My Honey Boy
.
Cast : Lee Donghae X Lee Hyukjae
.
Rate : T
.
Genre : Romance, Fluffygagal
.
.
Warning !
Boy X Boy, BL, YAOI, EYD tak beraturan, Typo bertebaran dimana-mana, kata-katanya aneh, cerita pasaran
.
-oOo-
.
Happy Reading^^
.
.
Donghae mendengus kesal. Sinar matahari yang menerpa wajahnya membuat tidurnya terusik. Ia membuka sebelah matanya lalu menutupnya kembali saat ia merasakan silau. Donghae mendengus sekali lagi sebelum mendudukkan dirinya di ranjang. Pandangannya mengedar ke sekeliling sebelum akhirnya ia menuju ke kamar mandi. Ia harus segera bersiap jika tak ingin terlambat ke sekolah barunya.
.
.
.
"Kau sudah siap, sayang?"
Donghae menoleh saat mendengar suara ibunya. Ia menggumam kecil lalu mendudukkan dirinya di meja makan. Ikut bergabung bersama ibu dan kakak laki-lakinya.
"Bersemangatlah sedikit, Hae. Kau seperti orang yang kehilangan harapan hidupnya."
Donghwa—kakak Donghae berucap dengan nada jahil dan itu membuat Donghae berdecih pelan. Ia lebih memilih menghabiskan sarapannya. Sejujurnya Donghae sedikit kesal karena harus mengikuti keinginan ibu dan kakaknya yang harus pindah rumah yang juga mengharuskan dirinya pindah ke sekolah barunya sekarang. Salahkan ibunya yang ingin mencari suasana baru dan kakaknya yang setuju saja diajak pindah. Donghae bukannya membenci rumah dan lingkunganya sekarang, hanya saja ia tak suka jika harus beradaptasi lagi dengan sekolah barunya. Ia benci dengan hal-hal yang mengharuskannya memperkenalkan diri, meladeni semua pertanyaan tak bermutu yang dilontarkan padanya.
"Aku selesai! Aku berangkat sekarang."
Donghae berdiri. Ia menarik tas selempangnya kemudian menyampirkannya di bahu kanannya.
"Tidak ingin di antar?"
"Tidak perlu! Aku bisa berjalan kaki. Sekolahnya juga dekat kan?"
Setelah mengucapkan kalimat itu, Donghae beranjak dari sana. Meninggalkan ibu dan kakanya yang hanya menggeleng melihat tingkah kekanakkan Donghae. Ck, Donghae itu sudah dewasa. Ia sudah tingkat tiga di sekolahnya. Seharusnya Donghae bisa bersikap selayaknya pemuda seusianya.
"Jika kau menemukan teman yang cocok, ajak saja kemari, Hae!"
Dan lagi-lagi Donghae mendengus kesal mendengar teriakkan kakaknya dari dalam rumah.
.
.
.
Seperti yang sudah Donghae prediksikan. Sekolah barunya memang sangat membosankan. Sebelumnya ia harus memperkenalkan dirinya di depan seluruh siswa, menanggapi pertannyaan-pertanyaan tak penting seputar dirinya dan sebagainya. Bahkan ada beberapa siswa yang menanyakan apa ia sudah berkencan apa belum? Benar-benar pertanyaan standar tapi sangat membosankan bagi Donghae.
Saat jam istrahat seperti ini, Donghae tak ingin ikut bergabung dengan teman kelasnya yang lain. Ia lebih memilih menidurkan kepalanya di mejanya dan menatap pemandangan di luar jendela. Kelasnya yang berada di lantai tiga serta bangkunya yang berada di pojok dekat jendela memudahkan Donghae melihat lapangan sekolah dengan leluasa. Tak ada yang menarik. Semuanya terlihat biasa. Lapangan sekolah yang hijau. Beberapa siswa yang saling berkejaran. Ada yang bermain basket. Dan ada yang sedang duduk menyendiri di bawah pohon rindang sambil memakan bekal makan siangnya. Donghae memfokuskan matanya pada seseorang itu. Seseorang yang aneh pikirnya. Disaat semua orang tengah bersama dengan temannya, kenapa orang itu memilih menyendiri? Rambutnya berwarna coklat madu. Bibirnya terlihat merekah indah. Donghae yakin meski ia melihatnya dari kejauhan orang itu tampak manis.
Donghae mengerjapkan matanya. Ia mengangkat wajahnya, ingin melihat lebih jelas sosok itu saat ia mengangkat wajahnya sekilas. Dan Donghae harus mendesah kecewa saat ada siswa lain yang lewat di depannya. Saat Donghae ingin memastikan lagi, pemuda berambut madu itu sudah menundukkan kepalanya. Terlihat khusyuk dengan santap siangnya. Tanpa sadar Donghae menggigit bibir bawahnya. Rasa penasarannya membuat dirinya semakin mendekat pada jendela.
"Kim Saem datang!"
Perhatian Donghae teralihkan oleh suara gaduh dari dalam kelasnya. Ia menoleh sebentar saat guru kelasnya sudah memasuki kelas. Setelah memberi salam pada guru, Donghae kembali memfokuskan pandangannya pada jendela. Keningnya berkerut saat pemuda berambut madu tadi hilang dari pandangannya. Dibawah pohon sana sudah tak ada seorangpun. Donghae mendesah kecewa. Ia memperluas focus pandangannya, dan ia mendapatkannya. Seseorang yang berlari dan hanya memperlihatkan punggung kecilnya. Surai madunya bergoyang indah, tangan putihnya melambai pada siswa lainnya. Donghae mendesah lagi entah untuk yang keberapa kalinya. Ia bahkan tak sadar jika seluruh kelas tengah menatapnya dengan bingung.
"Lee Donghae?"
Donghae tersentak. Buru-buru ia mengalihkan pandangannya ke papan tulis. Menggaruk tengkuknya gugup saat semua mata memandang padanya. Ada apa dengan mereka semua? Pikirnya.
"Ye, Saem?"
Donghae bisa melihat guru didepannya menggelengkan kepalanya. Ia menjadi gugup sendiri.
"Lee Donghae. Maju ke depan dan kerjakan soal di papan!"
Sial! Hari pertama sekolahnya harus Donghae lalui dengan kesialan!
.
.
.
"Hyukkie! Maafkan aku! Aku harus membantu di perpustakaan!"
Orang yang disebut Hyukkie tadi hanya tersenyum. Ia melambaikan tangannya pada sahabatnya kemudian menggandengnya lengannya.
"Tidak masalah. Aku hanya perlu duduk di bawah pohon sambil menyantap makan siangku." Ucapnya riang.
"Maafkan aku."
Pemuda berambut madu itu hanya tertawa riang menanggapi permintaan maaf sahabatnya. Namanya Lee Hyukjae. Tak banyak yang mengenal dirinya. Hanya beberapa orang dan teman sekelasnyalah yang tahu dirinya. Ia hanya memiliki seorang sahabat di sekolah. Sahabatnya sejak kecil. Namanya Kim Junsu. Keduanya siswa tingkat tiga. Hyukjae bukanlah seperti siswa kebanyakan. Ia lebih suka menyendiri. Dan hanya Junsu-lah satu-satunya yang selalu menemaninya.
"Apa bekal makan siangmu hari ini?" tanya Junsu. Keduanya semakin mempercepat langkah saat hampir tiba di kelas.
"Seperti biasa. Buatan ibu."
Junsu membuat wajah menyesal di hadapan Hyukjae. Ia seharusnya tak melewatkan makan siangnya bersama Hyukjae. Bekal yang dibawa Hyukjae sellau menggugah selera. Meski sederhana, tapi Junsu tak pernah bosan menyantapnya. Junsu bukannya tak mampu membawa bekal, hanya saja ibunya terlalu sibuk menyiapkan bekal untuknya. Junsu selalu menyantap bekal dengan Hyukjae, dan Hyukjae tak pernah keberatan soal itu.
"Kau kenapa?" goda Hyukjae saat melihat wajah murung sahabatnya.
"Aku kelaparan, belum makan."
Langkah Hyukjae terhenti sejenak. Ia menatap Junsu tak percaya. Tubuhnya membungkuk sejenak dengan kedua tangannya menekan perutnya. Tubuh kecilnya tiba-tiba bergetar dan membuat Junsu yang ada di sebelahnya ketakutan setengah mati.
"Hyukkie?! Ya Lee Hyukjae! Kau kenapa?"
Dan tawa halus keluar dari bibir Hyukjae. Ia menutup bibirnya agar tak tertawa terlalu keras. Matanya berkaca akibat menahan tawanya terlalu lama.
Junsu hanya bisa mendelik kesal. Tapi ia merasa lega karena ternyata Hyukjae hanya menahan tawa. Dengan gemas ia mencubit pinggang Hyukjae kemudian meninggalkan pemuda itu.
"Kim Junsu, tunggu aku!"
Junsu hanya bisa tersenyum. Ia menoleh kemudian menggandeng tangan Hyukjae. Sampai kapanpun ia tidak bisa marah pada sahabatnya itu.
"Kau harus membawaku ke rumahmu dan traktir aku makan masakan ibumu!"
"Baik, yang mulia."
"Aku serius, Hyukkie!"
"Aku juga—Kim Junsu! Jung Saem sudah masuk kelas!"
"Apa?! Lee Hyukjae! Tunggu aku!"
.
.
.
Donghae mendengang kecil bebatuan yang ditemuinya di tengah jalan. Sesekali ia menghela nafas lelah. Hari pertamanya di sekolah barunya merupakan sebuah kesialan baginya. Ia hampir saja di permalukan jika tidak bisa menjawab soal tadi. Beruntung otak Donghae memang cerdas. Donghae menghentikan langkahnya sejenak sebelum memasuki pekarangan rumahnya. Bayangan pemuda berambut madu tadi masih melekat di ingatannya. Bagaimana cara pemuda itu makan, bagaimana pipi dan bibirnya penuh saat mengunyah, bagaimana surai madu nan halus itu bergerak tertiup angin. Sayangnya Donghae tak begitu jelas melihat wajah pemuda itu.
Donghae menggeleng pelan. Kenapa juga ia harus memikirkan pemuda tadi? Toh mereka tidak saling mengenal. Donghae tersenyum mengejek, lebih tepatnya mengejek pada dirinya sendiri. Ia kemudian membuka pagar rumahnya tapi pandangannya tertuju pada sesuatu. Lebih tepatnya sebuah rumah yang berada tepat di sebelah rumahnya. Ia menautkan keningnya. Kenapa ia tak pernah menyadari jika mereka memiliki tetangga? Rumah tersebut bergaya minimalis. Sebenarnya hampir sama dengan rumahnya, hanya saja cat rumah itu berbeda. Pekarangannya juga penuh dengan bunga-bunga. Berbeda sekali dengan rumahnya yang hanya terisi kerikil kecil dan taman kecil di pinggir pagar.
Merasa penasaran, Donghae menghampiri rumah itu. Melewati pagar rumahnya dan berdiri tepat di depan pagar rumah bercat coklat lembut tersebut. Otak Donghae seakan memberi perintah untuk tubuhnya agar memasuki pekarangan rumah itu hingga sebuah suara membuatnya tersentak kaget.
"Kau siapa? Mencari siapa kemari?"
Mata Donghae mengerjap. Di depannya kini berdiri seorang pemuda dengan kemeja kebesaran. Tangannya memegang sepiring kue stroberi. Wajahnya terbingkai kacamata tebal. Donghae yakin jika mata pemuda itu sudah rusak parah hingga memakai lensa setebal itu. Bibirnya merah dan rambutnya berwarna madu. Tunggu, Donghae seperti mengingat sesuatu. Ia meneliti dengan seksama pemuda di depannya saat ini. Rambut, bibir dan postur pemuda ini mengingatkannya pada pemuda yang dilihatnya tadi.
"Halo? Kau mencari siapa?" pemuda itu bersuara lagi.
Donghae semakin salah tingkah saat pemuda itu maju mendekat padanya. Ia memundurkan langkahnya. Terlalu bingun untuk melakukan sesuatu.
"Donghae? Apa yang kau lakukan di sana? Kau salah masuk rumah?"
Bagaikan mendapat pertolongan dari surga, Donghae segera menoleh pada ibunya. Ia melirik ibunya dan pemuda di hadapannya secara bergantian kemudian berlari keluar dari pekarangan rumah tersebut.
"Aku—Aku salah masuk rumah, bu." Ucapnya terbata kemudian segera masuk kedalam rumahnya.
Ibu Donghae hanya menatap kepergian anakknya dengan bingung. Kepalanya menggeleng pelan tanda tak mengerti. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada pemudia yang masih berdiri di pekarangan rumahnya. Pemuda itu terlihat bingung sekaligus terkejut. Mata bulatnya mengerjap lucu kemudian tersenyum pada ibu Donghae.
"Selamat siang, bibi." Sapanya ramah.
"Selamat siang, manis. Siapa namamu?"
Pemuda itu mendekat pada pagar yang memisahkan pekarangan rumah mereka. Senyum gusinya merekah indah dan itu membuat ibu Donghae terpesona saat melihatnya. Keduanya berbincang sedikit dan tertawa-tawa.
"Matahari sangat terik. Sebaiknya kita masuk kedalam. Bibi titip salam buat ibumu, ya."
"Akan ku sampaikan pada ibu nanti."
Ibu Donghae mengulas senyumnya. Jarang-jarang ia mendapati anak muda yang begitu sopan pada orang tua. Wanita itu menoleh kearah rumahnya. Seandainya Donghae bisa penurut dan sopan seperti anak tetangganya ini. Hah, pasti sangat sulit membuat Donghae menjadi anak penurut.
"Bibi, lain kali aku akan bermain ke rumah bibi. Boleh kan?"
"Tentu saja, sayang."
.
.
.
Malam menjelang. Donghae sedang sibuk dengan game konsolnya saat kakaknya datang dan menendang pantatnya.
"Hyung!"
Donghwa tertawa kecil. Ia memilih duduk di sofa sambil memakan camilannya dan menonton Donghae yang tengah berkutat dengan gamenya.
"Bagaimana sekolah barumu?"
"Tidak ada yang menarik. Semua membosankan!" ucap Donghae ketus. kecuali pemdua berambut madu yang membuatkan penasaran. Tambahnya dalam hati.
Donghwa menganggukkan kepalanya tak berniat berbicara lagi. Ia meilih focus memakan camilannya dan berbaring di sofa.
"Apa ada seseorang yang menarik perhatianmu?"
Donghae berpikir sejenak. Ia tak mungkin memberitahu kakaknya jika ia penasaran dengan pemuda berambut madu tadi. Bisa-bisa ia akan digoda terus-terusan oleh kakak dan ibunya.
"Tidak ada!"
"Benarkah?"
Donghae menggeram marah. Ia mendelik pada Donghwa kemudian meninju perut lelaki itu.
"Berhenti menggangguku! Hanya makan camilanmu lalu tidur!"
Donghwa mencibir. Ia bangun dari sofa kemudian menoyor kepala Donghae denga keras.
"Kau seperti orang tua, kau tahu?!"
"HYUNG!"
Donghwa segera lari dari sana sebelum Donghae melemparnya dengan konsol yang ada di tangannya. Tawanya terdengar keras membuat Donghae semakin kesal. Ibunya hanya bisa melerai keduanya dengan kata-kata. Tapi sepertinya itu tak berhasil. Kedua kakak beradik itu malah sibuk bermain kejar-kejaran. Sambil melempar bantal dan kadang mengenai ibunya. Donghae semakin kesal saat Donghwa sibuk menggodanya. Hingga tanpa sadar Donghae melempar bantal dengan cukup keras dan mengenai wajah seseorang yang ada di depan pintu rumahnya. Sesaat suasana rumah menjadi hening. Donghwa menghentikan tawanya. Donghae menahan nafas entah karena apa. Dan ibu Donghae yang sejak tadi mengomeli anaknya hanya bisa mematung.
"Huks…Ibuu~"
Hingga suara isakkan kecil dan panggilan manja itu menyadarkan mereka semua. Ibu Donghae segera berlari kearah pintu dengan tergesa.
"Omo, apa yang kau lakukan disini, sayang?"
.
.
.
"Ibu, apa ibu tahu kita punya tetangga baru?" Tanya Hyukjae.
Wanita cantik paruh baya—ibu Hyukjae—hanya tersenyum kecil sambil menggumam. Saat ini keduanya tengah memanggang biskuit di dapur rumahnya. Hyukjae terlihat telaten menata biscuit-biskuit yang sudah matang kedalam toples. Sesekali ia akan memasukkan ke dalam mulutnya lalu membuat suara-suara lucu yang membuat ibunya tertawa gemas.
"Kau tidak takut gendut makan sebanyak itu, sayang?"
Hyukjae memajukan bibirnya mendengar penuturan ibunya. Biscuit yang tadinya akan ia makan kini ia letakkan kembali. Ia kemudian mengambil toples lain yang masih kosong dan mengisinya dengan biscuit yang masih hangat.
"Aku kan tidak akan gendut jika memakan beberapa biscuit," sungutnya yang masih bisa di dengar sang ibu.
"Sudah-sudah. Berhenti membuat wajah seperti itu. Cepat bersihkan dirimu dan antarkan biscuit ini pada tetangga kita."
Hyukjae membuang nafas berat. Ia menatap ibunya sangsi kemudian menggeleng pelan.
"Kenapa harus aku, bu?"
"Karena hanya kamu anak ibu satu-satunya, sayang."
Wajah Hyukjae tertekuk masam. Bukannya ia tidak mau, tapi mengingat kejadian sore tadi membuatnya enggan menyambangi kediaman tetangga barunya. Hyukjae masih mengingat dengan jelas bagaimana anak tetangganya yang baru ia ketahui bernama Donghae menatapnya dengan iritasi. Padahal Hyukjae hanya menatapnya yang sedang bermain dengan anjing putih yang katanya bernama bada. Sebenarnya tidak menatap juga. Hyukjae hanya tertarik dengan bulu putih milik anjing itu. Ia terus menatap mereka hingga pemuda menyebalkan itu mendelik dan cepat-cepat masuk ke rumah. Dasar menyebalkan.
"Ibu saja yang mengantar, ya. Hyukkie ngantuk~"
Hyukjae mencoba menawar dengan ibunya. Ia tidak ingin bertemu dengan pemuda bernama Donghae itu lagi. Meski Hyukjae akui jika ibu dari pemuda itu terlihat ramah padanya, tapi sepertinya Donghae sangat tidak menyukainya. Sebenarnya apa yang salah dengan pemuda bernama Donghae itu? Tanpa sadar Hyukjae memajukan bibirnya, tanda jika ia terlihat kesal.
"Hyukkie, kau kenapa sayang? Cepat bersihkan tubuhmu dan antarkan pada tetangga."
.
.
.
Hampir tiga puluh menit Hyukjae berkutat dengan mandi manjanya. Belum lagi ibunya yang terus saja memangilnya menyuruhnya segera bersiap untuk kerumah tetangga. Perdebatan kecil juga tak terelakkan. Hyukjae hanya bisa pasrah saat ibunya mendorong tubuhnya memasuki pekarangan rumah tetangga barunya. Hyukjae menarik nafas dalam-dalam. Ia terlihat gugup. Hyukjae hanya mengenakan kaos putih kebesaran dengan celana piyama berwarna biru muda. Rambut madunya ia biarkan sedikit berantakkan. Tak lupa kacamatanya ia pakai. Hyukjae memang selalu memakai kacamata. Masih dengan kegugupannya Hyukjae mengetuk pintu rumah berwarna kalem tersebut. Tiga kali mengetuk dan taka da sahutan. Hyukjae mencoba memanggil tapi tetap tak ada sahutan dari dalam. Hyukjae hampir putus asa. Ia berbalik berniat meninggalkan kediaman tetangganya namun ia urungkan saat wajah galak ibunya terlintas dalam pikirannya.
Hyukjae mencoba mengetuk pintu dan memanggil sekali lagi tapi tak juga ada sahutan. Langkah terakhir, Hyukjae membuka sendiri pintu di hadapannya dan berhasil. Pintu itu tidak terkunci. Senyum Hyukjae mengembang semprurna. Dengan pelan ia membuka pintu tersebut, melongokkan kepalanya sebelum tubuhnya benar-benar masuk ke dalam rumah dan…
BUGH!
Kepala Hyukjae tiba-tiba saja pusing. Ia tak tahu apa yang mengenai wajahnya. Matanya reflex tertutup rapat. Gagang kacamatanya terasa sakit saat bergesekkan dengan hidungnya. Tiba-tiba saja wajahnya memerah. Rasa sakit bercampur malu saat mendapati tiga orang pemilik rumah yang memandangnya membuat nyalinya menciut. Dan tanpa sadar, isakkan kecil keluar dari bibirnya.
"Huks…Ibu~"
.
.
.
TBC
