Naruto © Masashi Kishimoto
Sky, Snow, and Star © Kaka-Kiri-Nya
Genre : Hurt/Comfort
Pairing : Sai X Ino
Summary : Langit malam hari ini sungguh indah, seperti waktu itu. Bukan begitu, Sai?
ONESHOT about SaiXIno. Warning: AU
Sky, Snow, and Star
Malam itu sungguh dingin, namun Ino tetap tak berniat untuk beranjak dari balkon kamarnya. Ia sibuk memandangi bintang yang bertebaran di langit malam. Mata indahnya terlihat sayu. Seperti ada pancaran kesedihan dan kesepian yang mendalam.
Semilir angin membuat rambut panjangnya melambai indah. Bibirnya perlahan tersenyum, namun entah mengapa senyuman itu terlihat sedih. Seperti memancarkan rasa rindu…
.
.
_Flashback_
"Boleh kenalan?"
"Ah, iya. Aku Ino, Yamanaka Ino."
"Aku Sai." Cowok berambut gelap itu tersenyum sambil menjabat tangan mungil Ino.
Pertemuan yang sederhana di sebuah penginapan di daerah pegunungan. Lebih tepatnya di balkon penginapan, tempat yang indah untuk memandang langit malam.
Ino menatap benda yang berdiri tegak di depan cowok yang mengaku bernama Sai tadi.
"Kau sedang apa di sini?"
"Oh ini, aku sedang melukis." Sai menunjukkan benda yang dimaksud Ino – sebuah kanvas.
Mata Ino terbelalak lebar. "Ini… bintang…"
Sai tersenyum, "iya, bintang Sirius. Bintang yang paling terang." Ia menatap lukisannya, tak lama, ia kembali memandang Ino. "Kau suka bintang?"
Ino tersenyum kecil. "Tentu, bintang sungguh bercahaya. Membuat malam terlihat indah."
Sai tersenyum mendengarnya. "Lain kali datanglah kemari lagi, akan kutunjukkan bintang-bintang yang lain."
_End of flashback_
.
.
Rrr… Rrr…
Ponsel Ino berdering, memaksa kakinya untuk bergerak masuk ke dalam kamar dan mengambil ponsel yang ada di atas meja persegi kecil, dekat dengan tempat tidurnya.
"Ya? Sakura?" Ino mengangkat ponselnya setelah melihat nama yang tertera pada layar.
"Ino... Mm… Apa aku mengganggu?" Suara Sakura terdengar ragu-ragu.
Ino tersenyum kecil. "Tidak, ada apa?"
"Aku dan teman-teman yang lain berniat mengadakan pesta barbeque malam ini. Kau bisa datang kan?"
Ino terlihat sedikit berpikir. "Hmm… Di mana?"
"Di kediaman Hyuuga. Hinata yang mengizinkannya."
"Ohh... Oke, nanti aku kabari lagi."
"Oke. Oh ya, Ino…"
"Ya?" Ino mengangkat sebelah alisnya. "Ada apa lagi Sakura?"
"Kau…" Sakura terdengar ragu-ragu untuk bertanya. "Kau… masih memikirkan dia? Si cowok pelukis itu?"
Hening sejenak.
Sakura memutuskan untuk membuka mulut. "Ah, maaf, sepertinya aku salah bicara. Lupakan pertanyaanku barusan."
Ino berjalan ke arah balkon, menengadah ke langit, dan tersenyum. "Mana mungkin aku lupa…"
Sakura semakin merasa tak enak. "Maaf sudah membuatmu ingat hal itu."
Ino tersenyum dan menggeleng. "Tidak Sakura, tidak apa-apa." Ia tahu bahwa sahabatnya itu pasti khawatir. Akhir-akhir ini Ino sering tiba-tiba menangis saat sedang mendengarkan musik. Kadang juga ia tersenyum sendiri saat sedang melamun di balkon. Sakura yang sering mampir ke rumahnya pasti menyadari perubahan sikap Ino. Ino yang biasanya ceria dan selalu tersenyum tiba-tiba menjadi murung. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi.
Terdengar hembusan napas pasrah dari seberang telepon. "Aku tahu, Ino. Dia yang pernah ada di ingatanmu. Dia yang pernah muncul dalam hidupmu." Sakura diam sejenak. "Ino… aku hanya berharap kau kembali seperti Ino yang dulu."
Ino tertawa geli mendengar penuturan sahabatnya itu. "Hei, hei, jangan terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Lebih baik kau bantu yang lain untuk mempersiapkan pesta barbeque."
Lagi-lagi Sakura menghembuskan napas. "Hhh… Ya sudah… Kutunggu kabar darimu."
Ino mengganti ponselnya ke mode silent dan kembali menatap langit.
.
.
_Flashback_
Ponsel Ino bergetar. Dibukanya benda mungil itu dan dibacanya pesan yang tertera di sana.
.
Ada waktu malam ini? Ada yang mau kutunjukkan.
Sai
.
Ino tersenyum dan dengan segera membalasnya.
.
Tentu.
Ino
.
Malam itu salju mulai turun. Salju yang putih dan dingin. Salju yang menyelimuti penginapan tempat di mana Ino tinggal selama liburan. Menyelimuti jalanan dan juga pegunungan. Liburan itu, Ino dan teman-teman masa SMA-nya sengaja mengadakan reuni di tempat yang jauh dari kota. Di tempat yang jauh dari keramaian. Di tempat yang jauh dari kebisingan. Di tempat yang indah dan tenang.
"Ino!" Sebuah suara menyentakkan hati Ino.
Ino menoleh dan mendapati seorang lelaki dengan warna mata hitam legam dan berkulit putih pucat berjalan ke arahnya.
"Sudah lama?"
"Tidak kok," Ino menggeleng.
"Syukurlah," Sai tersenyum, membuat hati Ino seakan mencelat dari tempatnya.
"Aku mau menunjukkan ini," Sai mengangkat sebuah tabung panjang dan mengeluarkan gulungan dari dalamnya.
"Apa itu?" Ino mengernyitkan dahi.
Sai tersenyum lagi. Ia kemudian membuka gulungan itu.
Mata Ino sontak melebar. Gulungan tadi ternyata adalah lukisan yang dibuat Sai. Lukisan pegunungan bersalju. Di sebelahnya terdapat penginapan mungil. Ino mengerutkan dahi. Rasanya ada sosok yang terlukis di balkon penginapan itu.
"Ini… aku?!" Ino membelalakkan mata. "Kapan kau melukisnya?!"
Sai tersenyum. "Beberapa hari yang lalu, tapi aku baru sempat menunjukkannya sekarang."
Ino memandang lukisan itu dan perlahan pipinya terasa panas. Dia malu ternyata ada orang yang memerhatikannya sewaktu ia sedang melamun di balkon tempo hari.
"Kenapa?" Sai mengangkat alisnya. "Kamu demam?" Ia meletakkan telapak tangannya di kening Ino.
Ino spontan mundur. Pipinya bersemu merah. Jantungnya kini berdetak tak karuan. Kacau.
"Ti-tidak apa," jawabnya. Ia sebisa mungkin menjaga nada bicaranya agar tetap terlihat tenang.
Sai tersenyum lagi. "Baguslah."
_End of flashback_
.
.
Ponselnya mendadak bergetar pelan. Ino melihat layarnya kemudian menghela napas.
"Ada apa, Shikamaru?" ujarnya setelah memencet tombol menjawab.
"Hoi Ino!" ujar yang di seberang. "Kapan kau kemari? Pestanya dimulai satu jam lagi. Sakura dan yang lain sedang menyiapkan segala peralatan."
Ino memutar bola matanya. "Aku tidak janji bisa datang."
Shikamaru menghela napas. "Kau tidak mau membiarkan Chouji menghabiskan semua makanannya sendirian kan?"
Ino terdiam. Ada jeda beberapa saat.
Shikamaru kebingungan. Ia menggaruk-garuk kepalanya. "Ngg, dengar Ino, aku bukanlah orang yang pandai berkata-kata. Tapi yang aku tahu, berlarut-larut di dalam kesedihan itu tidak baik."
Ino tersenyum tipis. "Itu kata-kata dari Temari ya?"
Shikamaru berdecak. "Bawel!"
Ino menarik napas dan mengembuskannya pelan. "Ya, terima kasih. Kukabari lagi nanti."
Shikamaru menghela napas. "Ya sudah."
"Bye." Ino mematikan ponselnya. "Bye…" Suaranya bergetar. Pandangannya mulai menerawang lagi.
.
.
_Flashback_
"Ngg, Sai, aku akan pulang besok. Aku akan kembali ke kota."
"Oh begitu? Cepat sekali ya."
Ino mengangguk pelan.
"Lain kali main-mainlah kemari lagi." Sai tersenyum. Senyuman itu, senyuman yang sanggup menghangatkan hati Ino.
"Oh ya, sebelumnya, kita foto dulu sebagai kenang-kenangan." Sai mengeluarkan ponselnya. Kemudian ia menarik Ino ke sebelahnya dan mengarahkan ponselnya pada mereka berdua.
Ino sempat kaget melihat tubuhnya berada dekat sekali dengan tubuh Sai. Bahkan ia sanggup mencium aroma tubuh cowok berkulit putih pucat itu.
"Akan kukirim fotonya ke ponselmu."
DEG!
"Ah," Ino seakan baru tersadar. "I-iya, sebentar," Ia mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan sambungan Bluetooth-nya.
"Nah, sudah terkirim." Sai tersenyum. "Pukul berapa keretamu berangkat?"
"Pukul enam sore."
"Baiklah, akan kuantar sampai stasiun."
Ino tersenyum getir. Kepalanya mengangguk pelan.
_End of flashback_
.
.
"Hatchii!" Ino menutup mulutnya. Sepertinya ia mulai kena flu. Ia masuk ke dalam kamar dan menarik selimut dari atas kasur. Ditariknya benda hangat itu dan dibawanya keluar balkon. Selimut itu ternyata mampu membuat tubuhnya nyaman. Setidaknya untuk saat ini.
.
.
_Flashback_
Ponsel Ino berbunyi. Ino yang baru saja selesai mandi langsung mengambil benda mungil itu yang tergeletak di atas kasur. Matanya menyipit. Sebuah nomor yang tidak dikenal.
"Halo?" ujarnya perlahan.
"Halo, Ino?"
"Ya?" Ino mengernyit. "Ini siapa?"
"Sai."
Satu nama itu seakan mampu meninju hati Ino. Orang itu sudah lama sekali tidak menghubunginya. Sebenarnya Ino ingin sekali menghubungi, tapi takut menganggu. Mungkin saja Sai sibuk kan?
Ino menelan ludah. "Ah, Sai. Apa kabar?"
"Baik. Kamu bagaimana?" Oh, betapa Ino sangat merindukan suara itu.
Bibir Ino perlahan tersenyum. "Baik juga."
"Mm, aku mengirimu surat beberapa hari yang lalu. Mungkin sebentar lagi sampai."
"Surat?" Kening Ino mengerut. "Kenapa harus lewat surat?"
Sai tertawa kecil. "Itu kejutan."
"Oh,"
"Hmmm… ya sudah ya, sampai jumpa." Sai mengakhiri pembicaraan.
Ino terdiam sejenak. Yang terdengar dari ponselnya kini hanyalah suara mesin yang putus-putus. Namun ia masih meletakkannya di telinga. Sungguh, sebenarnya ia masih ingin bicara panjang lebar dengan cowok itu.
Apa Sai sama sekali tidak merindukannya?
"Inoo! Ada kiriman untukmu!" Suara Mama membuyarkan lamunan Ino. Jantungnya seakan meloncat dari tempatnya.
"Itu pasti dari Sai!" Tanpa menunda lagi ia segera lari dan turun ke bawah.
"Nih," Diterimanya surat dari tangan mamanya dengan riang. Ino kemudian lari lagi ke atas, kembali ke kamarnya. Dibukanya surat itu dengan amat hati-hati. Ia bahkan tak ingin surat itu lecek sedikitpun. Ino tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejutan apa yang akan diberikan Sai. Ia sengaja membuka surat itu di kamar karena tak ingin mamanya mengira bahwa putrinya itu sudah gila – menatap dan menciumi sebuah surat.
Baru saja Ino membuka pita warna merah hati yang mengelilingi surat itu dan membaca isinya, senyuman manisnya langsung hilang seketika. Kepalanya seakan-akan dibenturkan keras ke dinding. Tubuhnya serasa ditindih batu besar. Matanya terasa berat. Sungguh berat.
Tenggorokannya tercekat.
"Ini… undangan pernikahan…"
Dan surat itu pun jatuh ke lantai bersamaan dengan butir air mata dari kedua mata cantiknya.
_End of flashback_
.
.
"Sai…"
Ino merapatkan selimut ke tubuhnya. Ingatan tentang kenangan dulu membuat hatinya perih. Butir-butir air mata mulai mengalir. Ia jatuh terduduk di lantai balkon yang terbuat dari kayu. Dikeluarkannya seluruh kesedihan yang selama ini tersimpan di dadanya.
"Mungkin aku terlalu berharap…," ujarnya di sela-sela tangis sambil menatap ke langit. Bintang-bintang di atas sana terlihat kabur, tertutup oleh air matanya yang kian mengalir deras.
Ponselnya lagi-lagi bergetar. Ino dengan segera menyapu air mata dengan tangannya. Didekatkannya benda itu ke telinga.
"Ino! Cepatlah kemari! Kami membeli banyak kembang api!"
Ino mendelik. "Na-Naruto? Bukannya ini…"
"Naruto! Kembalikan ponselku!" Teriakan Sakura terdengar di ujung telepon. "Pakai saja ponselmu sendiri!"
"Belum isi pulsa!" Suara riuh pun terdengar dari ponsel. Ino tersenyum. Pasti Naruto membuat ulah.
"Astaga Kiba! Kenapa kembang apinya kamu nyalakan semua?" Kini suara Tenten yang terdengar.
"Bukan aku! Naruto yang melakukannya!" sergah Kiba.
"Narutoooo!"
"Eh Ino, sudah dulu ya. Aku dalam bahaya ini. Kami menanti kedatanganmu!"
Senyuman Ino berubah jadi tawa kecil. Dadanya kini mulai terasa ringan.
Ia menarik napas perlahan dan diembuskannya. "Haaaaah…"
Dengan pelan dibukanya galeri foto yang ada di ponselnya. Setelah menemukan foto yang dicari, ia kemudian berdiri dan menekan tombol delete.
"Selamat tinggal…"
Semilir angin datang lagi menyapa. Memberi ketenangan pada gadis berambut panjang itu.
Setidaknya ia masih punya teman yang peduli padanya. Itu saja cukup.
Ino masuk ke dalam kamar dan mengambil jaket. Sebelum keluar dari rumah, ia menghubungi Chouji.
"Chouji, jangan habiskan makanannya atau kubunuh kau nanti." Setelah memberikan 'ancaman', ia tersenyum kecil. Dimasukkannya ponsel itu ke dalam saku jaket.
.
Yah, mungkin salju tak akan turun hari ini. Namun setidaknya langit malam hari ini masih terlihat indah, seperti waktu itu.
Bukan begitu, Sai?
.
~END~
Author's note:
Hallooo, semuaaa!
Fanfic kali ini mungkin ending-nya kurang greget (atau malah mirip sinetron?).
Yah, sebenarnya ini hanyalah pelampiasan dari uneg-uneg saya (yang sampai sekarang nggak tahu ending-nya kayak gimana).
Oh ya, ini bukanlah sekuel dari "Tuhan Mengatur Segalanya". Gomen ne... *bow*
Terima kasih sudah membaca, review please! :)
