Disclaimer

Kuroko no Basuke (c) Fujimaki Tadatoshi

This Story (c) Kiyoha :3


Kebetulan sekali, aku bertemu denganmu di kota

Apakah dia… 'Bayangan' yang selalu kau bicarakan itu?

Kuakui, kalian benar-benar cocok bersama—tapi, daripada itu…

Senyummu—yang tak pernah kulihat sebelumnya—menusuk hatiku

Mengapa? Apa aku tak cukup untukmu?

Mengapa… Aku tidak bisa, jika bukan dirimu?

Padahal perasaanku ini sungguh-sungguh

Perasaan yang tak akan sampai ini… Kusembunyikan jauh di dalam hatiku

Sesak, aku hampir tak dapat bernafas

Apakah mulai saat ini…masih terus memikirkan dirimu?

Kalau saja… Aku hanya mencintai orang-orang yang juga akan mencintaiku…

Apa perasaan ini… Terlalu egois?

.

.

.

Tokyo pada malam hari—apalagi sekarang sudah memasuki musim gugur—terasa dingin sekali. Yah, walau suhu di sini tidak serendah di Akita, tapi tetap saja, rasa dingin ini sungguh menusuk.

Ku terus menyusuri jalan sepanjang pertokoan, sudah lama sekali aku tidak berada di Jepang… Rasanya aneh.

"…Tatsuya?"

Suara itu mengejutkanku.

Aku mencoba berbalik badan—melawan arus keramaian jalan—dan aku melihatnya. Ya, dia. Orang yang sudah lama tidak kujumpai—Kagami Taiga.

Ajaib, mendadak sekitar menjadi terang benderang, mengalahkan cahaya remang dari lampu-lampu jalan. Apa hanya perasaanku? Yang jelas, segalanya terasa lebih bercahaya sekarang.

"Tatsuya? Benar-benar kau…'kan?"

"Ta-Taiga…"

Oke, normalnya orang akan saling berpelukan ketika bertemu setelah sekian lama, ya 'kan? Tapi… Entah mengapa tubuhku hanya membeku di tempat. Bukan karena aku tidak ingin memeluknya, hanya saja…Macam-macam perasaan yang menumpuk di dalam hatiku terasa tercampur aduk, aku tidak tahu harus bagaimana lagi.

Bersamaan dengan angin sejuk yang membelai pipiku, senyummu mengembang. Ya, senyum yang sama. Senyum yang lembut—masih sama seperti waktu itu, tidak ada hal yang berubah. Ah, aku serasa melihat mimpi yang sempat terhenti sejak lama.

Tapi entah mengapa ada sesuatu yang terasa canggung.

Mungkin karena kita berpisah dalam keadaan marahan? Apa itu penyebabnya?

.

"Ng… Lama tidak bertemu, ya, Taiga. Ahaha…"

Gawat, senyumku terasa kaku.

"Ya. Benar-benar sudah lama. Err… Kau sehat?"

Begitulah, kami terus berbasa-basi di depan sebuah restoran cepat saji. Mungkin karena sudah lama sekali, kami jadi sulit untuk membuka pembicaraan. Tapi…

Ini saja, bagiku sudah membahagiakan.

Mungkin dia—Taiga sendiri masih merasa tidak enak karena kami berpisah dalam keadaan marahan, tapi sejujurnya aku tidak apa-apa. Karena… Aku masih menyimpan sebuah 'perasaan' ini padanya…

Kagami Taiga adalah cinta pertamaku.

Terserah saja kalau kalian ingin tertawa atau bagaimana, perasaan ini bukanlah suatu kebohongan belaka.

.

"Kagami-kun?"

Satu lagi suara datang menyusul percakapanku dengan Taiga. Seorang anak yang lebih pendek dariku, bersurai baby blue, dan beriris sapphire yang mengkilat.

Baru saja aku akan mengobservasi keseluruhan dari anak itu, Taiga memotongku dengan perkataannya.

"Ah, ya. Tatsuya, ini Kuroko. Kuroko Tetsuya. Rekanku dari tim basket Seirin. Kuroko, ini Tatsuya—err, Himuro Tatsuya."

Taiga mengenalkannya padaku. Oh, pasti teman Taiga dari sekolah barunya. Ditambah lagi mereka berdua mengenakan gakuran, jadi itu sudah pasti.

"Nice to meet you, Kuroko-kun."

"Doumo, Himuro-san."

Aku berbasa-basi kembali, melihat bertambahnya orang dalam percakapan kami. Tak ada salahnya berbaik hati pada orang yang baru kita kenal, 'kan? Toh sepertinya ia orang yang baik, walau sulit melihat itu dari balik pokerfacenya.

...

Eh, tunggu, apa?

Kedua tangan mereka bergenggaman. Tunggu, mengapa?

"Kagami-kun, dingin."

"Kuroko—hei! Kau seenaknya saja menggenggam tanganku! Lagipula—mengapa tanganmu bisa sedingin ini, sih?!"

Aku tertawa melihat reaksi Taiga yang lucu. Ia masih sama seperti dulu, spontan dan selalu membuatku tertawa.

Namun…

Ada apa dengan gelombang kekesalan yang mendadak muncul ini?

.

"Hahaha, dasar, kalian seperti sepasang kekasih saja. Just like a couple, such a lovey dovey."

Pada awalnya, aku hanya berniat menggoda Taiga saja, aku ingin melihat reaksi lucunya sekali lagi. Mungkin dia akan mengerang kesal seperti tadi—atau malah mencubitku gemas, seperti yang biasa kami lakukan sejak kecil.

Ya, awalnya memang begitu, tapi…

Sungguh benar-benar tidak kusangka, bahwa jawaban yang kudapat adalah…

…Satu kalimat yang membuyarkan senyumku saat itu juga, dan menghilangkan angin sejuk di hatiku—dan memecahkannya berkeping-keping.

"Ahahaha, mengapa kau bisa tahu, Tatsuya?"


"Mulai hari ini, kita saudara ya, Taiga!"

Seiring dengan terucapnya kalimat itu dari bibirku, kami berdua menyisipkan cincin ke jari manis masing-masing.

"Maksudmu saudara dalam basket, kan? Hehehe,"

Ia tersenyum kepadaku, memamerkan barisan giginya yang , senyum yang benar-benar kusukai, sejak aku pertama kali bertemu dengannya.

.

.

"Kenapa?! Kenapa kau mengalah padaku, Taiga?!"

Teriakku marah—itu pada pertandingan terakhir kami. Aku benar-benar marah—dia seperti meremehkanku saja.

Dia sudah menjadi lebih kuat di basket, bahkan lebih kuat saja, sebagai kakaknya dalam dunia basket, aku tidak ingin kalah darinya.

Bahkan aku sampai mempertaruhkan hubungan persaudaraan kita, yaitu jika aku kalah, aku tak akan menganggap diriku kakaknya lagi.

.

"Aku… Ingin hubungan kita tetap sama seperti dahulu, Tatsuya,"

Itulah alasan yang ia berikan. Tapi tetap saja aku tak dapat menerimanya. Bila hubungan kita tetap sama, aku…

Aku…

.

.

Are? Apa… Yang sebenarnya kulakukan?

Mengapa aku mencoba untuk menghancurkan hubungan kami sekarang, dengan dalih membandingkan kekuatan?

Apa jika hubungan kami tetap sebagai 'saudara' maka aku tidak bisa menjalin hubungan… Yang lebih dekat, yang lebih kompleks lagi?

Aku… Seperti mencoba membohongi perasaanku sendiri.

Bodohnya.


Pahit.

Aku mencoba meneguk black coffee yang kupesan di sebuah coffee shop yang berada di daerah pertokoan Akita. Sekarang juga sekolah sedang libur, jadi aku bebas keluar masuk asrama.

Lagipula, lebih baik aku mencari udara segar di luar, daripada aku terus mengunci diri di kamar. Sejak aku bertemu lagi dengan Taiga minggu lalu… Rasanya sakit.

…Pahit.

Kopi ini benar-benar pahit.

Sama seperti perasaanku saat ini.

Tak adakah hal… Yang dapat membuat hari-hariku menjadi lebih manis?

.

.

"Are? Murochin~?"

Seseorang memanggilku dari balik counter toko. Aku menoleh, kira-kira siapa? Panggilan itu… Berarti dia mengenalku?

"Ah, Atsushi…"

Ya, Murasakibara Atsushi, rekanku di klub basket Yosen. Seorang anak kelas satu yang tinggi menjulang bagai tiang listrik dan kerjanya setiap hari hanya makan cemilan. Akhir-akhir ini kami jadi sering bersama berkat klub basket. Tunggu… Kenapa dia ada di sini?

Aku segera mengetahui jawabannya saat ia menghampiriku. Atsushi mengenakan setelan waiter berwarna ungu hitam, seragam pegawai coffee shop ini. Berarti dia salah satu pegawai di sini. Atau mungkin hanya kerja sambilan sewaktu liburan.

"Atsushi… Sedang kerja sambilan?" tanyaku. Atsushi hanya mengangguk malas.

"Em. Aku butuh uang jajan, sih." Jawab Atsushi seadanya. Aku hanya mendengus pelan mendengarnya. Yah, setiap hari ia menghabiskan uangnya untuk membeli cemilan atau kue-kue di kantin, sih.

"Murochin sendiri? Sedang apa di sini? Uwah… Kau memesan black coffee? Itu pahit 'kan…" Atsushi mengernyit saat ia melihat cangkir black coffee di tanganku. Maklum saja, dia menyukai yang manis-manis, seperti permen atau stik maiubou yang biasa ia beli. Aku tertawa.

"Hahaha, Atsushi tidak suka yang pahit-pahit, ya? Yah, sebenarnya aku juga kurang suka sesuatu yang pahit, kok."

"Lalu? Kenapa Murochin memesan itu?" tanya Atsushi keheranan.

"Aku…" Awalnya aku ragu akan menjawab, tapi ya sudahlah. "Aku memesan ini… Karena black coffee mencerminkan keadaan hatiku,"

.

.

"Mencerminkan… Keadaan hati? Memangnya Murochin kenapa? Apa ada yang membuat hati Murochin menjadi pahit?"

Atsushi menarik kursi di sebelahku, sepertinya ia masih penasaran.

"Jadi kenapa, Murochin? Aku… Apa ada yang bisa kubantu?"

"…"

Entahlah, apa aku harus menceritakan kegundahanku atau tidak. Aku tidak tahu, apa aku bisa mempercayai kouhaiku ini atau tidak. Biasanya saja ia tidak peduli denganku, jadi…

"Murochin."

Ia menegaskan suaranya, kemudian memandangku dengan jarak yang cukup dekat. Aku terkejut tatkala ia mendadak memajukan wajahnya seperti itu.

"A-ada apa, Atsushi? Kau tidak seperti biasanya."

Ia menutup matanya, kemudian menghela napas.

"Murochin… Tidak seperti biasanya. Kupikir ada yang aneh, jadi… Ayolah, aku berusaha membantu, Murochin,"

Aku terhenyak melihat wajah Atsushi yang seperti ini. Sepertinya… Ia benar-benar khawatir. Aku tidak punya pilihan lagi selain menceritakan kegundahanku kepadanya. Yah, mungkin dengan itu setidaknya aku bisa meringankan beban di hatiku.

"Murochin, aku… Ingin memaniskan hatimu yang pahit itu, kumohon?"

Apalagi dengan permintaan seperti itu.

"Ba-baiklah, kalau begitu…"

.

.

.

Entahlah, aku sudah tak tahu lagi. Yang jelas, barusan aku menceritakan kegundahanku pada Atsushi dan dia… Terlihat sedikit tidak percaya, bahkan bingung. Yah, itu wajar, kalau aku menceritakan hal ini kepadanya…

"Jadi Murochin… Sebenarnya ingin sekali kembali bersama 'orang itu'?"

Tepat sekali.

Aku mengangguk pelan. "Yah, seperti katamu, Atsushi…"

"…"

Aku terdiam—kurasa ia perlu sedikit waktu untuk mencerna apa yang kukatakan padanya. Sebenarnya aku tidak perlu menceritakan ini kepadanya—aku sudah biasa mengatasi masalahku sendiri. Namun pemuda bernama Murasakibara Atsushi ini… Meminta dengan sangat. Aku tidak bisa—

Gyut

Eh?

Mendadak aku merasakan tubuhku ditarik, dan mengenai sesuatu yang hangat. Sebuah benda besar panjang melingkari tubuhku—dan membelai lembut belakang kepalaku. Aah, ini pasti tangannya yang panjang. Dan rasa hangat ini… Dekapannya. Tubuh besarnya.

Namun tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan rasa kagetku. Mengapa… Mendadak Atsushi memelukku seperti ini? Apa karena ia kasihan denganku?

Syukurlah saat itu coffee shop sudah sepi dan hampir tutup, dan tempat dudukku dekat sekali dengan counter, jadi sulit terlihat orang lain. Atsushi masih saja membenamkan wajahnya di kepalaku, sehingga aku dapat menghirup wangi mint dari helai ungunya yang menjuntai, membuat pipiku geli.

"Murochin…"

Bisiknya, hampir tak dapat terdengar di telingaku. Selagi mengucapkan itu, aku dapat merasakan ia mengeratkan dekapannya.

"Ada apa, Atsushi?"

"Kalau Murochin tidak bisa bersamanya… Murochin cukup bersamaku saja. Di Yosen."

"…Eh?"

Melepaskan tangannya dari tubuhku, Atsushi kembali berjalan menuju dapur yang berada di balik counter. Eh, apa? Dia hanya mengatakan itu?

Bukannya aku berharap yang macam-macam, sih… Tapi kukira ia akan sedikit lebih menghiburku…

.

Tak.

Dikala aku menundukkan wajahku di counter, sepotong mille feuille hangat tersaji di hadapanku. Aku memandangnya bingung. Aku kan tidak memesan ini, mengapa—

Ah, Atsushi kembali duduk di dekatku.

"Makanlah, Murochin. Aku yang traktir."

"E-Eh? Tidak apa-apa?" tanyaku ragu, namun Atsushi mengangguk, jadi kurasa tidak apa-apa.

"Ba-baiklah kalau begitu…"

Aku memotong kecil mille feuille yang ia sajikan. Rasanya… Manis. Gula halus yang ditabur di atasnya terasa dingin di gigiku, namun kehangatan ini… Serasa membuatku meleleh. Enak sekali, aku tidak bohong.

"Itu… Aku yang buat. Masih ada sisa adonan puff pastry—dan toko juga hampir tutup, jadi kuputuskan untuk membuatnya secara cepat. Kau menyukainya, Murochin?"

Aku mengangguk pelan. Ya, aku tidak berbohong. Aku menyukai ini.

"Syukurlah."

Untuk beberapa saat, aku makan dalam diam. Mille feuille yang hangat ini, dapat sedikit membangkitkan senyumku, terima kasih pada Atsushi yang memanggangnya untukku. Selain dapat menghangatkan diriku, ini juga manis—berkebalikan dengan kopi yang tadi kupesan.

"Nee, Murochin. Kau tahu arti dari mille feuille ini?"

"Arti…nya?"

"Ya. Dalam bahasa Perancis, mille feuille artinya 'Seribu daun'."

Mengatakan itu, Atsushi meraih tanganku yang membeku dengan telapak besarnya yang hangat.

"Aku berharap—dengan dimakannya mille feuille ini, Murochin dapat menghilangkan seribu, beribu-ribu perasaan yang memberatkan hati Murochin. Beribu-ribu rasa sakitmu, beribu-ribu perasaanmu terhadap 'orang itu'..."

Aku tertegun—ia kembali menekan pelan kepalaku hingga terbenam di dada bidangnya.

"—gantikan dengan beribu kenangan yang baru."

.

Aku merasa aneh, pipiku terasa begitu hangat—pikiranku berputar. Terulang kembali memori-memori yang pernah kurasakan dahulu… Segalanya datang menyerang dan hilang begitu saja.

Saat aku pertama kali bertemu dengannya…

Saat aku dan dia pertama kali menjalin hubungan sebagai 'saudara'…

Saat aku menjalankan hari-hari indah dan menyenangkan bersamanya…

Saat aku bertengkar dengannya…

Hingga saat ini…

.

Tes.

Perlahan satu per satu air mata mulai membasahi pipiku—beriringan dengan jatuhnya satu persatu daun musim gugur di luar ruangan. Sekuat mungkin aku berusaha menolak untuk menangis—karena aku tidak ingin menunjukkan kelemahanku ini kepada kouhaiku—percuma saja.

Tidak bisa—aku tidak kuasa menahannya lagi.

Perih. Melepaskan segalanya terasa perih. Namun aku harus melepaskannya. Melepaskan segala perasaanku terhadapnya. Aku harus berusaha untuk merelakannya.

Aku mengeratkan genggamanku pada kalungku—satu-satunya hal yang masih membekas darinya. Satu-satunya yang terus mengingatkanku padanya.

"Taiga…"

Cinta pertamaku menghilang, bersamaan dengan gugurnya seribu daun.

.

.

"Pakai ini saja, Murochin."

Atsushi menyodorkan sapu tangan putihnya kepadaku yang sibuk menyeka air mata. Aku menerimanya dengan senang hati. Karena lengan bajuku sudah basah terkena setiap tetesan air mataku.

Atsushi tersenyum. Sepertinya ia lega melihatku sudah dapat tersenyum lagi. Kuakui, setelah aku menceritakan padanya tadi, aku merasa membaik. Aku sudah tidak apa-apa sekarang.

"Murochin, aku…"

"Ng? Ada apa, Atsushi?"

"Sebenarnya, walau aku berkecimpung di dunia basket, mimpiku yang sebenarnya adalah menjadi seorang patissiere." ucapnya, sembari memandangku lekat. Ah, ya, aku paham itu. Kadang seseorang memiliki mimpi yang berbeda dengan apa yang dikerjakannya, seperti Atsushi.

Tapi kurasa, Atsushi cocok menjadi patissiere, karena ia jago membuat kue-kue yang enak… Kalau saja ia tidak memakannya sendiri, hihi.

"Kue barusan… Membuat perasaanmu menjadi sedikit lebih manis, kan, Murochin?" tanyanya. Sekali lagi, aku mengangguk.

"Ya. Karena itu. Aku ingin menjadi patissiere, aku ingin membuat kue-kue yang manis… Membuat hidup seseorang menjadi lebih manis. Sepertinya menyenangkan. Er, apa tidak cocok denganku, ya?" Ia memiringkan kepalanya ragu. Aku yang tadinya tertegun malah jadi ingin tertawa.

"Cocok-cocok saja, kok, Atsushi."

"Begitu?" Atsushi menggembungkan pipinya melihat aku yang masih tertawa kecil. Lucu sekali. Sampai akhirnya ia kembali melanjutkan.

"Kalau begitu… Aku akan mulai dari memaniskan hidupmu dulu, Murochin."

"Ng?"

Atsushi kembali tersenyum hangat kepadaku. "Ya. Mulai sekarang aku akan menciptakan kenangan-kenangan manis di hidupmu—tidak, di hidup kita berdua. Apa itu tidak apa-apa?"

Mendengar itu, aku sedikit terkejut, namun aku kembali menyunggingkan senyuman.

"Ya. Aku senang sekali. Terima kasih, Atsushi."

"Kalau begitu, mulai hari ini mohon bantuannya, Muro—Himuro Tatsuya."

.

.

.

END


A/N

Haloo~ Kiyoha disini :3

Kali ini kiyoha ingin menggalau bareng Murochin yang gagal moveon~ dan ingin bikin gentle!Muraran, hahaha /plok

Tapi entahlah ini bisa dikategorikan galau apa gak haha, abal plus ga jelas begini :'3 Tapi semoga kalian suka yaaa (bukannya ngerjain fanfic lain) /kabur

Akhir kata, mind to RnR? :3

kiyoha