Disclaimer: Naruto©Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Tragedy/Hurt-Comfort
Rated: T
Warning: Sakura's POV, AU, OOC, typoo's, psychological, abused, sedikit kata-kata kasar, dan maaf jika ada banyaknya kesalahan dalam EYD
My Savior by Yara Aresha
PROLOGUE
Kehidupanku saat ini meliputi; bangun tidur, makan makanan apapun yang bisa kumakan, melakukan ribuan tugas harianku di rumah tanpa pernah menginjakkan kakiku keluar, mendapatkan pukulan dari ayah yang berulangkali, dan akhirnya tertidur di penghujung hari di atas tempat tidur nyamanku―lari dari kenyataan yang buruk. Semua orang pasti berpikir kehidupanku ini sangat menderita. Jawabannya adalah iya, dan aku sangat membenci semua ini. Aku selalu berpikir, mengapa aku hidup? Mengapa ibu membiarkan aku untuk hidup? Aku menjalani kehidupanku untuk ibu, bukan untuk diriku. Aku bahkan tidak peduli lagi dengan diriku. Tapi sekarang ibu sudah tiada, lalu untuk apalagi aku hidup? Sementara tujuan hidupku hanyalah untuk ibu.
Ayah selalu berkata bahwa aku tidak pantas untuk hidup. Ayah mengatakan hal itu kepadaku setiap hari, tapi aku heran mengapa ayah tidak membunuhku saja. Sebagai gantinya, ayah lebih memilih untuk menyiksaku dan membuatku menderita. Aku tahu, mungkin ini adalah bentuk hukuman karena aku yang telah membuat ibu meninggal. Padahal aku selalu meyakinkan ayah, itu bukan kesalahanku. Meskipun jauh di lubuk hatiku, aku tidak dapat menyangkalnya, bahwa kematian ibu merupakan kesalahanku. Oleh karena itu, aku menerima segala bentuk penganiayaan yang ayah lakukan kepadaku, dan kubiarkan diriku sendiri berkubang di dalam kehidupan yang jauh dari kata bahagia ini. Mungkin dengan bunuh diri aku akan terlepas dari semua perlakuan buruk ayah dan bertemu dengan ibu, tapi itu terlalu menakutkan untukku. Bunuh diri adalah hal tercela, dan yang aku tahu Tuhan tidak akan menerimanya.
.
.
"SAKURA!" aku sedikit tersentak dengan teriakan dari arah pintu masuk. Di sana aku melihat ayah baru saja pulang dengan tampang berantakan.
Aku tidak yakin apakah ia dalam keadaan normal. Mungkin ayah dalam keadaan mabuk. Jika tidak, suasana hatinya tidak akan berubah secepat ini dan penampilannya tidak akan seperti ini. Dengan takut, aku berjalan mendekati ayah. Aku berusaha untuk patuh. Seperti biasanya, aku tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.
"Tidak akan berbicara, heh? Ah...kau anak pintar, lagipula aku tidak suka mendengar suaramu," suara ayah bergetar dan tercium aroma alkohol yang begitu menyengat. Tanpa diragukan lagi, ayah sedang mabuk.
Kulihat ayah mengambil ancang-ancang untuk memukulku, ia mengangkat lengan kanannya. Dengan cepat, aku memejamkan mataku, bersiap untuk menerima tamparan ayah.
Plak
Tidak menunggu waktu lama, detik berikutnya ayah sudah menampar wajahku, menimbulkan sensasi yang pedih. Sakit memang. Tapi, ini hal yang biasa, jadi nyaris tidak mengusikku lagi.
"Kau tahu hari apa ini? Hik..." kata ayah disertai dengan cegukan.
Aku membuka mataku secara perlahan dan mengangguk sebagai jawaban. Kutatap lantai di bawahku, sungguh aku benar-benar takut menatap mata ayah saat ini. Namun, belum lama aku menghindari tatapan ayah, ia secara paksa meraih kepalaku. Menjambak rambutku, sehingga kami saling bertatapan. Aku menelan ludahku, berharap ayah tidak akan menamparku lagi.
"Kau berusia enam belas tahun hari ini," ujar ayah, kini wajah senjanya dihiasi dengan seringaian yang menakutkan. "Dengan kata lain, kau sudah dewasa. Jadi aku tidak perlu mengurusmu lagi! Aku tidak perlu melihat wajah burukmu lagi, dasar anak sialan!" sambung ayah dengan nada yang meninggi.
Sakit... Rasanya begitu sakit ketika ayah memperlakukan aku seperti ini. Apa salahku? Aku hampir menangis, tapi aku tidak ingin terkena tamparan ayah lagi. Aku tetap berdiri tegak, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian ayah menatapku tajam dan menampar wajahku sekali lagi. Ayah memutar tubuhku dan mendorongku dengan kuat sehingga menubruk pintu di belakangku.
"Pergi!" Ayah berseru.
Aku menggelengkan kepalaku, menunjukkan bahwa aku tengah memohon agar ayah membiarkan aku tetap tinggal.
"CEPAT KELUAR PEMBUNUH!" teriakan Ayah kali ini membuatku sangat ketakutan. Lalu, tanpa berpikir panjang aku segera berlari keluar. Pergi meninggalkan rumah yang begitu banyak menyimpan kenangan―meskipun sebagian besar buruk.
.
.
Setelah keluar dari rumah. Aku mulai berjalan tak tentu arah. Aku merasa takut dan bingung berkeliaran di luar seperti ini. Bagaimana bisa ayah mengusirku dari rumah? Bagaimana cara aku hidup setelah ini? Aku benar-benar tidak bisa berpikir dan tidak ingin membayangkan masa depanku. Aku merasa tidak punya alasan untuk hidup lagi.
Ibu... Aku mencintai ibu. Aku lebih baik mati daripada menderita seperti ini. Aku lebih memilih pergi ke tempat ibu. Kumohon, tolong aku.
Akhirnya, setelah sekitar satu jam, aku terjatuh di sebuah gang yang gelap dan aku mulai menangis. Hari sudah malam, kemana aku harus pergi? Aku tidak punya tujuan, keluargaku satu-satunya di sini hanya ayah. Aku terus berpikir, sebersit pemikiran untuk bunuh diri melintas di otakku, dan kemudian segala masalahku akan terselesaikan. Tapi, untuk beberapa alasan aku takut. Tuhan, mengapa aku begitu menyedihkan sekarang? Aku merasa kepalaku pusing. Aku memutuskan untuk duduk sebentar di gang sempit ini, meletakan kepalaku di pangkuan kakiku, dan mendorong lututku ke depan dadaku. Aku mulai menangis lagi tanpa suara. Aku tidak pernah menangis dengan suara, karena ayah pasti akan memukuliku jika aku melakukannya. Bahkan suara kecilku pun membuat ayah marah, ayah tidak pernah membiarkan aku untuk berbicara. Menyedihkan, aku benci hidupku.
Aku menyapukan pandanganku ke seluruh penjuru gang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sana. Hanya ada kegelapan dan kesunyian, sama sepertiku. Mungkin gang ini cukup aman untukku. Aku bisa beristirahat sejenak di sini, mataku sudah lelah, tubuhku pun terasa begitu remuk. Aku ingin tidur, setidaknya dengan tidur aku bisa sebentar saja lari dari kenyataan, bukan? Setelah memastikan bahwa tempat ini cukup aman, aku mulai memejamkan mataku. Namun, belum lama aku mencoba untuk terlelap. Tiba-tiba saja kudengar suara langkah kaki dan terhenti di depanku. Aku mendongak dengan wajah yang basah karena airmata, sedikit takut jika orang ini adalah ayahku atau orang jahat. Tapi, aku terkesiap ketika melihat di depanku adalah seorang laki-laki yang ku taksir usianya sebaya denganku. Ia memiliki rambut hitam legam, serasi dengan manik matanya yang menawan. Dalam pencahayaan yang minim ini, aku masih bisa melihat wajahnya yang tampan. Kedua mata kami saling bertatapan. Kupandangi ia dengan penuh harapan, mungkin saja ia adalah malaikat yang Tuhan kirimkan untuk menjemput nyawaku atau bahkan menolongku. Saat ia tersenyum kepadaku, entah mengapa membuatku merasa lebih nyaman. Kemudian secara perlahan, ia mengulurkan tangan kanannya dan meraih tanganku. Tuhan, benarkah ini? Laki-laki itu menyelamatkanku. Dia malaikatku.
PROLOGUE END
