warning: unaccuracy, OOC, absurd.
disclaimer: snk © hajime isayama; saya tak mengambil keuntungan material dalam menulis fanfiksi ini.
catatan: karena flower crowns telah merajalela. maaf kalau ini cacat bikin dari hp soalnya dan pas saya mengantuk orz FFFFFF judul diambil dari lagu milik lana del rey berjudul ride.


So I pick you daffodils in a pretty string.

But they won't flower like they did last spring.

―Another Love, Tom Odell


Mikasa memetik bunga bakung untuk terakhir kalinya di padang rumput, salah satu tempat latihan calon anggota militer. Ia mencabut bunga tersebut dari tangkainya, lalu menyelipkannya di bawah lengan baju.

Senja terkatung di garis cakrawala, menanti langit memutuskan sejenak tali persahabatan. Semburat ungu menghiasi pipi angkasa dengan lebat. Kaki-kaki melangkah dengan mantap, meremukkan rerumputan, kembali ke asrama.

Di lacinya ada mahkota bunga yang belum selesai dibuat. Masih seperti untaian bunga yang begitu kacau. Kelopak-kelopak yang berukuran mungil telah berguguran, bagai kelopak-kelopak yang ditebar di atas tanah berhiaskan batu nisan.

Mikasa biasanya mengerjakan mahkota bunga itu sepulang dari padang rumput, ketika teman-temannya telah terlelap dan bulan memakai baju purnama yang mengkilap. Setelah memberi lubang pada pusat bunga dengan jarum dan benang diarahkan melalui lubangnya, Mikasa bermimpi.

Gadis itu bermimpi mengenai Carla yang meletakkan mahkota bunga aster bercampur kelopak-kelopak bunga mawar di kepalanya. Senyumnya mengembang begitu lebar. Para lelaki menggebrak pintu. Wajah mereka ceria.

Eren menyengir saat memamerkan jumlah kayu bakar yang ia berhasil kumpulkan tanpa bantuannya sementara Armin memperhatikan lingkaran yang menghiasi rambutnya.

"Kau harus memakai itu saat kita berhasil mencapai laut," komentar Armin. Bola matanya berkilau ditimpa sinar mentari yang menyelusup masuk.

Sinar matahari pun meredup. Dinding Maria dihancurkan, batu-batu bata menghujam daratan sementara para raksasa menerobos dengan cengir-cengir yang begitu menjengkelkan. Memenuhi perut dengan daging manusia. Tapi, tak pernah kenyang.

Ia dan Eren menatap dengan rasa takut menguasai puncak hati mereka. Asa melarat dalam nurani mereka seraya tubuh Carla disantap oleh raksasa terkutuk itu. Mereka pergi meninggalkan reruntuhan rumah cantik itu. Dinding-dindingnya tercabik-cabik. Atapnya runtuh. Kayu-kayu tercecer di sana-sini. Salah satunya menghancurkan mahkota bunga aster dan mawar menjadi ratusan kepingan organik. Pada akhirnya hadiah dari Carla membusuk digerogoti mikroorganisme.

Mungkin ia membikin mahkota bunga untuk dirinya sendiri meski jarinya sudah tak begitu terampil―kulitnya kasar dan jari-jarinya kaku karena terlalu sering menggenggam pedang besi itu. Mungkin ia membikin mahkota bunga untuk Carla sebagai kenang-kenangan; tanda penghormatan; tanda kematian.

Kemudian, Christa mendapatinya memainkan bunga bakung terakhir yang ia petik. Untaian bunga bakung yang digabungkan melalui benang berjejer dengan berantakan. Ujung-ujungnya mulai menyusut, berkerut.

Mikasa berpikir waktu telah mengejar dan mencekik mereka.

Christa mengangkat pikirannya yang dikemas dalam wujud bunga dan benang dengan tangan kosong, lalu bertanya, "Apakah kau akan menyelesaikan ini? Besok kita akan melalui acara kelulusan."

Di belakang kelopak matanya, ada siluet senyum Eren kembali muncul di wajah kerasnya. Armin tak menitikkan air mata lagi untuk selamanya. Suara debur ombak memecah ketika mengkonfrontasi seluruh butiran pasir yang terekspos di daratan―yang ia harap suaranya tak seperti desau angin ketika badai datang, mengetuk jendela dengan kasar. Mahkota bunga yang mengapung di atas air bergaram.

Mikasa menatap Christa.

"Suatu hari nanti," katanya.