Pain of Love
Romance, Drama
Naruto x Hinata
Tanpa cinta, begitulah perasaan Hinata kepada suaminya saat ini. Berawal dari sebuah insiden yang mengharuskan dirinya untuk menyerah pada mimpi sekaligus cita - citanya membuat Hinata menjadi pribadi yang kejam dan dingin.
Kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat semenjak Uzumaki Naruto, sosok pria yang menjadi teman masa kecilnya berulah di sebuah bar pasca reuni dengan teman - teman kuliah mereka.
"Ohayou Hime." Naruto menyodorkan segelas susu hangat tepat di hadapan Hinata, Ia tahu bahwa sang istri tak akan semudah itu memaafkannya namun semua yang dilakukan oleh Naruto tak lepas dari tanggung jawabnya sebagai seorang suami sekaligus calon Ayah yang baik.
Hinata membuang wajahnya. Wanita itu melanjutkan kegiatan makannya tanpa mempedulikan pria yang sedang berdiri di hadapannya, menatapnya dengan tatapan sendu.
Sejak kapan semua ini terasa begitu rumit dan menyakitkan?
Wanita itu menutup mulutnya, saat dirasa sesuatu mendesak dari dalam perutnya, Ia segera berlari menuju toilet, menguncinya dan memuntahkan seluruh makan pagi yang susah payah disantapnya.
Sementara sang suami; pria itu mengikuti Hinata dari belakang. Mencoba memutar knop pintu kamar mandi hanya untuk sekedar mengecek kondisi sang istri yang kian hari kian memburuk.
"Apa kau baik - baik saja Hime?" tanyanya dengan lembut. Tak ada jawaban. Wanita itu hanya diam. Ia membilas mulutnya, berkumur untuk menghilangkan bau muntahan yang terasa menjijikan dalam rongga mulutnya.
Hinata membuka kunci pintu kamar mandi itu, menatap sang suami dengan tatapan dingin; "Hinata."
"Hm?" Naruto menatap mata sang istri heran.
"Namaku Hinata, dan jangan panggil aku dengan sebutan norak itu lagi." ujarnya seraya berlalu pergi. Wanita itu naik ke atas menuju kamar mereka berdua, meninggalkan Naruto yang menghela nafasnya panjang.
Pria itu kembali ke meja makan, menghabiskan sarapan yang telah susah payah dimasakan oleh sang istri baginya. Ya, meski terkesan kejam dan dingin, namun Hinata tak pernah lalai untuk mengurus sang suami.
Hanya sekedar memasakkan makanan atau mencuci pakaian, namun hal sederhana seperti itupun sudah sanggup membuat batin Naruto bahagia. Meski dalam hati kecilnya, pria itu menginginkan lebih. Yaitu hati dan rasa cinta Hinata untuknya.
Apakah permintaan kecil itu terdengar begitu egois?
...
Sementara itu, Hinata memoleskan bedak tipis pada wajahnya, menguaskan lipstick berwarna pink untuk menutupi bibir pucatnya dan menepukkan blush on pada pipinya agar terkesan lebih segar.
Wanita itu kemudian menepuk kedua pipinya pelan saat air mata hendak menetes dari permata amethyst-nya. "Bersemangatlah Hinata, hari ini juga akan segera berlalu. Jangan menangis, kumohon jangan menangis." ujarnya pada refleksi dirinya di cermin.
Wanita itu kemudian bangkit dan berjalan menuju lemari pakaiannya, memilih baju yang pas untuknya. Namun semua baju yang tergantung pada lemarinya hanya membuat hati wanita itu semakin perih.
Baik atasan maupun dress ketat yang mencetak bentuk tubuh indahnya tak sanggup lagi Ia kenakan. Yang mampu Ia kenakan hanyalah sebuah daster dengan ukuran yang longgar agar perut buncitnya tak tertekan dan Ia dapat bernafas dengan lega.
Sampai kapan Ia harus bertahan dengan kondisi seperti ini? Semua terasa tak adil bagi Hinata. Bukan keinginannya untuk mengandung benih dari pria yang selama ini dianggap sebagai keluarganya, kakaknya, orang yang Ia percaya mampu melindungi dirinya.
Hinata mengelus perut buncitnya, wanita itu kemudian perlahan mulai beralih dari elusan lembut menjadi pukulan - pukulan kecil. Kedua matanya menjadi buram, air mata mulai jatuh menuruni pipinya. Isakan - isakan kecil pun mulai terdengar disusul oleh makian - makian yang dilontarkan bibir manis Hinata.
"Hiks, aku tidak menginginkanmu! Kenapa kau menghancurkan hidupku! Hiks, jahat! Lebih baik kau mati! Mati! Hiks." Dari balik pintu, Naruto dapat mendengar umpatan yang keluar dari mulut istrinya.
Pria itu mengepalkan kedua tangannya. Ia tahu bahwa istrinya sedang dalam kondisi mental yang tidak stabil, namun Ia juga tak dapat membiarkan calon anaknya yang tak bersalah menanggung amarah sang Ibu. Persetan dengan kemarahan Hinata.
Brak
Naruto mendobrak masuk, membuat Hinata sedikit tersentak akibat sang suami yang membanting pintu kamarnya cukup keras. Pria itu kemudian mendekati Hinata dan menggenggam kedua tangan sang istri dengan erat.
"Hentikan Hinata! Dia tidak bersalah. Jangan sakiti dia, jangan juga kau siksa dirimu seperti ini, Hinata." ujar Naruto, pria itu menjelaskan dengan lembut. Berharap hati sang istri sedikit melunak.
Namun Naruto salah, wanita itu justru menarik tangan kanannya dan melemparkan tamparan yang cukup keras pada pipi kanan Naruto. "Kau pikir gara - gara siapa aku hidup seperti ini?! Aku tak pernah menginginkan hal ini! Dirimu dan bayi ini!" teriaknya keras.
Emosi menguasai tubuhnya, amarah meliputi diri wanita itu.
"Aku tahu." ujar Naruto lirih. Pria itu kemudian menjatuhkan tubuhnya tepat di hadapan Hinata. Berlutut di hadapan wanita itu.
"Maafkan aku." Hinata membuang wajahnya. Bagaimanapun juga Hinata tak akan tega melihat pria yang dahulu dikagumi sekaligus dihormatinya berlutut di hadapannya, meminta maaf dan membuang harga dirinya sebagai seorang pria.
"Aku pergi." ucapnya seraya meraih tas besar berwana hitam miliknya dan meninggalkan Naruto yang masih tertunduk berlutut.
Kedua sama - sama tersiksa, baik fisik maupun batin. Keduanya sama - sama lelah, ingin mengakhiri sesuatu yang tak tahu kapan bisa akan berakhir.
Naruto duduk di atas lantai yang keras dan dingin, menyandarkan kepalanya pada dinding di belakangnya, menekuk satu kakinya dan memijat pelipisnya pelan. Jika saja hari itu Ia tidak mabuk, jika saja dari dulu Ia menyatakan perasaannya pada Hinata, jika saja Ia tak pernah berfantasi tentang betapa indahnya tubuh Hinata.
Maka semua ini tak akan mungkin terjadi.
...
Musim panas, identik dengan pakaian yang tipis dan seksi. Bikini, baju renang, pantai, semua teman - temannya dapat menikmati indahnya masa musim panas yang baru saja dimulai. Sementara dirinya, tak mampu berbuat apa - apa. Tidak berguna, dipandang hina dan lemah.
Hinata menyeruput jus nanas yang tersaji di hadapannya sedikit demi sedikit. Ya, musim panas memang identik dengan jus nanas yang segar. Wanita itu tahu efek samping yang akan terjadi pada tubuhnya namun toh Ia melakukan hal itu dengan sengaja.
"Hinata! Apa yang kau minum, hah?!" Wanita itu sedikit terkejut saat jus yang hendak Ia teguk dirampas oleh tangan kekar seorang lelaki yang sudah berdiri dengan ekspresi kemarahan tepat di hadapannya.
"To.. Toneri kun?"
"Apa kau ingin membunuh bayimu, huh?!" Lelaki berambut silver itu duduk, meneguk jus nanas Hinata sampai habis lalu menatap mata Hinata dingin, memperhatikan wajah Hinata yang sembab akibat menangis semalaman.
Lelaki itu kemudian menghela nafasnya panjang saat melihat ekspresi sang sahabat yang terkesan begitu menyedihkan. Ia kemudian mengusap wajah Hinata dengan lembut.
"Bertengkar dengan suamimu lagi?" Hinata mengangguk pelan.
"Bayimu sama sekali tak bersalah Hinata. Jangan bersikap kekanakan seperti ini. Di mana Hinata yang dulu kukenal? Hinata yang ceria, Hinata yang lembut dan penyayang?" ujar Toneri lirih.
"Apakah kau masih membenci Naruto? Apa kau lupa, betapa kalian berdua selalu bersama. Saat Naruto melindungimu, menyayangimu, apa kau lupa akan semua itu, Hinata?" tambahnya.
Hinata termenung. Tepatnya Ia tidak membenci Naruto, hanya saja setiap kali Ia menatap wajah Naruto, yang terlintas di pikirannya adalah saat di mana pria itu memperkosa dirinya bagaikan binatang.
Dan ingatan tersebut tak akan mampu Hinata lupakan sampai Ia mati.
Toneri hanya mampu tenggelam dalam perasaan bersalah saat melihat air mata mulai membanjiri wajah wanita di hadapannya. Begitulah susahnya berurusan dengan wanita hamil, mood yang tidak menentu menjadi pengaruh yang cukup buruk bagi kesehatan Ibu maupun bayi dalam kandungan Hinata.
"Maafkan aku, Hinata. Aku hanya begitu marah saat melihatmu meminum jus nanas itu. Maaf aku mengorek luka lamamu. Cobalah untuk memaafkan Naruto dan juga dirimu sendiri. Lagipula, semua sudah terjadi." terang Toneri lembut.
Ya, lelaki itu sempat menjadi bagian dalam kehidupan percintaan Hinata. Bagian dari rencana kehidupan sempurna yang menjadi bayangan seorang Hyuga Hinata.
"Aku hanya ingin kau bahagia. Lagipula, sebentar lagi aku dan Shion juga akan menikah. Kami akan mempunyai anak sama sepertimu. Cobalah untuk melupakan masa lalu Hinata." Toneri mengusap sudut mata Hinata dengan lembut.
Mencoba berjalan maju tanpa menoleh kembali ke belakang bukanlah sesuatu yang mudah.
Hinata mengangguk, hatinya terasa lebih lega. Ditambah saat Ia mendengar bahwa mantan kekasihnya pun akan segera menikah. Rasanya begitu sakit, namun terasa sedikit lebih lega. Namun wanita itu sedikit meragukan dirinya. Mampukah Ia memaafkan suaminya?
"Arigatou, Toneri kun." Hinata mengulas senyuman kecil pada pipinya. Senyum yang sudah lama tak pernah Ia tampilkan semenjak insiden mengerikan yang menimpanya.
"Senang bisa melihatmu tersenyum kembali Hinata chan."
"Sayang!" Panggilan itu membuat baik Toneri maupun Hinata menoleh. Di sana berdiri seorang gadis cantik dengan tubuh ramping dan rambut berwarna pirang, tak lupa kedua bola mata amethyst yang menyerupai dengan milik Hinata, berjalan mendekat, merangkul punggung Toneri mesra.
"Ah, Shion kenalkan ini - "
"Hyuga Hinata kan? Salam kenal." potong Shion, Ia lalu menyodorkan tangannya yang dijabat oleh Hinata.
"Senang bisa bertemu denganmu, Shion. Toneri kun bercerita banyak tentangmu, Ia sangat beruntung memiliki kekasih yang cantik sepertimu." ujar Hinata tulus meski dadanya terasa sedikit nyeri melihat kemesraan Toneri dan Shion.
"Itu tidak benar Hinata san. Kau lah yang beruntung, kudengar kau menikah dengan CEO perusahaan Uzumaki ya?"
"Hei - hei Shion!" potong Toneri cepat, lelaki itu membekap mulut sang kekasih. Iris icy blue-nya melirik wajah Hinata dengan takut.
Namun Hinata justru tersenyum manis; "Kau benar Shion san, aku sangat beruntung. Kalau begitu aku pamit dulu. Masih banyak yang harus kukerjakan." Hinata bangkit dari kursinya, Ia lalu menundukkan kepalanya dan melambaikan tangannya.
"Hati - hati di jalan Hinata san."
"Apa perlu kami antar?" Hinata menggeleng lemah, "Tidak usah, aku baik - baik saja. Terima kasih tawarannya."
"Apa kau tak merasa Hinata agak sedikit aneh, Toneri kun?" tanya Shion saat melihat punggung Hinata yang perlahan menjauh.
"Tidak, dia hanya masih terbelenggu dalam ikatannya."
...
Hinata berjalan di bawah teriknya sinar matahari, dengan tubuh yang semakin lama semakin berat serta fisiknya yang lemah membuat dirinya begitu mudah kelelahan. Wanita itu memutuskan untuk duduk sejenak di taman, menatap sebuah gedung yang berada di seberang jalan.
Ya, gedung itu merupakan perusahaan tempat di mana suaminya bekerja. Atau lebih tepatnya menjadi pejabat eksekutif tertinggi perusahaan elektronik nomor satu di Jepang. Wanita itu mengepalkan tangan kanannya, menaruhnya di atas dadanya.
Menguatkan hati dan pikirannya untuk bertemu dengan suaminya. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 siang. Sudah waktunya bagi orang - orang untuk makan siang dan karena itu pula Hinata sudah membeli bento dalam perjalanannya tadi untuk dimakan bersama sang suami.
'Kuharap aku dapat menyelesaikan masalah ini. Entah sudah berapa lama aku tak berbicara lagi dengan Naruto kun.' Batin Hinata dalam hati.
Terbesit rasa penyesalan dalam hati nuraninya.
Wanita itu kemudian bangkit dari tempat duduknya, Ia memegang pinggulnya yang terasa sedikit kaku dan sakit kemudian berjalan teratih menuju perusahaan sang suami.
...
"Selamat siang Nyonya, ada yang bisa kubantu?" ujar sang resepsionis ramah. Tampaknya keberadaan Hinata sebagai Nyonya Uzumaki masih terlihat dan terdengar asing bagi para pegawai perusahaan Uzumaki tersebut.
"Aku ingin bertemu dengan Uzumaki Naruto."
"Apa anda telah membuat janji dengan Presdir?"
"Be.. Belum, tolong katakan padanya, Hyuga Hinata menunggunya di ba - " ucapan Hinata terputus saat Ia merasakan kepalanya terasa berat, perutnya sakit dan pandangannya memburam, bumi tempatnya berpijak seakan runtuh. Membuat tubuh Hinata terjatuh seketika.
"Nyonya! Tolong!" ujar sang resepsionis panik. Tubuh Hinata terjatuh menghantam lantai, benturan pada perut buncitnya membuat darah segar mengaliri kedua pahanya. Orang - orang berdatangan untuk membantunya, tak terkecuali Uzumaki Naruto yang bergegas mengangkat tubuh istrinya dan membawanya ke dalam mobil.
Pria itu berdecih kesal karena Ia terlambat menangkap tubuh sang istri yang terjatuh begitu saja. Naruto sebenarnya sudah melihat Hinata namun enggan untuk menghampiri wanita itu karena Ia ingin mengetahui tujuan sang istri yang nekat untuk pergi menghampiri dirinya di kantor.
Namun tiba - tiba rasa penasaran itu digantikan oleh penyesalan tak kala melihat tubuh istrinya limbung tanpa aba - aba dan membuat sang istri dan calon buah hatinya dalam kondisi kritis, terombang - ambing antara hidup dan mati.
"Bertahanlah Hinata, kumohon. Bertahanlah demi aku dan calon anak kita." bisiknya lirih seraya memacu kecepatan mobilnya dengan penuh sampai ke rumah sakit.
.
Tbc
