Sakura membanting benda di tangannya. Raungan amarah ia lontarkan bersamaan dengan tangannya memukul keras wastafel di hadapannya. Menimbulkan rasa sakit yang tak dipedulikannya. Napasnya tak beraturan. Matanya bergerak liar seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat tadi. Sekali lagi ia melirik benda yang menjadi sumber kekalutannya kini. Dan dua tanda merah pada benda itu kembali menjawabnya. Dua tanda merah yang menamparnya dengan kenyataan dirinya sekarang.

Dua tanda merah pada testpack.

Ia hamil.

Isakan lirih lolos dari mulutnya. Ia membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya dengan tubuh yang membungkuk ke arah wastafel. Terjawab sudah semua keanehan yang ia rasakan pada tubuhnya selama sebulan ini.

Hamil.

Hamil.

Kata itu terus terngiang di telinganya, menghantarkan rasa panik pada dirinya sendiri. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan? Ibunya pasti marah besar mendengar kabar ini.

Bukan apa-apa, ia adalah seorang artis muda papan atas yang tengah berada di masa-masa puncak kejayaannya. Dan itu berarti, ia punya reputasi yang harus ia jaga. Terlebih ibunya adalah CEO dari agensi tempatnya bernaung. Ia tahu sebesar apa masalah yang akan timbul karena ulahnya kini.

Ingatannya melambung pada kejadian masa lalu yang sudah membuatnya seperti ini. Kalau bisa mengulang waktu, ia ingin sekali kembali dan melarang dirinya di masa lalu untuk ikut bujuk rayu Shion yang memaksanya ikut pesta ulang tahun rekan sesama artis mereka, Karin. Atau setidaknya melarang dirinya untuk mabuk dan akhirnya berakhir naas bersama orang yang tak dikenalnya di atas ranjang.

"Sial!"

Isakannya mengencang saat mengingat malam kebodohannya itu. Ia tahu, ini juga bukan salah Shion atau Karin atau siapapun di pesta itu. Ini adalah kesalahannya sendiri. Ia punya kehendak bebas untuk menentukan pilihan.

Dan ia memilih untuk mabuk malam itu.

Ia sedang stres dengan pertengkarannya dengan Sang Ibu dan akhirnya memilih mabuk malam itu. Dan Sakura menyesalinya sepenuh hati.

Laki-laki yang menghamilinya?

Sakura bahkan tidak ingat persis bagaimana rupanya. Itu sudah sebulan yang lalu, dan ia tidak berpikir akan menjadi seperti ini kejadiannya. Ia hanya ingat pria itu mempunyai ekspresi yang datar. Bahkan sangat datar untuk mengetahui fakta ia telah meniduri seorang gadis dalam keadaan mabuk. Mungkin ia memang sudah terbiasa dengan hal itu. Benar-benar laki-laki sialan yang brengsek.

Waktu itu ia memang sedikit kaget saat mendapati dirinya terbangun dalam keadaan tanpa busana dengan seorang pria dengan kondisi yang serupa. Namun, akibat hangover semalam masih berefek sampai pagi itu. Ia merasa sangat pusing dan tak punya tenaga untuk marah-marah. Lagipula ia tahu mencaci pria itupun tak akan mengembalikan keadaannya. Pria itu juga sepertinya mabuk, terlihat dari tubuhnya yang beraroma alkohol. Jadi, tidak ada yang bersalah diantara mereka. Mereka melakukannya tanpa sadar.

Karenanya ia memutuskan untuk pergi tanpa berkata apapun. Pergi meninggalkan Sang Pria yang bahkan sampai Sakura keluar dari ruangan itupun, tak beranjak seincipun dari tempat tidur. Hanya duduk dan memandang Sakura yang memakai pakaiannya kemudian keluar dari kamar itu dengan langkah yang sedikit oleng karena tergesa. Sakura tak peduli dan tak mau peduli dengan pria yang menatap punggungnya dengan tatapan setajam laser itu. Tak mau peduli dengan apa yang ada dipikiran pria itu tentang dirinya.

Terserah.

Yang ia pikirkan adalah pergi dari tempat terkutuk itu dan melupakan segalanya.

Namun, sepertinya masalahnya tak sesimpel itu. Sekarang ia sedang menuai apa yang sudah mereka lakukan waktu itu. Ia hamil dengan kondisi tidak tahu siapa identitas ayah dari anak di dalam rahimnya. Dan demi Tuhan, ia tak akan pernah mencari tahu siapa pria dibenakpun tidak. Untuk apa? Untuk minta pertanggungjawaban?

Yang benar saja.

Itu sama saja mendorongnya ke jurang. Ibunya bisa membunuhnya kalau sampai ia tahu tentang kehamilannya. Karirnya bisa hancur dalam sekejab. Tidak. Tidak ada yang boleh tahu kalau ia sedang hamil. Tidak ibunya, tidak juga pria itu. Atau siapapun.

Ia harus melakukan sesuatu. Tapi apa? Menangis di sini tak akan menyelesaikan masalah. Tapi hanya berdiam diri juga tak berguna. Yang ada perutnya akan semakin membesar seiring berjalannya waktu. Tidak mungkinkan calon bayi dalam perutnya ini menghilang dengan sendirinya?

Tiba-tiba tubuhnya tercekat dengan pemikiran yang baru saja lewat otaknya. Tangisnya berhenti seketika. Perlahan ia mengangkat kepalanya untuk dapat menatap pantulan dirinya di cermin di hadapannya. Seakan ingin meyakinkan diri tentang pikiran yang terus bermain di otaknya saat.

Yah, kalau calon bayi itu tak bisa menghilang dengan sendirinya. Tapi bagaimana kalau dirinyalah yang sengaja menghilangkannya?

Ia menelan ludahnya kasar. Tidak ada pilihan lain. Itulah yang memang harus ia pilih.

Mengusap wajahnya, akhirnya ia memilih untuk mengakhiri tangisannya. Mengambil testpack di dalam wastafel sebelum membuangnya tanpa perasaan ke tempat sampah. Dengan tergesa kemudian ia keluar dari kamar mandi apotek yang dikunjunginya.

Tanpa Sakura ketahui, seorang berbaju serba hitam sedang mengintainya. Menatapnya dari jauh dalam diam. Dan setelah sosoknya menghilang, orang itu masuk ke dalam toilet yang tadi dimasukinya dan berdiri menatap testpack dalam tempat sampah dipojok ruangan itu sebelum tangannya terjulur untuk meraih benda tersebut dan menyimpannya dalam sebuah wadah plastik. Segera setelahnya, ia langsung keluar dari toilet tersebut dan memasuki sebuah mobil yang kemudian langsung melesat pergi meninggalkan tempat tersebut.

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Naruto milik Masashi Khisimoto Sensei

Story by Aegyo Yeodongsaeng

Boleh di copy ga boleh di paste

Genre : Romance/Drama/Family

Pairing : Sasuke Sakura

Rate : M for theme

.

.

.

Inspired from the song 'Dasi Neoreul (Once Again)' by Mad Clown feat Kim Na Young.

.

.

Pria muda itu menatap benda dalam wadah plastik itu dengan datar. Sesaat sebelum ia mengalihkan matanya pelan menatap pria yang ada di hadapannya, seperti mengintruksikan pria itu untuk bicara. Pria itu langsung merogoh tas di tangannya dan menyerahkan secarik kertas sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.

"Nona Uzumaki Sakura positif hamil, Tuan. Saya juga sudah memeriksa sampel urine yang tertinggal di tespack ini dan kehamilan Nona Uzumaki sudah berusia satu bulan."

Pria muda yang mendengarnya tak memberi reaksi yang berarti. Ekpresinya masih tetap tanpa makna.

"Kau yakin itu miliknya?"

Nada bicaranyapun datar. Seolah info yang baru saja didengarnya bukanlah sebuah masalah baginya. Hal yang sepele. Pria di depannya mengangguk sebelum kembali bersuara.

"Saya yakin, Tuan. Tes DNA menunjukkan itu urine milik Nona Uzumaki Sakura."

Pria muda itu terdiam sebentar sebelum kembali bicara.

"Hn, kau boleh pergi."

Segera setelah mengatakannya, pria di hadapannya membungkukkan badannya dan berbalik pergi. Meninggalkan pria muda tersebut yang kini terdiam menatap datar pada testpack di depannya. Hanya diam dan menatap. Tak bereaksi. Dingin. Seperti ada yang ia pikirkan. Tapi tak ada yang dapat menebak apa yang sedang ia pikirkan.

Begitu juga yang terjadi pada pria yang kini berada satu ruangan dengannya. Sai. Ia menatap dalam pria muda itu. Mencoba menyelami apa yang ada dipikirannya dengan menatap testpack itu. Namun, akhirnya ia menyerah.

"Aku tak menyangka kini menguntit menjadi hobi barumu, Sasuke."

Pria muda bernama Sasuke itu hanya meliriknya sekilas sebelum bergumam tak jelas. Untuk pertama kali akhirnya tangannya terjulur untuk meraih benda yang sedari tadi hanya dipandanginya untuk kemudian disimpan dalam laci mejanya. Sai terkekeh melihatnya. Sepertinya benar ada yang dipikirkan pria muda itu. Ia tampak seperti baru sadar dari lamunannya.

"Aku rasa untuk sebuah one night stand, yang kau lakukan itu terlalu berlebihan, Sasuke. Itu hanya kecelakaan. Kau tak perlu memusingkannya, lupakan saja. Toh, gadis itu tak menunjukkan ketertarikannya sama sekali padamukan? Aku rasa ia tak ada niat menjebakmu. Mungkin ia juga sudah lupa padamu."

Sasuke masih diam. Perlahan ia menggulirkan onyxnya untuk dapat menatap penuh pria dihadapannya. Tampaknya ocehan pria itu benar-benar mampu menarik perhatiannya.

"Lagipula gadis itu seorang idol, aku rasa ia tak mungkin menghancurkan karirnya dengan mengungkap skandal kalian ini. Ia pasti akan melakukan sesuatu untuk menutupinya. Jadi aku rasa kau tak perlu khawatir–"

"Justru karena itu,"

"Eh?"

Sai menatap tak mengerti pada Sasuke yang tiba-tiba memotong ucapannya. Menatap tepat pada onyx tajam nan datar yang kini terpaku padanya. Ia sedikit mengerutkan alisnya melihat ekspresi datar di wajah tampan di depannya itu. Sasuke sungguh sangat sulit ditebak.

"Karena dia idol, tak akan kubiarkan ia melakukan sesuatu yang bisa membunuh anak itu."

Sai melebarkan onyx miliknya. Kini ia paham maksud dari semua hal yang dilakukan salah satu kandidat terkuat calon pemimpin tertinggi kerajaan bisnis Uchiha itu. Ia menghela nafas tak percaya. Tolong bilang kalau apa yang ada dikepalanya ini adalah salah.

"Anak itu adalah Uchiha. Tak akan kubiarkan satu orangpun menghina Uchiha dengan menolak anak itu. Gadis itu harus mengakuinya."

Nyatanya apa yang dipikirkannya adalah benar. Sai hanya dapat menatap Sang Pria dengan raut tak percayanya. Menatap bagaimana tajamnya batu hitam pria itu menatapnya. Seakan ada sepercik emosi yang terpancar dari kalimat selanjutnya yang terucap dari bibirnya.

"Dan akan kupastikan dia tak akan melupakan aku sebagai ayah anak itu."

Oke, sampai disini Sai sudah mengerti kalau Sasuke mungkin tersinggung dengan ocehannya tadi. Tapi ia juga mengatakannya bukan tanpa alasan. Ia ingat jelas bagaimana bahasa tubuh Sang Gadis saat ia berpapasan dengannya, ketika Sai tengah mencari keberadaan Sasuke yang menghilang setelah malam pesta ulang tahun Karin, sahabat mereka. Gadis berambut pink itu keluar dari kamar hotel –yang menurut salah satu staf hotel– tempat Sasuke berada, dengan sedikit tergesa tanpa menoleh sedikitpun ke belakang. Bahkan saat berpapasan dengannya di depan pintu, gadis itu tampak panik seakan ia adalah seorang pencuri yang tengah kepergok sedang beraksi.

Awalnya Sai bingung mendapati seorang artis terkenal yang keluar dari kamar Sasuke. Namun saat ia melihat kondisi pria Uchiha itu yang tanpa busana di kamar itu, akhirnya ia paham apa yang sudah terjadi. Dan melihat reaksi Sakura, jelas sekali kalau gadis itu memang tak ingin terjadi skandal atas apa yang telah terjadi. Ia tak menunjukkan indikasi sebagai jalang yang berusaha untuk memanfaatkan keadaan untuk keuntungan pribadi. Malah gadis itu cenderung untuk menutupinya.

Iapun bersikap biasa saja saat mereka bertemu lagi di sebuah lounching produk salah satu perusahaan rekan bisnis Sasuke yang memakai Sakura sebagai model iklannya. Ia tak menunjukkan raut mengenali mereka sama sekali, mencoba menghindar, atau sikap apapun yang menujukkan kalau ia ingat pernah mengalami sesuatu bersama mereka yang jika sampai ketahuan publik bisa menjadi sebuah skandal besar. Sai tahu Sakura orang yang mudah panik. Terlihat dari bagaimana ia gugup saat Sai memergokinya dulu bersama Sasuke. Tapi sikapnya saat itu terlalu tenang untuk seseorang yang mudah panik sepertinya.

Jadi adakah alasan lain selain ia tak pernah menganggap serius kejadian waktu itu dan sudah melupakannya?

Yang aneh itu Sasuke. Pria itu memang bertingkah biasa saja saat Sai mendapatinya tanpa busana waktu itu. Pandangannyapun membidik tak terdefinisi pada punggung kecil gadis itu yang keluar tanpa kata atau menoleh sedikitpun ke arahnya. Sai tak tahu apa yang ada di benak pria itu saat itu. Mencium bau alkohol dari tubuh pria itu, Sai menarik kesimpulan kalau apa yang mereka lakukan hanyalah kecelakaan semata. Dan tidak ada yang istimewa.

Namun, semuanya berbeda saat mereka bertemu lagi di acara lounching malam itu. Sai tahu ada yang salah saat ia melihat raut tak biasa yang sekilas lewat dari Sasuke ketika Sakura tak menunjukkan indikasi mengenal mereka sama sekali. Entahlah. Sai tak tahu harus mendeskripsikan seperti apa raut dan aura pria muda itu malam itu.

Dan akhirnya semua terjawab hari ini. Katakan Sasuke sudah gila. Tapi itulah yang telah ia lakukan selama ini tanpa diketahui oleh Sai. Membuntuti gadis Uzumaki itu diam-diam sampai kecurigaan tentang akibat dari 'malam itu' benar-benar terjadi.

Sakura hamil. Dan Sasuke ingin anak itu lahir.

Mengatakannya dengan terang-terangan bahwa anak dalam kandungan Uzumaki Sakura adalah seorang Uchiha, anaknya. Tanpa keraguan. Tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain seperti, mungkin saja bukan hanya Sasuke, laki-laki yang ada dihidup gadis itu.

Tapi sekali lagi Sai tahu, Sasuke bukanlah orang yang bisa dibantah. Kata-katanya tadi jelas-jelas menunjukkan kalau ia tak suka pada argumen Sai. Mengatakan hal-hal yang memancing kemarahannya. Karenanya pemuda itu hanya dapat menghela nafasnya.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

Sasuke terdiam sejenak tampak berpikir. "Aku rasa aku butuh bantuanmu." katanya kemudian yang membuat Sai menatapnya penuh tanya. "Yamanaka, bukankah dia dokter kandungan di Rumah Sakit Tokyo?"

Sai menyipitkan matanya berusaha menebak jalan pikiran Sasuke. Ia hanya terdiam menunggu penjelasan dari Sang Pria tentang apa hubungan Ino, kekasihnya dengan masalahnya ini.

"Apa bisa kau menyuruhnya mengkoordinir untuk memantau semua rumah sakit di Tokyo. Jika gadis itu berniat menggugurkan kandungannya segera laporkan padaku." lanjutnya yang membuat Sai paham seketika. Sasuke sangat sungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Ternyata kau serius dengan ucapanmu," celetuknya sambil kembali terkekeh. Mengabaikan pria yang kini menatapnya dengan raut datar seakan tak peduli dengan ledekannya. Merasa tak mendapat tanggapan, Sai kemudian menghentikan tawanya dan mengangguk pelan.

"Tak perlu menyuruh Ino, aku bisa melakukannya untukmu."

Kali ini Sasuke menggelengkan kepalanya mendengarnya.

"Biarkan Yamanaka yang melakukannya. Sekalian aku ingin dia yang menangani semua hal tentang Sakura. Dia dokter kandungan terbaik di Jepang. Anakku harus lahir dengan fasilitas yang terbaik."

Sai mendengus.

"Ino bukan fasilitas, Sasuke," gerutunya yang sama sekali tak ditanggapi oleh Sang Pria Uchiha.

"Hn, terserah."

Sai hanya dapat menghela nafas pasrah. Uchiha dengan semua kekuasaannya. Apapun yang diinginkannya harus dituruti. Sai yang keluarganya adalah mantan bawahan Uchiha, sudah terbiasa dengan 'harus mengalah' menghadapi semua sifat menyebalkannya itu. Yang pada akhirnya terbawa terus bahkan sampai ia sudah menjadi patner bisnis seperti saat ini, dimana seharusnya mereka mempunyai kedudukan yang sama. Yeah, mungkin inilah yang disebut sahabat sedari masih memakai popok. Sai mengenalnya luar dalam. Mengenal semua sisi baik dan buruknya. Seperti itulah Sasuke. Dan ia tak masalah dengan itu semua.

"Yeah baiklah, Uchiha."

Dan satu jawaban dari Sai mengakhiri percakapan mereka saat itu. Pemuda Shimura itu langsung pamit pulang. Meninggalkan Sasuke yang kini terpekur dalam kedataran ekspresinya. Matanya bergerak perlahan menuju telepon di hadapannya. Menatap benda itu untuk beberapa saat sebelum dengan perlahan tangannya bergerak meraih gagang telepon yang terhubung langsung dengan sekertarisnya. Dan begitu sebuah suara menyambutnya, langsung saja ia angkat suara tanpa membalas sapaan sekertarisnya itu.

"Sambungkan aku dengan CEO UK Entertaiment."

.

.

.

Sakura memandang ragu gedung di depannya sebelum menjatuhkan tatapannya kembali pada kartu di tangannya. Tak salah lagi, ini adalah rumah sakit yang menurut keterangan adalah salah satu rumah sakit yang dilegalkan untuk melakukan aborsi. Ia menghela nafasnya sebelum kemudian memakai kacamata hitam, merapatkan syal untuk menutupi wajahnya dan memperbaiki tudung jaket dikepalanya, dalam usaha menyembunyikan identitasnya.

Tentu saja. Dia akan melakukan aborsi. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan dialaminya selama ia meniti karirnya sebagai artis. Sudah barang tentu ia harus memastikan tidak ada wartawan yang memergokinya. Tidak ada satu orangpun yang mengenalinya. Rumah sakit ini memang menjamin semua data pasien dirahasiakan dari umum, tapi tetap saja ia harus berhadapan dengan perawat dan dokter yang menanganinya. Dan itu mau tak mau membuatnya sedikit tegang. Semoga kabar tentang rumah sakit yang menjaga kerahasiaan itu benar adanya. Semoga ia tak mendapatkan perawat atau dokter penggila gosip yang akan bertanya macam-macam padanya. Atau yang lebih parah mulut bocor yang tak sengaja membeberkan rahasia ini hanya karena dia adalah public figure.

Ia melangkahkan kakinya memasuki gedung itu. Menatap sekelilingnya sebelum kemudian matanya jatuh pada seorang perawat di bagian pendaftaran. Segera saja langkahnya membawanya ke arah perawat tersebut. Berhenti tepat di hadapan wanita muda yang kini tersenyum kearahnya.

"Ada yang bisa kami bantu, Nona."

Sakura tersenyum kikuk.

"Aku ingin berkonsultasi dengan dokter kandungan soal ehm aborsi," jawabnya agak ragu yang disambut dengan senyuman oleh perawat tersebut. Seperti itu hal biasa baginya. Memang hal aborsi bukanlah hal yang tabu lagi di negaranya. Aborsi dilegalkan untuk mengontrol populasi demi perbaikan mutu dan menciptakan stabilitas dalam masyarakat Jepang. Tapi tetap saja ini adalah hal tak biasa dalam hidup Sakura. Ini pertama kalinya ia menyentuh hal- hal tersebut.

"Anda sudah punya dokter sendiri atau baru akan mendaftar, Nona?"

Lamunan Sakura buyar saat suara perawat tersebut mengembalikan kesadarannya.

"Saya baru mendaftar."

Perawat tersebut mengangguk sebelum kemudian menyerahkan formulir pendaftaran padanya. Dengan kikuk ia menerimanya dan menatap perawat itu dengan bingung.

"Silahkan diisi dahulu formulirnya sebagai data rumah sakit." Perawat itu seolah menjawab kebingungan Sakura. Gadis itu hanya dapat mengangguk. Ia sudah akan mengisinya saat Sang Perawat kembali bersuara membuatnya mengurungkan niatnya untuk sesaat. "Kalau boleh tahu dengan Nona siapa?"

Sakura menatap perawat yang sedang tersenyum tersebut ragu, namun akhirnya menjawabnya, "Uzumaki Sakura."

Dan entah mengapa, perasaan tak enak menyelimuti hati Sakura saat ia mendapati perawat tersebut terkejut mendengarnya. Dalam hati ia berdoa semoga ini bukan pertanda buruk seperti yang pernah terlintas di benaknya saat memasuki rumah sakit ini tadi. Semoga perawat itu bukan maniak gosip yang yang mulutnya bocor.

Perawat itu tersenyum kikuk dan langsung buru-buru pergi meninggalkannya setelah sebelumnya ia mempersilahkan Sakura kembali menulis datanya. Dengan ragu Sakura kembali menulis formulir di tangannya, mengabaikan segala rasa tak nyaman atas sikap Sang Perawat. Dalam hati mencoba berpikir positif tentang perawat itu.

Beberapa kali dahinya terlihat berkerut saat membaca data yang harus ia isikan. Namun itu tak membuat fokusnya beralih sama sekali dari kertas formulir tersebut. Baru saat ia mendongak, hendak mencari perawat yang berkomunikasi dengannya tadi untuk menyerahkan formulirnya, saat itulah ia melihat keanehan itu. Ia melihat Sang Perawat tengah menelepon seseorang dari ponsel pribadinya sambil sesekali menatap padanya. Dan saat mereka tak sengaja bertemu pandang, perawat itu terlihat sangat terkejut seperti sedang kepergok melakukan kesalahan.

Dan saat itulah Sakura mengerti ada yang tak beres. Perlahan ia meletakkan bolpointnya. Pikirannya sudah lagi tak berpusat pada menyerahkan formulir dan yang lainnya. Sepertinya ia harus pergi dari sini. Ia tak tahu siapa yang sedang dihubungi perawat tersebut, namun ia punya firasat itu akan berakibat tak baik padanya. Mungkin wartawan. Entahlah.

Segera saja ia berbalik dan hendak melangkah pergi. Namun belum ada sejengkalpun ia beranjak, langkahnya terhenti begitu saja ketika emeraldnya menatap sekumpulan orang berjas hitam berjalan ke arah tempatnya berdiri. Ia mengedarkan matanya panik menatap satu per satu orang-orang tersebut. Terakhir irisnya jatuh pada seorang pria berwajah datar yang tampaknya adalah pemimpin orang-orang tersebut. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang membuat tubuh Sakura bergetar entah karena apa. Disamping pria itu ada pria lain yang lebih menunjukkan sikap ramah. Ia melempar senyum bersahabat padanya.

Sakura menatap was-was kedua pria itu bergantian. Tunggu dulu. Wajah mereka terasa familier di matanya. Ia seperti pernah bertemu dengan mereka sebelumnya. Tapi rasa takut akan skandal kehamilannya diketahui orang lain lebih menguasaikan seluruh pikirannya dibandingkan berusaha mencari tahu tentang rasa familier yang ia rasakan. Ia tak peduli. Kalaupun mereka pernah bertemu sebelumnya, ia merasa tak punya sesuatu yang membuatnya harus berurusan dengan orang-orang itu. Ia juga tak pernah dan tak mau berpikir terlalu jauh kalau dirinyalah yang menjadi tujuan orang-orang ini datang kemari. Mungkin saja mereka ingin bertemu orang lain.

Karenanya ia memutuskan untuk menyingkir pergi. Segera saja ia melangkah kakinya mencoba melewati kawanan itu dari sisi lain, yang sayangnya tak tercapai karena pria datar tadi memblok jalannya. Membuat Sakura semakin was-was dengan pria ini. Jelas sekali dari gestur tubuh pria itu kalau tujuan mereka datang kemari memang adalah untuk menemuinya. Tapi kenapa? Ada apa sebenarnya? Ia bahkan tak begitu ingat dengan mereka.

"Nona Uzumaki Sakura, sepertinya anda harus ikut dengan kami. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu."

Sakura menggulirkan matanya menatap pria ramah di samping pria datar tadi. Menatapnya sejenak sebelum menggeleng panik.

"A –aku tak mengenal kalian. Bi –bisa tolong menyingkir? Aku masih punya urusan lain."

Sakura kembali berusaha pergi dari pria yang membloknya itu. Namun kali ini bukan hanya langkahnya yang diblok, pria itu bahkan sudah berani mencengkeram lengannya erat. Membuat gadis Uzumaki itu jelas saja kaget. Ia hendak meronta tapi kemudian hanya diam tak berkutik ketika melihat tatapan tajam mengancam dari pria datar yang mencengkeramnya itu. Lututnya bergetar mendengar suara bariton penuh intimidasi itu mengudara, membuat nyalinya luntur seketika.

"Aku ingin bicara."

Sakura menelan ludahnya susah payah. Ia menatap Sang Pria dengan raut ketakutannya yang sangat kentara. Dengan susah payah ia berusaha menegarkan hatinya. Menatap balik Sang Pria dengan sisa keberanian yang ia punya. Menfokuskan maniknya hanya pada pria di hadapannya itu. Mencoba mengabaikan fakta bahwa pria itu membawa sepasukan pria berbadan kekar yang tak akan ia kalahkan jika ia melawan.

Tapi tiba-tiba sesuatu membuatnya mengerutkan alisnya seketika. Sebuah ingatan seperti menghantam kepalanya. Wajahnya terlihat seperti sedang menyadari sesuatu. Ia ingat sekarang. Pria ini adalah Uchiha Sasuke salah satu direktur Uchiha Group yang sempat dikenalkan Pein, kakaknya, pada saat lounching produk perusahaan Hyuga beberapa waktu yang lalu.

"Aku tidak ingat kalau kita punya urusan, Tuan Uchiha."

Pria itu tak menjawab untuk beberapa saat. Hanya menatap Sakura penuh arti. Membuatnya mengerjab matanya gugup. Ia tak nyaman dengan semua yang dilakukan pria ini padanya.

"Bahkan untuk mengingat namaku, kau membutuhkan waktu yang lama. Kau benar-benar bodoh."

Sakura membuka mulutnya tak percaya. Ia benar-benar tak tahu apa yang harus ia katakan atas kalimat yang baru saja keluar dari mulut pria itu. Ia benar-benar tak mengerti. Apa hubungannya melupakan nama seorang pria dengan dihadang rombongan pria berjubah hitam seperti ini? Apa yang salah? Tentu saja ia tak begitu mengingat namanya, waktu itu Pein mengenalkan Sasuke pada Naruto, adiknya. Bukan padanya. Dan ia mengenal pria itu cuma sekedar lewat karena kebetulan bersama Naruto. Ia juga langsung memisahkan diri setelahnya dan tidak terlibat pembicaraan mereka.

Pria ini pasti sudah gila. Itu yang Sakura simpulkan. Ia kembali kembali berusaha melepaskan dirinya yang sayangnya justu membuat pria dihadapannya itu semakin erat mencengkeramnya. Ia meringis dan mendelik tak terima.

"Lepaskan aku!"

Lepas sudah kontrol dirinya. Ia berteriak sambil memukul-mukul punggung tangan yang mencengkeramnya itu. Membuat pria di hadapannya ini menggertakkan giginya samar tanda kesal.

"Kau yang memaksaku melakukan ini."

Dan seketika itu juga, tubuh Sakura terasa melayang ke udara. Suara pekikannya terdengar begitu ia sadar kini ia berada dalam pelukan Sasuke yang menggendongnya di depan tubuh pria itu. Ia memukul-mukul dada pria itu yang sama sekali tak berefek padanya. Tubuh Sakura yang kurus membuat Sasuke menggendongnya seperti mengangkat angin. Tak ada raut ia kewalahan sedikitpun bahkan saat gadis itu memberontak.

"Hei! Apa yang kau lakukan! Tolong aku! Tolong!"

Sasuke berjalan cepat meninggalkan Sai yang kini membungkukkan tubuhnya ke arah pengunjung lain di rumah sakit itu yang terganggu dengan aksi mereka. Dengan sedikit bumbu kebohongan dengan mengatakan bahwa mereka adalah suami isteri yang sedang bermasalah, ia bisa mengalihkan perhatian para pasien tersebut.

Para pengunjung yang tadinya memperhatikan mereka dan sedikit curiga karena teriakan minta tolong Sakura hanya manggut-manggut mengerti dan kembali berkutat pada kesibukan masing-masing. Bagaimanapun juga tampilan bos besar Sasuke tak akan pernah membuatnya terlihat jahat di mata orang lain. Membuat Sakura semakin geram karena tak ada yang menolongnya.

Ia sedikit oleng saat akhirnya Sasuke menurunkannya dari gendongan dan menariknya masuk ke dalam mobil sedan entah milik siapa, Sakura tak peduli. Ia hanya dapat menangisi nasibnya dan masih berusaha menggedor-gedor pintu di sampingnya, minta dilepaskan. Ia sangat ketakutan dan itu membuat Sasuke mendengus melihatnya.

"Tidak akan ada yang menyakitimu Sakura-chan. Tenanglah."

Sakura menoleh panik ke arah pria yang tersenyum lembut padanya itu. Ia juga mengingat pria ini. Ia adalah Shimura Sai. Sebenarnya ada apa? Kenapa dua rekan bisnis kakaknya itu menculiknya seperti ini?

"Kami hanya ingin bicara. Kami tak bermaksud jahat."

Sakura menelan ludahnya susah payah. Mencoba mencari kebohongan di onyx di depannya itu yang tak ditemuannya sedikitpun. Berbeda dengan Uchiha Sasuke, pria muda itu membuatnya tenang dengan keramahannya. Senyum itu seakan mengatakan semua baik-baik saja. Menghilangkan ketakutannya perlahan. Tangannya terjulur untuk menghapus airmatanya cepat dan berusaha menatap mereka dengan berani.

"Sebenarnya apa yang kalian inginkan? Aku merasa tak pernah punya urusan dengan kalian!"

Kata-kata tajam itu membuat Sai menghela nafasnya. Sepertinya ia pasrah dengan sifat gadis di depannya ini yang sedikit keras kepala dan tidak mudah diatur walaupun jelas sekali kilat takut itu terlihat di matanya. Akhirnya ia hanya bisa melirik pria di sampingnya yang memasang wajah datar. Seakan tak terpengaruh walau gadis calon ibu anaknya itu memperlakukannya dengan ketus.

"Kau hamil."

Itu bukan pertanyaan tapi sebuah pernyataan. Begitu Sai menyimpulkannya. Tapi nyatanya, dua kata itu mampu membuat seorang Haruno Sakura membeku ditempat karena mendengarnyanya. Emerald itu membulat tak percaya. Tangannya terkepal tanpa sadar. Tidak mungkin. Sakura yakin belum ada yang mengetahui hal tersebut. Ibunya bahkan belum mengetahuinya. Kenapa malah orang-orang yang hampir tidak ia kenal ini sudah mengetahuinya?

Mengerjab sadar dari keterkejutannya, Sakura berusaha mengendalikan dirinya. Tidak ada yang perlu ditakutkan? Ia sudah sering mengalami ini. Yang diperlukannya adalah ketenangan dalam berbicara. Seperti biasanya ia berbicara di depan para wartawan tak punya pekerjaan lain selain mengusik hidup orang lain. Otaknya terus mensugestikan dirinya untuk menganggap pria ini adalah salah satu dari mereka. Ia melemparkan senyum kaku pada pria itu.

"Jangan sok tahu, Tuan. Kau tidak tahu apapun tentangku–"

"Aku tahu kau hamil."

Sakura hanya bisa mengatupkan bibirnya erat saat suara bariton itu memotongnya. Terlebih ketika Sai menyodorkan sebuah surat ke pangkuannya. Ia sudah tak dapat mengatakan apapun lagi kala maniknya menatap deretan kata yang ia tahu adalah pemberitahuan kehamilan atas namanya.

Itu semua memang sedikit membuatnya kehilangan fokus akibat rasa takut berita itu menyebar. Tapi sekali lagi ia harus tenang menghadapi ini. Memang kenapa kalau ia hamil? Ia rasa itu bukanlah urusan mereka walau mereka sudah tahu sekalipun. Atau jangan-jangan mereka ingin memerasnya? Memikirkan hal itu membuatnya kembali tersenyum. Namun kali ini bukan lagi sebuah senyum kaku. Melainkan sebuah senyum sinis penuh sarkasme.

"Jadi berapa yang kau inginkan?"

Nada bicaranya sedikit lebih dingin dan meremehkan. Ia bisa melihat bagaimana pria Uchiha muda itu menyipitkan matanya samar. Entahlah. Mungkin merasa senang karena tujuannya tercapai. Sakura tak peduli apapun yang mereka pikirkan. Ia ingin ini cepat selesai. Ia sudah muak dengan orang-orang yang bertingkah dihadapannya yang ujung-ujungnya hanya membutuhkan apa yang dimilikinya atau memanfaatkannya.

"Apa?"

Akhirnya Sailah yang menyuarakan ketidakmengertiannya. Emerald itu bergulir perlahan menatap Sai dan mendapati tatapan bingung yang membuatnya semakin melebarkan senyum sinisnya. Cih, pura-pura bodoh.

"Berapa uang yang harus aku berikan untuk bisa menutup mulut kalian? Bukankah itu tujuan kalian datang kepadaku?"

Dan detik berikutnya, sebuah pekikan kecil terdengar dari mulut Sakura saat ia merasa tubuhnya tersentak ke depan. Ia terkejut. Sangat terkejut. Apalagi kini ia mendapati sepasang onyx tajam berada tepat di depan wajahnya. Jarak mereka hanya tinggal beberapa senti, dengan tangan Sang Pemilik Onyx mencengkeram kuat lengan atasnya. Sasuke menarik tubuhnya keras. Emeraldnya menatap syok iris dengan sorot penuh kemarahan itu.

"Kalau aku mau, aku bisa menjatuhkan perusahaan entertaiment ibumu malam ini juga. Jangan meremehkanku, Uzumaki. Aku tidak butuh uangmu."

Sakura menelan ludahnya susah payah. Suara itu melantun sangat dingin. Penuh kemurkaan dan intimidasi. Membuat tubuhnya bergetar perlahan. Ia tak melihat sorot main-main dalam iris itu sedikitpun. Sakura tahu pria itu serius akan ucapannya.

Perlahan mata Sakura kembali mengkristal, bukti bagaimana ia merasa intimidasi pria Uchiha itu membuatnya terancam. Melunturkan ekspresi tajam di wajah Sasuke, kembali menjadi sorot datar saat ia melihat wajah menahan tangis gadis di depannya itu. Cengkeraman tangannyapun melonggar. Dan Sakura lagi-lagi mendapati onyx itu menatapnya penuh makna.

Ia tak mengerti jalan pikiran laki-laki itu. Sungguh-sungguh tak mengerti. Sebenarnya apa maksud pria itu? Kalau bukan karena uang, lalu apa maksud pria itu membawanya pergi dan mengatakan kehamilannya? Apa urusan pria itu dengan apa yang terjadi pada dirinya? Ia ingin mengutarakan kebingungan dan kemarahannya atas semua sikap pria itu. Namun lidahnya seakan terasa kelu untuk mengucapkan satu katapun. Keberaniannya yang sedari tadi selalu berusaha ia munculkan untuk mengungkapkan penentangannya sudah sirna semenjak pria Uchiha itu mengancamnya.

"Kau masih belum mengingatku juga?"

Dan suara datar sarat akan sarkasme itulah yang membuyarkan pikirannya. Ia menatap ketakutan pada pria itu. Berusaha memberitahu pria itu tentang kebingungannya lewat matanya.

"Aku ayah anak dalam kandunganmu itu."

Satu kalimat yang menjawab kebingungan Sakura itu, membuatnya seperti tersambar petir. Tubuhnya membeku. Mulutnya setengah menganga tak percaya atas ucapan Sasuke. Apa ia bilang? Ia tak salah dengarkan?

"Jangan bercanda?! Kita baru bertemu seminggu yang lalu dan kau pikir–"

Namun seketika matanya membulat saat sebuah memori dimasa lalu menghantam kepalanya kuat dan membuatnya tak mampu melanjutkan ucapannya. Irisnya menatap onyx Sasuke dengan wajah yang pucat pasi. Ia ingat sekarang. Wajah tampan itu, ia ingat sekarang. Acara keluarga Hyuga bukanlah pertama kali mereka bertemu. Tapi malam itu.

Malam ulang tahun Karin yang menjadi awal semua malapetaka ini.

"Sudah mengingatku?"

Sakura masih belum mengumpulkan nyawanya saat suara itu kembali terdengar. Matanya masih membelalak sempurna menatap syok pada Sang Uchiha Muda itu. Menatap pria yang pendonor separuh kehidupan di perutnya. Ayah dari janin yang sedang berkembang di rahimnya.

"Aku ingin anak itu lahir, Sakura."

Sampai kalimat yang paling ditakuti Sakura itu terdengar dari mulutnya, membuat kesadaran gadis itu kembali. Ia mengalihkan pandangannya dari batu hitam itu, mengedar panik ke segala arah. Menatap kemana saja asal bukan manik penuh intimidasi itu.

Melahirkan anak ini? Yang benar saja. Tujuannya ke rumah sakit ini adalah untuk menggugurkannya. Demi menyelamatkan mukanya dari publik. Demi karirnya. Dan sekarang pria itu datang dan dengan mudahnya mengatakan ia harus melahirkannya? Itu tidak akan terjadi. Ia harus melakukan sesuatu. Masih ada yang harus ia kejar. Masih ada yang harus ia pertahankan. Dan anak ini hanya akan menghalanginya. Pria itu tak mengerti perasaannya. Tak akan pernah mengerti.

Sekuat tenaga ia menata ekspresinya untuk dapat menampilkan seulas senyum sinis. Ia menatap pria Uchiha itu dengan pandangan meremehkan.

"Atas dasar apa kau begitu yakin ini adalah anakmu?"

Biarlah kali ini harga dirinya yang harus ia lemparkan ke kotoran hewan. Ia tak peduli lagi bahkan jika ia dicap jalang oleh kedua pria ini. Yang terpenting adalah ia tak akan mengorbankan karirnya. Ia akan lakukan apapun untuk mempertahankannya. Sekalipun ia harus menjual murah harga dirinya sekalipun.

"Kau pikir kau satu-satunya pria yang pernah tidur denganku?"

Dan ia tak berhalusianasi saat ia menangkap raut keras di wajah dingin Uchiha muda itu untuk sekilas. Pria itu mengepalkan tangannya sesaat sebelum rautnya kembali datar.

"Tes DNA."

"Apa?"

Sakura mengerjab panik. Apalagi saat mendapati raut poker face yang seolah bisa membaca kegelisahannya saat ini. Tentu saja siapa yang tak panik saat mendengar sesuatu yang bisa membuktikan kebohongannya saat ini. Tes DNA? Itu adalah kartu mati Sakura untuk tak dapat lagi berkelit.

"Aku tawarkan dua pilihan untukmu,"

Keringat sebesar biji jagung itu menetes mendengar nada intimidasi itu. Demi Tuhan, hal terakhir yang ia inginkan adalah duduk dihadapan pengusaha muda yang pastinya pandai bernegosiasi itu, dalam keadaan terpojok seperti ini. Ia hanya diam. Suasana tak mengenakkan menyelimuti mereka. Sasuke dengan aura intimidasinya dan Sakura dengan raut tegangnya. Jantung Sang Gadis berdetak kencang seakan ingin meloncat keluar.

"Pertahankan kehamilan itu sampai berumur dua bulan dan kau akan menjalani tes DNA. Jika itu bukan anakku, kau bebas menggugurkannya. Tapi jika itu terbukti anakku, aku tidak akan segan-segan membeberkan semua rahasiamu ke publik dan akan kupastikan kau tak akan pernah kembali ke duniamu lagi."

Satu tetes kristal bening mengambang di sudut matanya saat ia mendengar ancaman itu. Bibirnya bergetar pelan. Sudah barang tentu ia akan kalah. Ia sangat tahu siapa ayah anak dalam kandungannya ini.

"Atau akui sekarang kalau itu anakku dan vakum dari duniamu sampai ia lahir," Pria itu menggantungkan kalimatnya setelahnya. Seperti ragu untuk melanjutkannya. Dan lagi-lagi Sakura menangkap tatapan penuh makna dari onyx itu. "Setelah itu kau bebas pergi. Dan akan kupastikan karirmu dua kali lebih cemerlang dari sekarang."

Dan akhirnya, air murni itu lolos dari sumbernya. Sakura menatap pemuda itu dengan raut yang campur aduk. Marah, frustasi, dan emosi lainnya yang ia tahu sebagian besar disumbangkan hormon kehamilannya. Ia mengatupkan erat rahangnya.

Beberapa saat dalam keheningan setelah Sasuke mengucapkan semua pilihan itu. Pilihan yang sudah pasti Sakura tahu tak ada yang menguntungkannya sama sekali. Ia tahu ialah yang menjadi pihak kalah. Dan pada akhirnya hanya sebuah kalimat yang masih mampu ia keluarkan sebagai pelampiasan kemarahannya. Sebuah kalimat yang bahkan sama sekali tak mengubah raut datar Sang Pria.

"Aku membencimu, Uchiha!"

.

.

.

Pukulan bertubi-tubi dalam sepanjang karirnya. Itulah yang ia rasakan saat ini. Sakura masih dalam kondisi yang syok paska pertemuannya dengan Uchiha Sasuke beberapa hari yang lalu. Dan sekarang ia kembali mendapatkan masalah yang membuatnya kalang kabut. Kontraknya dengan sebuah perusahaan periklanan Amerika dibatalkan hanya karena sebuah fotonya dalam keadaan hangover bersama seorang pria –yang katanya mirip Uchiha Sasuke– dimalam ulang tahun Karin, tersebar di internet.

Awalnya ia mengira ini memang adalah perbuatan pria Uchiha itu untuk menjebaknya dan meruntuhkan karirnya, mengingat ancaman pria itu beberapa waktu yang lalu. Pria itu memang memberinya waktu untuk menentukan pilihan. Tapi ia tak menyangka ternyata pria itu hanyalah pria brengsek yang melanggar janjinya sendiri.

Namun semua pemikiran itu perlahan runtuh saat ia melihat pemberitaan perusahaan Uchiha yang terkesan tertutup terhadap gosip tersebut. Terlebih ketika mendengar harga saham Uchiha Group tak stabil karena pemberitaan ini. Adakah seorang pemimpin mengorbankan perusahaannya demi menjebak seorang gadis walaupun ia seorang artis sekalipun? Itu hanya tindakan pemimpin yang bodoh. Dan Sakura rasa Uchiha Sasuke tak sebodoh itu.

Dengan kata lain, ada pihak lain yang berusaha menjatuhkannya.

Airmatanya mengambang disudut matanya mengingat semua hal yang menimpanya akhir-akhir ini. Kenapa banyak sekali yang menginginkan kehancurannya? Tidak Sasuke atau siapapun. Apa dosanya? Kontrak dengan perusahaan periklanan Amerika adalah mimpinya. Itu akan membawanya menjadi bintang iklan internasional. Satu langkah mendekati super star kelas dunia. Dan hanya sebuah kesalahan kecilnya, ia menghancurkan segalanya.

Ia menghapus airmatanya gusar dan semakin mempercepat langkahnya menuju ruangan yang beberapa hari ini ia hindari karena permasalahannya dengan Sang Pemilik Ruangan. Mau tak mau sekarang ia harus menemui orang tersebut.

Uzumaki Kushina. Ibunya.

Pintu yang terjeblak keras tak membuat wanita paruh baya tersebut mengalihkan atensinya dari berkas-berkas yang sedang ia geluti. Sakura langsung melangkah dan berdiri tepat di depan wanita Uzumaki anggun itu.

"Apa yang terjadi?" ucapnya to the point dengan raut gusarnya. Sempat heran melihat betapa tenang ibunya itu padahal jelas saja ini posisi sulit bagi salah satu artisnya yang berarti juga masalah baginya.

"Apa maksudmu?"

"Kenapa kontrakku dengan perusahaan periklanan Amerika dibatalkan? Kenapa kaa-san?!"

Teriakan frustasinya di akhir kalimat mau tak mau membuat gerakan wanita Uzumaki senior itu terhenti dan memandang datar ke arahnya.

"Jangan seenaknya memanggilku. Panggil aku Ketua Uzumaki di tempat kerja."

Sakura menelan ludahnya, menahan rasa muak dengan sikap acuh ibunya itu. Ia menatap Sang Ibu yang kini menghelas nafas sambil melepaskan kacamata tanpa framenya. Tangan wanita itu kemudian menjulur untuk meraih sebuah map dan melemparkannya ke meja di hadapan gadis pink itu. Sakura memandang map tersebut masih dengan raut tak mengertinya kemudian kembali menatap Sang Ibu.

"Di dalam map itu ada tiket pesawat dan semua keperluan yang kau butuhkan. Kau akan tetap ke Amerika. Tapi bukan untuk mengikat kontrak dengan perusahaan periklanan itu. Istirahatkan dirimu. Selama satu tahun kau akan aku vakumkan dari perusahaanku."

Sakura sudah tak bisa bicara lagi. Ia tak percaya apa yang baru saja ia dengar.

"Apa katamu?"

Kushina tak menjawab. Hanya menatap datar wajah tak percaya dari Sakura. Mengacuhkan bahkan ketika kini raut itu berubah menjadi raut menahan amarah sekalipun.

"Jangan bercanda. Aku masih punya kontrak dengan–"

"Semua kontrakmu sudah dibatalkan."

Sebelum Sakura bisa menyelesaikan kalimatnya, satu jawaban dari Kushina membuat tubuhnya membeku seketika.

"Apa maksudmu?"

"Drama-dramamu, film dan semua iklan yang kau bintangi akan digantikan oleh Shion. Dari pihak rumah produksi dan perusahaan-perusahaan yang memakaimupun tak keberatan jika bintangnya harus diganti. Aku akan mengadakan konferensi pers untuk itu. Jadi–"

"Aku tanya apa maksudmu?!"

Jebol sudah pertahanan Sakura. Dengan sekuat tenaga ia berteriak pada Kushina dan membuat wanita itu bungkam seketika. Airmata yang lolos bukti kemarahan terpendamnya, tak membuat wanita Uzumaki itu tergerak sedikitpun rasa bersalah. Raut wanita itu masih sama. Datar.

"Kau tidak bisa seenaknya seperti ini."

Sakura menatap tajam wanita itu.

"Aku sudah melakukan segalanya."

Airmatanya semakin deras mengalir. Dari dulu ibunya tak pernah mengakui kemampuannya. Ibunya selalu meragukannya. Sakura sudah biasa jika ibunya meremehkan aktingnya di setiap drama dan film yang ia perankan. Ia juga sudah kebal dengan semua sindiran Sang Ibu yang selalu membandingkannya dengan kakaknya, Pein atau mengatakannya tak pantas untuk menjadi pewarisnya memimpin perusahaan entertaiment mereka. Caci maki dan kritikan pedas seperti itu sudah seperti makanan sehari-hari baginya.

Tapi kali ini Sakura benar-benar tak habis pikir. Bahkan ibunya menyingkirkannya karena kesalahan kecilnya? Skandal ini masih mungkin untuk dikubur. Sebesar itukah ibunya benar-benar membencinya sampai ia ingin menghancurkan karirnya?

"Aku sudah mempertaruhkan semuanya demi bisa berdiri seperti saat ini! Aku merangkak dengan susah payah dari bawah dan kau dengan seenaknya menghancurkannya?!" teriaknya mengacuhkan bahkan jika ada orang lain yang mendengar teriakannya selain ibunya. Ia tak peduli.

Kushina masih diam menatap bagaimana emerald itu menatapnya dengan kobaran kebencian yang sangat menusuk. Sesaat menatap dalam iris itu sebelum kemudian mulutnya akhirnya terbuka untuk menggumamkan dua kata yang membuat Sakura membeku seketika.

"Kau hamil."

Pandangan menusuk itu musnah seketika. Kobaran kebencian itu hilang berganti dengan raut terkejut yang sangat terlihat jelas. Sakura merasakan de javu. Ia mendengarkan hal yang sama seperti yang ia dengar beberapa hari yang lalu, dari orang yang berbeda.

Namun kali ini ia tak berani menyangkalnya, seperti saat ia menyangkal Sasuke. Bukan karena ia ingin mengakui kebenaran itu. Tapi lebih tepatnya karena kali ini ibunyalah yang mengatakannya. Seseorang yang Sakura ingin ia tak boleh tahu bahkan jika itu hanya sebuah gosip sekalipun. Hanya gosip kecil saja ibunya biasanya akan menyindirnya dan bersifat keras dengan menyarankan kemundurannya dari dunia entertaiment daripada mempermalukan agensi mereka. Apalagi sebuah skandal besar yang adalah kenyataan seperti ini.

Dan sekarang ibunya sudah tahu. Adakah yang lebih buruk dari itu?

"Tidak perlu tahu darimana aku mendengar ini,"

Sakura diam tak berkutik mendengar suara dingin ini.

"Kuberi pilihan padamu,"

Masih tenggelam dalam keterkejutannya, saat seribu pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya semakin memporakporandakan mentalnya seketika. Ia menatap penuh ketegangan pada wanita di hadapannya kini. Apa ini adalah perbuatan Uchiha Sasuke? Tapi Sakura sangsi tentang hal itu. Pria itu, walaupun seorang bajingan tapi dia bukanlah tipe pengadu. Dan kenapa juga pemuda itu harus bertindak sampai sejauh ini? Tapi kalau bukan, lalu siapa?

"Pergilah. Anggap aku tak pernah tahu tentang hal ini. Gugurkan bayi itu jika kau mampu melakukannya dan aku juga akan membatalkan semua keputusanku untuk menggantimu,"

Sakura kembali dari pengembaraan pikirannya. Menatap Sang Ibu dengan sorot linglungnya.

"Tapi jika kau tak punya kuasa untuk itu, lebih baik kau ikuti saja apa yang kukatakan. Kau sudah terlalu banyak membuat masalah untukku."

Dan satu kalimat dingin yang membuat hatinya remuk seketika. Ini seperti hukuman mati untuknya. Ibunya seakan tahu kalau ia tak punya kekuatan untuk menggugurkan kandungannya. Kenapa semua orang menyuruhnya untuk memutuskan sesuatu yang tidak dikehendakinya? Kenapa semua orang menempatkannya pada posisi yang sulit?

Dan kini ia tahu, ia telah hancur. Karirnya hancur. Dunia yang ia bangun selama bertahun-tahun, hancur hanya dalam waktu semalam. Hanya karena sebuah kesalahan kecil yang fatal. Tapi yang lebih menyakitkan adalah ibunya meninggalkannya. Ibunya menganggapnya hanyalah pembawa masalah.

"Kenapa kau meninggalkanku seperti ini?" pertanyaan lirih itu masih berusaha dilontarkan Sakura. Emeraldnya menatap penuh luka pada manik serupa dengannya itu. Suaranya bergetar saat perkataan selanjutnya lolos dari bibirnya.

"Apa pernah sekali kau menganggapku sebagai anakmu?"

Rasa sakit yang menyusup masuk itu seakan merobek jiwanya. Menariknya jatuh semakin jauh. Dan Sakura tahu, ia akan semakin hancur saat mendengar jawaban dari ibunya. Akan tetapi dibiarkannya mulutnya berbicara, karena pada kenyataannya hatinya menginginkan jawaban bagaimana sebenarnya posisinya di hati Sang Ibu.

"Tidak ada waktu bagiku untuk memikirkan hal konyol seperti itu. Kau adalah artisku, item perusahaanku. Kau harusnya tahu dimana posisimu dan bagaimana menjaga nama baikmu. Tapi nyatanya kau tak becus untuk semua itu."

Suara itu mengalun datar. Menghempaskan Sakura ke dalam kubangan keterpurukan seketika. Semua sangat sempurna. Apa yang tidak lebih menyakitkan dari perkataan ibunya sekarang. Ia sungguh terlihat sangat menyedihkan. Mengharapkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ia dapatkan. Ibunya yang selalu dipihaknya? Ibunya yang selalu ada disaat ia terpuruk? Ibunya yang selalu disisinya dalam segala keadaan?

Item.

Ya, itu jawabannya. Ia hanya dianggap sebuah item dimata ibunya.

Untuk terakhir kalinya ia hanya dapat tersenyum. Senyumnya miris dengan tatapan kosong penuh kesakitan yang terarah pada Sang Ibu sebelum kemudian berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahnya tak berarah tujuan. Hanya berharap dapat pergi dari semua sumber rasa sakitnya.

Ibunya.

Dan Uchiha Sasuke.

.

.

.

Entah setan mana yang merasukinya sampai ia nekad menginjakkan kakinya ke tempat yang seharusnya tidak boleh dikunjungi ibu hamil sepertinya. Hanya saat ia sadar ia sudah berada ditempat ini. Berdiri di depan bartender yang kini menanyakan pesanannya.

Dia, Sakura. Menatap kosong bartender di depannya sebelum mulutnya mengucapkan jenis minuman keras yang kemudian dihidangkan Sang Bartender dalam sebuah gelas besar. Tanpa menunggu lagi, langsung saja ia teguk minuman itu tanpa jeda sedikitpun. Membuat Sang Bartender mengernyitkan dahi melihatnya.

"Nona, kau harus meminumnya dengan pelan–"

Prang!

Belum selesai bartender tersebut berbicara dan belum sempurna Sakura menandaskan minumannya, sebuah tangan menepis kasar gelas di tangan gadis itu membuat Sang Gadis kaget karena gelas yang pecah membentur lantai. Lebih kaget lagi, saat ia melihat siapa pelakunya.

Uchiha Sasuke.

Menatapnya dengan sorot tajam yang jelas sekali sarat akan kemarahan.

"Apa yang kau lakukan?" desisnya dingin. Gertakan gigi beradu membuat Sakura sedikit gentar melihatnya. Namun rasa gentar itu musnah seketika saat ia mengingat apa yang membuatnya menjadi menyedihkan seperti ini. Tubuhnya secara spontan berdiri dari tempatnya yang didudukinya dan menatap balik pria itu dengan sorot yang tak kalah mengancam. Kemarahan terpendam, seperti tidak tahu lagi bagaimana harus meluapkannya. Airmatanya jatuh tanpa bisa dikendalikannya.

Dan detik berikutnya, langkah kakinya membawanya meninggalkan pria itu tanpa suara. Membiarkan Sasuke yang kini memandang punggungnya dengan tajam, ikut mengejar langkahnya dengan cepat. Pria Uchiha itu menarik lengannya kasar sebelum ia berhasil mencapai pintu keluarnya. Membuatnya meronta.

"Jangan sentuh aku, brengsek!" jeritnya membabibuta diikuti dengan pukulan acaknya yang bertubi-tubi pada pria di depannya itu. Yang sayangnya dapat di hentikan dengan mudah oleh Sang Pria. Sasuke menangkap pergelangan tangannya dan membawa tubuh gadis pink itu membentur dinding di samping pintu dan mengurungnya disana.

Sakura yang merasa kalah tenaga hanya meraung meratapi kelemahannya kala tubuh tegap Sasuke kini memeluknya. Membungkus tubuhnya seolah ingin menenangkannya. Ia tak butuh pria itu saat ini. Ia tak ingin pelukannya. Ia tak ingin semua hal yang berkaitan dengan pria Uchiha itu. Ia hanya ingin sendiri, menenangkan dirinya. Tapi kenapa ia merasa kemanapun ia pergi, Uchiha brengsek itu selalu bisa menemukannya dan mengganggu ketenangannya. Itu membuatnya frustasi.

Ya, semua hal yang berhubungan dengan Sasuke membuatnya frustasi. Pria itulah penyebab rasa sakitnya. Semua masalah yang memukulnya bertubi-tubi, akarnya dari Uchiha muda itu. Hal tersebut terus terngiang di telinganya. Otaknya menolak untuk menerima kenyataan yang ada. Menolak menerima kehamilannya. Membuatnya tertekan. Efek alkohol yang diminumnyapun mulai memperlihatkan reaksinya. Kepalanya berputar. Dan detik berikutnya tubuhnya ambruk dalam pelukan Sasuke yang tentu saja terkejut karenanya.

"Sakura!"

Pria itu menangkup pipi gadis Uzumaki itu dengan tangan kirinya, berusaha menyadarkannya yang sayang sekali tak menunjukkan reaksi apapun dari Sang Gadis.

"Sial!"

Dan itu adalah suara terakhir yang masih samar-samar Sakura dengarkan sebelum kemudian ia merasa tubuhnya seperti terangkat melayang ke udara dan kesadarannya hilang total.

.

.

Emeraldnya mengerjab perlahan saat ia mendapati dirinya berada di ruangan asing dengan seorang wanita muda berambut pirang yang tersenyum ramah di sampingnya. Ia tak mengenali wanita itu. Ia mendudukan dirinya dan terdiam menatap wanita yang kini sedang mengoceh menanyakan keadaannya. Seperti, apa yang ia rasakan saat ini setelah proses 'pembersihan lambung'nya dari minuman keras yang di minum di hari sebelumnya. Atau adakah yang ia inginkan, apakah ia lapar dan lain-lain. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyimpulkan bahwa wanita ini adalah seorang dokter yang mungkin ditugaskan untuk merawatnya.

Ocehan-ocehan wanita itu jualah yang membawa Sakura pada ingatan tentang kejadian apa yang terjadi sebelumnya yang membuatnya akhirnya terbaring lemah seperti ini. Juga informasi bahwa ia telah berbaring tak sadarkan diri selama sehari penuh semenjak kemarin malam. Ia juga akhirnya tahu bahwa ruangan ini adalah salah satu kamar di rumah seorang Uchiha Sasuke.

Uchiha Sasuke.

Matanya bergulir pelan menatap kosong pada selang infus di tangannya untuk beberapa saat sebelum kemudian tangannya bergerak mencabut selang infus tersebut. Membuat wanita di sampingnya itu spontan saja menghentikan ocehannya karena kaget dengan aksinya.

"Sakura-san, apa yang kau lakukan?! Kau belum boleh kemana-mana!" pekik wanita muda itu saat melihat Sang Gadis Pink mulai beranjak dari tempat tidurnya.

Sakura tak menggubris teguran wanita itu dan tetap berjalan keluar dari kamar tersebut. Kakinya melangkah menuruni anak tangga mengabaikan Sang Wanita yang mengejarnya di belakang. Namun, akhirnya ia harus berhenti diujung tangga, saat menyadari ada sosok lain yang berdiri di depannya.

Sasuke.

Sosok bermata elang itu memandangnya dengan tatapan datarnya.

"Mau kemana? Diluar hujan."

Sesaat terdiam dengan tatapan kosongnya, akhirnya Sakura memutuskan untuk kembali berjalan. Tak mempedulikan perkataan pria muda yang kini dilewatinya itu. Mengacuhkan pria yang kini hanya menatap punggungnya yang menjauh. Sasuke membiarkannya melangkah keluar rumah. Bahkan pria itu memberi kode pada wanita berambut pirang yang tadi mengejarnya untuk tidak ikut campur. Terserahlah. Ia tak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Ia hanya ingin pergi dari rumah ini. Pergi dari rumah bajingan yang sudah membuatnya menderita ini.

Udara dingin menggigit kulitnya saat kaki telanjangnya menapaki teras kediaman Uchiha. Melangkah lunglai menerobos hujan menuju gerbang rumah itu. Mengabaikan tubuhnya yang basah kuyup. Ia menghentikan langkah saat menyadari gerbang utama rumah itu sudah ada didepan matanya. Mengacuhkan penjaga gerbang yang terlihat panik karena dirinya.

"Buka gerbangnya," ucapnya dingin dan datar.

Penjaga itu tak melakukan apa yang ia suruh. Ia hanya berdiri gelisah di tempatnya.

"Maaf Nona, saya diperintahkan untuk tidak membiarkan anda pergi," jawab penjaga tersebut yang hanya ditanggapi Sakura dalam diam.

Bibirnya bergetar. Perlahan tangannya terjulur untuk memegang jeruji besi pagar tersebut seirang dengan tatapan matanya yang berubah nanar. Ia tak percaya ini. Karirnya berakhir dalam sebuah jeruji besi yang tak akan pernah terbuka untuknya sebelum janin yang sedang bersarang di perutnya ini keluar. Ingatannya kembali pada percakapannya dengan Sang Ibu yang membuat matanya spontan mengkristal.

Dan semuanya tumpah saat dalam isakan lirihnya saat ia ingat bagaimana ia dibuang oleh ibunya. Keinginannya untuk membuktikan diri, bahwa ia pantas untuk menjadi bintang besar dan penerus UK Entertaiment hancur total.

Beberapa saat larut dalam isakannya, ia tak lagi merasakan air hujan yang membasahi tubuhnya. Seseorang memayunginya dari belakang. Dan Sakura tahu siapa pelakunya. Perlahan ia membalikkan badannya dan menatap orang tersebut.

Sasuke.

"Aku mohon," tangannya mencengkeram jas pria itu yang sedikit basah karena air hujan. "Apapun selain melahirkan anak ini. Aku tidak bisa, Uchiha-san. Aku tidak bisa," isaknya pilu. Tubuhnya merosot, bersimpuh di kaki pria itu. Terisak hebat di sana. Berharap Sang Pria mau mengasihaninya.

Tapi sepertinya itu semua adalah sia-sia. Sasuke menghela nafas lalu memegang lengan Sakura dan menyuruhnya berdiri. Ia menatap gadis itu sebelum akhirnya memeluknya. Membuat Sakura tentu saja kaget karena tindakannya.

"Kau tahu itu tak mungkin, Sakura," Keheningan menyelimuti mereka setelahnya. Meninggalkan Sakura dengan isakan tertahannya. Membuat Sasuke kembali bersuara beberapa saat kemudian.

"Mungkin bagimu anak itu tak ada artinya," jeda sesaat. "Tapi bagiku dia sangat berarti lebih daripada hidupku."

Satu kalimat yang membuat Sakura sukses bungkam. Ia tak dapat mendefinisikan arti getaran jantungnya yang begitu cepat hanya karena mendengar kalimat itu. Ia tak dapat mengartikan hangat yang tiba-tiba menyelubungi hatinya. Ia tak mengerti mengapa pelukan ini seperti obat sakit hatinya pada semua yang telah ia alami ini. Ini sangat nyaman. Dan ia merasa–

–terlindungi.

Kenyamanan yang bahkan tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Bahkan dari keluarganya sekalipun.

.

.

.

Kedua kalinya ia merasakan getaran ini, saat keesokan harinya ia membuka matanya. Ia melihat Sasuke yang sedang duduk di sisi ranjangnya. Mengusap pipinya dan menatapnya penuh arti. Ia terkejut, tapi tak berusaha menghindar. Ia tak mengerti kenapa tubuhnya seolah menikmati kenyamanan sentuhan pria itu. Seperti sebuah candu untuk terus merasakannya. Apa ini pengaruh hormon karena ia sedang hamil?

Sasuke mengajaknya sarapan dan anehnya iapun tak menolaknya. Ia juga tak mengerti mengapa tiba-tiba ia jadi penurut. Mungkin juga karena perutnya yang meronta minta diisi karena seharian kemarin tak ada yang masuk ke tubuhnya selain cairan infus.

Mereka sarapan dengan wanita pirang –yang akhirnya diketahuinya– bernama Ino. Sasuke mengatakan, Ino akan menemaninya beberapa hari sampai ia terbiasa tinggal di rumah ini. Dari kata-katanya itu, Sakura tahu pria itu memerintahkan secara tersirat kalau Sakura harus tinggal bersamanya. Ia bersikap seolah Sakura sudah memutuskan untuk melahirkan anaknya walau belum ada jawaban apapun dari gadis pink itu. Tapi Sakura sendiri mengakui, tidak ada pilihan lain lagi baginya selain melahirkan anak ini.

Setelah sarapan, Sasuke terus bersamanya. Ia membicarakan banyak hal tentang perjanjian mereka atau sejenisnya. Sakura lebih banyak diam dan mendengarkan.

"Apa ada yang ingin kau katakan?" tanya pria itu diakhir penjelasannya yang sontak saja membuyarkan lamunan Sakura. Gadis itu menggeleng tanpa minat.

"Tidak."

Pria itu diam menatap Sakura sejenak sebelum kembali bicara. "Kalau kau menginginkan sesuatu, katakan saja."

"Sejak kapan aku punya hak untuk mengatakan keinginanku? Kalau aku punya, aku tak mungkin duduk di hadapanmu sekarang."

Satu kalimat dingin yang membungkam Sasuke seketika. Pria itu menatap Sakura tak terdefinisi. Sakura sendiri tahu kalimatnya tadi sungguh tidak sopan dan terkesan menghakimi Sasuke. Tapi itu adalah kenyataannya.

"Istirahatlah." Akhirnya, satu kata itu yang Sasuke lontarkan untuk mengakhiri pembicaraan mereka kemudian melangkah pergi. Ya, Sakura tahu beginilah akhirnya. Pria itu tak mungkin mengalah dengan keputusannya. Memang apa lagi yang bisa ia lakukan?

Hari-hari selanjutnya adalah hari yang panjang. Setiap hari yang ia lakukan adalah memandang kalender di pangkuannya. Berapa lama lagi ia akan berada di tempat ini. Tidakkah ada orang yang merindukannya diluar sana? Apakah fansnya merindukannya? Apakah ibunya merindukannya?

Ibunya? Pikirannya melambung memikirkan kenapa ibunya sama sekali tak mencarinya padahal ia sudah menghilang beberapa minggu semenjak kejadian pengusirannya tersebut. Ia bahkan belum mengambil tiket, pasport dan semua hal yang ia butuhkan untuk pergi ke Amerika dari ibunya. Apa ini berarti ibunya memang tak pernah peduli padanya? Apa ia memang hanya sekedar item perusahaan yang akan dibuang jika sudah tak berguna lagi?

Sasukepun tidak memperbolehkannya untuk menonton televisi. Semua alat komunikasi yang berhubungan dengan media di singkirkan dari rumah itu. Ia memang memegang ponsel, tapi ponsel itupun tak ada jaringan untuk mengakses internet. Semua hal inilah yang meyakinkan Sakura kalau ada sesuatu yang terjadi diluar sana yang Sasuke tak ingin ia ketahui. Apapun itu Sakura yakin ini ada hubungannya dengan skandalnya. Tentang semua jawaban kenapa sampai sekarang ibunya tak mencarinya. Atau mungkin gosip-gosip tentang hilangnya dirinya dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Tentang kehancuran karirnya. Memikirkan semua itu tentu saja membuat hatinya sedih. Apalagi dengan mood swing seperti ini, tak jarang ia sampai meneteskan airmatanya. Menangis dalam diam.

Namun yang mengherankan, setiap kali ia menangis, seseorang pasti datang untuk menghiburnya. Teman-teman Sasuke selalu datang mengunjungi kediaman Sasuke dan bertemu dengannya. Ino, dokter yang sering ia temui sebelumnya. Juga Karin, rekannya sesama artis. Sakura sempat kaget mengetahui Karin adalah kenalan Sasuke. Kini ia tahu kenapa ia bisa berakhir dengan Sasuke malam itu. Mungkin bisa dibilang Karin adalah penghubung mereka secara tak langsung.

Sakura bertanya banyak hal kepada Karin termasuk apa yang terjadi setelah kepergiannya, tapi gadis itu hanya menjawab sekenanya –seperti tak ingin menjawabnya. Ia mengatakan untuk Sakura tak terlalu memikirkan apa yang terjadi. Lebih baik ia tak melihat berita-berita tak benar terkait dirinya di media daripada membuatnya depresi dan berdampak bagi kandungannya. Mungkin itu juga yang membuat Sasuke tak mengijinkannya menonton televisi. Apapun itu, Sakura tahu ia sudah depresi walaupun ia tak melihat beritanya sekalipun.

Hal-hal seperti itulah yang ia tanyakan. Selebihnya, tentang perasaannya, Karinlah selalu memancingnya untuk berbicara. Apa yang ia rasakan, atau setidaknya menanyakan apakah ia–bayinya– menginginkan sesuatu. Yang kemudian akan langsung dibelikan Karin –atas perintah Sasuke– hari itu juga. Memancingnya dengan alami bahkan Sakura tak pernah menyadari jika gadis merah itu sengaja melakukannya.

Semua berjalan seperti biasa. Karin yang diperintahkan Sasuke untuk selalu menemani Sakura dan menanyakan apa yang gadis itu butuhkan –karena Sakura tak akan pernah mau mengatakan pada Sasuke langsung. Dan Sakura yang tidak tahu kalau tentang semua hal yang Sasuke lakukan untuknya. Sampai suatu hari, Sakura iseng mengatakan hal konyol yang entah darimana asalnya bisa terlintas diotaknya saat itu. Sesuatu yang tak habis pikir bisa ada di kepalanya, tapi selalu membayanginya selama ini. Hal konyol yang akhirnya menjadi sebuah babak baru dalam hidupnya.

"Aku tidak mengerti kenapa kejadian dimalam Uchiha-san memelukku selalu terbayang dibenakku. Aku–" Sakura memenggal kalimatnya ragu. Ia menggigit bibir bawahnya. "–seperti menginginkan itu setiap hari."

Ia langsung menoleh menatap Karin yang tengah tersenyum penuh arti saat ia mengatakan itu. Membuatnya salah tingkah dan spontan saja berkata, "Jangan bilang pada Uchiha-san ya, Karin? Aku juga tidak tahu kenapa aku selalu menginginkan hal konyol itu. Aku pikir.. aku pikir–" lagi-lagi ia memenggal kalimatnya dan melanjutkan dengan suara lirih. "Aku pikir ini keinginan anak ini."

Lidahnya masih kelu untuk menyebutkan anak dalam kandungannya itu. Itu masih terasa aneh baginya. Asing. Karin memperlebar senyumnya.

"Keinginanmu juga tidak apa-apa kok," celetuk Karin membuat pipi Sakura merona karenanya.

Ia menggerutu, namun dengan mudah melupakannya. Tak pernah berpikir kalau itu adalah sesuatu yang serius. Tak terbersit sebelumnya jika apa yang diucapkannya saat itu akan berbuntut panjang. Ia menganggap itu hanyalah curhatan picisan yang sekedar lewat. Namun apa yang terjadi sore setelah percakapannya dengan Karin itu, mau tak mau membuat Sakura dipaksa untuk berpikir ulang tentang perasaannya.

Masih terekam jelas di benak Sakura saat itu. Kala ia sedang beristirahat sore, Sasuke memasuki kamarnya bahkan sebelum ia sempat mengganti baju kantornya. Menatap Sakura dengan tatapan yang membuat gadis itu tak enak hati dan tanpa kata pria itu memeluknya.

Sakura tak paham dengan apa yang ia rasakan saat itu. Perasaan yang abstrak ini bahkan lebih dasyat dari sebelumnya. Sebuah debaran yang membuat jantungnya ingin melompat keluar. Jutaan kupu-kupu seperti beterbangan dari perutnya. Bahkan, dia yang biasanya selalu memukul jika ada orang yang tak dekat dengannya menyentuhnya sembarangan, tak berkutik karena pelukan ini.

"Aku tak pernah menuruti siapapun yang tidak sesuai dengan keinginanku."

Sakura sudah tak tahu lagi harus bereaksi bagaimana. Ia masih tak mengerti apa yang terjadi. Lidahnya kelu untuk berbicara. Dan tubuhnya seperti tak mengikuti apa yang otaknya perintahkan.

"Kau yang pertama," Pria itu menggantung kalimatnya untuk menghela napas. "Jangan pernah lagi mengatakan kau tidak berhak untuk meminta, Sakura. Apapun selain mengugurkan anakku, aku akan mengabulkannya."

Dan Sakura merasa seluruh pasokan oksigen seperti ditarik dari paru-parunya. Beberapa detik ia seperti lupa rasanya bernapas. Ia tak tahu lagi bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya. Ia seorang aktris yang sudah sering dihadapkan dengan begitu banyak skenario romantis. Dan kini ia tahu jawabannya. Jawaban dari setiap detak jantungnya yang menggila jika ia dipeluk oleh Sasuke selama ini.

Demi Tuhan! Jangan bilang kalau ia sedang–

–jatuh cinta?

Kini ia mengerti, kenapa semua yang diinginkannya selama ini terkabul. Ia bersumpah tak akan pernah bercerita lagi pada Karin tentang perasaannya. Tak akan pernah.

.

.

.

.

.

.

.

Lima bulan bukan waktu yang cepat, apalagi jika harus melakukan sesuatu yang tidak disukai. Setidaknya itu yang pernah terlintas di benak Sakura –dulu. Tapi kini, waktu itu seakan berlalu begitu cepat bagi gadis pink itu. Lima bulan sudah ia berada di kediaman Uchiha semenjak skandalnya dengan pria itu. Perjanjiannya dengan pria itu akan berakhir kurang lebih tiga bulan lagi. Atau mungkin kurang mengingat saat bulan keempat kehamilannya, dokter menvonisnya mengandung anak kembar. Dan itu berarti masa kehamilannya kemungkinan akan berkurang.

Entah apa yang merasukinya sampai kini ia merubah pandangannya bahwa lima bulan adalah waktu yang singkat. Iapun sampai sekarang masih tak mengerti perasaannya. Seperti ada yang menyihirnya begitu cepat setelah kejadian pelukan Sasuke. Pernah terlintas dalam benaknya sebuah pertanyaan, apa ini cinta? Apa ia sedang jatuh cinta?

Cinta?

Apa cinta yang membuatnya berbunga-bunga saat setiap pagi kini Sasuke selalu memeluknya walau ia sudah menolaknya? Apa cinta yang membuatnya merasa takjub saat mendengar ada tiga kehidupan di dalam rahimnya? Anak yang dulu ia benci?

Apa cinta juga yang mengirimnya sampai disini, diperusahaan Sasuke bersama satu paket bento di tangannya?

Sakura menatap bento di tangannya ragu, sebelum akhirnya ia menghela napas dan memutuskan kembali berjalan. Akan sia-sia usahanya membujuk asisten Sasuke untuk dapat mengantarkannya ke perusahaan pria itu dan juga usahanya membuat bento ini, kalau akhirnya ia mundur. Betapa susahnya ia mendapat ijin keluar, disaat pria Uchiha itu memerintahkan semua orang menjaganya untuk tetap ada di rumah. Mengingat pesan Sasuke yang menyuruhnya untuk menunggunya nanti malam karena akan ada hal penting yang akan dibicarakan pria itu, membuatnya mendapat alasan untuk datang ke kantor Sasuke. Daripada harus menunggu pria itu pulang.

Bersama asisten Sasuke, tak sulit bagi Sakura untuk masuk ke dalam perusahaan Uchiha. Sekertaris mengatakan jika Sasuke sedang di ruang meeting, dan mengatakan Sakura bisa menunggu pria itu di ruangannya atau bisa menyusul ke ruang meeting. Sakura dengan perutnya yang sudah membesar di usia kandungannya yang memasuki usia tujuh bulan jelas saja memutuskan untuk menunggunya di ruangan Sang Pria. Ia masih sungkan menunjukkan kehamilannya pada orang lain selain orang-orang kepercayaan pria Uchiha itu. Senyum ia lemparkan tanpa sadar saat ruangan direktur Uchiha itu sudah di depan matanya. Tangannya terjulur pelan menggapai kenop pintu tersebut dan memutarnya.

"Ada apa menemuiku? Aku ada meeting sebentar lagi, jadi bicaralah dengan cepat."

"Hanya ingin memastikan sesuatu. Aku mendengar beberapa selintingan tentangmu dan Sakura."

Gerakannya untuk membuka pintu tersebut terhenti saat ia mendengar percakapan dua orang tersebut. Apalagi saat ia mendengar namanya disebut. Dengan ragu ia kembali mendorong pintu di depannya. Dan apa yang dilihatnya kini membuatnya terkejut.

Ibunya, ada di hadapannya. Sedang duduk dan berbicara dengan Uchiha Sasuke.

Sekelebat pikiran negatif berkecamuk di dalam benaknya. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa membawa namanya? Sejak kapan mereka saling kenal?

"Aku ingin mengingatkan, kau punya perjanjian denganku. Hubunganmu dan Sakura hanya sampai ia melahirkan anakmu. Aku harap kau tak melupakan itu."

Bagai tersambar petir, tubuh Sakura terpaku mendengarnya. Ia tak bodoh untuk dapat mengerti maksud ibunya itu. Jadi sejak awal ibunya sudah mengetahui jika bayi dalam kandungannya adalah anak seorang Uchiha Sasuke? Jadi itukah alasan ibunya membuangnya waktu itu? Ada perjanjian di antara mereka tentang anak ini?

Sakura menatap nanar wajah stoic Sasuke. Secuil rasa sakit hinggap di hatinya.

"Sepertinya rumor adanya spy di perusahaanku memang benar." Pria itu mengatakannya dengan dingin. "Bagaimana jika apa yang kau dengarkan itu adalah benar? Mungkin aku bisa mengatakan kau perlu bersiap jika suatu saat nanti aku melanggar perjanjian kita."

Sakura menatap kembali ibunya yang terlihat marah pada Sasuke. Wanita itu berdiri dari duduknya dan menatap pria Uchiha itu dengan garang.

"Jangan main-main denganku, Uchiha! Kau pikir aku tidak tahu kebusukanmu?!" Kushina tersenyum sinis. "Aku tahu kaulah yang menyuruh Karin mengundang Sakura ke pestanya. Apa ini hanya sebuah kebetulan atau kau memang telah merencanakannya? Menjebak Sakura?" Ia menatap Sasuke yang masih memandangnya datar seolah tak terpengaruh sedikitpun oleh kata-katanya. Membuatnya menghilangkan senyum sinisnya karena geram.

"Jangan memaksaku untuk membocorkan semuanya pada Sakura. Apa kau lupa siapa yang menawarkan perjanjian bisnis ini dengan syarat Sakura melahirkan anak dalam kandungannya? Bagaimana jika Sakura tahu, orang yang kini mulai disukainya hanyalah bajingan yang menjadikannya alat untuk melahirkan anak-anak bajingan itu? Aku pikir ia akan membencimu seumur hidup, Uchiha."

Tubuh Sakura bergetar hebat mendengar apa yang dikatakan ibunya. Matanya memanas. Kristal bening itu jatuh tatkala ia mendapati bahkan Uchiha muda itu tak menyangkal apa yang ibunya katakan. Ia tersenyum sarkastik. Jadi selama ini ia adalah seorang gadis bodoh yang hampir jatuh cinta pada seorang pria yang hanya menganggap dirinya adalah alat untuk melahirkan anaknya?

Dengan wajah berlumuran airmata, ia menatap pria Uchiha yang kini ikut bangkit berdiri menguatkan hatinya untuk mendengar semua kebenaran yang selama ini ditutupi darinya. Ia sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa lagi. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia hanya berdiri dengan ekspresi linglungnya menatap dua orang yang masih berbicara itu.

"Jangan berpura-pura kau adalah yang paling suci diantara kita, Uzumaki-san." Sasuke maju satu langkah mendekati Kushina dengan sorot tajamnya. Seolah menantang wanita yang sudah berani mengancamnya ini. "Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan pada perusahaanku? Aku tahu kau dan mantan suamimu itulah dalang dibalik pencurian data proyek teknologi perawatan kanker yang dikembangkan perusahaanku agar terhindar dari masa kritis. Dan aku juga tahu kaulah yang menyuruh Shion untuk mengambil fotoku dan Sakura lalu menyebarkannya untuk membuat perusahaanku tak stabil, setelah kasus pencurian data itu."

Kushina terkejut mendengarnya. Namun dengan segera ia menguasai diri dan kembali menatap tajam pria di hadapannya ini.

"Dari reaksimu aku sudah bisa menebak kalau itu memang benar." Kushina mengatupkan rahangnya kuat-kuat. "Perlu kau ketahui, aku punya bukti-bukti tentang hal itu. Aku bisa saja menuntut perusahaan mantan suamimu dan menghancurkannya dalam semalam. Tapi aku masih berbaik hati dan mengalah, bahkan menawarkan perjanjian kerjasama ini karena memikirkan hubunganmu dan Sakura."

Wajah Khusina berkedut menahan amarah. Tangannya terkepal.

"Sakura sudah mulai percaya padaku. Hanya tinggal sedikit lagi aku meyakinkannya untuk tinggal di sisiku selamanya. Jika kau berani mengusikku, akan kupastikan apa yang menjadi ancamanku ini menjadi kenyataan. Karena itu berhentilah selagi kau masih bisa."

Sasuke menyeringai kejam.

"Dan bagaimana jika Sakura tahu jika ibu yang selama ini ditangisinya, adalah seorang munafik yang telah menjualnya padaku hanya demi sebuah perjanjian bisnis untuk menyelamatkan perusahaan mantan suami yang belum bisa dilupakan ibunya itu?"

Sakura sudah tak bisa menahan lagi. Tangannya bahkan sudah tak kuat lagi menahan beban seberat bento, dan membuat benda berisi makanan tersebut jatuh. Menimbulkan suara yang membuat keberadaannya akhirnya diketahui kedua orang tersebut.

Kushina nampak terkejut namun ia berupaya untuk tetap tenang walau raut khawatir itu tetap ada diwajahnya. Sedang Sasuke seketika melunturkan wajah kejamnya saat ia melihat gadis yang tampak syok berlumuran airmata, berdiri di depan pintu ruangannya. Ia melebarkan onyxnya kaget. Dari ekspresi gadis itu, ia tahu kalau Sakura sudah mendengar semuanya.

"Sakura–"

Kalimatnya terpotong kala maniknya melihat bagaimana gadis itu berbalik dengan linglung hendak pergi dari tempat itu, mengabaikan dirinya. Dan spontan saja ia mengejar dan meraih lengan sang gadis hendak menjelaskan semua kesalahpahaman ini.

"Lepaskan aku," lirih Sakura tanpa memandang Sasuke. Sekuat tenaga ia berusaha untuk meredam seluruh emosinya. Namun sepertinya Sang Uchiha muda tak menggubrisnya. Laki-laki itu semakin kuat mencengkeram lengannya.

"Tidak. Kau harus dengarkan aku." Sasuke berbicara tegas membuat Sakura tak mampu lagi menahan kemarahannya. Sekuat tenaga ia menyentak tangannya.

"Kubilang lepaskan aku! Kau bajingan, Uchiha!" teriakan brutal itu menimbulkan kegaduhan di kantor Uchiha. Sasuke memeluk gadis pink itu, berusaha menenangkannya. Mengabaikan rasa sakit yang kini menjalar di dadanya akibat pukulan membabibuta dari Sakura yang tak main-main. Gadis itu menjerit menangis sekuat tenaga. Membuat hati Sasuke sedikit tercubit karena rasa bersalah yang mengerogoti hatinya. Sungguh hal terakhir yang ia inginkan adalah melihat Sakura menangis karenanya.

Sakura tidak tahu lagi apa yang ia rasakan sekarang. Hatinya kebas. Ia tak percaya ini. Baru saja ia ingin mempercayakan hatinya pada Sasuke, tapi ia mendapati pria itu tak ada bedanya dengan Sang Ibu. Menyakiti hatinya. Menganggapnya hanyalah sebuah item untuk melahirkan anak-anaknya.

Item.

Tenaganya seolah terkuras habis hanya karena memikirkannya. Ia berhenti berontak dan hanya bisa menangis dalam pelukan Sasuke. Namun tangisannya tiba-tiba lenyap di ganti sebuah rintihan, saat ia merasakan sakit yang luar biasa diperutnya.

"Ugghhh!"

Tubuh yang merosot jatuh. Membuat Sasuke kalang kabut karenanya.

"Sakura!"

Pria itu semakin panik saat ia melihat darah yang mengalir dari paha Sakura. Demi Tuhan. Ini pertama kalinya dalam hidupnya ia merasa ketakutan. Bukan hanya Sasuke, Kushinapun langsung berlari menghampiri anaknya dengan raut khawatirnya.

"Sakura!"

Sasuke membiarkan Sakura tidur di pangkuan Kushina, sementara pria Uchiha itu menelepon sopirnya untuk menyiapkan mobil. Dan setelahnya, dengan sigap ia membopong tubuh gadis Uzumaki itu. Pergi keluar ruangan mengabaikan Kushina yang mengikuti langkahnya.

.

.

.

Sakura membuka emeraldnya perlahan. Ia merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya. Tak sama seperti yang selalu ia rasakan jika terbangun di pagi hari beberapa waktu belakangan ini. Sekelebat bayangan kejadian yang membuatnya terbaring di tempat ini, membuatnya sadar apa yang berbeda dengan tubuhnya. Perlahan ia menggerakkan tangan menuju perutnya.

Rata.

Perutnya Rata. Sesuatu yang kemarin masih bersarang di perutnya, kini sudah tak ada. Kenapa? Apa mereka sudah lahir? Atau malah mereka gugur mengingat kehamilannya yang baru memasuki minggu ke dua puluh enam?

Namun, ia tak mau memikirkannya. Kejadian terakhir yang dialaminya sudah menghapus musnah semua rasa cintanya yang mulai tumbuh pada anak-anak itu. Ia membenci ayah mereka. Ia juga membenci mereka.

Seorang perawat masuk ke dalam kamarnya dan kaget saat mendapatinya sudah sadar. Beberapa saat Ino datang bersama beberapa orang dan mengecek keadaannya. Ia mengatakan hal-hal tentang keadaannya. Seperti ia tak boleh terlalu banyak bergerak karena baru saja melakukan operasi caesar. Dari Ino jugalah ia mengetahui anak kembarnya lahir prematur dan harus di rawat dalam inkubator selama kurang lebih tiga bulan karena kondisinya paru-parunya dan organ lainnya yang belum berkembang sempurna. Ia juga memberi selamat karena Sakura telah melahirnkan dua putra dan satu putri.

Apapun itu Sakura mengabaikannya. Bahkan saat Sang Dokter minta maaf karena ia belum diperbolehkan menggendong bayinya, ia tak peduli. Ia tak ingin melihat anak-anak itu. Ia masih diam saat Ino kemudian pamit dan berjanji akan kembali untuk menemaninya. Ia hanya terlalu lelah untuk berbicara dengan orang lain. Tidak ada yang benar-benar tulus padanya. Ia sudah terlalu muak dengan mereka semua. Tidak Karin, Shion, ibunya, bahkan Sasuke. Mungkin dokter cantik di depannya ini juga sama saja.

Saat Ino pergi, air suci itu kembali mengalir dari pipinya. Ia menangis dalam keheningan. Ia tidak pernah merasa sesendiri ini sebelumnya. Beberapa saat terlarut dalam tangisannya, ia kemudian memutuskan mencoba untuk bangun. Rasa nyeri pada perutnya bekas luka operasi diabaikannya. Tertatih ia berjalan perlahan keluar dan menuju lift.

Namun, tepat ketika ia menekan tombol lift itu untuk menutupnya, ia melihat sosok Sasuke yang baru saja keluar dari lift di seberang sana, hendak menuju kamarnya dengan tergesa. Pria itu sontak menghentikan langkah saat onyxnya melihat keberadaan Sakura. Ia terkejut dan langsung saja mengejar.

"Sakura?!" Pintu lift bergerak menutup dan Sakura hanya menatap Sasuke kosong tanpa ada niatan untuk menghentikannya. Sasuke melampiaskan kemarahannya dengan memukul pintu lift ketika ia mendapati tak bisa menghentikan lift yang kini tertutup sempura dan bergerak turun. Tanpa menunggu lagi, ia kemudian menggunakan tangga darurat untuk mengejar Sakura.

Ia mengatur nafas begitu sampai di lantai dasar. Onyxnya mengedar panik dan terhenti tepat pada sosok tubuh berambut pink yang berjalan tertatih sambil memegang perutnya. Darah segar merembes melalui celah tangannya membuat Sasuke membelalakan matanya.

"Sakura, berhenti disitu!"

Sakura mengabaikannya. Wajahnya memucat dengan pandangan kosong memburam dengan airmata. Ia keluar dari rumah sakit dan melangkah menuju jalan raya hendak menyeberang.

Dan semua terjadi begitu cepat. Bagaimana sebuah mobil melaju dengan cepat dan menabrak keras tubuh ringkihnya. Membuatnya terpental jauh beberapa meter dari tempat terjadinya tabrakan. Sasuke membeku di tempatnya. Menatap tak percaya pada peristiwa yang baru saja terjadi di depannya mata. Dunianya serasa sunyi di tengah hiruk pikuk keributan yang terjadi karena peristiwa itu. Dan detik berikutnya, ia hanya bisa berteriak dan berlari menuju tubuh yang tergeletak bersimbah darah.

"Sakura!"

Sayup-sayup Sakura masih bisa mendengar teriakan itu, seiring dengan rasa sakit yang tak terkira yang menerpa seluruh tubuhnya. Itu suara Sasuke. Hatinya seakan terkoyak ketika mengingat nama itu. Rasa sakit yang membuatnya tak bisa bernapas. Rasa sakit yang membuatnya tak ingin membuka matanya.

Rasa sakit yang membuatnya tak ingin untuk hidup.

Dan pada akhirnya ia memilih untuk menyerah. Menyerah dengan semua rasa sakitnya. Memilih untuk menghilang. Seiring dengan dunia yang terasa semakin memudar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Aku percaya, setiap manusia akan menghadapi masa kejatuhan terberat dalam hidupnya. Tapi sebenarnya, itu adalah kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk memilah mana kawan dan lawan.

Dan kini, saat tiba giliranku, akhirnya aku tahu. Tak ada seorangpun yang berada dipihakku.

Karena itulah, aku memilih untuk menutup mata...

Dan melupakan mereka semua...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

5 Tahun Kemudian.

Gadis itu menggerutu sambil sesekali memijit betisnya yang sakit. Kopernya teronggok di sebelah tubuhnya diabaikannya. Tak peduli bahkan jika koper tersebut nantinya hilang dibawa orang. Ia sedang sangat kesal. Sudah satu jam ia menunggu sambil berdiri, dan adiknya belum juga tampak batang hidungnya. Kakinya yang sudah mau patah tidak dapat dikompromi lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk melangkah menuju sebuah kafe di bandara itu dan mendudukkan dirinya di salah satu meja di sana.

"Dimana Si Baka itu?! Kubunuh jika bertemu nanti!" makinya sambil mengutak-atik handphonenya guna meninggalkan pesan pada adik bodohnya kalau ia menunggu di kafe bandara. Kacamata hitamnya yang sedikit melorot, ia benarkan kembali posisinya dengan jari telunjuknya.

Sedikit menunduk kikuk dan merapatkan syal ke wajahnya saat mengetahui beberapa orang yang saling berbisik sambil menatapnya karena mendengar umpatannya. Biar bagaimanapun, ia tahu dulu ia adalah mantan artis populer sebelum pindah ke Amerika. Karenanya ia harus berhati-hati. Apalagi saat ini ia pulang ke Jepang tanpa sepengetahuan ibunya. Bisa tamat riwayatnya jika Sang Ibu tahu ia ada di negara ini.

Ia menghela nafas, mengingat hal itu. Suara ponsel yang berdering, membuat lamunannya buyar dan kemudian dengan segera ia mengalihkan perhatiannya pada benda persegi di pangkuannya itu. Nama Sang Adik yang tertera di layar ponsel itu membuat adrenalinnya terpacu untuk segera mengangkat panggilan tersebut dan memaki seseorang yang berada di seberang sana. Tapi menyadari kalau ia tak bisa berbuat seenaknya di Negeri Sakura tempatnya dulu pernah menjadi sorotan publik, mau tak mau membuatnya mencoba untuk menekan suaranya.

"Hei bodoh! Dimana kau?! Kau pikir berapa lama aku sudah menunggumu?!" umpatnya dengan suara yang ditekan sepelan mungkin. Itu terdengar seperti sebuah bisikan ancaman. Tapi, bukannya sebuah permintaan maaf yang ia dapatkan dari orang diseberang sana, melainkan sebuah pertanyaan tanpa rasa bersalah yang membuatnya naik darah seketika.

"Ah, kau sudah sampai di Jepang? Baguslah. Aku sedang dalam situasi buruk yang mendesak, bisakah kau menolongku?"

"Baka–!" Ia langsung menggigit bibir bawahnya saat ia menyadari suaranya terlalu keras. Maniknya melirik ke sekelilingnya sebelum kemudian kembali berbicara dengan pelan. "Apa maksudmu!? Jadi sia-sia aku menunggumu selama satu jam di sini sampai kakiku mau patah?! Cepat jemput aku atau akan kupatahkan kakimu kalau ketemu nanti!"

Sudah habis kesabarannya. Pertanyaannya itu menunjukkan perkataannya untuk meminta dijemput hari ini, seakan angin lalu bagi pemuda di seberang sana.

"Aku mohon?! Ini menyangkut hidup dan matiku di tangan Nii-san dan Kaa-san."

Gadis itu berdecak. Sedikit panik dan khawatir saat mendengar nama ibunya disebut."Memang kenapa, sih?"

"Jadi kau mau membantuku?! Oh terima kasih banyak!"

"Apa–?!"

"Nii-san menyuruhku untuk mengurus proyek Mall Diamond dan bla bla bla yang tak kumengerti. Tapi hari ini aku tak bisa menghadiri meetingnya. Gantikan aku untuk rapat proyeknya ya? Alamatnya akan kukirim lewat SMS."

"Hei–!"

"Aku berjanji akan menjemputmu dan mengantarmu ke apartement barumu setelah itu. Aku berharap banyak padamu. Semangat, Nee-chan! Aku mencintaimu. Bye!"

Dan panggilan itupun diputuskan sepihak olehnya. Gadis itu menatap tak percaya pada ponsel di tangannya. Demi Tuhan! Siapa yang menyetujui akan menolongnya?! Adiknya yang diberi tanggung jawab saja tak mengerti tentang proyek –apalah itu–, apa lagi dirinya.

"Si Baka itu benar-benar–!"

Ia sudah akan menelepon balik dan bersiap akan menyemburkan semua kekesalannya, saat sebuah pesan teks masuk ke ponselnya. Tidak usah tanya lagi siapa pengirim pesan itu. Gadis itu menghembuskan nafasnya dalam-dalam, mencoba untuk tidak meledak sekarang. Dalam hati mengeluhkan betapa tak pengertiannya pemuda itu pada kondisinya sekarang. Dengan kesal akhirnya ia membuka pesan tersebut.

'Diamond Tower, Golden Hill Street. Katakan saja kau akan meeting dengan Uchiha Sasuke. Arigatou Sakura-chan!'

Gadis itu, Uzumaki Sakura.

Harusnya ia kesal karena Naruto, adiknya, menyuruhnya melakukan sesuatu yang tak dimengertinya tepat disaat ia harusnya istirahat setelah perjalanan panjangnya. Harusnya ia marah karena adik bodohnya itu seakan tak mengerti kondisinya sekarang yang tak memungkinkan untuk melakukan apapun di negara yang sudah menjadi asing diingatannya ini. Harusnya ia langsung saja ia menolak dengan menulis pesan balasan pada adik menyebalkannya itu. Namun entah mengapa membaca pesan singkat dari adiknya itu membuat kekesalannya menguap seketika. Lebih tepatnya saat matanya menangkap satu nama.

Uchiha Sasuke?

Dan ia tak mengerti mengapa ia merasakan kesedihan yang mendalam hanya karena nama itu.

.

.

.

Sasuke tidak bisa menyembunyikan ekspresi tak sukanya saat ia melirik jam tangannya. Perusahaan Namikaze benar-benar tak profesional. Dihari yang paling penting ini, mereka melakukan hal yang membuat kepercayaan Sasuke pada mereka terjun bebas seketika. Tanpa kabar, tanpa alasan. Helaan gusar ia keluarkan saat ia melirik rekan disebelahnya, Sai.

"Tiga puluh menit lagi mereka tak datang, batalkan perjanjian ini. Aku tak peduli dengan kerugian yang akan kita hadapi. Aku tak mau bekerjasama dengan orang yang tidak profesional." ucapnya tegas yang membuat Matsuri, sekertaris Namikaze Pein kalang kabut. Wanita itu sontak saja mengeluarkan ponselnya dan sudah mau menghubungi atasannya, sebelum kemudian suara pintu yang diketuk mengurungkan niatnya. Sekertaris Sasuke yang menunggu diluar masuk mendekati pria Uchiha itu.

"Perwakilan Perusahaan Namikaze sudah datang, Tuan," katanya yang membuat Matsuri menghembuskan nafas leganya. Sementara Sasuke hanya dapat menampilkan raut dinginnya sambil bergumam tak jelas.

Jujur, kalau bukan karena masukan dari Sai, ia tak akan bekerjasama dengan perusahaan raksasa itu. Namikaze Group. Perusahaan yang sukses menjadi adikuasa saingannya paska perjanjian kerjasama yang mereka lakukan untuk menyelamatkan anak-anak Sasuke waktu itu. Perjanjian kerjasama yang membuatnya kehilangan Sakura dan hampir membuat Uchiha Group mengalami collapze. Ia tahu memang separuh adalah kesalahannya, tapi ia tak pernah lupa bagaimana perusahaan itu berusaha menjatuhkannya menggunakan Sakura.

Tak akan pernah lupa.

Dan sekarang saatnya. Saat perusahaan itu mengalami kesulitan keuangan karena biaya proyek pengembangan teknologi perawatan kanker yang dulu telah dicuri darinya yang baru selesai tahun ini. Sai mengatakan ada gosip perusahaan tersebut melakukan penggelapan pajak dan beberapa penggelapan ilegal lainnya, demi ambisi mereka akan proyek itu. Jika Sasuke bisa mendapatkan buktinya, mengungkapkannya ke publik tentu saja investigasi jaksa terhadap perusahaan itu tak akan dihindari. Dan jika semua itu terbukti, sudah bisa dipastikan Namikaze Group akan mendapatkan masalah yang tak main-main.

Karenanyalah Sasuke menyetujui proposal kerjasama ini. Pria Uchiha itu bersumpah akan membalaskan apa yang sudah klan pemilik perusahaan itu lakukan padanya dan Sakura. Ia berjanji akan mengembalikan keadaan seperti semula, ditempat perusahaan itu seharusnya berada. Walau mereka masih keluarga gadis pink itu, ia tak peduli lagi. Mereka tak pantas berjaya diatas penderitaan seorang gadis yang tidak tahu apa-apa. Sudah terlalu sering ia mengalah dan itu malah melukai Sakura.

Sakura.

Mengingat gadis itu seperti membuka bekas luka yang sudah mengering. Penyesalan selalu menghinggapi hatinya ketika ia mengenang gadis pink itu. Bunga Sakura yang sudah lama menarik perhatiannya bahkan dari sebelum mereka mengalami skandal waktu itu. Tidak. Sasuke tak pernah menganggap itu adalah sebuah skandal. Ia mencintai gadis itu dan ia tak pernah sekalipun menganggapnya sebagai sebuah kesalahan.

Masih teringat dengan jelas bagaimana amarahnya meledak saat ia tahu keluarga gadis itu membawa Sakura keluar negeri paska kecelakaan waktu itu, tanpa sepengetahuannya. Dengan angkuhnya Uzumaki Kushina mengatakan Sakura tak mau lagi bertemu dengannya, perjanjian mereka selesai, dan Sasuke boleh membawa anak-anak yang sudah dilahirkan Sakura. Wanita itu mengatakannya dengan enteng. Seakan anak-anaknya adalah seonggok kotoran menjijikan yang tak pantas ada di dekat Sakura. Tentu saja ia sangat sakit hati mendengarnya. Dalam hati, ia berjanji akan mencari Sakura. Ia ingin memastikan sendiri dari mulut wanita itu. Kalau ini karena kesalahannya mengadakan perjanjian yang menganggap Sakura alat untuk melahirkan anak-anaknya, ia bersedia berlutut di kaki gadis itu. Apapun ia lakukan agar gadis itu mau lagi kembali padanya. Hidup bersama anak mereka.

Namun seperti ditelan bumi, Sakura tak bisa ia temukan. Semua orang yang dikerahkan untuk mencari gadis itu, angkat tangan. Sasuke sudah hampir putus asa mencarinya. Ia hanya berharap semoga kerja sama dengan perusahaan Namikaze Minato, mantan suami Kushiha, ayah kandung Sakura, bisa mengantarkan sedikit informasi dimana Kushina menyembunyikan anaknya itu. Karena menurut informasi yang ia dengar, hanya Kushinalah yang tahu dimana Sakura berada.

Pintu terbuka membuyarkan lamunannya. Sasuke berniat akan mencerca siapapun yang menjadi wakil dari perusaan tersebut dengan kalimat pedas yang sudah sering ia lontarkan pada siapapun yang tak profesional. Namun ia harus menelan semua kata-katanya kala onyxnya menatap satu obyek yang membuatnya tercekat seketika.

Seorang wanita dengan rambut pinknya sedang tersenyum ke arah mereka.

"Maaf, saya terlambat."

"Nona Sakura?!"

Teriakan terkejut Matsuri tak membuatnya bergeming dari tempatnya. Matanya tak bisa lepas dari wanita yang kini dihampiri oleh sekertarisnya yang panik itu.

"Nona Sakura. Apa yang anda lakukan di sini? Kenapa anda bisa di Jepang?" tanya Matsuri kalut dengan mata yang sesekali melirik pada Sasuke. Sakura meringis.

"Aku menggantikan Naruto. Tolong jangan katakan pada ibu aku di Jepang. Katakan saja Naruto yang menghadiri meeting ini."

Ia mengatakannya tanpa prasangka. Mengabaikan Matsuri yang tampak ketakutan entah karena apa. Dan setelahnya ia menoleh dengan senyum yang masih dipertahankan di wajahnya, ke arah Sasuke. Membuat pria itu semakin larut dalam ketidakpercayaannya. Ia seolah terbuai dalam keteduhan iris daun itu.

"Sakura?"

Perasaan itu muncul lagi.

Saat Sakura mendengar Sasuke menyebut namanya. Sebuah sensasi perih berdenyut di dalam hatinya. Melunturkan senyumnya seketika.

Demikian juga yang terjadi pada Sasuke. Entah siapa yang menggerakkannya, saat tiba-tiba tubuhnya bergerak perlahan mendekati wanita pink itu. Ia sudah hampir menyerah mengejar wanita ini sampai ke ujung bumi. Tapi disaat ia tak berbuat apa-apa, wanita ini malah kembali dengan mudah ke hadapannya. Ini seperti sebuah mimpi. Tidak pernah ia membayangkan bahwa hari ini adalah hari yang selama lima tahun ini ia nantikannya. Ia berhenti tepat di depan gadis yang kini menatapnya dengan raut bimbang itu. Tangannya terjulur hendak menggapai wajah mungil wanita itu sebelum sebuah suara halus menghentikan gerakannya seketika.

"Anda mengenal saya?"

Tangannya berhenti di udara. Onyxnya melebar, menatap penuh keterkejutan pada paras cantik di depannya yang menatapnya kebingungan. Sesuatu yang lebih dasyat melintas seketika di otaknya. Sasuke masih terpaku di tempatnya dengan segala spekulasi tentang wanita pink yang kini menampilkan senyum tak enaknya melihat rautnya. Dan apa yang dikatakannya selanjutnya seakan menjadi sebuah pukulan padanya.

"Maaf, saya pernah kecelakaan lima tahun yang lalu dan tidak dapat mengingat apapun setelahnya."

Setitik rasa sakit yang tak dapat ia definisikan menghantam logikanya. Meninggalkan riak-riak kesesakan saat ia menatap senyum gadis itu, yang perlahan menghilang berganti dengan sebuah wajah serius yang polos. Seperti sebuah pengharapan. Berharap Sasuke benar-benar mengenalnya.

"Apa anda mengenal saya?"

Dan ini memanglah kenyataannya. Kenyataan bahwa Sakura telah melupakannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Sekali lagi kumelihatmu, saat aku berdiri di depan pintu takdir...

Seperti sebuah kisah dalam mimpi yang menyedihkan...

Ada saat dimana aku tak ingin mengingatnya lagi...

Tapi takdir yang membawaku untuk kembali menemuimu...

Kau, cinta yang terlupakan...

Sakura.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

A/N:

Tolong jangan lempar saya pake sendal! XD Lagi-lagi bikin fic MC baru dan mengabaikan fic lama. Sebenernya ni fic niatnya pengen dibikin fic one shoot. Tapi walau udah salto-salto (?), fic ini gagal jadi one shoot. Mau tamat sampai disini aja, takutnya nanti yang baca pada kalap ngeroyokin karena ceritanya yang gaje. Jadi yah gitu deh (?)hehehe... Janji deh ini gak bakal panjang-panjang chapternya . Saya sebenernya lebih suka one shoot daripada fic MC. Tapi yah apa mau dikata...#lemparKeLaut#

Akhir kata, please enjoy this fic. Tetap semangat dan kuat. Jangan menyerah mengejar mimpimu sampai galaxy andromeda /loh? #kagakNyambung#/

Kritik dan saran dibutuhkan author.

bye..bye...

p.s. bentar lagi libur semester, tenang aja, saya bakal ngelanjutin fic saya satu-satu... hihi

bye bye again...