Pusara © SilentJS

Naruto © Masashi Kishimoto

SasuHina

T

.

.

.

.ra (1) n kubur; pekuburan

.

.

.

Siapa sangka bertemu dengan Sasuke adalah penantian terakhirnya?

-H

Siapa sangka bertemu dengan Hinata adalah tujuan akhir dan pusaranya?

-S

.

.

Aku tidak pernah mengira untuk jatuh kepadamu

Tatapan, senyuman, motivasimu

Membuatku gila

Larut dalam haus akan kasih dan cinta

Hanyut dalam imajinasi surga

Tanpa mengetahui bahwa itu semua fana

Dan sekali lagi aku terjatuh

Bukan dalam rengkuhanmu

Bukan dalam senyumanmu

Apalagi tatapan kasihmu

Tapi ke dalam neraka jiwa

Gelap dan sengsara

Sudah tidak ada lagi cahaya

Cahaya darimu

Di sini dingin dan gelap

Aku menderita

Tuhan…

Aku menderita

Tuhan…

Jika kau mendengar doaku

Aku mohon kepadamu

Bebaskan aku dari sini

.

.

.

Hinata menatap kedua tangannya di bawah meja. Keramaian kedai tidak mebuat kegugupannya menghilang. Ia gigit bibir bawah. Otaknya bekerja untuk menghilangkan rasa gugup yang mendera.

Hari ini adalah reuni angkatan mereka di kedai Ichiraku. Setelah perang dan Kònohagakure yang direnovasi, akhirnya tercapai kedamaian yang diidamkan para penduduk. Sayangnya, kedamaian tersebut tidak berlaku bagi Hinata. Jantung bertalu-talu, perut melilit tak karuan, siapa lagi pelakunya jika bukan Uzumaki Naruto.

Uzumaki Naruto yang dulu merupakan bocah yang dikucilkan kini tumbuh menjadi pahlawan di Kònoha. Namanya dielu-elukan di penjuru desa. Tidak ada tatapan menghina maupun ketakutan. Kini setiap pria mapan itu melangkah, tatapan kekaguman, hormat, maupun cinta diarahkan kepadanya. Kepribadian yang ramah membuat banyak orang makin menyukainya. Dan tentu saja akan menambah daftar rival cinta Hinata.

Hinata menghela napas. Keadaan Naruto berubah drastis tidak seperti dirinya. Terkucilkan di dalam angkatan mereka. Angkatan yang mengunggulkan sanin istimewa yaitu Naruto, Sakura, dan Sasuke. Rasa iri tetap timbul dalam diri ketika dengan mudahnya Sakura dapat tertawa, merangkul, berbicara selepas itu dengan Naruto. Sedangkan ia hanya bisa menatap dari kejauhan dan kabur jika pria itu mendekat.

Ia memang payah dan ini membuatnya frustrasi. Berulang kali Hanabi mendesaknya untuk menanyakan jawaban atas pernyataan cinta yang ia utarakan saat menghadapi Pain, namun ia tidak memiliki keberanian. Berbagai spekulasi negatif berputar di otaknya.

Bagaimana jika Naruto menolaknya? Mungkin ia masih dapat bertahan jika pria itu menolak dirinya. Namun, bagaimana jika Naruto jijik dan menjauhi dirinya? Jika itu terjadi, ia tidak dapat membayangkan betapa malu maupun hancur dirinya. Rasanya ia berada di lingkaran setan yang tidak ada habis-habisnya. Apakah ia harus menyerah sebelum berjuang? Tidak, bahkan ia telah berjuang namun tidak mendapat jawaban. Hinata frustrasi, bagaimana caranya agar lingkaran setan ini berhenti?

"Hinata. Kau tidak memakan ramenmu?" tanya Tenten. Hinata merasakan seluruh tatapan teman mengarah pada dirinya. Ia tersenyum tipis dan meneguk ludah untuk menghilangkan rasa gugupnya.

"Ah, maaf Tenten. Aku sedang banyak pikiran." Beruntung kebiasaannya tergagap berhenti, namun tidak menghentikan rasa keresahan dalam dirinya. Hinata menghela napas perlahan saat tatapan nakama mulai beralih darinya.

"Ah! Itu Sasuke!"

"Ah iya! Sasuke!"

Hinata menghela napas lega. Akhirnya ia tidak menjadi pusat perhatian lagi. Tentu saja kemunculan salah satu sannin istimewa itu mengundang sorak sorai teman-temannya. Ia mengabaikan teman-temannya dan beralih kepada ramen yang mengepulkan uap panas. Aroma rempah-rempah menggoda selera. Sepertinya terlalu banyak energi yang ia habiskan hanya untuk memikirkan Naruto.

"Malam." Ucap Sasuke sambil menatap temannya yang duduk melingkari sebuah meja.

Hinata mendongak mendengar Sasuke mengucapkan salam. Suara Sasuke yang berat dan rendah terasa asing namun juga familiar di telinga HInata. Ia sudah lama tidak mendengar suara Sasuke setelah perang berakhir. Kedua iris perak bersirobok dengan kedua iris berlainan warna. Tidak ada emosi apa pun, hanya tatapan datar dan tajam seolah sedang berada dalam medan pertarungan. Anehnya, ia tidak merasakan takut, tatapan itu mengingatkan ketika ayah menatap dirinya. Mengingat ayah membuatnya tak nyaman, ia alihkan pandangan dari kedua iris berbeda warna itu.

"Sasuke! Duduk di sampingku!" Sakura menepuk kursi di sebelahnya. Sasuke berjalan menuju tempat yang disediakan Sakura. Namun terlalu sempit dan ia harus duduk menempel dengan Sakura. Di sisi lain ada kursi Kòsong yang tidak ada siapa pun di sana. Ia memutuskan duduk di samping Hyuuga Hinata.

"Mou, Sasuke. Kenapa kamu duduk di sana?" keluh Sakura.

Sasuke mengabaikan Sakura dan menunggu hingga hidangannya disajikan. Telinganya diisi keramaian kedai. Suara Naruto yang bersemangat menceritakan Perang Dunia Shinobi ditambah Kiba, Ino, dan Sakura yang meramaikan suasana. Walaupun ia yakin 100% bahwa seluruh orang yang hadir dalam kedai telah mengetahui kisah heroik Naruto selama perang. Ia merasa bahwa reuni kali ini hanya untuk mereka berlima saja. Sasuke menghela napas dan meneguk air putih. Seharusnya ia tidak perlu datang hari ini.

Suasana kedai semakin memanas. Sasuke dapat melihat kedekatan Naruto terhadap Sakura. Sasuke tersenyum dalam hati, pria itu tetap tidak berubah ternyata. Walau waktu telah berlalu, Naruto tetaplah bocah yang memendam rasa kepada wanita bersurai jambu.

Sasuke hendak meneguk kembali saat meraskan tarikan di lengan pakaiannya. Ia menatap wanita Hyuuga yang juga menatapnya. Terpancar kesedihan dan kekecewaan di kedua iris perak itu tapi berusaha disembunyikan. "Apa, Hyuuga?"

"Bisakah Uchiha-san memberikan sake itu untukku?" Hinata menunjuk sake yang terletak jauh dari jangkauan Hinata, namun dekat dari jangkauan Sasuke.

Ia tidak tahu maupun mengenal masalah maupun profil wanita Hyuuga itu. Ia bahkan tidak tahu nama wanita itu, ia hanya tahu bahwa orang itu berasal dari Hyuuga karena kedua iris perak. Ia mendengar bahwa prodigy Hyuuga adalah seorang pria, tapi yang ia temui adalah seorang wanita yang menatapnya dengan tatapan memohon seolah menahan rasa sakit dalam hati. Apa pun yang terjadi pada wanita itu toh bukan urusannya. Ia meraih botol sake dan memberikannya pada wanita itu.

Sasuke memakan ramennya yang telah datang, namun eKòr matanya tetap melirik wanita di sampingnya. Wanita itu menundukkan kepala seraya memainkan jari kemudian menuang dan meneguk sake berulang kali hingga tersisa setengah. Sasuke ingat bahwa Hyuuga adalah klan yang menjunjung tinggi tata krama, apakah tidak masalah bagi wanita pulang dalam keadaan mabuk? Tangan Hyuuga itu bahkan mulai gemetaran saat menuang botol sake ke seloki.

Sasuke mengikuti tatapan wanita Hyuuga dan langsung mengetahui alasan dari tingkah Hinata yang seolah ingin mati dalam keadaan mabuk. Sejak tadi Hinata menatap Naruto dan Sakura yang saling bertukar afeksi.

Hyuuga Hinata sedang kecewa.

.

.

.

"Teman-teman! Harap tenang!" seruan Sakura menghentikan aktivitas rookie 9 di kedai tersebut. Atensi mereka teralihkan kepada Sakura.

Tiba-tiba Sakura merasa malu oleh seluruh atensi yang ia terima. Ia gugup. "A-aku akan membuat pengumuman." Semburat merah di wajah Sakura tak dapat disembunyikan. Semakin membuat para penyimak penasaran ucapan yang akan dilontarkan Sakura.

Deg

Jantung Hinata bertalu-talu. Sakura yang hendak memberi pengumuman, ia malah ikut gugup dan takut bersamaan. Ia merasa remasan di jantungnya begitu kuat hingga ia tidak bisa bernapas. Perutnya seperti melilit tak karuan membuat tubuhnya membungkuk untuk menghilangkan rasa sakit yang justru bertambah parah.

Ada apa ini? Apa yang terjadi pada tubuhku? Kenapa aku bereaksi seperti ini?

Naruto bangkit dari duduknya. "Biar aku yang mengatakannya."

Hinata mendongak. Ada apa ini? Mengapa Naruto ikut membuat pengumuman? Apa yang terjadi? Hinata dapat merasakan keringat dingin menetes di pelipisnya.

Naruto merangkul Sakura. Hinata membelalak melihatnya. A-apa yang terjadi sebenarnya?

Naruto tersenyum lebar, menampakkan gigi putihnya. "Aku akan menikahi Sakura minggu depan!"

Deg

Deg

Deg

Deg

I-ini tidak mungkin kan? Naruto tidak mungkin-?

Tubuh Hinata mulai bergetar, ia dapat merasakan perutnya bergejolak hebat disertai dengan ratusan jarum yang menghujam jantungnya, menekan dan membuatnya sesak napas. Pikirannya terus mengulang pertanyaan yang sama.

Mengapa ini bisa terjadi?

Suasana kedai yang semula hening kembali ramai oleh seruan Lee. "Kenapa mendadak sekali, Naruto?!" Para nakama pun menyadari jika berita ini terlalu mendadak, mereka bahkan tidak mengetahui jika Naruto dan Sakura telah lama berhubungan.

Sorak-sorai mulai mengisi kedai ramen itu. Berbagai protes dan pertanyaan dilontarkan kepada sang Pembuat Pengumuman yang hanya tersipu dan berujar maaf berkali-kali.

Ino menggebrak meja sambil menuding gelas birnya kepada Sakura dan Naruto. "Kenapa kau tidak menceritakan padaku, dahi lebar?!" seru Ino.

"Iya! Betul!" seru Tenten. "Apa selama ini kalian telah berhubungan gelap?!"

Sakura memerah padam dan membalasnya dengan seruan. "Bukan begitu teman!"

Ino menenggak birnya sampai habis. "Aku tidak mau tahu! Hari ini kita harus mabuk sampai pingsan untuk merayakan berakhirnya kelajanganmu, Sakura!"

Seruan setuju terdengar di seluruh penjuru kedai. Suara dentingan gelas yang beradu, tawa, nyanyian, bahkan air mata karena kini teman mereka akan melepas status lajang mengisi keramaian kedai itu.

Mereka yang larut dalam dunia mereka tidak menyadari sesosok wanita yang sedari tadi tenggelam dalam dunia gelapnya. Wanita itu meraih botol sake yang sedari ia minum dan menenggak hingga habis tak bersisa. Perlahan namun pasti, wanita itu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kedai.

Wanita itu adalah Hyuuga Hinata

Tidak ada satupun yang menyadari kepergian wanita itu kecuali Uchiha Sasuke.

.

.

.

Hinata berjalan tergopoh-gopoh menuju kamarnya. Ia segera berbaring di atas ranjang dan membenamkan wajah dalam bantal. Ia menangis keras-keras seraya berteriak sekeras mungkin. Berharap rasa sakit di jantungnya dapat hilang. Ia tersiksa. Tuhan, ia benar-benar tersiksa. Berita pernikahan Naruto menyakiti hati, jiwa, dan raga. Mengoyak tanpa sisa. Dalam kekalutan, Hinata butuh sosok bersandar. Sosok yang selalu mendampingi dan menguatkan dirinya. Karena ia benar-benar tidak tahan lagi. Tidak kuat dengan kehilangan dan kehancuran bertubi-tubi dalam luka yang masih menganga.

"Neji..." raung Hinata kala terbayang sosok kakak yang selalu mendampinginya. Selalu melindungi Hinata dalam suka maupun duka. Selalu menenangkan, memberikan ketentraman yang tidak ia dapatkan di Hyuuga. Selalu mendukung keputusan Hinata dan akan memberikan saran jika keputusannya kurang maupun salah.

Tuhan, betapa ia sangat merindukan Neji.

Senyum, tawa, tutur kata yang sehalus sutra begitu menenangkannya. Betapa ia benar-benar kesepian. Tidak ada lagi penopang dirinya ketika hancur. Tidak ada lagi orang yang akan menguatkannya ketika ia lemah dan terlena. Sosok penyayang yang berperan sebagai ayah yang menegurnya jika berbuat salah, kakak yang menasehati jika ia mencoba hal baru, maupun sosok ibu yang akan menjadi tempat untuk pulang dan bersinggah.

Air mata mengalir deras di kedua pipi. Ia begitu merindukan Neji. Dadanya sakit sekali kala tidak merasakan kembali sosok itu untuk selamanya. Betapa ia tidak lagi memiliki tonggak untuk berdiri tegak. Semua hal yang membuatnya berdiri kukuh kini menghilang. Cintanya pada Naruto yang selama ini membuatnya bertahan telah kandas. Tidak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya. Tidak ada lagi.

Iris perak terpaku melihat tali tambang yang berserakan bersama dengan kunai dan senjata ninja lain.

Aku sendiri

Tidak ada lagi Neji

Tidak ada lagi Naruto

Senyum, cinta, dan kasih

Kini tidak ada lagi

Aku sendiri

Tidak ada alasan lagi untuk hidup. Perlahan Hinata bangkit dari ranjang dan meraih tali tambang

Tidak ada tujuan hidup. Ia meraih kursi, perlahan ia naik di atas kursi, mengikatkan tali di lampu gantung miliknya.

Aku tidak lagi hidup

Aku ingin mati

Hinata memasukkan kepalanya ke dalam tali yang longgar. Perlahan ia ikat tali itu di lehernya. Suara napasnya kian memendek, paru-paru yang terasa sakit dan kepala pening akibat kekurangan oksigen.

Neji... aku akan menyusulmu

"Hinata-sama, Anda di dalam?"

Brak

Kursi Hinata terjatuh. Ia tidak lagi memiliki tempat berpijak, kakinya mengayun di udara. Dapat Hinata rasakan napasnya terputus-putus. Kepalanya begitu puning dan pemandangan yang buram ia merasakan kesadaran mulai mengambil alih dirinya. Tanpa ia sadari kakinya menendang-nendang udara sebagai bentuk reflek dari ketidakmampuan mengambil oksigen. Kakinya menendang-nendang sebagai reflek dari kekurangan oksigen. Ia meraskan paru-parunya terasa ditusuk oleh besi tajam.

Tuhan… jika ini akhirnya, pertemukan aku dengan Neji…

"A-akh…"

Brak

"Hinata-sama!" Kò menendang pintu kala mendengar suara barang yang terbanting, ia terkejut melihat Hinata yang berada di ambang batas hidup dan mati.

Kò segera memutus ikatan tali kemudian merengkuh Hinata. Dengan sigap mengendurkan tali yang mengikat leher Hinata. Hinata kembali mendapatkan napasnya, tubuh terengah-engah, dan bergetar hebat. Jejak-jejak air mata menghiasi kedua pipi. Ia masih merasakan pening akibat kekurangan oksigen.

Perlahan ia membuka mata dan melihat Kò meneteskan air mata. "Kò-san?"

Kò terdiam, namun air mata kian membanjiri kedua pipi tirusnya. "Hinata-sama, jangan lakukan itu."

"T-tapi... Ne-neji..."

Kò menggenggam erat tangan Hinata. "Hinata-sama… jangan tinggalkan Hyuuga seperti ini…"

Hinata tak bisa membendung rasa tangisnya. "T-tapi… aku hancur Kò-san. Tidak ada lagi yang tersisa." Hinata menatap kedua iris Kò. Seolah meminta agar Kò membebaskan jiwanya yang telah lama menderita.

"Tidak ada lagi yang bisa menjadi tempatku bersandar." Hinata menunduk. "N-neji… N-neji…" isak Hinata. ia membenamkan wajah dalam kedua telapak tangan. Menyebutkan nama Neji membuat ia susah bernapas dan suaranya tersendat. Begitu sulit mengucapkan nama sosok yang senantiasa menemaninya dalam berbagai keadaan. Betapa banyak emosi yang ingin ia keluarkan namun ia hanya dapat menangisi kepergian sang sepupu.

"Hinata-sama…" Kò menggenggam kedua tangan Hinata. Ia merasakan kesedihan yang sama. Neji adalah sosok yang kuat dan tegas, memberikan warna bagi Hyuuga dan Hinata. ia sebagai pengasuh Hinata sejak kecil merasakan sakit melihat tuannya tidak berdaya dan larut dalam kesedihan.

Hinata menatap Kò putus asa. "Aku tidak ingin hidup, Kò-san. Bunuh aku…" Hinata tergugu, tangisan mengalahkan segala ucapan yang ingin ia lontarkan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba memberikan permintaan terakhir kepada pengasuhnya. "Biarkan aku mati… biarkan aku bertemu Neji-nii-sama."

"Hinata-sama, jangan… jangan lakukan itu." Kò menggeleng. Ia tidak peduli jika air mata berderai di kedua pipi. Ia benar-benar merasakan sakit melihat tuannya begitu kesakitan dan ingin meninggalkannya hanya untuk bertemu dengan sepupu tersayang.

Hinata menggeleng. "A-aku… aku…"

Kò mencengkram kedua pundak Hinata. membawa tatapan mantan heiress Hyuuga ke arahnya. "Hinata-sama, sebelum berperang, Neji-sama mengatakan kepadaku." Kò menarik napas kuat-kuat, berusaha menyampaikan pesan terakhir dari sang Prodigy Hyuuga. "Apa pun yang terjadi kepada Neji-sama, Hinata-sama tetap harus hidup."

Kò tersenyum lemah. "Hiduplah seindah mungkin dan tetap berjuang seperti semangat ninja Hinata-sama."

Neji berbalik. Ia meraih kedua tangan Hinata kemudian bersimpuh di hadapan Hinata. "Hinata-sama, setelah ini berakhir kumohon-"

Hinata memeluk Kò erat. "Neji! Nii-sama!"

Kò membalas pelukan Hinata. Tangisan tak terbendung kala mengingat perjuangan ksatria Hyuuga dalam membela kebenaran hingga akhir hayatnya.

"Argh!" Raung Hinata. Ia menangis sekencang-kencangnya. Berharap luka di hatinya berkurang. Beraharap segala beban hidupnya berkurang. Berharap Neji akan kembali kepadanya.

Menemani

Mendukung

Menyayangi

Ia letakkan kedua tangan Hinata di segel bunke. Mendongak seraya tersenyum tulus ke arah Hinata. "-kumohon Hinata-sama, kau harus bahagia."

Dan mencintainya.

.

.

.

Hinata terbangun dengan kepala seperti dihantam godam raksasa. Ia meringis. "Kò-san?"

Kò memberikan segelas air putih. Terlihat kedua mata pria itu sembab akibat menangis. "Minumlah, Hinata-sama."

Hinata hendak meminum air ketika ia teringat sesuatu. "Apa Kò-"

Kò mengeleng seraya tersenyum. "Tidak perlu khawatir, Hinata-sama. Saya belum mengatakan hal ini kepada siapa pun."

Hinata menghela napas lega. "Terima kasih, Kò-san."

"Hinata-sama. Maaf baru mengatakan sekarang." Kò menarik napas. "Anda dipanggil oleh Hokage."

Hinata tersedak. "Kapan?"

"Sebelum Anda-"

Hinata mengangguk pelan. "Ah, baiklah. Aku akan segera ke sana sekarang."

Kò beranjak sambil mengambil gelas. "Saya pergi dulu, Hinata-sama."

Hinata mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Kò-san."

Sebelum sampai ke pintu, Kò berbalik. "Hinata-sama, apa pun yang terjadi kepada Neji-sama bukan salah Anda. Apa pun yang terjadi, hargailah ia sebagai prajurit pemberani yang tetap membela kebenaran hingga akhir hayatnya."

Hinata tertegun. Matanya kembali memanas.

"Percayalah, Hinata-sama. Neji-sama akan selalu berada di samping kita." Kò membuka pintu kemudian membungkuk sekilas. "Saya undur diri."

Setelah pintu tertutup air hangat kembali keluar di kedua pelupuk Hinata yang membengkak. Ia memeluk kakinya, membenamkan wajah di antara kedua paha.

"Neji-nii..."

.

.

.

Hinata menghadap Hokage dengan turtleneck dan sweetpants berwarna hitam. Penampilannya saat ini seolah menyamarkan tubuhnya dalam kegelapan malam. Hinata mengetuk pintu. Terdengar suara berat Kakashi menyilakan.

"Masuk."

Hinata membuka pintu, membungkuk sekilas. "Hyuuga Hinata, siap bertugas."

Kakashi tersenyum di balik masker. "Kemarilah, Hyuuga." Hinata berjalan hinggak berada satu meter di depan meja Hokage.

"Sepertinya kau tidak ada misi minggu ini, benar?" Tanya Kakashi, jemari panjang sibuk mencari sebuah dokumen penting.

"Iya, Hokage-sama. Pemulihan Konoha pascaperang dan pengangkatan Hanabi sebagai penerus Hyuuga dalam waktu dekat, tidak mengizinkan saya menerima misi, Hokage-sama."

Kakashi mengangguk. Ia menyerahkan dokumen kepada Hinata. "Untuk itu aku akan memberimu misi."

Hinata hendak menolak saat ia melihat misi yang akan ia jalani. "Mengajar di akademi?"

Kakashi mengangguk. "Ya, kau akan mengajar anak-anak itu bab geografi dan sejarah. Kulihat nilaimu saat masih chunnin sangat tinggi."

Hinata tersipu. "Ah, itu-"

Kakashi tersenyum melihat kunoichi yang dulu tidak percaya diri dan kini menjadi sosok wanita yang tangguh tetap tidak bisa menghilangkan sifatnya yang pemalu. "Tidak apa, Hinata. Kau pasti bisa melakukannya."

Hinata tersenyum seraya membungkuk. "Terima kasih, Hokage-sama."

"Ah, untuk sekadar mengingatkan, kau bisa mengajar esok hari."

"Terima kasih, Hokage-sama." Hinata membungkuk. "Saya undur diri."

.

.

.

Hinata mengenakan rompi ninja. Ia berjalan menelusuri koridor kelas-kelas akademi. Terkenang masa lalu ketika ia masih chunnin, 11 tahun yang lalu. Ah, betapa ia merindukan saat masih kanak-kanak.

Sebelum mengetuk pintu, Hinata menarik napas dalam-dalam. "Aku pasti bisa." Perlahan namun pasti ia membuka pintu dan berjalan menuju meja guru. Kehadirannya memancing perhatian murid-murid kecil yang duduk rapi di bangku.

"Selamat pagi, saya Hinata Hyuuga yang akan mengajarkan kalian mengenai sejarah dan geografi Dunia Ninja. Mohon bantuannya."

Awalnya ia merasa gugup ketika mengajar. Ini pertama kali berinteraksi secara langsung dengan anak kecil. Ia tidak tahu apakah pelajarannya akan menjadi menarik atau tidak. Untunglah, kekhawatiran itu sirna kala melihat tatapan antusias murid-murid di hadapannya mengenai sejarah Shinobi.

Dengan fasih dan lancar, ia menjelaskan pahlawan-pahlawan desa beserta jasa-jasa mereka. Tampak beberapa anak antusias hingga mengajukan beberapa pertanyaan. Dengan mahir, Hinata menjawab pertanyaan mereka dengan pengetahuan yang luas, seolah mereka merasakan keadaan langsung yang terjadi di masa lalu. Berbekal pengalaman dan pencarian akan ilmu pengetahuan, Hinata dapat menjawab pertanyaan itu dengan mudah. Mendengar bagaimana shinobi bukanlah manusia luar biasa yang tidak memiliki kelemahan, mereka justru memiliki banyak kelemahan, namun berhasil untuk menutupinya dengan kelebihan yang mereka miliki.

Murid Hinata sangat antusias hingga mereka tidak menyadari jika jam makan siang telah berdentang. "Ah, sepertinya cukup sampai di sini."

Terdengar desahan kecewa di berbagai penjuru kelas mengundang senyum di wajah Hinata. "Sampai jumpa minggu depan, kelas selesai."

Hinata keluar dari kelas setelah merapikan buku dan seluruh murid yang keluar untuk makan siang. Saat ia keluar, ia bertemu Genma di depan pintu.

"Ah, Hyuuga-san."

Hinata membungkuk sekilas. "Genma-san. Selamat siang."

Genma balas membungkuk. "Selamat siang, kebetulan aku bertemu denganmu."

Hinata bingung, sepertinya ia tidak bermadalah dengan Genma, mengapa pria itu mencarinya. "Ada apa Genma-san?"

Genma menyodorkan undangan berwarna pink lembut. "Ah, ini dari Yamanaka-san. Ia hendak memberikannya kepadamu, namun kau masih mengajar."

Hinata tersenyum. "Terima kasih Genma-san. Saya permisi dulu."

.

.

.

Hinata memutuskan untuk menghabiskan makan siangnya di bawah pohon. Tanpa melihat pun ia tahu isi dari undangan itu. Undangan pernikahan Naruto dan Sakura. Ia hanya bisa bersyukur Ino tidak langsung memberikannya. Entah ekspresi seperti apa yang akan ia tampilkan jika bertatap muka dengan Ino.

Ia sudah menerima bersatunya Naruto dan Sakura, namun masih belum mampu menutup luka di hati yang menganga lebar. Hinata menghela napas. Tidak seharusnya ia merasa depresi seperti ini. Hinata menatap kotak makannya. Ia sudah tidak napsu lagi. Hinata beranjak dan memutuskan untuk menuju kantor Hokage. Melaporkan misi adalah prioritasnya saat ini.

Sesampainya di ruangan Hokage, ia mendapati Shikamaru dan Kakashi sibuk membahas mengenai beberapa masalah genting di desa.

"Hokage-sama. Saya melapor tentang misi saya."

Kakashi membolak-balikkan dokumen, sesekali membubuhkan tanda tangan. "Kudengar kau menjadi populer dalam sehari."

Hinata tersipu. "Saya belum melakukan apa-apa, Hokage-sama."

Kakashi menghentikan pekerjaannya kemudian meregangkan tubuhnya. "Kupikir aku akan memberikanmu tugas mengajar hanya dalam beberapa hari, melihat respon sebagus ini, kurasa aku akan memanjangkan waktu misi ini mengingat kita masih sangat kekurangan pengajar."

Kakashi meneguk kopi hitam. "Bagaimana, Hinata?"

Hinata tersenyum. "Tidak masalah, Hokage-sama. Saya senang dapat membantu desa."

Shikamaru terdiam. Ia menatap Hinata aneh. Hinata memang sering menunjukkan keramahtamahan, namun entah mengapa ia merasa Hinata tidak tulus dalam melakukannya saat ini.

Mungkin mencoba berbicara akan membuktikan teorinya. "Hinata-san-"

"Saya permisi, Hokage-sama." Hinata berbalik dan berjalan menuju pintu keluar saat Shikamaru mencengkram pundaknya.

"Hinata-san. Aku memanggilmu."

Hinata berbalik seraya tersenyum. "Ah, maaf Shikamaru-san. Saya tidak mendengarnya karena berbicara dengan Hokage-sama. Ada perlu apa?"

Shikamaru meneliti wajah Hinata dengan teliti. Tidak ada keluputan dalam senyum Hinata, tetap sama seperti biasa. Namun mengapa ia merasa senyuman itu tidak sampai pada kedua mata?

"Apa kau akan mendatangi pernikahan Naruto dan Sakura?" Tanya Shikamaru. Entah darimana bibirnya menyebutkan acara penting tersebut sebagai topik pembicaraan.

Hinata tersenyum. "Tentu saja, Shikamaru-san. Sakura adalah temanku dan Naruto adalah pahlawan desa. Bagaimana bisa aku melewatkan acara paling bersejarah ini?"

Melihat senyum Hinata membuat Shikamaru gugup. Seolah wanita itu tidak terpengaruh oleh segala ucapannya. "Ah, iya. Baiklah, maaf mengganggumu, Hinata-san."

Hinata mengangguk kemudian meninggalkan ruangan Hokage. Shikamaru berbalik dan mendapati tatapan intens dari Kakashi.

Shikamaru menghela napas. "Sepertinya kau tahu pikiranku."

Kakashi tersenyum. "Entahlah." Ia menatap lekat-lekat Shikamaru, seolah memberikan peringatan. "Hinata telah mengalami banyak hal. Biarkan ia berpura-pura untuk memulihkan kondisi hatinya."

Kakashi menatap pintu yang sebelumnya dilalui Hinata. "Kita tidak tahu rintangan yang ia lalui hingga sampai di titik ini."

.

.

.

Hinata berjalan cepat. Jantungnya bertalu-talu. Ini tidak seharusnya terjadi. Tidak seharusnya bertemu Shikamaru. Tidak seharusnya bertemu Hokage saat ini. Hanya dengan bertemu teman, tekanan dalam pundak semakin bertambah. Ia tidak ingin dikasihani ketika kondisi hatinya belum pulih. Bertemu teman hanya semakin mengingatkan betapa ia masih jauh dalam mengobati hati. Sebut saja ia lemah dan tak berguna karena masih belum bisa melupakan cinta pertamanya. Namun ia sedang berusaha. Tuhan, ia sedang berusaha keras untuk mengobati hati. Ia hanya berharap tidak perlu bertemu teman-temannya dalam waktu singkat. Entah kapan topeng yang memulas wajahnya akan hancur dan menampakkan bahwa ia tidak baik-baik saja.

Bruk

Hinata mengerang sakit saat pantatnya bersentuhan dengan lantai marmer yang dingin. "Aw."

Perlahan Hinata membuka matanya. "U-uchiha-san?"

Sasuke menatapnya datar, tak terbaca. "Kau tidak apa-apa, Hyuuga?"

Hinata tersenyum. "Tidak apa-apa, Uchiha-san terima–"

"Kau menangis, Hyuuga."

Hinata terkejut. Ia menyentuh pipinya, dapat ia rasakan tekstur basah di kedua pipinya. "M-menangis?"

Hinata segera mengambil barangnya kemudian berlari meninggalkan Sasuke. "Terima kasih Uchiha-san."

Sasuke menatap kepergian Hinata hingga menghilang dari pandangan. Ia menghela napas dan melangkahkan kaki menuju ruang Hokage.

.

.

.

TBC