"Kenapa harus aku?" Ucap pria tan itu nelangsa.

"Maaf, nak, maaf." Itu yang sejak tadi diucapkan oleh orang tuanya, kedua kakak perempuannya hanya memandangnya prihatin.

Pria tan itu berdiri. Berjalan menuju kamarnya dengan tergesa. Dia mengunci pintu kamarnya, badannya merosot ke bawah. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi mulusnya.

Dia tahu diri dikeluarga ini. Dia hanya anak angkat. Dia tidak pernah meminta. Dia juga tidak pernah menolak. Dia selalu mengalah. Tapi, untuk masalah satu ini.. bolehkan jika ia menolaknya? Dia ingin egois sekarang.

Tidak.

Jika dia menolaknya, maka kakaknya yang akan tersiksa nantinya. Lebih baik jika dia yang tersiksa.

"Jongin.. Mobil jemputanmu sudah datang." Itu suara kakak sulungnya. Jongin mengusap kasar wajahnya.

"Aku sedang berkemas." Ucapnya parau. Dia mulai berkemas, membawa barang seperlunya.

Setelah selesai, dia turun membawa tas ransel yang cukup besar. Ada dua orang asing yang duduk bersama keluarganya. Saat menyadari kehadiran Kai, mereka berdiri. Kedua orang asing itu keluar terlebih dulu, memberi Kai kesempatan untuk berpamitan pada keluarganya.

"Baik-baiklah kau disana. Tuan besar tidak sejahat yang kau pikirkan." Ayahnya memberi petuah.

"Aku akan baik-baik saja, aku hanya akan dijadikan pembantu disana."

Kakak sulungnya memukulnya keras, kakak keduanya mengikuti yang si sulung lakukan. "Kami akan rindu memukulmu seperti ini." Ucap mereka bersama, lalu memeluk Jongin.

"Bertahanlah sebentar. Setelah kami melunasi hutang, kau akan terbebas dari sana." Ibunya menenangkan.

Jongin hanya mengangguk lalu keluar, dia tidak ingin berada disini dalam waktu lama. Nanti dia malah menangis lagi.

Jongin turun dari mobil. Dia sudah sampai di 'penjara'nya. Tempat ini bagaikan istana. Lapangannya luas, mungkin luasnya menyamai lapangan golf atau bahkan lebih.

Jongin mengikuti dua orang yang menjemputnya tadi. Mereka sampai di tempat latihan menembak. Ada banyak orang disana, orang yang cukup menyeramkan bagi Jongin.

Ada dua orang yang sedang latihan menembak. Satunya bertelinga caplang dan tampan, sesekali ia tertawa bahagia saat tembakannya tepat sasaran. Satu lagi, Jongin tidak bisa menjabarkan wajah orang itu. Orang itu memakai masker yang menutupi wajahnya, hanya matanya yang terlihat. Sorot matanya... Dingin.

Orang itu meletakkan pistolnya. Mengambil minuman yang sudah disediakan, meminumnya sambil berjalan menuju Jongin. Si caplang hanya memperhatikan dari jauh. Jongin menunduk, takut dengan tatapan itu. Itu terlalu mengintimidasi dirinya.

Sebuah tangan mengangkat dagunya, membuatnya mendongak. Matanya bertemu dengan mata itu, mata yang menurutnya dingin namun kosong.

Orang itu mengamati wajah Jongin dalam diam. Seperti ada magnet diwajah Jongin yang membuatnya enggan berpaling.

"Tuan, dia anak dari Kim Junho." Orang itu hanya mengangguk kecil. Dia berjalan meninggalkan Kai.

"Tempatkan dia dikamarku."

Jongin kembali mengikuti orang yang menjemputnya tadi. Ingin menunjukkan kamar Jongin katanya. Kamar Jongin ada dilantai dua, di sebelah kanan tangga. Jongin dibiarkan sendiri memasuki kamarnya.

Jongin melongo dengan kamarnya, ini amat luas, bahkan ada dapur kecil lengkap dengan meja makan disini. Jongin terdiam. Bukankah ayah dan ibu bilang ia akan dijadikan tawanan selama mereka belum membayar hutang? Lalu, ini apa? Kenapa jadi tawanan semewah ini hidupnya?

Sekarang hampir waktu makan malam. Tapi Jongin masih tertidur. Bukan tidur dikasur mewahnya, ia tertidur di pojok ruangan. Kasur dikamar ini terlalu besar menurutnya. Tubuhnya tergulung selimut. Sepertinya dia tidur sangat pulas, sampai tidak menyadari ada pria yang duduk bersila dihadapannya. Menatapnya dalam diam.

Jongin menggeliat, meregangkan tubuhnya. Mengucek matanya lalu membuka matanya perlahan. Dia mengerjap menatap pria di depannya. Itu pria yang tadi, batinnya.

"Siapa namamu?"

"Jongin."

"Umur?"

"20 tahun."

"Baiklah, aku hanya menanyakan itu. Sekarang mandilah, semua menunggumu di ruang makan bawah." Pria itu berdiri, tangannya sudah memegang knop pintu.

"Oh iya, Jongin.. Namaku Chanyeol." Lalu pria tadi

-Chanyeol- meninggalkan kamarnya.

Jongin tidak acuh, dia segera membereskan selimut dan bantalnya lalu mandi.

Jongin sampai di ruang makan. Ada tiga pria disana, termasuk Chanyeol. Rambut Jongin masih sedikit basah, dia hanya memakan kaos tanpa lengan dan celana jeans panjang. Berbeda sekali dengan tiga pria yang kini tengah menatapnya, mereka memakai jas yang rapi. Apakah Jongin salah kostum?

"Kau menghalangi jalan!" Sebuah suara mengagetkan Jongin, Jongin segera menyingkir. Seorang pria muncuk dibelakang Jongin, bibirnya mencebik kesal, tangannya terlipat di dada.

"Duduklah Jongin." Sebuah suara yang bernada perintah terdengar dari sekarang pria yang duduk di ujung meja. Jongin menurut, duduk disamping pria itu.

Pria disamping Jongin mulai mengambil makanan, tidak acuh dengan tatapan Chanyeol yang mengintimidasi.

"Jongin, apa kau sudah mengenal kami semua?" Chanyeol bertanya.

Jongin menggeleng, "Aku tidak ingin tahu siapa kalian."

"Kau tidak ingin tahu untuk apa kau ada disini?" Tanya pria jangkung disebelah Chanyeol.

"Sebagai pelayan, kan." Jawab Jongin santai. Dia mulai makan perlahan.

"Setelah makan malam datanglah ke ruanganku." Pria disamping Jongin meninggalkan meja makan. Jongin mengangguk pelan.

"Aku Yixing." Pria yang tadi mencebik kesal memperkenalkan diri.

"Dia Yifan." Ucap Yixing sambil menunjuk pria jangkung disamping Chanyeol.

Aura disini jadi lebih baik saat pria tadi pergi. Jongin mudah akrab dengan tiga orang ini.

Saat makan malam selesai, mereka bahkan bermain monopoli bersama.

"Tuan Jongin.." Jongin menoleh. Menatap maid yang tadi memanggilnya "Tuan". Apa itu ejekan? Jongin itu tawanan disini!

" Tuan Muda menunggu anda diruang kerjanya." Ucap maid itu. Ah, Jongin lupa. Dia harus menemui pria tadi kan.

"Dimana ruang kerjanya?"

"Tepat didepan kamarmu." Chanyeol yang menjawab. Jongin mengangguk berterima kasih, lalu pergi ke lantai atas.

"Yak! Apa si brengsek itu sudah mengklaim Jongin?" Yifan berteriak tidak terima. Dia kan tertarik pada Jongin. Eh.

"Jonginku akan terluka jika bersama Tuan Muda." Yixing menunduk sedih.

Chanyeol mengusap punggung Yixing, "Jika hyung sudah pulang dari perjalanan bisnis, minta hyung untuk memisahkan Jongin darinya. Agar Jongin tidak terluka."

Jongin mengetuk ruang kerja "Tuan Muda" tapi tidak ada jawaban. Dia memberanikan diri masuk, si Tuan Muda tertidur dikursinya. Wajahnya mendongak, mata dinginnya terpejam. Jongin mendekat, mengamati wajah si Tuan Muda dari dekat.

"Aku ingin jadi setampan ini." Jongin merajuk pada dirinya sendiri. Dia ingin wajah sempurna seperti Tuan Muda.

"Yak!" Jongin kaget, sebuah tangan melingkar dipinggangnya. Itu tangan Tuan Muda, tangan itu menarik Jongin untuk duduk dipangkuannya.

Tangan Tuan Muda yang satu lagi menarik kepala Jongin agar Jongin menempel di dadanya. Jongin diam.

"Apa yang ayahmu katakan padamu?" Jongin mendongak. Matanya mengerjap.

"Aku bertanya padamu, Jongin." Pria itu mempertegas pertanyaannya.

Jongin diam. Melepaskan pelukan orang itu pada pinggangnya, tapi ia tidak turun dari pangkuan si Tuan Muda. Jongin berbalik membelakangi pria itu. Tangannya menggapai album foto di meja kerja. Membukanya satu persatu. Itu berisi foto dirinya. Apa Tuan Muda ini menguntitnya?

Si Tuan Muda terbangun, memeluk pinggang Jongin lagi dengan posesif.

"Kau tidak mau menjawabku?" Tanyanya lagi. Jongin menggeleng. Entah kenapa mulutnya memilih membisu sekarang.

Air mata Jongin menetes. Ia melihat foto dirinya dengan kedua orang tua kandungnya. Darimana pria itu mendapatkan foto ini? Bahkan, Jongin sama sekali tidak memiliki foto serupa. Si Tuan Muda masih betah memeluk Jongin. Bahkan, ia kini menyenderkan kepalanya pada punggung Jongin yang bergetar karena menangis.

"Itu hadiah sambutanku untukmu. Kau tahu Jongin, sangat sulit untuk mendapatkan foto itu."

"Terima kasih.. Tuan." Jongin memeluk album foto itu dengan eratnya.

Mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Oh Sehun!" Mereka mendongak ke arah teriakan itu. Seorang pria berdiri di depan pintu.