Dalam dunianya yang sempit ini, ia memiliki dua cahaya yang menunjukkannya betapa indahnya dunia di luar dunianya itu. Keduanya adalah pemuda yang kuat, pemberani, dan bebas. Sementara dirinya...
"Permainanmu seakan tidak punya jiwa," ujar Gakushuu Asano, melipat tangannya, berdiri di sisi piano yang ia mainkan. "Tidak ada penekanan, impresi, emosi. Seperti mendengarkan mesin ketik."
Saat itu, yang terpenting baginya adalah bermain sesuai yang diinginkan. Yang diinginkan adalah dirinya bermain persis seperti Friedrich Chopin, dan itulah yang Nagisa Shiota lakukan, menirukan rekaman yang ia dengar.
Gakushuu membuat gestur seakan menyuruhnya bergeser di atas bangku piano itu. Setelah duduk, anak berambut sepirang buah aprikot itu meregangkan jari-jarinya, dan memainkan kembali Nocturne yang baru saja Nagisa mainkan, namun dengan tempo yang lebih tajam dan impresif.
Nagisa bagai merasakan dini hari yang gemerlap mendengar lantunan musik itu. Sesuatu terasa hidup dalam dirinya yang sudah mati rasa menjadi boneka.
"Kau juga bisa memainkannya, Shiota," ujar Gakushuu, beranjak dan menepuk kepalanya. "Menghidupkan musikmu."
Gakushuu seakan membuka matanya, seperti seekor burung yang hinggap di jendela, memberitahukannya bahwa ada sesuatu di luar sana, di luar kastil kacanya. Seperti sinar matahari yang menyusup melalui rindangnya dedaunan.
"Aku tidak pernah mendengarkan permainan yang seperti itu!" seru Karma Akabane, melongokkan kepalanya dari jendela ruang musik. "Maksudku, aku tahu itu. Itu lagunya Billy Joel, judulnya This Night, bukan?" anak itu menopang dagunya dengan tangan yang bertumpu di bingkai jendela, senyumnya begitu riang, Nagisa merasa silau.
Ia tidak pernah melihat seseorang tersenyum seperti itu padanya—bahkan tidak penontonnya.
"Ini Sonata Pathétique, Gerakan ke-Dua." Koreksi Nagisa, merasa malu permainan yang menjadi rahasianya didengarkan orang lain. Rasanya seakan dilihat tanpa busana, anak berambut merah itu baru saja melihat curahan emosinya yang ia sembunyikan dari dunia.
"Tapi aku juga pernah mendengarkan lagu seperti itu..."
Anak berambut merah itu selalu mengunjunginya tiap Nagisa mendapat jam latihan sendiri, tanpa pengawasan ibu atau pun gurunya. Ia menceritakan banyak hal. Acara televisi yang menarik, lagu-lagu yang ia dengar, pelajaran di sekolah, perkelahian, dan permainan. Semua yang tidak pernah Nagisa alami.
"Ingat saat kau menyusup keluar dan kita merayakan ulang tahunku di kota?" suatu hari yang cerah, menjelang liburan musim panas, Karma berkata. "Ayo kita rayakan ulang tahunmu seperti itu juga, Nagisa-kun."
Karma mengajarinya berharap, bersemangat. Nagisa pun terbayang kebebasannya. Suatu ketika, saat ia telah dewasa, ia akan bisa menentukan sendiri apa yang ia inginkan, bebas dari ibunya, bebas dari musik. Melihat dunia luar, menikmati hidupnya.
Jika Gakushuu bagaikan mentari yang menyusupi celah-celah pepohonan, maka Karma bagaikan bintang jatuh, menjunjung harapannya, membuatnya bertahan melalui hari-harinya yang kelam. Tapi lebih dari kebebasannya sendiri, Nagisa lebih memuja kedua bintang dalam hidupnya itu.
Dan ketika ia harus kehilangan salah satunya, Nagisa pun dihadapkan pada kenyataan terbesar.
Di sana, berlutut di tengah genangan darah, gentar menyaksikan bintangnya meregang nyawa, Nagisa pun tersadar...
"Ambil saja nyawaku," ratapnya, air matanya mengalir. "Ambil saja nyawaku! Buat aku tidak pernah ada, tapi jangan biarkan dia mati!"
Eksistensinya tidak akan berarti jika Nagisa kehilangan salah satunya. Ia tidak akan membiarkan mereka menolak—dan untuk itu, Nagisa Shiota menyerahkan segalanya; eksistensinya. Lebih baik ia tidak pernah ada di dunia ini jika di dunia itu ia kehilangan mereka.
Sayangnya kisah ini tidak bisa kita saksikan dari sudut pandang seseorang yang begitu menyedihkan.
Pathétique
7 Oktober 2015
by Esile the Raven, Characters by Yuusei Matsui
