Naruto © Masashi Kishimoto
This Fiction © Sakura Hanami
.
.
.
Putra Duyung
.
.
.
Sasori A. and Sakura. H
Rate: M for gore content
Genre: Fantasy, gore, romance
Warning: No Lemon, typo dan OOC
.
.
.
For SasoSaku Event
A Lifetime of Memories III
Places and Space: Sea
Chapter 1
.
.
.
Aku menyukai laut bukan tanpa alasan. Hanya dengan memandang biru airnya saja, kepalaku terasa dingin. Cukup dengan melongokkan kepala ke bawah kapal pesiar kecil yang biasa kutumpangi bersama ayah, melihat terumbu karang serta ikan-ikan indah nan lucu membuatku ingin berdiving ria sampai bosan. Hanya dengan memijak pasir putih pantainya saja, aku sudah benar-benar ingin membangun istana impian disini. Bukan istana jadi-jadian yang dibentuk dengan ember dan sekop. Tapi istana yang sebenarnya. Cukup dengan menghirup aroma garamnya saja, gejolak hatiku sirna dan hanya dengan merasakan semilir anginnya, aku ingin sepanjang hari tertidur disini.
Sederet alasan berunsur logis diatas pastinya bisa diucapkan orang lain selain aku. Tapi aku mempunyai satu alasan yang pasti tidak akan bisa diutarakan oleh siapapun. Hal yang membuatku begitu menggilai laut adalah karena ayahku. Kecintaan beliau pada samudera berhasil ditularkannya dengan selalu mengajakku mengarungi laut diakhir pekan. Berlayar mengelilingi kepulauan Jepang, memancing, menyelam bersama, atau terkadang kami sengaja menginap di kapal hanya untuk melihat pemandangan elok langit malam. Kenapa aku tidak bosan? Aku bukannya tidak bosan, tapi tidak bisa bosan.
Oh iya. Aku sampai lupa. Kami juga sering bercerita—lebih tepatnya, hanya ayah saja yang bercerita. Biasanya sih tidak jauh-jauh dari topik 'laut' itu sendiri. Seperti misalnya misteri segitiga bermuda. Kadang kala dia membahas tentang pencemaran air yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Kemudian, ayah juga pernah berceloteh mengenai para pemburu paus di Indonesia dan tentang perjalanan Colombus.
Tidak hanya seputar fakta dan realita, tapi legenda maupun cerita mistis yang berhubungan dengan laut juga ayah bahas. Seperti tentang kappa, siluman air yang terkenal di masyarakat Jepang sendiri. Atau tentang dewa laut dari barat sana, sang Poseidon yang gagah.
Tapi dari banyaknya kisah yang ayah ceritakan, hanya satu tema yang sangat kusukai dan kebetulan sekali masuk kedalam kategori legenda. Yaitu, kisah tentang putri duyung. Aku yang saat itu berumur sepuluh tahun begitu menggilai tokoh Ariel si duyung baik hati karangan Disney. Selain karena jalan ceritanya yang menarik, aku menyukai Ariel karena dia berhubungan dengan 'laut'.
~PD~
"Kau yakin tidak mau menebak apa yang ingin ayah ceritakan hari ini, Sakura?" Mata coklat dengan keriput di ujung-ujungnya itu melirik jenaka.
Sakura kecil yang duduk bersebelahan dengan lelaki berambut merah jambu tua itu menggeleng. Netra emeraldnya memancarkan cahaya keyakinan kepada si ayah yang tengah memegang pancingan. "Tidak. Aku yakin apa yang ingin ayah katakan selalu menarik."
Tawa pria itu meledak. Tangan kirinya sengaja meninggalkan batang hitam berkail cacing untuk mengacak rambut pendek sang putri tunggal. Membuat Sakura memekik karena helaiannya berantakan. "Kau benar-benar keras kepala diumur sekecil ini."
Pipi ranum bocah itu menggembung lucu. Niatnya memasang wajah marah, tapi Kizashi Haruno justru lebih tergelak dan semakin keras mengacak rambut serupa dengannya itu.
"Ayah apa-apaan sih!" Sakura bersedekap setelah menepis tangan besar pria itu.
Sebenarnya tenaga putrinya hanya seujung kuku. Tapi melihat bibir Sakura yang mencebik membuatnya menarik diri. Jadi yang terlihat adalah seolah Sakura berhasil menghalau tangannya. Padahal tidak begitu.
"Jangan ngambek dong, Saku." Kizashi mencubit gemas pipi tembam Sakura yang langsung mengaduh kesakitan. "Nanti ayah tidak jadi ceritakan kisah yang menarik, lho."
Gadis kecil itu sudah hampir membuang muka, jika sang ayah tidak cepat memancing perhatiannya. Kizashi menahan tawa saat Sakura dengan sigap memasang wajah memelasnya. "Jangan dong, yah."
Ganti pria itu yang memajukan bibir bawah. Wajahnya juga sudah tidak mengarah kepada Sakura lagi. Melainkan telah kembali fokus pada benang pancing yang tidak bergoyang sedikit pun sejak lima belas menit lalu. "Tidak mau. Sakura ngambek gitu."
Gadis itu terperanjat. "Enggak! Sakura gak ngambek! Coba ayah lihat. Saku lagi tersenyum ini."
Benar saja, Kizashi yang melirik malas mendapati putri musim seminya itu berkata benar—hampir benar sebenarnya. Apa yang tengah dilakukan Sakura saat ini bukan tersenyum, tapi tengah memamerkan deretan gigi susu.
Ide jahil masih berkeliaran di kepala Kizashi. Jadilah ia melengos lagi. Berpura-pura tak acuh.
Justru Sakura yang kelimpungan. Ia goyang-goyangkan lengan kiri ayahnya. "Ayolah, ayah. Jangan ngambek, dong."
Lima detik kedepan, suasana kapal hanya diisi oleh suara rajukan Sakura. Tapi di detik keenam, Kizashi yang tiba-tiba menoleh, seketika memunculkan tatapan kebahagiaan sang putri.
"Baiklah. Tapi ada satu syarat."
"Apa?"
Pria itu menyeringai tipis. "Nanti malam kau harus memijat ayah sampai tertidur."
Bibir Sakura yang melengkung indah reflek berubah menjadi satu garis lurus. Memijat ayahnya sampai tertidur itu bukan hal yang mudah. Tubuh sang ayah yang besar dan penuh daging itu bagaimana bisa merasakan pijatan dari seorang anak kecil sepertinya? Hal itu sudah pernah ia lakukan sekali dan apa yang terjadi? Bukan ayahnya yang tertidur, tapi justru dia yang jatuh dalam kantuk.
Kizashi mengernyit curiga. Putrinya itu terlalu lama berpikir. "Kau mau menolak?"
Sakura melarikan matanya kebawah. Ia juga mulai menggigit bibirnya. Ciri khas saat ia mulai gugup. Hanya ada dua pilihan dan semuanya memiliki untung ruginya tersendiri.
"Bagaimana?" Kizashi mendesak.
Pilihannya adalah pada yang memiliki keuntungan lebih banyak.
Pria itu mendesah kesal."Baiklah, Saku. Ayah tidak akan—"
"—Aku bersedia." Menyela di kalimat yang tepat, eh.
Hening. Ayah dan anak itu saling bertukar tatapan. Kizashi terpana sedangkan Sakura penuh harap. Senyum sang ayah yang terkembang menjadi pihak pertama yang mengusir sepi.
"Terima kasih, Sakura." Kali ini anak perempuan itu tidak menolak gerakan kasar tangan Kizashi dikepalanya. Ia hanya tersenyum pendek sambil berharap dalam hati, semoga dia bisa memijat ayahnya dengan benar.
"Oke, akan ayah mulai." Lelaki itu berdeham pelan setelah mengembalikan atensi ke pancingan yang masih juga tidak menunjukkan tanda-tanda ada ikan di kailnya.
Sakura semakin merapatkan duduknya pada Kizashi dengan lutut ditekuk. Emeraldnya juga mengikuti arah tatapan sang ayah. Ia siapkan juga telinganya baik-baik. Ia yakin cerita kali ini luar biasa. Lebih luar biasa dari kemungkinan adanya black hole di segitiga bermuda yang ia tahu hanya ada di ruang angkasa.
"Ayah sudah pernah bercerita bahwa putri duyung merupakan makhluk legenda yang hidup dilaut. Sesuai dengan namanya, ia berjenis kelamin wanita. Tapi di dunia ini, baik yang nyata maupun yang tidak diketahui kebenarannya, semua makhluk diciptakan berpasang-pasangan." Kizashi melirik ke kiri. Tarikan bibirnya semakin terkembang saat melihat ketertarikan yang sangat di iris gadis kecilnya. Respon itu mengartikan bahwa kalimat pembukanya berhasil memikat anak itu.
"Berarti selain putri duyung, ada putra duyung juga?" Sakura menyimpulkan dengan sedikit memekik. Imajinasinya mulai membayangkan tubuh pria tegap berekor ikan. Kesan gagah sekaligus elok terbayang sempurna dalam benaknya.
"Anak pintar." Kepala merah jambu kecil itu diusap lagi oleh Kizashi. Benar saja apa kata guru-guru di sekolah. Putrinya memang cerdas.
"Lanjutkan, ayah!" Kali ini gadis itu benar-benar berteriak. Kizashi sampai meringis sambil melindungi telinga kirinya dengan tangan yang ia gunakan untuk mengacak rambut si anak tadi.
Dia mendesah tak habis pikir. "Badanmu kecil, tapi suaramu keras sekali."
Sakura justru tertawa tanpa dosa. "Ayo lanjutkan, ayah."
"Baik-baik." Kizashi mengangguk sambil menghadapkan kepalanya ke depan lagi. Sakura disisinya semakin melebarkan mata. Dari sudut iris, ia bisa melihat kefokusan anaknya telah mencapai puncak.
"Jika putri duyung memiliki sifat berhati mulia dan menolong orang-orang yang tercebur ke laut, tidak dengan putra duyung." Kizashi sengaja mengambil jeda untuk menarik napas.
Namun tidak dengan asumsi Sakura. Bocah sembilan tahun itu justru mengganggap diamnya sang ayah adalah karena tengah menyiapkan kalimat berisi suatu informasi mencekam.
"Putra duyung tidak akan menyelamatkan orang-orang yang tenggelam. Mereka justru menjadi penyebab hilangnya orang-orang dilaut." Kizashi menelan ludah. Sekedar untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Wajar saja, sudah lewat lima belas menit sejak kapal pesiar ini mengangkat jangkarnya dan selama itu pula ia belum meneguk air.
Namun sekali lagi, tanggapan dan kesimpulan yang berbeda ditarik oleh si anak. Iris sewarna daun itu melirik takut air senyap yang menggoyang kapal dengan pelan. Semakin ke sini, bulu-bulu halusnya justru berdiri. Telapak tangannya perlahan-lahan mendingin kala sapuan angin laut yang sebetulnya hangat menerpa.
"Seperti dalam cerita The Mary Celeste, sebuah kapal dagang yang ditemukan terapung-apung tanpa penumpang di Samudera Atlantis pada tahun 1872. Banyak spekulasi yang menyebutkan bahwa bisa saja para awaknya tersapu ombak, dijarah perompak atau adanya pemberontakan. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa penumpaknya berhalusinasi setelah memakan jamur beracun sehingga sengaja menceburkan diri."
Sang ayah kembali diam untuk menarik napas, sedangkan Sakura mengedipkan matanya dua kali. Ia sudah pernah mendengar cerita horror tentang kapal itu.
"Namun, jika memang Mary Celeste didatangi bajak laut, atau disapu ombak, pasti kondisi geladak berantakan. Atau jika ternyata para penumpang memakan jamur beracun, pasti ditemukan piring-piring kotor. Tapi nyatanya, kondisi kapal rapi. Layarnya masih terkembang dan tidak ada barang-barang yang hilang."
Jeda lagi. Kali ini, Sakura menelan saliva gugup.
"Entah apa yang terjadi dengan kapal itu, sampai sekarang tidak ada yang tahu. Kemungkinan yang paling terkenal hanya empat macam itu. Tetapi kabar-kabar yang beredar di masyarakat justru sebaliknya." Kizashi menoleh ke arah Sakura. Sengaja memasang wajah serius penuh teka-teki. Sengaja menguji daya pikir sang anak.
Pada kenyataannya, sudah sejak awal Sakura sendiri merangkai satu dua hipotesa. Dari awalnya tentang putra duyung, sampai pada cerita horror Mary Celeste yang awaknya hilang misterius. Kalau dia benar, berarti sambungan dari kalimat ayahnya yang terakhir adalah…
"Mereka justru beranggapan bahwa raja laut murka karena kapal dagang itu tidak mempersembahkan sedikit angkutan mereka sebagai ucapan rasa syukur telah diberi keselamatan melintasi samudera. Itulah sebab dia mengirimkan pasukan putra duyung untuk menelan seluruh awak."
…Sesuai dugaan!
"Itulah sifat putra duyung yang bertolak belakang dengan putri duyungnya." Pria itu menutup hikayat kali ini dengan kesimpulan singkat nan padat.
Sakura mengangguk paham. Dari sini ia juga bisa menarik satu kata kunci. "Berarti, pada dasarnya putra duyung adalah tentara bawah laut."
"Benar sekali." Kizashi menjentikkan jari tangan kirinya. "Mereka hanya akan bertindak jika ada manusia yang tidak menghormati samudera atau yang bersikap sombong seperti dalam Mary Caleste."
Satu kalimat membangkitkan tanda tanya imajiner di atas kepala Sakura. Cepat ia menengadah. "Tidak menghormati samudera?"
Pria itu menggumam dengan kepala mengangguk. "Seperti merusak ekosistem laut dengan pukat harimau, sengaja mengotori pantai dengan sampah, mengeruk pasir pantai berlebihan, menebang pohon bakau atau tidak menghanyutkan sebagian harta sebagai wujud terima kasih."
Mulut Sakura membulat. "Berarti mereka menyerang karena ada alasannya."
"Tentu saja. Meski mereka adalah makhluk-makhluk ghaib. Tapi mereka tetap mengharapkan rasa hormat dan saling menghargai antar sesama ciptaan Tuhan." Kizashi tersenyum diakhir kata.
Tapi tiba-tiba raut wajahnya tampak terkejut. Seolah ada satu hal yang baru saja diingatnya. "Ah iya! Kau ingat apa yang menyebabkan Titanic tenggelam, Sakura?"
Gadis cilik itu bergumam panjang. Tengah menggali laci memorinya. "Menabrak gunung es?"
Bibir sang ayah kembali melengkung. "Benar. Padahal gunung es itu tidak tertangkap radar sebelumnya."
Bola mata Sakura seketika melebar. "Apa itu juga ulah putra duyung?"
Tangan kiri Kizashi menyentuh dagunya. "Kemungkinan dari sisi klenik begitu. Penumpangnya adalah orang-orang perlente yang tentu saja sombong. Titanic dirancang tidak akan tenggelam. Tapi ternyata."
"Benar juga." Sakura bergumam lirih dengan bahu terangkat. Bergidik ngeri.
Ayahnya tertawa pelan. Ia usap kembali kepala putrinya. Namun tidak keras seperti menit-menit lalu. Kali ini dia berusaha menenangkan kegelisahan sang anak. "Terlepas dari itu, yang paling masuk akal adalah semua terjadi karena takdir Tuhan. Tapi kita sebagai manusia juga hendaknya tidak menyangkal keberadaan mereka meski tidak bisa dibuktikan secara teori."
Lima detik Sakura terpana. Ayahnya adalah sosok yang bijak. Ia berikan sekali anggukan dan sebuah senyuman. "Ya ayah. Sakura mengerti."
Hari itu, Sakura tidak tahu bahwa bertahun-tahun kemudian hidupnya akan berhubungan dengan putra duyung.
~PD~
Aku memang selalu menyukai tiap frasa yang keluar dari mulut orang yang paling kusayangi itu dan aku juga selalu ingat dengan jelas setiap detil kisah yang ia ceritakan. Termasuk tentang legenda putra duyung.
Ambil sisi baiknya, bahwa sikap saling menghormati dan menghargai tidak hanya berlaku kepada sesama manusia. Tapi keseluruh makhluk ciptaan Tuhan baik yang nyata maupun yang kasat mata.
Beberapa tahun lamanya pembicaraan dikapal itu telah terlewat, kami berdua selalu menganggap samudera tak ubahnya sosok seorang sahabat. Aku juga tidak mendapati ayah melakukan hal-hal diluar kategori 'menghormati laut' seperti yang beliau jelaskan padaku dulu. Semua tetap terlihat indah sejauh mata memandang badan air paling luas dimuka bumi ini setiap akhir pekan.
Tapi ternyata, takdir berkehendak lain. Pada saat 11 Maret 2011 umurku masih dua puluh satu tahun. Waktu itu aku tengah mengikuti kuliah kerja nyata di perkampungan nelayan teluk Sendai. Seperti mahasiswa semester akhir pada umumnya, aku dan teman-teman sejurusan teknik kelautan dituntut untuk terjun ke masyarakat langsung. Jadi jangan heran jika kami juga ikut menarik jaring nelayan.
Aku sama sekali tidak masalah karena sudah sejak dulu akrab dengan samudera. Selain itu aku sangat bahagia karena tempatnya dekat dengan proyek pembangunan benteng anti tsunami yang tengah dikepalai oleh ayahku. Karenanya aku jadi mudah bercengkrama dengan beliau di waktu-waktu istirahat. Saat-saat bersama jadi lebih sering dari akhir pekan saja.
Seperti yang kubilang tadi. Pada tanggal 11 Maret 2011, tujuh belas hari sebelum ulang tahunku, lebih tepatnya saat aku tengah membantu melepas ikan dari jaring nelayan, air bah setinggi entah berapa meter itu datang mendadak. Mengangkat kapal-kapal besar, melibas seluruh isi daratan dan menghanyutkan benda-benda kecil termasuk manusia yang pada saat itu tak ubahnya kumpulan semut.
Sapuan ombak yang kelewat besar sempat meloloskan air asin ke lambungku. Tapi kontrol renang yang sudah terlatih sama baiknya seperti saat berdiving berhasil mengangkatku ke permukaan dan reflek, aku meraih papan kayu—yang entah kebetulan atau takdir juga—lewat di depanku.
Keadaan kacau balau. Sejauh netraku memandang, tidak ada lagi laut biru yang tenang. Porak poranda, berantakan, kotor, sampah berserakan dimana-mana, takut, panik dan jeritan yang terdengar bagai koakan burung bangkai bersahut-sahutan. Atap bumi berwarna sama kelabunya dengan air laut yang meluber ke daratan. Petir juga turut menggambarkan akar-akarnya. Gemuruh angin yang berpadu dengan suara kilatan bervoltase tinggi itu semakin menyemarakkan suasana. Pada saat itulah, aku teringat ayahku.
Dengan kalut aku menoleh kesana kemari. Menaruh harapan dapat menemukan ayahku tengah berpegangan dengan selonjor kayu sepertiku juga. Pasalnya beliau berangkat ke titik pembangunan di luar batas teritorial setelah makan siang bersamaku.
Tapi seperti yang kukatakan tadi, sejauh mata memandang tidak ada laut biru yang tenang. Setidak tenangnya hatiku kini. Aku adalah putri tunggal keluarga Haruno. Satu-satunya yang kumiliki hanya ayah setelah dia bercerai dengan ibu. Bagaimana aku bisa hidup jika sesuatu yang buruk menimpanya? Tanpa bisa kucegah, air mataku terjun dengan deras.
Kemudian ketika aku kembali mengecek sebelah kiri, suara yang amat kukenal meneriakkan namaku dari arah sebaliknya. Ketika kuarahkan mata kesana, syukur berulang-ulang terucap dalam hati. Kubalas lambaian tangan ayah sebelum berusaha menggeret tubuh melawan arus menuju beliau yang juga berenang mendekatiku. Sangat tidak mudah karena terjangan air serta jarak yang kuperkirakan enam sampai sepuluh meter jauhnya.
Namun ucapan terima kasihku pada sang pencipta terputus begitu saja saat aku melihat beliau merosot kedalam air dalam sekali kedipan mata. Seperti ditarik oleh seseorang—tidak. Ayahku memang ditarik seseorang! Aku bisa melihat sebuah kepala bersurai merah dibalik bahunya.
Dua detik aku terpaku. Sampai kemudian jeritanku pecah. Kuputuskan untuk menyelam. Aku harus menyelamatkan ayah, hanya itu yang kupikirkan. Tidak terlintas niat untuk menghantam wajah siapa pun orang jahat itu jika berhasil kutangkap.
Tapi sayang, seperti yang kubilang tadi, sejauh mata memandang tidak ada laut biru yang tenang. Kondisi dibawah air jauh lebih parah dari dipermukaan. Kejernihan samudera saat aku biasa menyelam lenyap. Keruh, abu-abu pekat—lebih pekat dari mendung diatas, berpasir dan banyak orang-orang setengah terapung. Perih dimataku tak berasa lagi saat melihat mata mereka yang terpejam. Suhu air laut juga semakin tidak bersahabat, mendadak rendah. Ketakutan mulai mengurungku dan sekali lagi, pikiranku langsung tertuju pada ayah.
Aku menoleh lagi secara brutal. Di sebelah kanan, tidak ada orang berpakaian terusan seperti milik pekerja proyek. Di sebelah kiri, justru ada lima mayat entah siapa identitasnya. Sekali lagi, kupanjatkan doa, semoga beliau tidak menjadi salah satu orang-orang tak bernyawa tersebut.
Kemudian selaras kerlip berwarna merah ditangkap sudut mataku. Saat telah sepenuhnya menunduk, aku justru membeku. Itu ayahku! Dia tengah berusaha melepaskan rangkulan seseorang berambut merah dan…
…Aku terbelalak. Bagian bawah tubuh orang asing itu ekor ikan.
Putri duyung kah? Tapi lengan yang merangkul ayahku memiliki otot-otot yang menonjol. Bukan putri duyung, tapi lawan jenisnya. Ya, itu putra duyung. Untuk sesaat aku diambang antara kata 'nyata' dan 'palsu'. Sampai akhirnya aku tersadar berkat gelembung-gelembung udara dari mulut ayahku semakin menipis.
Bagai ditampar, aku langsung menukik ke arah yang sama. Sekuat mungkin kukayuh tangan dan kakiku menyelam, meski susah. Tidak akan kubiarkan dia membawa ayahku semakin dalam!
Namun ditengah jalan tiba-tiba dia berhenti. Suatu kesempatan! Kupercepat gerakanku. Tapi aku kembali ke permukaan karena didorong paksa arus dari gerakan satu tangan siluman sialan yang bebas. Aku menggeram pelan. Tidak pakai ancang-ancang mengambil napas, kumasukkan diri lagi.
Seperti yang kubilang tadi, sejauh mata memandang tidak ada laut biru yang tenang. Ayahku lenyap. Putra duyung itu juga hilang. Aku menoleh kalut lagi. Di sebelah kanan, tidak ada orang berpakaian terusan seperti milik pekerja proyek. Di sebelah kiri, justru ada tiga mayat entah siapa identitasnya.
Kuputar lagi kepalaku. Masih berusaha mencari. Nihil menyambut. Kini kubiarkan diriku terapung. Sejak hari itu, aku bersumpah akan menangkap si bedebah—putra duyung bersisik merah. Sejak hari itu juga, aku tidak lagi memandang laut dengan tatapan penuh cinta.
~PD~
Kuturunkan pergelangan tangan kananku dimana sebuah arloji melingkar disana. Tidak terasa sudah tiga menit berlalu sejak panggilan keduaku padanya. Ada apa dengan si brengsek itu? Tidak biasanya dia mengabaikanku selama ini. Paling lama kemunculannya dua menit saja.
Apa dia kabur? Aku mendengus geli. Tidak akan bisa. Dia tidak mungkin berubah wujud menjadi manusia utuh. Dua minggu berada dalam akuarium raksasa pribadiku, dia dengan jujur mengatakan jika ekor ikannya permanen. Aku percaya karena tidak ada kejanggalan dari cahaya matanya waktu itu.
Aku beranjak dari sofa krem. Kegeraman membuat tungkaiku mengambil langkah lebar menuju kaca besar di depan. Pemandangan diluar sana adalah habitat dasar laut buatanku. Ada terumbu karang yang bertingkat-tingkat subur. Lengkap dengan anemone yang menempel indah di beberapa bagian. Tidak hanya itu, ikan air asin kecil-kecil berwarna cantik juga menjadi pelengkap seaworld miniku ini.
"Sasori!" Aku berteriak penuh emosi tepat saat kakiku berhenti pada jarak setengah meter dari kaca.
Dalam hati aku menghitung. Jika sampai diangka sepuluh dia tidak muncul juga, aku terpaksa menariknya paksa ke permukaan dengan mesin penjaring.
Tujuh. Kurang tiga hitungan lagi tapi masih ikan-ikan yang lewat.
Delapan. Aku bersedekap.
Sembilan. Kuhentakkan kaki ke marmer.
Sepuluh. Dasar makhluk tidak tau diuntung!
"Sa—" Suaraku tercekat dengan mulut tetap terbuka. Bola mataku turut melebar. Makhluk jadi-jadian itu menampakkan diri dari sisi kanan.
Sungguh makhluk yang indah. Tubuh manusia bagian atasnya berkulit putih. Bagian paling luar itu membungkus otot-otot lengan yang menonjol. Perutnya rata dan sedikit terbentuk. Meski bahunya kecil, tapi punggung yang tegak membuat dadanya bidang.
Jika dia manusia, pasti banyak gadis yang terpesona. Kukatupkan mulutku. Menciptakan sebuah garis lurus. Tapi sayangnya mulai pinggul sampai ke bawah, bukan sepasang kaki yang ada. Sisik-sisik merah yang kontras sekali dengan warna kulitnya membentuk ekor ikan. Kibasannya kuat dan bertenaga. Tidak heran jika dulu ayahku menyebut putra duyung adalah tentara ghaib bawah laut.
Dia bersalto di air dengan anggun sekali sebelum menghampiriku. "Ada apa memanggilku, bocah?"
Suaranya yang berat itu memiliki aura keangkuhan yang kental. Meski kaca akuarium yang memisahkan kami sangat tebal, tapi suaranya dapat kudengar dengan jelas. Entah karena pendengaranku yang peka atau memang bersuara menembus halangan adalah kelebihan makhluk sepertinya, aku tidak terlalu peduli. Yang pasti dia bisa berbicara dan aku bisa mendengarnya.
Kutatap iris hazelnya tajam."Kembalikan ayahku."
Dibalik ketidaksempurnaan dimata manusia sepertiku, Sasori memiliki wajah yang tampan. Warna rambut yang serupa sisiknya melayang berantakan satu dua helai dibawa gerakan air. Mata berpigmen teduh itu bukan menunjukkan kesan demikian. Dingin dan meremehkan lah yang terpancar. Dengan rahang yang tegas, secara rupa pun dia berada diatas rata-rata.
Orang seperti Sasori, sekalipun melengoskan muka dan memandang tanpa minat, pasti tetap digilai oleh para putri duyung. Padahal, wajah itu sangat memuakkan bagiku.
"Sudah kukatakan bagaimana caranya." Dia menjawab tanpa ekspresi.
Aku mendengus jengah. Dia kira siapa bisa mengajukan syarat aneh begitu. "Aku tidak mau."
Sebelah bibirnya terangkat. "Kalau begitu aku kembalikan ayahmu dalam keadaan tak bernyawa."
Emosiku mulai naik. Putra duyung ini memang tidak berperasaan. Aku yakin sekali ayahku tidak melewati batasnya. Tapi kenapa dia menculik beliau?
"Kau tidak mau, kan?" Gelembung-gelembung kecil keluar dari hidung mancungnya. Dia baru saja mendengus meremehkan.
"Apa alasanmu menarik ayahku waktu itu?!" Teriakanku menggema ke sudut-sudut ruangan. "Kenapa kau melakukannya?!" Suara buk pelan dihasilkan kepalanku yang meninju kaca.
Sasori terdiam. Tatapannya semakin dingin dan menusuk. Tapi sorotanku juga semakin tajam dan membara. Kontras sekali, bukan? Gesturnya sendiri tetap tenang. Sedangkan bahuku naik turun karena sesak oleh amarah.
"Ada calon terumbu karang diwilayah yang menjadi penelitian ayahmu." Caranya menjawab yang kelewat tenang justru menaikkan tensiku dengan cepat.
"Omong kosong!" Kaca itu kutinju lagi. "Ayahku tidak mungkin tidak tahu!" Beliau dan timnya tidak mungkin sembrono. Apalagi ayahku sebagai ketua kelompok yang sangat mencintai laut tidak mungkin melewati hal sekecil calon terumbu karang. Ia dan anak buahnya pasti mengecek secara teliti sebelum memutuskan lokasi tersebut aman.
Sasori memejamkan mata seraya menggeleng pelan. "Terserah saja jika kau tidak percaya."
Aku terkesiap saat mendapatinya memamerkan punggung. "Tunggu! Mau kemana kau?!"
Dia terdiam. Tidak berenang menjauh atau bahkan menolehkan wajahnya sedikit. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Sengaja mengulur waktu untuk membuatku semakin panas atau tengah berpikir untuk menjawab pertanyaanku tadi dengan lebih masuk akal. Masa bodoh! Orang yang telah membuatku hampir gila tidak bisa diperlakukan baik!
"Jawab aku atau kau akan kupaksa bicara dengan membawamu ke permukaan!" Aku tidak sekadar mengancam. Akan benar-benar kulakukan jika ternyata dia berlenggang pergi begitu saja.
"Sasori—"
"—Lebih baik kau pikirkan tawaranku." Dia melirik dari balik bahu kirinya. "Jika kau bersedia, maka ayahmu akan kukembalikan hidup-hidup."
Satu menit berlalu. Tangan kananku yang terkatup perlahan-lahan semakin menempel di datarnya kaca. Sasori telah berenang pergi. Selama itu pula, kalimatnya saat minggu pertemuan pertama kami terngiang heboh dikepalaku.
.
.
.
"Bawakan aku jantung segar. Jika kekuatankku telah kembali, aku akan memulangkan ayahmu dengan selamat."
Waktu itu, aku hanya bisa menatapnya marah. Jantung segar?! Aku harus jadi pembunuh, begitu?! "Apa-apaan itu?!"
"Kau yang menyebabkan kekuatanku melemah karena memindahkanku ke laut buatan ini." Dia bersedekap dengan dagu terangkat. Tatapan datarnya berubah mengintimidasi.
Aku tak bisa berkata-kata. Banyak yang kupikirkan. Seperti bagaimana caranya mendapatkan jantung manusia dan apakah benar putra duyung memiliki suatu kelebihan magis?
"Pikirkanlah baik-baik, nona Haruno."
Saat Sasori pergi berenang meninggalkanku, kupikir pertanyaan yang terakhir telah terjawab. Putra duyung adalah salah satu ciptaan Tuhan yang menjadi legenda karena tidak diketahui kebenarannya. Terbukti dari lihanya mereka selama ini menyembunyikan diri. Apalagi jika mengingat bagaimana caraku bisa menangkap Sasori waktu itu karena awalnya, aku juga menjalani sebuah ritual khusus.
.
.
.
Aku menunduk. Desahan napasku tidak pernah terdengar ringan lagi sejak tanggal 11 Maret 2011. Apakah aku harus benar-benar menjadi pembunuh? Aku tidak mungkin membobol kamar mayat rumah sakit dimana banyak sekali tubuh manusia dibekukan. Itu sudah bukan 'segar' lagi namanya.
To be continued
Author Note:
Halo semuanya. Saya kembali lagi dengan fic baru untuk A Life Time Memory :D
Maaf kalo ide tentang putra duyung ini aneh. Tapi waktu baca tema laut, saya langsung punya ide gimana kalo abang Saso jadi duyung. Haha. Kalo Saku yang jadi duyung kesannya biasa ya. Udah banyak kok cerita tentang putri duyung.
Fic ini akan diwarnai unsur 'gelap' dan saya putuskan untuk masuk dirate M karena menampilkan scene gore meski gak detil (gak dibolehin sama panitia). Saya merencanakan, fic ini akan tamat di chapter 5, tapi saya gak tau lagi kalo kurang atau lebih. Cuma yang saya minta adalah doa dari kalian agar saya bisa menyelesaikan fic ini sebelum tanggal 25 Februari. Mohon doanya ya ^^
Saya sengaja bikin fic SasoSaku beraura suram kayak gini karena pingin punya warna baru di daftar fic buatan saya. Dua event sebelumnya, saya pake tema sweet buat menggambarkan pair ini. Jadi saya penasaran dan akhirnya nyoba bikin. Haha. Eksperimen ceritanya. Selain itu, saya teringat sama scene Saku vs Saso di anime/manga. Karena disana mereka maso, saling bunuh-bunuhan, maka saya punya pikiran kalo di fic pun mereka sama-sama saling benci. Benci tapi cinta maksudnya. Haha.
Oke deh, curhat saya kayaknya cukup sampai disini. Ntar kebanyakan lagi. Semoga kalian suka sama tema-tema berat ya dan jangan lupa review ^^
Sampai jumpa
Salam hangat,
Sakura Hanami
