Tsukyuu Floo Kitsune Present

What If

Disclaimer : Masashi Kishimoto own all character of Naruto.

Genre : AU, Romance, Life, and Hurt.

Warning : Typos, Ooc, and Crack pairing.

Spesial Dedicated For :

HBD White Azalea—nee.

For ShikaIno Valentine 2016—Say it with flower!

SIVE 2016 : Hanakotoba / Sky / White Camellia.

Happy Reading

.

.

.

[!] Peringatan! ff ini mengandung konten adegan dewasa,

Meskipun adegannya samar-samar(?) tapi tetap aja Floo merasa

bertanggung jawab untuk tidak mencemari otak kalian.

Bagi yang merasa otaknya polos kaya Floo (Plaak) mending jauh-jauh ya!

Kalau masih maksa jangan pada protes ya kalau ikutan error kayak Floo. :)

Tsukyuu Floo Kitsune

Wanita mana yang tak akan menangis saat pria yang dicintai dan dinantinya selama ini malah datang membawakan secarik undangan untuknya?. Kondisi ini persis seperti drama sore hari yang ditonton sahabat karib satu profesinya yang sudah menikah dengan seorang dokter muda—Namikaze Sakura, dimana dua orang pasangan yang terpisah karna suatu hal bertemu kembali setelah waktu lama dan salah satunya membawakan kertas undangan.

Klise dan mainstream sekali jika ditutup dengan tangisan salah satu pihak.

Tapi ini bukanlah drama picisian seperti itu karna kalian boleh menunjuk wanita berusia 27 tahun bernama Yamanaka Ino untuk kenyataan itu, ia hanya bisa terpaku ditempatnya duduk sejak tadi dihadapan seorang pria bermata kelam. Tidak ada airmata. Tidak ada rengekan sama sekali.

Setelah dua tahun lebih ditinggalkan tanpa kabar dan baru dua puluh lima menit lalu ia mendapati telpon dari nomor tak dikenal, menyuruhnya datang ke Fox Cafe dan menemukan pria yang selama ini cari di kafe tersebut. Ini akhir penantiaanya selama ini?

Ah, miris sekali.

Jelaganya menatapi kertas tebal yang telah berpindah tangan padanya.

"Maaf baru mengabarimu sekarang," pria itu mengaduk tehnya dengan gerakan lambat.

Yamanaka Ino hanya bisa menganggukan kepalanya pelan. "Bukan masalah," ia berusaha sebaik mungkin menampilkan senyuman terbaik yang ia punya, tapi sangat jelas bibirnya bergetar hebat.

Tidak.

Ia tidak mau menangis dihadapan pria ini. Ino tak mau sisi lemahnya ia perlihatkan pada orang lain. Itu sebabnya ia mencoba mengatur emosinya.

Dddrrttttt.

Ponselnya bergetar dan nama 'Menma' tampil di layar benda pipih tersebut. Ia segera mengangkat panggilan telpon itu setelah meminta izin pada pria dihadapannya melalui isyarat.

"Hal—,"

"Hoi kau tak lupa jadwal pemotretanmu 'kan? Aku bisa beku menunggumu disini!,"

Telinga Ino rasanya berdenging dihadiahkan teriakan super mega bass milik pria diseberang sana.

Ino baru saja akan menjawab bahwa ia sedang sibuk, namun ketika melihat kertas undangan dihadapannya, ia mengurungkan niat tersebut. "Uhhmm, maaf sayang," ia menahan diri untuk tak segera memuntahkan isi perutnya keluar "aku lupa hari ini kita ada kencan,"

"Ha? A—a—ap—APA?,"

Ino merutuki hobby teriak-teriak yang selalu dilakoni Menma. Ini bawaan dari lahir atau gen keturunan? Pikirnya.

"Iya, aku akan segera kesana, bye sayang,"

Pip.

Ino memutuskan panggilan telpon itu sepihak. "Mm—," ia menatap bingung pada pria yang kini menatapnya lekat—lekat.

"Kau...punya—kekasih?," tanyanya ragu–ragu. Ino hanya menatapnya dengan raut bingung "tentu saja, aku ini 'kan seorang model ternama, kenapa aku harus mengabaikan masa mudaku dengan menjadi single?," ia terkekeh kecil.

"Aku pamit dulu ya, Shikamaru,"

Ino merapikan barang–barangnya dan memasukkan ponsel serta undangan tersebut kedalam tas, lalu segera bergegas pergi.

Pria bernama lengkap Nara Shikamaru itu berdecak "ia masih sok kuat seperti dulu," Shikamaru menatapi siluet yang kian menjauh "Mendokuse," desahnya.

Tsukyuu Floo Kitsune

Berapa lama waktu berlalu sejak hari itu? Ah, mungkin sudah dua atau bahkan tiga tahun. Ino tak dapat mengingatnya dengan benar.

Mari kembali kewaktu beratus—bahkan beribu hari yang telah lalu, dimana semua hal yang menciptakan kondisi saat ini berawal.

Nara Shikamaru bukanlah orang baru dikehidupannya, mereka tumbuh dan besar ditempat yang sama, sebuah panti asuhan.

Ino tak tahu apa yang salah pada keluarga besarnya saat tiba–tiba saja semuanya terasa berputar dengan hebat.

Ayahnya tewas dan ibunya membawanya kesebuah tempat kecil dan menitipkannya disana atau lagi meninggalkannya yang baru berusia 10 tahun disana. Ino bertemu dengan delapan orang anak yang rata–rata lebih muda darinya.

Wanita paruh baya disana dipanggil Ibu, ia sangat baik dan penuh kasih sayang. Awalnya Ino terus menangis dan memanggil nama ibunya setiap malam dan sosok yang dipanggil Ibu itu akan memeluknya dengan erat dan menenangkannya, namun setelah berlalunya waktu, Ino merasa bahagia dilingkungan barunya walaupun tak lagi sama dan kemudian Shikamaru datang.

Ia datang dengan penuh bekas luka disana–sini, ibu mereka sangat panik dan segera merawatnya. Ino—lah yang paling sering membantu menjaga Shikamaru karna ia yang paling tua diantara yang lain, lalu sejak saat itu Ino mulai mengenal Shikamaru secara pelan–pelan. Mungkin karna umur mereka yang sebaya, atau mungkin karna sikap bertolak belakang yang saling melengkapi, Ino dan Shikamaru selalu terlihat bersama dan kemudian perasaan saling menjaga dan melindungi itu terbentuk secara alami setelahnya. Shikamaru selalu tampak seperti kakak bagi Ino.

Saat mereka lulus SMA, Shikamaru memutuskan pindah ke pusat kota dan mencari tempat tinggal sendiri karna mendapatkan beasiswa bergengsi di University Konoha dari sebuah perusahaan IT terkenal karna kecerdasannya, perusahaan itu bahkan menempatkan Shikamaru sebagai pekerja paruh waktu dengan gaji yang hampir sama dengan karyawan lain, atau singkat kata hidup Shikamaru terjamin, ia bekerja, mempunyai flat sendiri, dan mendapatkan beasiswa di tempat kuliah ternama yang pernah ada di Konoha, dan fakta itulah yang membuatnya berani membawa Ino bersamanya.

Namun rupanya hubungan mereka tak sama seperti dulu, ditahun ketiga mereka tinggal bersama Shikamaru makin menjadi emosional dan selalu bertengkar dengan Ino. Masalah yang mereka bahaspun adalah hal yang sama, Ino yang menjadi seorang model dua setengah tahun belakangan itu sangat menganggu bagi Shikamaru.

Ino sendiri memang tak ada niatan kuliah, itu sebabnya saat ada agensi yang menawarinya pekerjaan sebagai model ia langsung menerimanya dengan senang hati. Hidup mereka memang jauh lebih baik, berkat uang yang mereka berdua kumpulkan, flat sederhana yang dulu mereka tempati berubah menjadi sebuah kondominium mewah berkelas yang besar, bahkan Ino selalu mengendarai mobil sport berwarna merahnya kemanapun ia pergi.

Ino memang keras kepala dan susah diatur, tapi mereka tak pernah sampai bertengkar hebat seperti hari itu, karna selama ini Shikamaru yang akan mengalah padanya namun hari itu berbeda, karna tak ada manusia yang akan selalu sama pada dasarnya.

.

.

.

"Berhentilah dari pekerjaanmu, Ino,"

itu adalah kalimat yang sama dalam dua hari ini tanpa perubahan sedikitpun ditiap katanya, sudah hampir empat bulan jarak mereka merenggang dan makin bertolak belakang.

Tanpa sadar Ino membanting remote tv dihadapannya, dan kemudian menoleh pada Shikamaru, suasana santai malam inipun terusik.

mereka sedang duduk berdampingan di sofa ruang tengah.

"Memangnya kenapa?," Ino bertanya dengan raut tak suka.

Shikamaru menghela napasnya lelah.

"Kubilang berhenti ya berhenti—,"

"Aku tidak mau, Shika!,"

"Kenapa kau tidak mau? Sebentar lagi aku akan lulus kuliah dan menjadi karyawan tetap diperusahaanku bekerja,"

"Lalu masalahnya dimana? Ya, kau tinggal bekerja saja 'kan?,"sahut Ino. "Apa kau berharap aku bergantung pada seseorang yang masih harus membagi waktunya antara kuliah, kerja, dan dirinya sendiri?,"

"Kenapa kau tak bisa bergantung padaku? Kau meremehkanku?,"

Ino hanya tak mau Shikamaru bekerja terlalu keras dan mengabaikan kuliahnya, atau bahkan kesehatannya.

Tapi kenapa susah sekali sih berterus terang?

"Jadi begini saja, kenapa aku harus berhenti dari pekerjaanku?,"

"Pekerjaanmu itu melelahkan Ino, kau harus pergi tour dan melakukan show, jadwalmu pun makin padat, kau bahkan mengaku hampir tidak mendapat waktu yang cukup—"

"Kenapa kau terdengar seperti sedang menghalangi kesuksesanku Shika?,"

"Kau tak mengerti Ino!,"

"Kau yang tak mengerti!,"

"Kenapa kau ini keras kepala sekali sih?," Shikamaru meninggikan nada suaranya.

Ino menggeram dan kemudian menggebrak meja dengan kasar.

"Berhentilah. Bersikap. Menjadi. Kakak. Yang. Baik. Untukku," ujarnya dengan nada yang ditekan.

"Kakak?," ulang Shikamaru tak percaya.

Ino mendengus dan melangkah menuju kamarnya dengan kaki yang dihentakan.

Saat ia baru saja akan memutar knop pintu sebuah tangan menghentikannya. Ino menoleh dan mendapati keberadaan Shikamaru yang berdiri dibelakangnya.

Shikamaru membalikan tubuh Ino dengan kasar dan membenturkan punggung Ino ke daun pintu.

"Kau bilang apa tadi?," tanyanya sembari mencengkram kedua pundak Ino dengan kasar.

"Apa—apaan kau, lepas—,"

Kiss.

Ino membeliakan matanya tak percaya, "mmmpphhhttt—," ia berusaha menggelengkan kepalanya saat tangan kiri Shikamaru malah menekan tengkuknya. Ia menjilat bibir Ino dengan pelan, mengisapnya, mengigitnya, membelainya dengan tempo lambat dan lembut, hingga membuat Ino nyaris jatuh kelantai kalau saja tangan kanan Shikamaru tak merengkuh pinggangnya.

Ino yang masih di kuasai kewarasannya segera memberontak dari Shikamaru, namun Shikamaru bahkan jauh lebih keras kepala lagi dibandingkan Ino, ia menelusupkan jari–jari tangan kanannya dibalik kaos Ino, mengusap kulit punggung Ino dengan gerakan sepelan mungkin yang menimbulkan efek kejut untuk sang gadis.

Ino menggeliat tak nyaman saat ia merasakan tubuhnya memanas. Lidah Shikamaru mengetuk masuk, Ino tak bisa mencegah bibir tipisnya terbuka dan itu menjadi kesempatan baginya untuk segera mengabsen deretan gigi Ino, mengajak lidahnya berdansa, saling membelit kemudian memanggut dengan rakusnya, jejak saliva yang mengalir didagu Ino menambah kesan panas aktivitas mereka.

Shikamaru melepaskan ciuman tersebut setelahnya, ada benang savila diantara bibir mereka.

"Shi—kaaa—" seakan tak memberi Ino waktu jeda, ciuman Shikamaru beralih menuju daun telinganya, menjilat kuping gadis itu dengan sensual.

"Hmm, kenapa memanggil kakakmu dengan namanya Ino?," tanyanya dengan nada sinis. Sesekali ia meniup telinga Ino yang hanya bisa menggeleng, tubuhnya bekerja diluar kontrol, sebenarnya ciuman bukan hal spektakular yang tak pernah ia alami, dalam setahun ini saja, Ino sudah berganti pasangan selama empat kali.

Kalau sekedar ciuman saja sih ia sudah—sering— tapi ciuman Shikamaru berbeda.

Membuat jantungnya berdebar menggila, membuat perutnya tergelitik dan terlilit hingga rasanya ada kupu–kupu yang bertebaran dari sana.

"Aahh," satu desahan lolos dibibir Ino saat Shikamaru mulai menjamah leher jenjangnya, ia mengisap leher Ino dengan pelan kemudian mengigitnya hingga menyisakan jejak kissmark disana. Entah sejak kapan, Ino sudah berbaring diatas king size—nya dengan keadaan kaos yang sudah tanggal dari tubuhnya hingga hanya menyisakan bra berwarna hitam yang menjadi satu–satunya penghalang tubuh atasnya dan Shikamaru kini berada diatas tubuhnya, dengan kancing piyama yang terbuka, menindihnya, dan menghujami Ino dengan kecupan yang membuatnya melayang.

Kini Shikamaru beralih mengecup jari jemari—nya dengan pelan, lalu detik selanjutnya bibirnya berpindah ke telapak tangan kanan Ino, kemudian berpindah ke pergelangan tangannya dengan gerakan lambat, ke lipatan siku, pundak, dan kembali keleher sang gadis.

Ino menahan napasnya menerima perlakuan Shikamaru yang syarat akan pemujaan.

"Shi—shika—," napas Ino terdengar putus–putus, sentuhan Shikamaru memang membuatnya mendamba tapi itu saja tak cukup dan meskipun Ino sudah berumur matang—24 tahun—namun Ino tetaplah satu dari sekian wanita diluar sana yang tak mau melakukan sex tanpa ikatan yang sah, pernikahan.

Shikamaru mengangkat wajahnya dan mendapati jelaga yang mencoba meminta iba padanya, wajah Ino memerah dengan napas yang putus–putus, aquamarine itu menangis karnanya.

Karnanya.

Karnanya.

Karnamu, Nara Shikamaru!

Ia seperti tertampar oleh kenyataan.

Shikamaru tersadar, ia segera bergerak menyingkirkan tubuhnya dari Ino yang kini sudah terisak.

"Maaf," hanya satu gumaman kecil yang diakhiri dengan suara debuman pintu kamar Ino.

.

.

.

Sudah kubilang bahwa tak akan ada manusia yang akan tetap sama sebelumnya 'kan?

Shikamaru bersandar dipintu kamar Ino dengan kekecewan yang mendalam.

Ino menolak sentuhan darinya.

Ino menolak sentuhannya.

Ino menolaknya.

Shikamaru bukanlah anak berusia 10 tahun kemarin sore, ia adalah pria dewasa dengan hormon normal seperti pria lainnya. Memangnya apa salahnya jika ia hanya ingin seluruh hal, setiap sel, dan semua yang ada pada diri Yamanaka Ino menjadi miliknya?

Tidak ditatap oleh pria lain dengan kilatan nafsu yang selalu membuatnya emosi, tapi toh, apa bedanya ia dengan mereka sekarang?

Hari ini ia telah mencoba melakukan hal yang buruk pada Ino-nya.

.

.

.

Esoknya Ino terbangun pada pukul sembilan dengan mata sembab dan leher putihnya yang dipenuhi banyak bekas kissmark.

Shikamaru pasti sudah pergi bekerja—ia hanya kuliah setiap hari sabtu dan minggu—dan Inopun terpaksa harus membatalkan semua jadwal pemotretannya dengan alasan sakit. Beruntungnya Sakura bersedia menggantikannya berangkat ke Sunagakure hari ini karna jadwal gadis itu sedang kosong, kalau tidak entah apa yang akan dilakukan Jiraiya selaku Boss–nya padanya, bisa–bisa ia dijadikan model baju super—aneh—milik sahabat sejatinya, Orochimaru yang selalu membuat eksperimen baju baru dari kulit binatang.

Ewh. Sungguh tidak berkelas.

Ah, lupakan itu, Ino hanya ingin segera mandi dan melepaskan penatnya.

Saat Ino selesai membersihkan diri, ia melihat sebuah nampan berisikan dua potong roti isi dan susu strawberry diatas nakas—nya, namun yang membuatnya tertarik bukan itu tapi satu buah buket bunga Kamelia berwarna putih yang diletakan diatas ranjangnya.

Ino merasakan napasnya tercekat, ia mengambil sebuah post it berwarna kuning muda yang ditempelkan di buket tersebut.

Tulisan Shikamaru terukir disana.

'Maaf telah merepotkanmu' hanya tiga buah kata yang terasa ambigu.

Ia memang tak pernah bisa menebak isi kepala Nara tersebut, ia tak tau apa yang ada didalam sang kelam saat menatapnya dalam hening, ia tak mengerti kenapa Shikamaru sangat protektif pada semua hal yang berurusan dengan dunia luar. Semasa SMA pun Shikamaru akan merasa terganggu kalau Ino berinteraksi berlebihan dengan orang lain.

Mungkin sudah menjadi naluri Shikamaru untuk melindunginya?

Ya, Mungkin.

Jadi dari kesimpulan itulah ia selalu berpikir dan menyugestikan diri bahwa Shikamaru adalah kakak yang baik untuknya, tapi... ciuman semalam merobohkan benteng yang dibangun oleh Ino untuk hatinya.

Ia hanya tak mau keadaan menjadi canggung kalau Shikamaru tahu sebenarnya ia sudah terpesona pada sosok pria itu, pada kecerdasannya, pada raut rupawannya, pada sikap sakartisnya.

Apa Shikamaru juga menaruh hati padanya?

Ino menggelengkan kepalanya, ia tak terbiasa menghayalkan sesuatu karna hidup telah memaksanya bersikap realistis.

Namun kenapa memo Shikamaru ini terdengar seperti sebuah... salam perpisahan?.

Dan kamelia putih, itu adalah bunga kesukaan Ino karna bunga itu adalah bunga yang diberikan ibunya dihari terakhir ia melihat wajah sang ibu.

Bunga itu berarti 'menunggu', ibunya berkata akan segera menjemputnya dan Ino hanya perlu bersabar. Tapi toh kesabaran itu lapuk dimakan waktu.

.

.

.

Apa maksud Shikamaru memberikan bunga itu padanya?

Ia meminta Ino menunggu? Menunggu untuk apa?

Dan dua pekan setelahnya Ino baru mengerti, Shikamaru tak ada lagi disisinya. Ia ditugaskan mengembangkan cabang di Sunagakure oleh bosnya—Uchiha Fugaku, Ino saja baru tahu saat ia berkunjung kesana. Shikamaru meninggalkannya, dan ia benci ditinggalkan.

Ia benci ayahnya yang meninggalkannya secepat itu,

Ia benci ibunya yang meninggalkannya begitu saja,

Ia benci Shikamaru yang juga ikut meninggalkannya,

Tapi hatinya tak benar-benar membenci mereka semua,

Karna ia sadar rasa cintanya lebih besar ketimbang kebenciaan itu sendiri.

Seandainya Shikamaru tahu hal itu.

Tsukyuu Floo Kitsune.

Ino turun dari mobilnya saat ia telah tiba diwilayah pesisir Konoha. Musim dingin kali ini membuat Ino mendapat job pemotretan iklan sebuah parfum bertemakan salju. Itu sebabnya background yang dipilih pun disesuaikan sedemikan rupa.

"Hei!," itu pekikan Uzumaki Menma—fotografer baru di agensi—nya yang sangat menyebalkan.

Ino memasang wajah innosennya.

"Apa?,"

Ia mendengus dan kemudian menunjuk mobil van yang disediakan khusus buat Ino.

"Masuk dan segera ganti bajumu, kau ini menyebalkan sekali sih! Tidak profesional, apa kau tak malu dengan para kru yang sudah menunggumu di cuaca yang dingin— Uuu—waaa, kenapa kau mendekatkan wajahmu padaku sialan!," umpatnya melihat wajah ayu tak jauh di depan matanya.

Ino menyeringai dan berbisik pelan "Kau tak tertarik menggantikan ku baju Menma—kun?,"

Lalu Ino berjalan dengan siulan menyebalkan yang keluar dari bibirnya, meninggalkan Menma dengan wajah memerah padam.

Menggoda Menma adalah hobby baru Ino rupanya.

.

.

.

Jepret!

Jepret!

"Coba kalau tak tersenyum, Ino," instruksi Menma setelah mengecek hasil foto yang ia dapatkan. Ino mendengus dan kemudian menampilkan gesture sinisme—nya.

Jepret!

Jepret!

Ino mengangkat botol bundar dengan label Aqua addict ditangannya dengan gaya anggun, ia sudah berganti pakaian ala Ice princess yang sangat memukau, lengkap dengan mahkota tiara berwarna biru shappire diatas kepalanya.

Jepret!

Jepret!

Salju berjatuhan disekelilingnya, menambah kesan dan nilai anggun Ino. Gadis itu mengangkat botol ditelapak tangan kanannya dan menatap keatas langit dengan perasaan tak karuan.

Seandainya dulu ia tak masuk ke dunia modeling, atau seandainya saja ia lebih terbuka dan jujur pada perasaannya sendiri.

Mungkin nama yang tertera dikertas undangan tersebut adalah namanya 'kan?

Ya, seandainya...

Set.

"Eh?," Ino membelalakan matanya melihat sosok pria bermata kelam dihadapannya tengah mengusap pipinya dengan ibu jari kanannya. Ia meraih pipinya dan mendapati rasa lembab disana.

Astaga! Ino menangis didepan kamera?

"Apa?," Menma bertanya dengan raut datar. "Setahuku disini hujan salju, kenapa yang dipipimu malah menjadi air?," tanyanya dengan raut serius.

Ino memutar bola matanya kesal akan sindiran Menma yang sangat kentara.

"Kenapa kau disini?,"

"Tsk, kau tak dengar kalau pemotretannya sudah selesai? Cepat ganti bajumu sana!," perintahnya dengan nada bossy, lalu kemudian ia menyeringai setan "atau kau mau aku yang menggantikanya?," ia berkata dengan wajah yang sangat dekat dari wajah Ino.

Ino merasakan pipinya memerah.

Ugh. Sialan dia balas menggodaku!

Menma tertawa puas, senang bisa membalas ucapan Ino berapa saat lalu. Tapi hei, yang ia hadapi itu bukan gadis yang mudah mengalah hanya karna satu dua patah kata, Ino suka jika ia harus berdebat dan keluar sebagai pemenang. Ia melirik para kru yang terlihat sibuk membersihkan peralatan.

"Boleh saja, siapa tau kau tertarik melakukan hal lain yang lebih menyenangkan daripada sekedar membuka bajuku?,"

Ino mengernyit mendengar ucapannya sendiri, kenapa ia terdengar seperti jalang sih?

Menma membulatkan matanya tak percaya "Woow, itu undangan?,"

Ino hanya mengedipkan matanya dan menjilat bibir sekilas "Siapa tahu?,"

Kemudian ia berlalu dengan senyuman puas.

Hell yah! Mimpi saja kau!

Tsukyuu Floo Kitsune

Ino menekan tombol digit autolock pintu kondominiumnya, ia baru pulang setelah tiga hari menyelesaikan sesi pemotretan untuk iklan parpum tersebut.

Ia membuka sendalnya dan berucap dengan lirih "aku pul—," ia membulatkan matanya mendapati sosok berparas tampan itu duduk diatas sofa beludru di kondominiumnya. "Apa—apa—," ia tergagap melihat keberadaan pria itu.

Shikamaru yang tengah menyesap kopinya dan menonton acara berita dihadapannya hanya mengguman "selamat datang,"

"Kenapa—kau disini, Shika?," Ino bertanya dengan suara pelan.

Shikamaru menolehkan kepalanya dan bertanya dengan nada sakartis "kenapa? Ada larangan kemari?,"

"Tidak—,"

"Bagus,"

Ino hanya bisa menghela napas dan kemudian mendapati tumpukan kardus yang lumayan banyak di ruanh tengah. "Kau pindah kemari?,"

"Kenapa bisa pindah? Ini rumahku, jadi aku pulang kembali,"

"Ohh, bodohnya aku—," Ino memasang wajah bodohnya dan kemudian pergi kekamarnya.

"Apa kau selalu bekerja selama ini?,"

"Begitulah," jawabnya sambil lalu, kentara sekali ia mencoba tak acuh dengan keberadaan Shikamaru.

Brak!

Pintu kamar Ino tertutup rapat.

"Apa maksudnya 'pulang kembali?' Memangnya ada rumah siap sedia setelah dua tahun ditinggalkan begitu saja tanpa biaya perawatan, pajak, dan sebagainya?," ia menggerutu sembari menghempaskan tas tangannya keatas king size—nya.

Ino merutuki jadwalnya yang kosong hingga tiga hari kemudian, kalau begitu ia akan terkurung selama tiga hari penuh disini?

Big No! Sekarang saja ia menahan diri untuk tidak menyumpah serapi Shikamaru.

Ino mengobrak abrik tasnya mencari ponselnya, ia mengeluarkan seluruh isi tasnya dan menemukan ponselnya yang bertumpuk dengan kertas undangan Shikamaru.

"Issshh!," ia melemparkan undangan tersebut kesembarang arah dengan kesal, lalu mulai mengutak—atik ponselnya.

Lebih baik ia hang out saja tapi ohh—ia bahkan tak mempunyai satupun nomor telepon seseorang yang bisa dijadikan teman untuk menggila diluar sana. Ia menatap kontak–kontak berisikan nomor–nomor teman–teman satu profesi atau pun teman lamanya.

Sakura sudah menikah tahun lalu, dan ia tak jamin wanita cantik itu mau menghabiskan waktu kediskotik ataupun mall jam segini.

Lewat.

Ten–ten, yang ada Ino dibawa ke tempat latihan gym miliknya yang baru buka dan dipaksa latihan ketimbang ditemani jalan–jalan.

Lewat.

Hinata?

Ino menggelengkan kepalanya, Hinata sih anak baik–baik, mana mungkin dia mau ikut Ino ke diskotik kalau bukan karna paksaan saat Sakura masih melajang dulu.

Aaaah,

Ino benci keadaan seperti ini, lagi–lagi ia merasa sendirian.

Ia memang tak punya banyak teman, bukannya kuper atau apa ya, tapi Ino memang tak suka bergaul dengan orang banyak—mungkin karna ia terbiasa membatasi pergaulan karna Shikamaru?

Nagato.

Ah, itu direktur agensi barunya, yang benar saja mengajak pria itu pergi jalan keluar.

Menma.

Ajak, tidak, ajak, tidak, ajak...

Ino menimbang–nimbang apa pilihannya dan kemudian menggeleng, ia ikut menghempaskan tubuhnya keatas kasur dan kemudian memilih tidur saja, ia segera berbenah diri dan berganti pakaian menjadi piyama sebelum kemudian jatuh tertidur diatasnya.

Tsukyuu Floo Kitsune

Nara Shikamaru menatap wajah damai yang tertidur dihadapannya dengan pandangan yang tak terdefinisikan.

Ia mengelus wajah ayu itu dengan gerakan lambat dan kemudian mendaratkan satu kecupan lembut dibibir sang gadis.

"Kau masih tetap secantik dulu, Ino," bisiknya dan kemudian menjauhkan wajahnya dari wajah Ino.

Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukan pukul delapan pagi, kemudian matanya menemukan kertas undangan yang diberinya pada Ino tergeletak diatas lantai begitu saja.

"Sibodoh ini," ia mendengus dan kemudian mengambil kertas undangan tersebut.

Bibirnya menggumam dan kemudian meletakan benda itu didalam laci nakas disamping tempat tidur Ino.

Ia menoleh kearah sang gadis sekali lagi dan kemudian melangkah keluar tanpa tau kelopak mata Ino terbuka dengan pelan setelahnya. Ino meraba bibirnya yang terasa basah.

Si brengsek itu.

.

.

.

Ino mencoba mengatur ekspresinya saat matanya bertemu dengan tatapan tajam milik Shikamaru yang kini tengah duduk nyaman diatas kursi meja makan ditemani dengan segelas kopi dan roti isi.

"Pagi," Shikamaru menyapa dengan nada santai, Ino berdecih dalam hati."Kau pergi bekerja?," tanyanya kemudian, Ino sibuk melilitkan syalnya dan memakai sarung tangan rajutnya dengan terburu.

Ia hanya mengangguk malas, Shikamaru mengernyitkan keningnya.

"Dicuaca sedingin ini?,"

"Sebentar lagi valentine makanya aku mendapat banyak job," ujarnya kemudian.

Shikamaru hanya menggumam saat ia mendapati punggung Ino berlalu.

"Akan ada acara kantor nanti malam, jadi aku akan pulang terlambat," ujar Ino berbohong, ia hanya ingin menghindari Shikamaru untuk beberapa saat ini dan kemudian menghilang dibalik pintu.

Shikamaru hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Bagaimana ini?," desahnya sembari mengamati kotak cincin berbentuk bundar berwarna merah tua dihadapannya.

Tsukyuu Floo Kitsune

Ino melangkah memasuki salah satu club favoritnya dengan malas–malasan. Sesi pemotretannya didalam studio besar agensinya sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, Ino yang merasa bosan menghabiskan sekitar sejam waktunya diruang khusus miliknya sendiri dan yang mengherankannya adalah para kru–kru disana terus melemparkan senyum—kelewat—ramah padanya, ada juga yang bersiul saat bersitatap dengannya dan kemudian ada yang menatapnya sambil berbisik–bisik, itu semua sukses membuatnya jengah.

Dari semua respon yang ia dapatkan, respon Uzumaki Menma lah yang tergolong tak mengenakan. Pria itu mengacuhkan dan mendiamkannya, bahkan tak banyak bicara saat pemotretan dilakukan.

Wajahnya seperti... kecewa?

Ha! Apa–apaan sih.

Jadilah setelah ia keluar dari gedung itu, Ino segera memacu mobil sport kesayangannya ke beberapa tempat dan berakhir disini, selain tempatnya yang sangat artistik, club inipun cukup dekat dengan Kondominiunnya. Ino sampai dimeja bartender dan menemukan pria berambut coklat jabrik disana.

"Ino?," ia bertanya dengan nada terkejut.

"Apa aku mengenalmu?," tanya Ino to the point.

"Aku Kiba, teman seangkatan SMA—mu," balas sosok dengan tato segitiga dipipinya tersebut sembari mengeringai senang.

"Kiba?," Ino mengernyitkan keningnya kebingungan, sebelum akhirnya ia mengingat wajah pria dihadapannya.

"Ooh, Inu—Inuzuka Kiba?," tanyanya dengan fasih.

Kiba mengangguk dan menatap wajah ayu yang sering ia lihat dimajalah. "Sudah lama rasanya, kau tetap secantik dulu ya? Ah, kau bahkan lebih cantik lagi sekarang,"

Ino tersenyum kecil membalasnya. "Oh, dimana Sasori—kun?," tanyanya saat tak mendapati wajah bartender yang sangat akrab dengannya tersebut.

"Ia sudah berhenti dua bulan yang lalu, makanya aku menggantikannya," Kiba menatap gadis itu menilai "kau sendiri?,"

"Apa aku sedang terlihat bersama pria lain?," ia menampilkan senyuman asimetris yang menggoda. Kiba terkekeh kecil.

"Kau mau minum apa omong–omong?,"

"Segelas dolcetto please,"

"Sure Ma'am,"

Ino tertawa kecil dan kemudian mengedarkan pandangannya kesembarang arah. "Sudah berapa lama aku tak kemari ya? Semuanya terasa baru," gumamnya kemudian.

"Benarkah?,"

Ino mengangguk dan kemudian menatapi lautan manusia yang bercampur dilantai dansa, matanya beralih dan kemudian jatuh pada sosok yang tengah bediri dibalik box berukuran sedang yang sedang sibuk mengutak–atik semua tombol disana, aquamarinenya mendapati pria berambut kelam disana.

Uzumaki Menma.

"Dia sejak kapan—?," Ino menatap tak berkedip pada sosok tampan yang kini menebar senyuman angkuhnya, peluh membasahi sekitar wajahnya.

"Ooh, Menma sudah hampir dua minggu. Itu pun tak tetap, kadang saja kalau ia ingin. Ini, silahkan," Kiba menyerahkan satu gelas red wine berlabelkan dolcetto dengan hati–hati.

Ino menggumam pelan. Ada beberapa pria yang menatap Ino dengan pandangan tertarik tapi hanya diabaikan olehnya.

Menma itu lumayan menarik bagi Ino, selama dua tahun kepergian Shikamaru ia memilih untuk menyibukkan diri dengan dunia modeling—nya, ia bahkan berusaha keras membatasi diri dengan dunia luar demi Shikamaru, dan dalam dunia yang dibatasi Ino, Menma ada didalamnya. Meskipun ia tidak dapat dkatakan pengganti Shikamaru—tapi bagi Ino, ia lebih seperti orang yang mengisi sebagian ruang yang ada dihidupnya.

Ah, bicara soal Shikamaru...

Ino meneguk wine—nya dengan sekali tandas, ia mengusap bibirnya dengan gerakan kasar.

Kepalanya terasa pening, ia memang tak terbiasa dengan wine dan sejenisnya.

Tapi malam ini, ia ingin memaksakan dirinya untuk memasukan cairan itu kerongga mulutnya. Ia ingin mabuk dan melupakan semua masalahnya.

Ino memesan gelas ketiganya, meskipun kepalanya sudah terasa berat. "lagi!," ujarnya sembari menggoyangkan gelasnya.

"Kau langsung menghabiskannya?," Kiba menggeleng, tangannya bergerak mengambil gelas Ino saat tangan lainnya menangkap tangan Kiba.

"Berhenti, Ino," suara Menma terdengar begitu dingin dan kasar—sedikit membentak.

Ino mendongak dan mendapati wajah Menma tak jauh darinya, "hemm?," ia memiringkan kepalanya dan terkekeh.

"Siapa disini?," ia bertanya dengan nada polos dan kemudian berdiri. "Oooohhh," pekiknya "Uzu—," jari telunjuk Ino menusuk pipi Menma, "Maki—," lalu beralih ke bibir dan kemudian mengusap bibir pria itu, "Menma—," kali ini jari lincahnya beralih menuju kerah kaos yang dipakai sang pria setelah melewati dagu dan lehernya kemudian menepuk bagian pundaknya dengan pelan seolah sedang menepuk debu.

Menma memutar bola matanya kesal.

"Berapa tagihannya?,"

"Tak usah, aku yang mentraktirnya," ujar Kiba sembari menampilkan senyum simpulnya menatap Ino yang sudah duduk kembali ditempatnya.

"Kenapa harus kau?," balasnya sewot.

Kiba hanya bisa mendengus dan menjawab "karna dia cantik tentu saja,"

"Memangnya semua wanita cantik akan digratiskan minum disini? Bisa rugi kalau begitu,"

"Yang mengratiskan 'kan aku? Kenapa kamu yang sibuk Menma? Ya 'kan Ino—chan?,"

Ino hanya menampilkan mimik imutnya sembari mengeleng–gelengkan kepala. "Duh, aku mulai mabuk," ujarnya setengah sadar sembari menepuk–nepuk pipinya.

"Sudah sadar?," sinis Menma kemudian "bagus, ayo pulang!," ia menarik Ino berdiri dan menyambar tas serta coat sang gadis, Menma juga mengambil jaketnya yang ia titipkan pada Kiba, lalu segera menyeret gadis itu dari sana.

"Aaaww, Menma!," panggil Ino saat ia ditarik paksa. "Sakit Menma bodoh!,"

Menma mengabaikannya dan terus memaksa Ino bergerak dari sana.

"Kau bawa mobil?,"

Ino menganggukan kepalanya.

"Besok saja diambil," lalu ia segera mendudukan Ino di jok yang bersisian dengan kemudi mobilnya.

Ino hanya bisa menggerutu kesal. Menma segera memutari mobil sportnya kemudian masuk dan duduk di jok pengemudi, ia segera memacu mobilnya.

"Kau ini menyebalkan sekali sih Menma!," teriaknya, Menma merasakan telinganya berdengung.

"Ya tuhan...," Menma mengusap daun telinganya kasar. "Apa-apaan kau Ino!," bentaknya.

Ino menatapnya dengan bola mata yang melebar, "kau—kau—kau membentakku?," tanyanya dengan nada terluka, jelaga beningnya kemudian berkaca–kaca, ia memalingkan wajah dari Menma dan menatapi jendela kaca luar sembari menyandarkan pumggungnya di jok mobil Menma.

Menma berdecih merasa kadar sensitifan Ino makin menjadi–jadi.

Ia makin menekan pedal gas untuk menambah laju mobilnya. Menma setidaknya pernah sekali atau dua kali pergi ke kondominum milik Ino, itupun saat ada keperluan mendadak dan Ino memaksanya mengantarkan Ino pulang.

.

.

.

Menma menghirup oksigen banyak–banyak demi melepaskan amarah yang sudah naik ke ubun–ubunnya. Ia sudah sampai di parkir digedung kondominium tempat tinggal Ino, tapi masalahnya...

"Hei Ino," Menma mengoyangkan bahu Ino. Astaga! Lucu sekali dia pakai tertidur segala, apa Menma bahkan perlu mengendongnya? Oh! Kau sudah seperti babysitter Menma!

Menma memutar bola matanya kesal, tapi toh akhirnya ia keluar dari pintu mobilnya dan berjalan mengitari bagian depan mobilnya.

Ia membukakan pintu mobilnya dan kemudian menunduk untuk melepaskan selfbeat Ino, namun gerakannya malah terhenti saat ia menatap jelaga gadis dihadapannya yang terbuka dengan pelan. "Ngghh," lenguh Ino tak nyaman, ia mengerjapkan matanya berapa kali, matanya sembab dan memerah—entah efek mabuk atukah efek mengantuk.

Klik.

Itu bunyi selfbeat yang terlepas, tapi Menma masih belum melepaskan pandangannya dari Ino. Menma menatap wajah itu terpesona dan entah siapa yang memulai, bibir Menma sudah menekan bibir Ino dengan volume penuh.

Bibir Ino terasa lembut, dan juga manis, ada sedikit rasa wine yang memabukkan disana.

Ino yang awalnya terkejut kini malah melingkarkan tangannya dileher Menma dengan erat saat Menma mulai mengisap dan melumat bibirnya dengan kasar, seolah tengah melampiaskan emosinya. Lidah Menma terjulur mengambil bagian dalam permainan itu, mengusap dan meminta akses masuk saat kemudian bibir Ino terbuka dan lidahnya ikut menyambut lidah Menma, mereka bertukar savila dan tetap saling itu adalah frenchkiss terbaik yang pernah Menma lakukan. Ino mengimbangi semua lumatan Menma sama baiknya, jemari–jemari Ino bergerak menjambak rambut Menma sesekali ia melenguh.

Tangan Menma pun turun meraba ujung baju Ino dan menelusup masuk mengitari perut rata Ino dan kemudian hendak menangkup payudara Ino saat sebuah tangan menarik pundaknya kasar.

BUGH!

Sebuah tinju melayang mengenai pipi Menma hingga ia tersungkur diatas lantai parkir.

"Apa–apaan kau!," bentaknya pada sosok pria berambut hitam dikuncir tinggi yang kini menatapnya dingin. "Kau yang apa—apaan bedebah!," teriaknya tak terima. "beraninya kau menyentuhnya," Shikamaru membungkuk dan mencengkram kerah jaket Menma kasar. "Dia. Milikku!," tekannya.

Ino yang hendak melerai mereka mengurungkan niatnya mendengar ucapan Shikamaru.

apa—apaan?

"Jika kau berani menyentuhnya lagi akan kupastikan tanganmu itu lepas dari tempatnya!," serunya dan kemudian menarik tubuh Ino keluar dari dalam mobil.

"Lepaskan—," Ino mencoba berontak dari cengkraman tangam Shikamaru. "Shikamaru lepaskan aku! Brengsek!,"

Shikamaru menulikan pendengarannya dan terus membawa Ino berlalu dari sana. Menma mengusap wajahnya dan kemudian tersadar akan satu hal.

Sial! Menma meninju lantai dingin dibawahnya dengan keras.

Ino..

Apa yang coba kau lakukan Menma?

Ia merutuki dirinya saat tumpukan salju jatuh diatas kepalanya. Ia mendongak dan menatap langit kota Konoha yang dihiasi salju.

"Maaf, kau baik–baik saja?,"

Menma menolehkan kepalanya dan mendapati seorang gadis berparas cantik, berambut maroon gelap, dan bermata keemasan yang kini menatapnya dengan cemas.

"Ya," balas Menma kemudian.

Gadis itu terlihat merogoh saku jaketnya dan menyerahkan sebuah sapu tangan berwarna hitam dengan motif garis–garis berwarna merah. "Ini, bibirmu terluka,"

Menma menyambutnya dengan enggan. "Terimakasih,"

Sang gadis menampilkan senyuman manisnya kemudian menganggukan kepalanya dan berlalu pergi dari sana.

Menma menyeka darah yang berasal dari sudut bibirnya dan kemudian melihat dengan jelas ukiran huruf disapu tangan itu.

Huruf F melekat disana, dengan benang berwarna putih disudutnya.

Menma menghela napas dan kemudian membiarkan dirinya berbaring dilantai parkir.

Relakan saja.

.

.

.

"Lepaskan aku!," bentak Ino tak sabar, ia merasakan amarah meletup didadanya.

Dia. Milikku!

"Apa maksud perkataanmu ha? Milikmu? Aku milikmu? Kau gila?," Ino mengabaikan tatapan orang –orang padanya. "Bagaimana bisa aku ini milikmu? Kau pikir aku barang? Apa kau tak sadar dengan ucapanmu brengsek? Kau tak tahu diri atau bagaimana? Kau sebentar lagi akan menikah!, " ia bertanya dengan nada tinggi.

Shikamaru terus saja melangkah dalam diam, dan memacu langkahnya menyeret Ino.

Mereka sampai di depan pintu kondominium mereka, Shikamaru menekan empat digit autolock dengan gerakan kasar.

Bip!

Pintu besi kokoh itu terbuka, Shikamaru menarik Ino kedalamnya.

Brak.

Pintu dibanting secara kasar dan kemudian segera terkunci otomatis.

Shikamaru segera meraup bibir Ino dengan kasar, mengisap bibir atas dan bawahnya bergantian tanpa jeda hingga membuat Ino mengerang tertahan, ia merengkuh tubuh Ino dalam dekapan dan kungkungannya.

Hisap, jilat, lumat.

Lidahnya pun ikut berperan dengan menyapu bibir bawah dan atas Ino bergantian, terlihat benar–benar sengaja ingin menghapuskan ciuman Menma sebelumnya.

Ino merasakan napasnya putus–putus, ciuman Shikamaru tetap sama, membuatnya kepayahan seperti dua tahun yang lalu. Shikamaru membawa tubuh Ino bergerak menuju sofa beludru dan kemudian menjatuhkan tubuh Ino disana.

Shikamaru membuka baju jaketnya dan membuangnya secara asal–asalan. Ino yang mencoba menghirup oksigen membulatkan matanya saat ia mendapati Shikamaru yang kini menindih tubuhnya. "Apa—apa—,"

Shikamaru membungkam bibir Ino sekali lagi dalam ciuman panjang yang menuntut dan bergairah. Ino mencoba mengais udara saat Shikamaru makin melumat bibirnya kasar.

"Eumm—Shi—aah,"

Ino mengerang tertahan, jemari Shikamaru bergerak menelusuri pundak hingga ke lengan Ino dengan pelan lalu bergerak kearah belakang punggungnya, membuka kancing blazzer Ino dengan pelan. Shikamaru melepaskan bibir Ino, ia menatap wajah cantik dihadapannya, "apalagi yang ia sentuh, Ino?," tanyanya dengan nada berbisik.

Ino merasakan tubuhnya bergetar. "A—apa?,"

"Apakah ini?," bibir Shikamaru menjilati sekitar leher Ino, memberikan beberapa kissmark dengan kasar, Ino hanya bisa memekik tertahan saat tangan Shikamaru mulai melucuti pakaiannya. Sialnya tubuhnya mengkhianati suaranya yang memohon Shikamaru untuk berhenti, kepalanya malah mendongak seolah memberikan akses untuk Shikamaru agar lebih leluasa menjamah lehernya.

"Engg... Shika...haahhhh...," ia mengerang saat jemari Shikamaru turun mengusap kulit paha bagian dalamnya. Ia menggeleng dan merasakan pening dikepalanya yang bahkan lebih kuat dari saat ia meminum wine beberapa saat lalu.

Ino... kehilangan kendalinya dihadapan pria ini.

.

.

.

Bersambung


HAPPY BRITHDAY MY SISTER WHITE AZALEA!

HAPPY SIVE 2016 GUARDIANS!

Setelah Iris dan Unconditional akhirnya Floo datang membawa twoshoot berjudul What If yang ehem—bertepatan—sama ulang tahunnya Lea—nee, dan waah udah berapa banyak ff dedict buat Nee—san satu ini ya*cengir.

Kenapa twoshoot? Karna kalau Oneshoot Floo takut kalian bakal ketiduran saat bacanya *cengir dan juga ff Bday buat Floo kemarin dari Lea—nee juga twoshoot.

Ya lihat respon juga, soalnya ini ff—uhuk—berisikan konten dewasa—uhuk jadi ya kalau dapat sambutan bagus ya bakal diterusin sebaliknya ya bakal dihapus. #ditendang xD

.

.

.

Samarinda, 11 Februari 2016

Salam kecup,

Tsukyuu Floo Kitsune

Long Live ShikaIno!