Summary :

Tinggal di Amerika selama 3 tahun membuat seorang Kagami Taiga mengalami trauma karena pembully-an yang dialaminya di sana dan membuat orang tuanya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, Jepang.

Tapi, apa yang terjadi jika ternyata kepulangannya ke Jepang membuatnya menemukan fakta baru dan kumpulan pelangi yang terobsesi padanya?

.

.

.


Ohayou, Taiga-chan~

© riryzha

Kuroko no Basuke

© Fujimaki Tadatoshi

Warning: OOC, typo, dan segala ke-absurd-annya


.

.

.

Ia berdiri merapatkan punggungnya ke tembok bercat merah. Kedua tangannya saling bertaut sementara dua ibu jarinya bergesekan tanpa pola yang teratur. Decit sepatunya yang bergesekan dengan lantailah teman satu-satunya selama ia menunggu di lorong panjang yang penuh dengan kenangan. Kenangan pahit, tentu saja.

Manik berwarna ruby-nya bergerak ke kanan dan ke kiri. Telinganya bergerak-gerak. Mata dan telinganya tengah dalam mode awas. Mencoba fokus kalau-kalau ada bayangan, suara tawa, ataupun gema langkah yang mendekati tempat posisinya berdiri saat ini. Ketika tak mendapati apapun, ia menghembuskan nafas yang ditahannya tanpa sadar.

'KRIEETT'

Dengan cepat ditolehkan kepalanya ke sumber suara.

"Aku menyesal memilih sekolah ini, Saika."

"Tenang sayang. Yang penting kita sudah membuat keputusan yang tepat."

Muncul dari balik pintu dua sosok yang sangat dikenalnya. Pria dengan setelan jas warna hitam dan kemeja merah sewarna dengan rambutnya dan wanita cantik dengan dress berwarna merah maroon dan rambut hitam sedikit kecokelatan yang dibiarkan tergerai sampai sepunggung.

"Mom, Dad…" Ujar anak perempuan yang sedaritadi menunggu di lorong depan ruangan kepala sekolah.

Keduanya segera berjongkok di hadapan anak perempuan mereka satu-satunya.

"Maafkan kami sayang."

Sang ibu segera merengkuh tubuh putrinya dan menangis. Disusul ayahnya yang memeluk keduanya.

"No problem, Mom…. I'm not angry with you."

Gadis kecil dengan rambut gradasi merah – hitam kecokelatan itu mengusap pelan punggung tangan kedua orang tuanya.

"But, Taiga-"

"I'm alright, see?" Sedikit menjauh dari kedua orang tuanya, gadis itu tersenyum lebar hingga nampak barisan berwarna putih dibalik bibirnya.

Walau begitu, kedua orang tuanya mengerti bahwa anak kesayangan mereka hanya tidak ingin membuat mereka cemas dengan apa yang terjadi dengannya dan kumpulan luka lebam di tangan, kaki serta punggungnya.

Sang ayah, Kagami Reo, segera mengangkat tubuh putrinya dan menggendongnya di belakang.

"D-dad! Turunkan aku!" Ia memukul pelan punggung ayahnya dengan satu tangan sementara tangan yang lainnya menutupi wajahnya yang merah padam.

Ayah dan Ibunya hanya tertawa sambil berjalan menuju mobil hitam mengkilap yang dikerubungi anak-anak seumuran gadis tersebut.

'Ahem!'

Semuanya menoleh ke arah ketiganya. Taiga segera menyembunyikan wajahnya di leher ayahnya dengan tubuh yang gemetar sementara ayah ibunya menatap tajam mereka yang membelalakkan mata.

Dengan sigap supir pribadi keluarga mereka keluar dan membukakan pintu untuk ketiganya.

Mengabaikan tatapan tidak percaya anak-anak tersebut, Kagami Reo memerintahkan sang supir untuk segera pergi dari tempat itu.

"Sepertinya kau tidak bilang tentang posisimu kepada mereka, Taiga."

Reo menatap putrinya yang membuang muka ke arah kaca mobil.

"Aku tidak ingin mereka memanfaatkanku dan berpura-pura menjadi temanku, Dad."

Keduanya tersenyum. Sementara sang supir yang mendengarnya hanya bisa mengangguk bangga dengan lil' miss kesayangan seluruh penghuni rumah.

"Anata, apa sebaiknya kita kembali saja ke Jepang?" Tanya Saika.

"Jepang?" Ujar Taiga dan Reo bersamaan membuat keduanya tertawa.

"Ya, Jepang. Temanku memiliki sekolah yang cukup terkenal di sana. Ingat Akashi Shiori?"

Reo mengangguk.

"Dia pemilik sekolah Teiko Academy. Tempat yang tepat untuk menitipkan Taiga. Jadi, kita bisa memantau Taiga sekaligus menambah koneksi ataupun membuka cabang di sana."

"Bagaimana menurutmu, Taiga?" Keduanya menoleh ke arah Taiga.

"Ah, aku tidak masalah." Taiga tesenyum walau jantungnya berdebar ketakutan.

"Baiklah! Kalau begitu sudah diputuskan minggu depan kita semua akan pindah ke Jepang!"

Taiga hanya bisa berdo'a dalam hati semoga orang-orang di Jepang tidak membully-nya seperti di Amerika.

~Ohayou, Taiga-chan~

"Bantu aku meletakkan kaca itu di sana. Bukan, bukan di sana. Di ujung sana. Perfect!"

"Sora, kau sudah mengurus semua berkasnya bukan? Ya, yang itu. Jangan sampai ada noda atau lecet sedikitpun!"

Taiga memandang takjub kedua orang tuanya yang sudah sejak dua jam yang lalu bolak-balik tanpa henti di hadapannya. Merasa lelah melihatnya terus-menerus, akhirnya Taiga buka suara.

"Mom… Dad…" Panggilnya pelan tanpa membuahkan hasil sehingga ia harus berteriak.

"MOM! DAD!" Keduanya pun menoleh.

"Ada apa, Taiga?"

"Bolehkah aku berkeliling di sekitar sini? Aku ingin mencari court terdekat dari sini." Ujarnya seraya memegang bola oranye di tangan kanan sementara tangan kirinya mengusap belakang kepala.

Keduanya menghela nafas.

"Sepertinya mengenalkan Alex padanya merupakan sebuah kesalahan, Saika. Lihat anak kita. Menjadi basukebaka seperti ini."

"Dad!" Wajah Taiga merah padam karena malu.

"Baiklah, baiklah. Sudah bawa ponselmu?" Taiga mengeluarkan ponsel merah dari dalam jaket hitamnya.

"Kalau begitu aku pergi dulu!"

"Jangan lupa pulang sebelum jam makan malam!" Teriak Saika begitu Taiga berlari melewati pintu utama yang berwarna putih.

"Tentu!" Balasnya yang kemudian memakai hoodie untuk menutupi kepalanya.

"Sepertinya kita harus membuat lapangan basket di belakang rumah." Reo berjalan mendekati jendela yang menampakkan view belakang rumah mereka.

"Kau semakin memanjakan Taiga, Reo." Saika menatap tidak percaya suaminya.

"Bilang saja kau tidak ingin gazebo di sana harus rata dan berganti dengan aspal court." Reo tertawa begitu melihat istrinya menggembungkan pipi dan membuang muka.

.

.

.

Butuh waktu lima belas menit untuk bisa menemukan lapangan basket di sekitar rumahnya. Dan butuh waktu lima menit untuk memeriksa sekitar. Setelah merasa suasana di sana benar-benar sepi, barulah Taiga melepas jaketnya. Menampilkan t-shirt merah yang melekat di tubuhnya serta bentuk tubuhnya yang slim. Menunjukkan pada dunia tentang 'asset' nya yang cukup besar.

Tubuh Taiga terbilang perfect. Pinggang yang ramping, tinggi di atas rata-rata orang Jepang dan badan tanpa lemak yang menumpuk.

Tapi mengapa Taiga dibully selama di Amerika?

Warna rambutnya kah?

Taiga bergidik dan segera memegang rambutnya yang dikuncir satu. Masih teringat jelas di dalam memorinya saat beberapa anak sekolahnya menarik keras rambutnya hingga rontok beberapa helai, menyiram kepalanya dengan air kotor yang sangat bau, dan melemparinya dengan telur busuk.

Atau mungkin alis bercabang miliknya?

Taiga meringis ketika harus mengingat saat ada anak perempuan yang mencabut alisnya hingga ia meringis kesakitan. Membuat satu kelas tertawa mengejek.

Mungkinkah matanya?

Taiga hampir menangis saat ingat ada anak laki-laki yang dengan sengaja melemparinya dengan garpu. Untung saja karena latihan basket membuatnya bergerak cepat menghindari garpu yang hampir mencolok matanya.

Taiga segera menepuk keras kedua pipinya saat air mata hampir jatuh dari kedua matanya.

"Yosh! Saatnya main!"

Taiga segera membuang ingatan menyakitkan tersebut dan memposisikan diri di tengah lapangan sambil mencengkram bola di tangannya.

.

.


Halo guys!

Kembali lagi dengan riryzha! *wohoooo

Sebenarnya, aku ingin bikin ini jadi one-shot karena kefikiran hutang nulisku terlampau banyak *hiks

Tapi aku kefikiran kalian dan ingin sekali nanya kepada para readers. Jadilah aku posting dulu sampe sini nanti ku lanjut tergantung respon terbanyak, tentu saja.

Apa yang harus aku lakukan dengan ini?

One-shot, ataukah multi-chapter?

Atau dihapus saja?

Ditunggu komentarnya!