermimpi. Namun ia juga tidak mampu menahan dirinya untuk tidak tidur.

Terlebih jika mimpi-mimpi itu adalah candu bagi harinya yang kosong.

Setelah pilar-pilar tinggi yang menjadi tanda pintu keluar mulai terlihat olehnya, lelaki ini memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara dingin yang semakin menyelimutinya. Dibukanya kembali kedua indera penglihatannya itu, kemudian ia mendapati beberapa titik lapisan air terlihat berkilau di atas anak-anak tangga rendah berbahan batu yang tersusun menurun di hadapannya. Telapak kakinya yang telanjang juga merasakan dingin yang berbeda di tempatnya berdiri.

Basah. Semalam hujan rupanya.

Pagi yang sedingin ini mungkin bisa membuatnya sakit. Ia bahkan tidak mengenakan pakaian yang layak. Hanya ada kemeja lengan panjang putih yang tak pernah kotor dan celana kain hitam yang menempel di tubuhnya sekarang; tanpa alas kaki, tanpa mantel apalagi dasi, juga tanpa apapun di sakunya. Tapi Sasuke tidak akan khawatir tentang itu. Ia pernah berdiri diam menantang badai salju tapi tidak sedikitpun menggigil kedinginan. Ia bisa merasakan setiap titik hujan yang menyiramnya semalaman namun tidak juga basah karenanya. Ia bisa menghirup aroma lezat makanan dan pernah sekali mencoba mengunyahnya, tapi sesungguhnya tidak sedikitpun ia pernah merasa lapar.

Sasuke tidak tahu mengapa ia berbeda. Bahkan bisa dibilang ia tidak tahu apapun tentang dirinya. Pada suatu hari tahu-tahu saja ia terbangun di salah satu gang sempit di antara dua bangunan kota Leipzig, tanpa ingatan dan tanpa apapun selain baju yang telah menempel di kulitnya, ditemani oleh mimpi-mimpi aneh itu setiap malam.

Ditambah dengan satu dorongan yang membuatnya mulai berjalan dan bergerak mencari: ia harus menemukan sesuatu.

Entah apa. Entah siapa. Entah di mana. Tidak tahu mengapa, kapan, dan bagaimana. Satu-satunya hal yang Sasuke ketahui hanyalah Sasuke harus menemukannya.

Kini Sasuke bergerak untuk duduk di atas salah satu anak tangga, tepat di sisi kanan tuas anak tangga berbahan logam yang terletak diagonal, menyambung dari atas tangga hingga ke bawah. Ia menyandarkan kedua siku pada masing-masing lututnya, lalu dibiarkannya kedua tungkai tangannya menggantung di hadapannya.

Ia menahan helaan napas panjangnya, dan melirik sejenak ke logam panjang diagonal yang berada di sisinya untuk mencari sesuatu yang bisa membuatnya lupa sejenak pada mimpi beserta jejak-jejak senyum cerah milik lelaki itu.

Saat itulah ia menemukan beberapa tangkai barisan bunga mungil yang berbentuk hati, terselip di antara hehijauan taman-taman sempit yang terletak bersusun di sisi luar tuas penyangga tangga. Tanpa berusaha menahan rasa penasaran, dengan jari-jarinya yang panjang lelaki ini meraih salah satu tangkai bunga yang berwarna merah muda itu, lalu mengelus lembut kelopaknya yang halus.

Ah, Bleeding Heart-kah?

Sasuke segera teringat dengan salah satu kisah dalam buku dongeng yang sempat dibacanya di sela tebalnya buku-buku sejarah Jerman yang ia telusuri.

Alkisah seorang putri jatuh cinta pada seorang putra pemburu miskin. Namun, Sang Raja yang tak setuju jika putrinya menikahi Sang Pemuda dengan kasta mereka yang begitu berbeda, menantang Sang Pemuda untuk membunuh seekor ular raksasa di dalam hutan. Walaupun begitu, ketika ia berhasil, Sang Raja yang tidak dapat menerima hasilnya malah diam-diam memerintahkan prajuritnya untuk membunuh Sang Pemuda.

Sang Putri didera kesedihan selama berhari-hari sampai akhirnya pada suatu hari ia tahu bahwa ayahnyalah yang bertanggungjawab atas kematian belahan jiwanya. Kemudian pergilah ia mengambil belati, menancapkan belati di bagian jantungnya, namun bersumpah akan terus hidup dan menjadi saksi bahwa cinta sejati itu ada.

Dengan jantung berdarah, Sang Putri kemudian meninggal, tetapi keinginan Sang Putri terkabulkan.

"Sejak itu, bermekaran bunga-bunga berbentuk hati setiap musim semi. Dipercaya sebagai jelmaan Sang Putri, sehingga diberi nama Bleeding Heart ... jantung yang berdarah," dengan datar dan tanpa ekspresi, Sasuke mengakhiri dongeng yang baru saja terulang kembali di dalam kepalanya.

Namun matanya kini memancarkan emosi. Pahit. Emosi yang sama dengan yang selalu ia rasakan setiap kali teringat dengan lelaki dalam mimpi-mimpi itu.

Tanpa melepas tatapan eratnya kepada benda berwarna merah muda di tangan, Sasuke lanjut berucap, "Lalu kenapa kisahmu ini malah terasa seperti déjà vu bagiku, eh, Yang Mulia?"

[to be continued]


.

.

.

Vocabs:
1) my dear; 2) I love you; 3) your sun; 4) I'm sorry

Referensi bunga bleeding heart:
vemaledotcom /relationship/love/20123-bunga-bleeding-heart-simbol-cinta-abadi-selamanya-1. html

.

.

.

I'm sorry dear Leon, after typing all night along only this that I can manage so far. [magercry]

Iya ini collab sama Leon (ceruleanday) pakai ide saya, terus nulisnya dipotong dua kayak kue. #nahlho Leon udah nyelesain parte-nya, sementara saya belum. Jadi kalo kalian ngelihat bagian yang aneh dan jelek di sini, believe me itu saya yang tulis, karena yang bagus pasti punya Leon. Berhubung hari ini deadline event-nya, chapter 2 bakal saya usahakan bisa selesai hari ini juga. Kalo telat... yah, mohon ditolerir wahai Shrine-chan dan sesepuh-sesepuh di Shrine. ;w; #dzing

Mistype, miss-word, kritik ataupun saran, silahkan dilayangkan melalui kotak manis di bawah. Segala apresiasi diterima dengan senang hati, itung-itung penyelamat, eh, penyemangat buat ngetik chapter berikutnya. :"D #desh

Last but not least, thanks for reading!