Disclaimer : Masashi Kishimoto

Warning(s) : AU, Non-Yaoi, OOC, typo(s), non-baku, etc

Pairing : Sasuke-Naruko

Length : Chaptered

Rating : M (heavy theme, mature content)

.

White Flag © Mai Ravelia

.

This fanfiction is belong to me. Do-not copy without any permissions

.

Don't Like? Don't Read! I've warned you!

.

Enjoy!

.

Hari ini, seluruh kota dilanda hujan.

Bukan hujan badai yang mematikan. Bukan hujan angin yang mengerikan. Bukan pula hujan terlampau deras yang menyebalkan.

Ini hanya hujan biasa. Bahkan hanya berupa rintikan. Beberapa orang menyebutnya gerimis—yang entah kenapa memiliki konotasi menyedihkan.

Burung besi besar dilangit yang semakin terbang merendah, terlihat mengeluarkan rodanya secara perlahan. Di tengah rintik hujan, Sasuke masih dapat melihat permukaan tanah yang semakin lama semakin dekat lewat jendela di dekat kursinya.

Ia sampai. Pesawatnya mendarat dengan sempurna.

Diam-diam, Sasuke memejamkan matanya. Ia dapat merasakan sensasi aneh—menggelitik, sedih, senang, sepi, dan rindu—ketika kakinya berpijak di tanah kelahirannya, setelah sekian tahun tidak pernah pulang.

Dirinya mendarat dengan selamat di Tokyo, tanah kelahirannya.

"Tokyo.. ya?"

Pertanyaan itu ditujukannya entah ke siapa.

Sasuke menghirup nafas sebanyak-banyaknya, dan mengeluarkannya perlahan. Sebuah kegiatan yang agak sia-sia, sebenarnya. Hei, ini Tokyo! Kau tidak akan mendapatkan udara yang bersih di sudut manapun bukan?

Namun, Sasuke tampaknya tidak terganggu akan fakta itu.

Tak lama, setelah keluar dari gate penerbangan internasional, Sasuke melihat mobil jemputannya telah menunggu kedatangannya. Seorang pria paruh baya nampak dengan sabar menunggu kedatangannya di sisi mobil dengan sebuah payung besar hitam di tangan kanannya.

"Okaerinasai, Uchiha-sama," lelaki yang lebih tua darinya menunduk hormat.

"Tadaima," balasnya singkat dengan anggukan kecil. Kemudian membiarkan kopernya disusun di bagasi mobil oleh para tangan kanan Uchiha yang sudah dipekerjakan selama bertahun-tahun oleh keluarganya. Sedangkan dirinya menerima uluran payung milik pria paruh baya tersebut dan melangkah masuk ke dalam mobil jemputannya.

Tak membutuhkan waktu lama bagi supir mobil jemputannya untuk membawa kendaraan tersebut melaju. Sasuke memang diam, dan juga tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Namun, ia yakin bahwa supirnya, serta beberapa tangan kanan keluarga Uchiha yang berada dalam satu mobil dengannya, tahu betul kemana mereka harus pergi. Dan Sasuke yakin, supirnya juga akan melewati jalan alternatif yang akan mengurangi resiko kemacetan untuk efisiensi waktu.

Sasuke melirik ponselnya. Pukul 09:17, waktu setempat. Ia tidak peduli pada efek jetlag yang dirasakannya saat ini.

Sasuke masih mempertahankan ekspresi datarnya, namun pikirannya berkecamuk.

Semoga ia tepat waktu. Atau setidaknya, tidak terlambat.

Sasuke mengalihkan pandangannya ke jendela. Rintik hujan masih membasahi jalanan Tokyo hari itu. Kaca jendelanya sedikit buram karena embun. Di pinggir jalan, orang-orang berdesakkan dengan payung-payung mereka. Tidak ada ekspresi di wajah mereka. Tidak ada raut apapun yang bisa dibaca.

Sasuke menghela nafas. Udara dingin yang menyergapnya seakan menguatkan perasaannya yang tidak nyaman sejak tadi.

Tokyo tidak pernah semuram ini.

Takayama Hakachi*, Sasuke mengingatnya. Namatujuan pertamanya sekarang.

.

.


.

.

Setelah memastikan mobilnya berhenti dengan sempurna, Sasuke dengan sedikit tergesa membuka seatbelt yang dipakainya dan membuka pintu mobil, sebelum gerakannya terhenti dengan tepukan ringan pria paruh baya yang duduk disampingnya.

"Barang-barang Anda, Uchiha-sama. Jangan sampai lupa," lelaki itu mengingatnya.

"Hn, terimakasih," balas Sasuke singkat sembari menerima barangnya yang hampir tertinggal.

Payung hitam di tangan kirinya, serta dua tangkai bunga Lily putih di tangan kanannya.

Waktu terasa berjalan dengan lambat, ketika dirinya mulai membuka payung hitamnya dan pergi dari mobilnya. Ia berharap, para tangan kanan Uchiha tidak menemaninya keluar, dan harapannya terkabul.

Mereka mengerti.

Setelah mengibaskan sedikit tetesan air hujan yang membasahi jas hitamnya, Sasuke melangkah ke depan dengan hati-hati. Ia hanya tidak ingin celana dan sepatunya yang juga berwarna hitam tercemar lumpur. Setidaknya tidak untuk hari ini.

Tidak untuk hari bersejarah ini.

Matanya sedikit memicing. Dihadapannya, banyak sekali orang-orang yang seakan membentuk barisan memanjang ke samping dan ke belakang. Keadaan ini, sebelumnya sudah diprediksi olehnya. Namun, Sasuke tak menyangka bahwa orang-orang yang datang akan berjumlah sebanyak ini.

Langkahnya yang hati-hati terasa semakin mantap ketika matanya mengenali wujud seseorang yang sudah ia kenali. Atau bisa dibilang, gerombolan orang-orang yang ia kenali dengan baik, meski hanya terlihat punggung mereka—

-dan juga, setelan hitam semi formal yang juga mereka gunakan.

Seseorang yang ia kenali pertama kali, tiba-tiba menengok ke belakang, menyadari kehadirannya. Mata emeraldnya sedikit melebar dibalik payung yang ia gunakan, terkejut melihat dirinya.

"Sasuke-kun, kau datang," ujarnya pelan.

Sasuke menatap sepasang mata temannya yang baru saja terkejut melihatnya datang, "Iya. Hisashiburi*, Sakura."

Rupanya, suara beratnya menarik perhatian beberapa orang yang berdiri di dekat temannya, wanita berambut musim semi, Sakura. Dan juga, orang-orang tersebut—atau teman-teman sekelasnya semasa SMA—juga sama terkejutnya dengan Sakura.

"Sasuke-kun, ku kira kau tidak akan datang.." temannya yang beralis tebal, Rock Lee, menatapnya dengan berkaca-kaca.

"Yo, Sasuke," sapa temannya si penggila anjing, Inuzuka Kiba.

"Ah, Sasuke-kun. Semakin tampan saja," Yamanaka Ino, yang ternyata masih mengaguminya.

"Hisashiburi, Uchiha," rival dalam segala pelajaran ketika SMA, Nara Shikamaru, menyapa dengan muka malasnya.

"Hisashiburi," balas Sasuke, mengangguk pada mantan teman-teman sekelasnya ketika SMA. Detik kemudian ia mendapati dirinya bergabung dengan teman-temannya, yang kini seakan mengelilingi dirinya. "Aku tidak mungkin tidak datang," lanjutnya.

"Benar-benar momen langka," ujar salah satu temannya, Tenten, dengan suara kecil. "Hampir semuanya ada disini."

"Benar, terutama dengan kehadiran Sasuke yang sudah lama tidak di Tokyo," temannya yang bertubuh tambun, Akamichi Chouji, menjawab.

Sasuke diam saja. Namun dalam hati, ia menyetujui perkataan dua temannya barusan. Matanya melirik Shikamaru yang kini menghadap ke atas. Ke awan mendung yang sedari tadi tidak berhenti membasahi mereka.

"Hampir ya," gumamnya sedih. "Sepertinya sekarang akan sulit sekali jika kita akan berkumpul dengan formasi lengkap," ujarnya pelan. Nyaris seperti angin.

Tidak ada jawaban.

Semuanya terdiam sembari memegangi payung mereka. Sasuke tahu, walaupun tidak ada yang menanggapi Shikamaru, tapi saat ini, perasaan dan pikiran mereka sama.

Semuanya tidak akan sama seperti dulu.

"Payah."

Gumaman kekesalan Kiba hampir saja tersamarkan oleh derasnya hujan. Namun, rupanya beberapa orang yang berdiri di dekatnya masih bisa mendengar suaranya, termasuk Sasuke.

"Kenapa?" tanya Chouji, yang tepat berdiri disampingnya.

Kiba tak langsung menjawab. Di balik hoodie yang ia gunakan, ia mendongak sedikit. Seakan menghitung ada beberapa tetes hujan yang mengenai kepalanya. Kemudian, ia tersenyum samar.

"Aku tidak menyangka reuni kali ini benar-benar sukses. Semua teman angkatan kita datang. Gara-gara si bodoh yang satu itu.."

Teman-temannya tidak ada yang menanggapi.

Karena mereka semua merasakan hal yang sama.

Pada hari yang bersejarah ini, teman-temannya semasa sekolah—yang sangat sulit diajak reuni karena susah mencocokkan waktu yang tepat—semua berkumpul dalam satu tempat. Tanpa paksaan. Tanpa harus mengajak sana-sini. Dengan tujuan yang sama.

Mengantar teman mereka, sahabat mereka, Uzumaki Naruto, ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Fakta tersebut sulit dipercaya oleh mereka. Sasuke dengar, bahkan beberapa temannya menganggap berita kematian Naruto hanyalah hoax belaka. Lelucon yang sama sekali tidak lucu untuk membuat mereka harus menghadiri reuni lagi tahun ini.

Namun sayang. Tidak ada unsur kebohongan sedikit pun dari berita yang bagai petir di siang bolong itu.

Ia bahkan berencana ke Tokyo pada hari ini, memesan jadwal penerbangan untuk hari ini, bukan untuk menghadiri pemakaman sahabatnya.

Sasuke ingat betul rasanya. Perasaannya ketika kakak sulungnya tiba-tiba menelpon dirinya yang saat itu sedang packing di apartemennya, menyiapkan baju-bajunya untuk dibawa pulang ke Tokyo, tepat tiga hari yang lalu. Itachi menyampaikan kabar tersebut dengan suara tercekat.

Saat itu, ia merasakan gejolak yang luar biasa di perutnya. Ia mual berlebihan. Pandangannya kosong, menatap bisu dinding berwarna cream apartemennya. Tangannya sedikit bergetar.

Ia tidak siap, dengan kabar yang waktu itu di dengarnya.

Sasuke merasakan nyeri di dadanya. Sejak lulus SMA, teman-teman angkatannya mulai berpencar, mengejar cita-cita mereka masing-masing. Ada yang memutuskan untuk studi ke luar negri seperti dirinya, ada yang berlomba-lomba masuk universitas ternama dan mengambil jurusan yang diinginkan, ada yang lebih memilih membuka usaha sendiri, dan ada pula yang memilih untuk melanjutkan bisnis keluarga.

Karena bermacam-macam tujuan itulah, mereka sulit untuk menentukan waktu untuk berkumpul.

Terutama dirinya.

Naruto-lah, orang yang paling semangat dalam hal ini. Naruto lah, yang dengan senang hati selalu mengadakan pesta reuni untuk teman-teman seangkatannya—atau minimal, teman-teman sekelasnya. Ia selalu mengirimkan email ke semua orang untuk menghadiri reuni yang ia buat.

Sasuke, entah untuk yang kesekian kalinya, hanya bisa tersenyum sendu disertai ucapan "Baka," ketika mendiang sahabatnya, Naruto, selalu mengiriminya undangan reuni melalui email, lengkap dengan foto lampiran selfie dirinya yang menyebalkan disertai isi email yang Sasuke sudah hafal diluar kepala.

"Awas kalau kau tidak datang. Akan ku potong rambut bebekmu sampai botak, Teme!"

Dan Naruto selalu mengirimi undangan itu setiap tahun sekali. Dalam jangka waktu libur natal dan tahun baru.

Kemudian, urutan kejadiannya selalu sama;

Lagi-lagi, ia tidak bisa datang. Dan ketika malam tahun baru, Naruto mengirimkan foto dirinya beserta beberapa teman sekelas mereka yang sedang berpesta menjelang tahun baru. Serta memamerkan banyaknya makanan buatan ibu serta adiknya yang terlihat enak—

Sasuke membulatkan matanya.

Sosok itu—sosok itu tidak ada.

Ia tidak melihatnya.

Matanya yang sehitam malam mulai meneliti orang-orang yang datang ke pemakaman Naruto.

Di arah jam satu, ia melihat keluarga Hyuuga. Mereka mudah dikenali karena ciri khas keluarga mereka; rambut panjang, kulit pucat dan mata keunguan. Diantara keluarga Hyuuga, ia melihat dua orang teman seangkatannya, Hyuuga Neji, yang terus menerus memegangi pundak Hyuuga Hinata, yang bergetar.

Wanita malang.

Kisah cinta Uzumaki Naruto dan Hyuuga Hinata memang sangat terkenal diantara teman seangkatannya dan para guru-gurunya pada saat itu. Naruto yang entah kenapa terlalu bodoh bisa-bisanya membuat keturunan darah biru Hyuuga, Putri Hinata menyukainya. Dan satu-satunya orang yang tidak mengetahui hal itu ialah Naruto sendiri. Karena ia sibuk mengejar cita-citanya.


"Aku akan jadi pengacara terhebat yang pernah dimiliki Tokyo, dattebayo! Camkan itu!"

"Bodoh! Kita sedang di dalam kereta. Jangan berteriak!"

"Oh iya. Hehe."


Sasuke ingat email terakhir yang ia dapatkan dari temannya yang berambut pirang itu. Email yang membuatnya dengan mantap membeli tiket penerbangan ke Tokyo. Email yang membuat teman-teman angkatannya datang semua.

Naruto akan menikah, dengan Hinata. Tepat dua hari ke depan.

Sasuke bahkan menyetujui permintaan Naruto, sahabatnya yang berambut pirang jabrik itu untuk menjadi best man-nya, di hari pernikahannya.

Permintaan terakhir Naruto pada dirinya

Namun, acara yang harusnya berakhir dengan tangis bahagia itu, kini berubah menjadi tangis kesedihan.

Tangis kehilangan.

Tangis ketidakpercayaan.

Seperti mimpi, beberapa orang berharap seperti itu. Mereka dan dirinya, Sasuke, masih mempunyai harapan bahwa si pirang berisik itu akan bangun lagi. Menceritakan lelucon konyolnya, bertindak ceroboh, dan membagikan kehangatannya pada mereka, dan pada diri Sasuke sendiri.

Naif.

Hatinya kembali sakit ketika ia melihat foto Naruto dalam pigura besar di altar yang menggunakan pose andalannya, senyum lebar.

Dari sudut matanya, Putri keluarga Hyuuga itu tiba-tiba bersimpuh dengan lututnya, jatuh begitu saja. Membuat seluruh keluarganya panik dan mencoba membantu membangunkannya. Beberapa orang yang melihat kejadian itu, langsung menuju ke arah Hinata.

Mencoba memberi dukungan moral kepadanya.

Namun, Sasuke memilih memejamkan mata, dan menarik nafasnya perlahan.

Saat ini, ia sangat ingin memukul wajah bodoh milik Naruto. Serta meneriakinya pecundang yang tidak bertanggung jawab.

Ah, iya. Hampir lupa...

Sasuke belum menemukan sosok itu..

Mata hitamnya kembali mengamati dengan teliti orang-orang yang datang di hari bersejarah ini.

Di paling depan, ia melihat siluet wanita berambut merah panjang yang berdiri tepat di depan altar Naruto. Ia dipayungi seseorang. Badannya terlihat sangat kurus. Ia terlihat menundukkan kepalanya. Kedua tangannya ia taruh ke depan. Namun, bahu wanita itu tidak bergetar. Tidak sama sekali. Sasuke tahu bahwa bahu wanita itu kuat. Sangat kuat. Melebihi apapun.

Uzumaki Kushina.

Satu-satunya wanita yang memiliki cengiran dari ujung pipi ke pipi lainnya. Satu-satunya wanita yang membuatnya bergidik ngeri ketika tangan wanita itu mendaratkan panci ke kepala Naruto kala itu, lengkap dengan rambut merahnya yang berkibar-kibar. Bahkan, Naruto menjuluki ibunya Monster Habanero.

Namun sekarang, ia bukanlah monster. Ia hanya wanita biasa yang sedang kehilangan buah hatinya. Ia hanya wanita biasa yang menghadiri pemakaman anaknya.

Tapi, sosok itu tidak ada. Bahkan tidak berdiri disamping Kushina.

Sasuke mengernyit. Untuk apa ia mencari sosok itu?

Naruto sekarang sudah tiada. Sahabatnya sudah meninggal. Teman pertamanya itu akan dikuburkan beberapa saat lagi. Dan ia bahkan tidak berdoa untuk Naruto?

Sasuke yakin, Naruto akan mengatainya brengsek di alam baka sana.

Pendeta yang sejak tadi memimpin doa, berbalik menghadapnya. Menghadap orang-orang yang datang hari itu.

"Minasan, setelah kita berdoa untuk ketenangan jiwa mendiang Uzumaki Naruto, sekarang sudah waktunya pemberian bunga. Bisa dimulai dari keluarga Uzumaki."

Sasuke merasakan orang-orang di sekitarnya mengeratkan bunga yang mereka bawa. Dan tanpa sadar, ia juga mengeratkan Lily putih yang ada digenggamannya.

"Dimulai dari keluarga Uzumaki," Sasuke dengan sabar menunggu Kushina untuk segera beranjak dari tempatnya dan memberikan bunga pertama untuk Naruto. Setelah itu, akan diikuti orang-orang yang berada di barisan depan. Dan berlanjut ke belakang, dan seterusnya.

Tapi, Kushina bergeming.

Sasuke mengernyit. Ada apa?

Ia melihat kedua tangan Kushina yang sedari tadi ditaruh di depan, bergerak-gerak. Seperti mendorong sesuatu. Sasuke baru saja akan bertanya "Kenapa Kushina-san diam saja?" kepada Sakura yang berada disampingnya, ketika ia melihat siluet rambut pirang yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh Kushina. Berjalan pelan sembari menggenggam bunga Lily putih, dan meletakkannya perlahan di altar Naruto.

Sasuke tersentak.

Ia semakin membulatkan matanya ketika sosok itu berbalik. Kepalanya yang sedikit ditundukan serta rintik hujan yang masih turun membuat wajahnya tidak terlihat jelas. Namun, Sasuke yakin satu hal.

Anak itu—sangat mirip dengan Naruto. Rambutnya pirang dan sepertinya jabrik—karena saat ini rambut anak itu sangat layu karena hujan. Sekilas, Sasuke dapat melihat warna biru pada mata anak itu.

Sasuke bahkan dapat melihat sekilas tanda lahir melintang di pipinya.

"Naruto sudah punya anak?" Sasuke sudah berusaha membuat suaranya sedatar mungkin. Ia bertanya kepada entah-siapa. Kepalanya menghadap ke arah teman-teman sekolahnya berdiri. Menuntut jawaban.

"Ah.." Sakura bersuara.

"Bukan," jawab Shikamaru dengan cepat dan tegas.

Sasuke mengerutkan keningnya. Apa-apaan mereka? Mereka sudah tahu akan kehadiran anak itu, sedangkan dirinya baru tahu hari ini? Ada berapa banyak hal yang terjadi ketika dirinya masih di New York?

Sasuke dapat merasakan emosinya perlahan naik.

"Dia sangat mirip Naruto," bantahnya, nada suaranya sedikit naik.

"Bukan," jawab Shikamaru, tenang.

Sasuke kembali memperhatikan anak kecil itu. Ia terlihat berbicara dengan Kushina. Dari penampilannya, usianya tak lebih dari 10 tahun. Rambut pirangnya sedikit turun karena air hujan. Mata birunya yang berkaca-kaca menatap Kushina dengan seksama dan sesekali mengangguk.

Sasuke mengepalkan tangannya. Ia merasa dipermainkan.

"Apa yang kalian sembunyikan?" tanyanya dengan suara rendah. "Bahkan dalam sekali lihat, bocah itu sangat mirip Naruto," ketusnya.

"Tidak ada yang disembunyikan, Uchiha," Shikamaru tetap tenang. "dan kuulangi, bocah itu bukan anak Naruto."

Sasuke perlahan mendekati pria bermuka malas itu. Wajahnya tetap datar, namun saat ini ia benar-benar marah.

"H-hey, jangan bertengkar disini," Kiba terlihat panik dan mulai mendekati dirinya. Sasuke dapat merasakan cengkraman ringan di pundaknya. "Tidak. Jangan disini! Jangan di depan makam Naruto!" tegas Kiba.

Sasuke berusaha merilekskan pundaknya yang sempat menegang. Namun, kemarahannya belum reda. Ia tidak terima.

Ia merasa dipermainkan.

"Kau—"

"Uchiha Sasuke," panggil Shikamaru. Mata sipitnya menoleh tajam ke arahnya. "Coba lihat ke depan."

Sasuke menoleh dengan sedikit kasar.

Anak berambut pirang itu terlihat memeluk kaki Kushina dan menenggelamkan kepalanya di paha Kushina untuk beberapa saat. Kemudian, ia menjauhkan diri dari Kushina dan mulai berlari.

Berlari.

Berlari.

Sasuke tidak melepaskan pandangannya dari bocah pirang itu.

Sasuke memperhatikannya. Bagaimana bocah itu berlari ke arah kiri Sasuke, menerobos para pelayat yang sedang menunggu giliran memberi bunga, berlari terus..

Berlari.. tanpa mempedulikan bajunya yang semakin basah tak karuan.

Berlari, di tengah hujan tanpa apapun yang melindungi kepalanya.

Berlari, tanpa mempedulikan ujaran sebal para pelayat.

Berlari, ke arah jam 9 Sasuke.

Dan berhenti setelah menabrak paha seorang wanita.

Wanita, dan bocah pirang yang memeluk paha wanita tersebut, berada tepat disebrang sana. Di arah jam 9..

Sasuke terpaku.

Bocah pirang itu kembali menenggelamkan wajahnya di paha wanita tersebut. Dari tempat Sasuke berdiri, ia dapat melihat wanita tersebut memakai rok hitam selutut, heels, serta blazer dengan warna senada. Tangan kirinya memegang payung. Tangan kanannya mengelus kepala bocah pirang itu dengan perlahan, dan lembut.

Waktu terasa lebih lambat dari biasanya.

Sasuke melihatnya dari balik payungnya,

Diantara rintik hujan,

Diantara isak tangis dan bisik-bisik pelayat,

Sosok itu.

Berdiri di pinggir. Sendirian. Menjauh dari kerumunan.

Wanita itu mengikat rambut pirang pucatnya yang panjang dengan satu simpul sederhana ke belakang, dengan rambut-rambut halus yang tertinggal di pipinya yang dibiarkan begitu saja. Mata birunya terlihat kosong. Tangannya yang kurus terlihat semakin pucat dari tahun ke tahun. Dan wanita itu..

...menatap sendu bocah pirang yang masih memeluk kakinya.

"...Boruto, anak dia. Uzumaki Naruko."

.

.

.

TBC

.

.

.

*) Takayama Hakachi = Pemakaman Takayama

*) Hisashiburi = Lama tidak berjumpa

.

.

Sempat hiatus selama sekian lamanya, dan sempat kagok juga mau nulis lagi di ffn. Tapi, ide cerita ini terus menghantui dari tahun ke tahun. Akhirnya, memutuskan untuk comeback dengan pairing yang belum pernah ditulis olehku sebelumnya; Sasuke-Naruko ^^

Review?

Kritik dan saran sangat membantu. Sampai jumpa di chapter selanjutnya~

Sign,

Mai