Pairing : Erwin x Levi and Eren x Jean (Maybe)
Disclaimer : Hajime Isayama
Warning : Yaoi, Typo bertebaran, penulis amatiran!
ENJOY! _
Pemuda berambut eboni itu terusik ketika sinar matarahi mulai menyusup melalui celah celah gorden, membuat garis panjang yang langsung mengenai muka sang empu. Ia menguap sambil menutup mulutnya menggunakan punggung tangan kanannya, lalu menoleh ke arah jam digital yang berada di atas meja nakas di samping tempat tidurnya.
Pukul 06.00.
Itu artinya ia harus segera bangun dan menyiapkan sarapan pagi.
"Erwin bangun, sudah pagi." Levi Ackerman - pria berambut Ebony itu- menggucang pelan bahu Erwin, berharap pria itu bangun dan membantu nya menyiapkan sarapan pagi.
"Nghhh, lima menit lagi Levi." Pria berambut pirang itu hanya mengerang pelan. Bukannya bangun dan mencuci muka, ia malah semakin bergulung ke dalam selimut. Levi menghela nafas. Ia tahu suaminya itu begadang tadi malam untuk memeriksa hasil ulangan para muridnya. Ia mengerti, pasti Erwin sangat kelelahan, mengingat pria itu baru tidur jam 3 pagi.
"Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan pagi dulu. Tidurlah, aku akan membangun mu nanti ." Ia mengusap lembut rambut Erwin yang hanya dibalas gumanan pelan dari empunya. Levi menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari ranjang menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi.
Ia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, air di pagi hari memang menyegarkan. Lalu berjalan santai menuju dapur. Levi mengambil apron yang tergantung di sebelah kulkas dan memakai nya. Mari kita lihat apa yang ada di balik kulkas. Daging dan bawang. Sisa nasi di rice cooker masih banyak. Baiklah. Saatnya membuat nasi goreng spesial!
Setelah selesai memasak nasi gorengnya. Ia meyedok nasi nasi goreng ke ke piring lalu meletakkan nya di meja. Khusus untuk Erwin, nasinya extra banyak. Menoleh. Jam dinding menunjukkan pukul 06.30. Artinya ia menghabiskan waktu 30 menit untuk memasak dan membiarkan Erwin tertidur.
Levi berjalan santai ke kamar lalu membuka gorden yang menutupi balkon dengan satu sibakan. Cahaya matahari tanpa malu malu langsung menerobos kamar mereka, membuat kamar yang tadinya gelap sekarang terang benderang
Pria yang masih bergelung dalam selimut itu mengerang ketika sinar matahari langsung mengenai wajahnya. Terganggu. Ia manarik selimut hingga menutupi kepalanya agar cahaya itu tidak mengenai nya.
"Erwin bangunlah." Levi berbisik pelan di telinga Erwin. Bukannya bangun, Erwin malah mengerang nyaman mendengar suara lembut Levi.
Pria bermata abu abu berdecak sebal, jika sudah begini cara halus tidak akan mempan kepadanya, terpaksa ia harus menggunakan cara kasar.
"Erwin bangun." Levi mencoba memanggil sekali lagi.
Tak ada sahutan. Hanya dengkuran halus yang terdengar.
"Bangunlah beruang malas!." Levi menarik kedua tangan Erwin sehingga pria itu terdudk di atas kasur,"Erwin bangun! Jika tidak kau akan terlambat bekerja."
Erwin hanya membuka setengah matanya yang masih tertutup,"Ada apa Levi?." tanya nya khas orang bangun tidur.
"Cepat bangun dan cuci mukamu." perintah Levi datar.
Bukannya beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi seperti permintaan Levi. Pria itu justru terduduk lesu dengan kepala tertunduk. Masih tidur.
"Aku bilang bangun beruang malas!." Levi menarik paksa hingga Erwin beranjak dari tempat tidurnya dan mendorong pria itu ke kamar mandi. Ia mengeluh sifat Erwin yang sangat susah dibangunkan sambil mengambil pakaian kerja yang akan digunakan Erwin nanti. Terdengar bunyi debuman pelan dari kamar mandi disertai umpatan. Ternyata laki laki itu masih belum tersadar dari mimpinya.
"Kenapa aku bisa jatuh cinta terhadap beruang malas itu." gumannya.
0o0
"Wah baunya enak sekali. Kau masak apa Levi?." Erwin yang sudah berpakaian rapi itu bertanya. Wajahnya lebih keliatan segar dibanding tadi. Wangi gurih mentega yang tersebar di udara menuntun nya menuju dapur.
"Nasi goreng. Cepat duduk dan makan."
Erwin duduk. Didapannya sepiring nasi goreng yang uapnya masih mengepul itu membuat cacing di perut nya langsung berdemo minta makan.
"Selamat makan!." ucap nya sebelum menyedok sesuap nasi ke dalam mulutnya. Mulut Erwin langsung kepanasan. Karena nasi goreng itu baru keluar dari penggorengan dan Erwin yang ceroboh tidak meniupnya terlebih dahulu.
"Hah..hah..hah..Phanas. Thapo enakh shekali!." ucapnya tak jelas.
Levi tersenyum melihat tingkah Erwin yang seperti anak anak,"Pelan pelan saja makannya. Jika kau ingin tambah, aku bisa membuat nya lagi." tangannya terulur untuk membersihkan sisa butiran nasi yang tertempel di sudut bibir Erwin.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00. Artinya dia hanya punya waktu lima belas menit untuk pergi ke sekolah. Jangan sampai ia terlambat menghadiri kelas pagi ini. Erwin langsung menyuap nasi goreng yang tersisa di piringnya tanpa menguyahnya terlebih dahulu. Membuat pria itu langsung tersedak.
"Uhuk...uhukk..uhukk." Erwin terbatuk-batuk sambil memikul dadanya pelan.
Levi langsung memberi segelas air putih yang langsung disambar dalam satu tegukan.
"Sudak aku katakan untuk makan dengan makan perlahan bukan?." omel Levi sambil mengusap punggung pria itu pelan.
Erwin menyerahkan gelas itu ke Levi,"Maaf membuat mu khawatir di pagi hari" katanya menyesal.
Levi mendengus pelan,"Kau memang selalu membuat ku khawatir."
Erwin tersenyum,"Maaf."katanya pelan,"Ngomong ngomong apa kau membuka cafe hari ini?." ujarnya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Jika aku menutup cafe, para pelanggan akan marah nantinya." Levi membereskan piring kotor bekas mereka makan dan menaruhnya di wastafel.
"Seharusnya kau mengambil libur di akhir pekan agar kita mempunyai waktu luang berdua." Erwin berdiri. Mengambil tas yang tersender di kaki kursi.
"Akan aku pikirkan." ia berjalan mengekori Erwin menuju pintu depan. Laki laki pirang itu duduk memakai sepatu pantofel nya lalu berdiri menuju pintu.
"Kalau begitu aku pergi." ia mencium pelan bibir Levi sebelum membuka bidang datar itu.
"Jangan lupa makan bekal siang mu."
"Aku tidak akan pernah lupa."
Baru saja ia akan berjalan menuju tempat kerjanya. Suara anak kecil menyapa nya.
"Selamat pagi Tuan Smith." Ucap si bocah yang berumur 6 tahun itu.
"Oh,selamat pagi iuga Isle." Erwin berjongkok mensejahterakan tinggi badannya dengan bocah di depannya,"Apa kau mimpi indah semalam?."
Isle mengangguk dengan semangat"Hu'um. Tadi malam aku beltemu dengan ultlamen. Lalu dia mengajak ku untuk telbang di atas selu sekali." suara cadel dari Isle itu membuat Erwin tertawa pelan. Tangan bacah itu tak hisa diam saat ia bercerita. Seolah ingin menggambarkan betapa menyenangkannya mimpi tadi malam.
"Benarkah?." wajah Erwin terlihat terkejut,"Aku harap aku bisa bertemu dengan Ultramen juga."
Baru saja Isle ingin mengatakan bahwa jika ia bertemu lagi dengan ultramen ia akan meminta Ultramen mengajak Erwin, tetapi suara neneknya yang memanggil nya dari kejauhan untuk menyuruhnya segera bergegas pergi sekolah.
"Sepertinya nenek mu memanggil mu , Isle." kata Erwin menatap nenek Isla yang berada jauh memanggil cucunya.
Isle langsung merengut sebal, " Padahal Isle ingin belbicala lebih lama dengan Tuan Smith."
Erwin mengelus lembu rambut bocah itu, " Kau bisa datang kapan saja ke apartemen ku. Lalu kia berdua bisa bercerita lebih banyak nantinya. Tentu saja dengan cemilan dan minuman. Bagaimana?."
Mata Isle langsung berbinar cerah," Benarkah? kau tidak bohong kan? kau janji kan?."ia langsung memberondong pertanyaan ke Erwin. Jari kelingkingnya telulur meminta Erwin untuk berjanji,"Janji kan?."
Erwin menyambut jari kelingking itu," Janji." katanya.
Isle tersenyum lebar. Ia berbalik pergi menuju ke tempat neneknya yang sedang menunggunya sebelum melambai dengan semangat, " Dadah Tuan Smith!" lalu bocah itu menggandeng tangan neneknya dan berjalan menuju ke sekolah.
"Sampai kapan kau terus berdiri di situ?." tanya Levi yang menyenderkan badannya ke kosen pintu sambil melipat kedua tangannya di dada, membuat Erwin terkejut.
"Levi? sejak kapan kau berdiri di situ?."
"Sejak kau berbicara dengan Isle." katanya pendek,"Cepat berangkat atau kau akan terlambat."
Erwi terkekeh mendapati sikap Levi yang memerintah seperti seorang ibu,"Baik baik." Ia mencium kening Levi dengan sayang. Sebenarnya Erwin ingin mencium tepat di bibi Levi, tetapi karena mereka sedang berada di luar dan bisa saja para tetangga memergoki mereka sedang berciuman, maka malulah mereka. Yah.. walaupun tetangga sudah tau bahwa Erwin dan Levi adalah pasangan gay yang sudag menikah.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Erwin melambai sebelum berjalan menuju tempat kerjanya.
"Selamat jalan." matanya terus memandangi punggung Erwin hingga pria priang itu hilang di pertigaan jalan.
Levi masih berdiri. Ia masuk ke dalam, mengunci pintu dan merebahkan diri di sofa. Ia menghela nafas. Seharusnya yang ia lakukan sekarang adalah mencuci piring dan menjemur pakaian lalu membuka cafe miliknya. Bukannya malah merebahkan diri sambil menatap langit lewat balkon.
Pikirannya menerawang ketika Erwin mengobrol ringan dengan Isle, tetangga mereka. Levi tahu. Erwin sangat suka dengan anak kecil. Tidak! Erwin bukan seorang pedoifl yang suka dengan anak kecil lalu memperkosanya. Erwin lebih seperti seorang ayah yang sangat menyayangi anak nya.
Ayah ya?
Levi menghela nafas lagi. Jika mendengar kata ' anak' maka pikiran nya langsung memikirkan Erwin. Sudah 2 tahun mereka nikah. Dan sudah dua tahun juga mereka hanya hidup berdua. Tanpa ada seorang anak yang membuat ramai apartemen mereke. Sebenarnya sih kadang kadang anak anak tetangga suka mendengar cerita Erwin di apartemen mereka. Tapi itu kadang kadang. Tak selamanya.
Tentu saja itu mustahil!
Levi tersenyum kecut. Mereka pasangan gay ingat? Jadi Levi tidak mempunyai rahim yang bisa mengandung. Mereka bisa saja mengadopsi anak dari panti asuhan dan mengasuhnya seperti anak sendiri. Tetapi itu hal yang sangat berbeda. Mengasuh anak yang keluar dari rahim sendiri lebih apa ya istilahnya. Istimewa mungkin?
Levi ingin merasakan bagaimana perutnya selama 9 bulan mulai membesar secara perlahan. Ia ingin merasakan bagaimana ketika bayinya kelak menendang di perutnya sat Erwin mengusap pelan perutnya. Levi sangat tahu bahwa melahirkan itu sangat menyakitkan. Sakitnya setara dengan patahnya 20 tulang rusuk secara bersamaan. Menyakitkan bukan?
Ia dan Erwin pernah mengunjungi Petra, teman mereka saat melahirkan. Dan disitulah ia ahun bagaimana kerasnya Petra berjuang untuk melahirkan anaknya ke dunia. Ditemani oleh suaminya, Oluo yang terus menggenggam erat tangan istrinya seolah ingin membagi rasa sakit dan kekuatan secara bersamaan. Yang membuat hati Levi berdesir ketika mendengar suara tangisan bayi Petra dan Oluo. Menangis sangat kencang sekali hingga rasanya kuping Levi ingin pecah, api beberapa detik berikutnya ia tersenyum ketika melihat Petra tesenyum lemah sambil meliha bayinya di gendong oleh Oluo. Oluo sendiri menangis bahagia. Dan hal yang membuat hati Levi teriris adalah ketika melihat raut sendu Erwin saat menggendong bayi Petra.
Laki laki bermata abu abu itu mengusap perut ratanya. Seandainya ia terlahir sebagai perempuan. Mungkin dia bisa memberikan keturunan kepada Erwin.
"Seandainya aku bisa hamil." guman Levi sambil menatap langit.
TBC...
Ps : Halooo semuanya!! kenalin gw author amatiran yang baru pertama kali nulis ffn. Gw udh 2 tahun jadi pembaca dan memutuskan untuk membuat ffn yaoi sendiri :v. Kritik dan saran nya jangan lupa yaa :v
Ripiewww pliss! :v
