"Kau adalah Joker yang baru."

Sebuah suara mengagetkanku.

"Kau adalah Joker yang baru."

Hah? Di hadapanku muncul seekor kelinci yang berkacak pinggang, dengan syal putih-biru.

.

"Kau adalah Joker yang baru."

...Kelinci? Bersyal? Dari mana? Tunggu-

.

"Kau adalah Joker yang baru."

Terdengar seperti perintah meski lugu.

.

"Kau adalah Joker yang baru."

Oke. Kelinci jejadian yang bossy. Dan, raut muka menyebalkan itu.

.

"Kau adalah Joker yang baru."

Kenapa ada seekor hewan yang berbicara berulang tentang hal yang tak kumengerti? Ini tidak lucu.

.

"Kau adalah Joker yang baru."

"Kau sendiri siapa?" Aku menangkap kelinci itu. Tapi hewan itu melompat dan berbisik kecil di telingaku,

.

"Apakah yang terlihat oleh hati sintetismu?"


[PASSWORD]

by 3plusC

Hetalia © Hidekaz Himaruya

Alice in Wonderland © Lewis Caroll

OC © Terserah imajinasi anda :D


Nesia terdiam di lorong. Dia pucat, kusut, kaku, dan... mungkin bau? Jangan lupa ada lingkaran hitam di bawah matanya yang memerah. Puluhan gadget disekitarnya... Oh, hei, jangan dikira semua instrumen eksotis itu menyala, berkoar-koar manja, berkedip genit dengan berbagai suara bising di pagi yang mendung ini. Semua mati, mati, mati ditempat. Sadis. Tak berdaya.

"Dunia sudah hancur." Ujarnya pelan, "Aku sudah mencoba memakai semua yang potensial. PC, Laptop, notebook, smartphone macam BB, iPhone, iPad milik orang- orang di rumah ini…mulai dari hi- tech sampai low-tech…segala merek... second... keluaran terbaru...

"DEMI TUHAN, BAHKAN HANDPHONE BUTUT MENOLAKKU!"

Nesia menarik rambut hitam bergelombangnya yang bercabang. Mendramatisir suasana dengan berteriak frustasi dan melempar segala.

"Nes, cukup!"

Nesia menatap sinis gadis berkuncir belakang yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapan, menghentikan dua tangannya yang sudah dalam posisi menghabisi calon korban; barang-barang tak bernyawa.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"

"Bukan urusanmu,"

Mendengar jawaban ketus dan menantang barusan, pihak pencegah tak bisa menutupi kekesalannya, namun ia memilih menepuk pundak Nesia dan berkata tegas, "Aku Viet. Kakakmu. Walimu. Setelah orang tua kita tiada, Pengasuhmu."

"Oh? Dunia hancur. Artinya aku hancur."

Viet memijat kepalanya, pusing. Pelan-pelan ia mundur dari adik dengan pakaian dan pita merah-putih di rambut yang sudah berantakan itu, "Jika kita hidup di milenium satu, apa kau juga akan begini?" suaranya melembut, diiringi raut muka yang sabar.

"Dunia tak akan kiamat karena hal ini. Lihat sisi positifnya, kau punya kesempatan menjadi manusia seutuhnya, bukan android paranoid yang dua puluh empat jam menghabiskan waktu di dunia maya. Kita ini hidup, coba kau keluar dari rumah dan zona nyamanmu ini sekali saja, kau akan tahu betapa berharganya suatu kehidupan-"

"MENJAUH DARIKU! KAU TIDAK MENGERTI! KAU BUKAN AYAH MAUPUN IBU, KAU TAK BERHAK MEMERINTAHKU!"

Hampir saja Viet mengangkat tangan, siap menampar, kalau Thai yang datang terpogoh-pogoh tidak menariknya.

"Kalian ini sama saja. Tenang sedikit. Gunakan akal sehat," lelaki berkacamata sendu itu menarik tangan Viet. Membawanya menjauh sebelum terjadi 'pertumpahan darah' khas wanita muda. Yang ditarik sempat memberontak, tapi Thai berbisik mempersuasi agar Viet memberikan waktu lebih bagi adiknya untuk instropeksi sendiri.

Saat keduanya tak terlihat lagi, Nesia lanjut menggerutu, "Harusnya aku yang bertanya. Apa yang salah denganku sehingga seminggu ini para gadget menutup indranya dari jangkauanku?"

Di tengah-tengah kondisi gundah gulana, lagi-lagi seseorang lewat, berhenti sejenak melihat keadaan.

"Kak Nes? Seminggu ini kau keluar kamar? Mengejutkan." Komentar dari lelaki kecil yang memiliki wajah mirip dengannya itu kembali membuat emosi Nesia berangsur naik,

"Apore, BB." ujarnya sambil menengadah paksa.

Diserang tatapan gelap yang tak main-main, lelaki kecil itu tidak sedikitpun merasa terintimidasi. Reaksinya cukup sederhana, hanya geleng-geleng kepala.

"BB-ku rusak permanen setelah kau pakai tiga hari yang lalu. Runei juga bercerita padaku apa saja yang telah kau perbuat dengan para gadget..."

Krak.

Apore menginjak sebuah handphone touchscreen yang tergeletak sadis di lantai. "Ow. Sepertinya tidak akan ada yang memberimu gadget baru lagi, Kak."

Krak, krak.

Itu bukan suara telur jatuh, itu smartphone lain yang terlindas sol pantofel. Bukannya sengaja, benda-benda itu sudah bertebaran di lantai dengan kondisi dan posisi tidak terkira. Waw, bahkan notebook mahal pun tercerai berai dari asalnya. Sekarang gadget keren itu pundung di bawah meja.

"Kau jadi… ehm, apa kata teman- temanku itu…yandere? Ah, sudahlah. Kembalilah ke kamarmu, Kak. Atau kami akan mengirimmu ke rumah sakit jiwa terdekat. Ini mendekati akut."

Nesia menggertakan gigi, berhenti sejenak dari aktivitas lempar tinggi. Oh, mungkin kali ini ia menganggap kata-kata Apore ada benarnya. Frustasi berkepanjangan bisa menyebabkan gila.

"..Kita ini hidup, Nes ..."

Terngiang lagi pesan singkat Viet kepadanya. Sekali, dua kali, jajaran ungkap itu membuatnya jatuh menelungkup.

" ... Coba kau keluar dari mansion ini sekali saja, dan kau akan tahu betapa berharganya suatu kehidupan-"

...

"Lebih baik musnah saja daripada harus berbaur dengan makhluk yang mengaku penuh cinta dan kasih sayang. Kehidupan berharga? Ya, kalian pantas mengatakannya bila telah melakukan sesuatu yang spesial untuk hidup. Sementara apa, yang kalian lakukan hanya senang-senang, cinta-cinta-

...

"Nes, dengar. Bulan depan aku akan menikah."

Nesia menoleh sedikit, kemudian fokus kembali di depan layar komputer. Apa pedulinya.

"Aku menikah dengan guru home-schooling kesayanganmu, bukankah setidaknya kau ikut senang?"

...

"…Aku Viet. Kakakmu. Walimu. Setelah orang tua kita tiada. Pengasuhmu."

...

"Bahkan kau tampak begitu sempurna saat marah."

Nesia mengurut dada, menanyakan kabar jantung, hei, apa hingga kini masih berdentang eksistensinya?

"…Lihat sisi positifnya, kau punya kesempatan menjadi manusia seutuhnya, bukan android paranoid yang 24 jam bersama dunia maya."

"Tidak."

Rok panjang berenda menjuntai, mengiringi langkah Nesia yang terhuyung-huyung memasuki singgasana: Kamar gelap penuh kabel, monitor yang porak poranda, tumpukan buku yang berjajar dimana-mana. Apa? Jangan bicarakan coret-coretan eksak di papan putih yang tergantung bahagia. Damn. Ini bukan malam dan para tikus itu tidak sedang berpesta. Bersyukurlah.

Aku 'android', adalah bayangan konyol yang terlintas di pikiran gadis itu.

'Android', bukan Cupcake atau Honeycomb. 'Android' ini awalnya manusia, namun sepertinya ia mengelak hidup seperti yang ditentukan Tuhan. Semenjak ditinggal mati kedua orang tuanya, sekaligus kehilangan adik lelaki yang paling dekat dengannya, manusia itu membentangkan jarak seribu tahun cahaya dari kehidupan nyata. Ia beralih profesi menjadi pecandu kelas kakap dalam peranakan dunia penuh sandiwara: dunia maya.

Tidak susah jadi seorang 'android'. Cukup berinteraksi dengan teknologi modern saja ... terutama gadget, iya, yang digemari anak muda. Jangan lupa minum oli atau ganti baterai. Tak perlu susah-susah bekerja untuk mencari berbagai jenis makanan yang sekali suap saja tak cukup membuat perut berhenti bersuara. Atau bercakap dengan orang-orang bermuka dua.

Haha.

Tapi android tidak bisa jatuh cinta, kan ya?

Lupakan masalah melankolis itu. Lupakan. Nesia Pertiwi kini mendapati satu masalah yang lebih intim: Elektronik meminta mati di depannya.

Itu artinya, tak ada lagi dunia maya. Yang menjadi segalanya.

Tentu saja ia pun kalang kabut. Melepas sejenak semua ego dan berusaha berinteraksi normal dengan orang lain setelah sekian lama, demi menemukan kembali alternatif definisi bahagianya.

Lalu? Gagal. Ini sudah hari ketujuh. Kakak dan adiknya sudah tidak lagi peduli, hanya menampik keinginannya dengan nasehat tajam yang membuatnya muram. Dengan berat hati pun ia memutuskan kembali mengurung diri di kamarnya sampai malam hari tiba. Ia akan menunggu saja. Mandi? Makan? Orang kaya, bayangkan di mana-mana satu ruangan itu berfasilitas lengkap seperti halnya blok apartemen.

Tanpa menyalakan lampu, apa yang dilakukan dia di situ?

Nesia sangat tidak MAX. Tidak elit maksudnya. Ia terjebak dalam posisi terbelit kabel, seperti diinfus, dengan mata yang tambah merah, memegang alat- alat pertukangan, dan baterai-baterai kusam.

Denial "Aku bukan ROBOT!" ala Mr. Krab Itu lain lagi. Nesia malah mungkin lebih ingin mengukuhkan diri, menjadi spesies yang bahkan keringat saja tak dideteksi.

Tapi bagaimanapun, ia tetaplah manusia.

Setelah memendam kesakitan luar biasa, air mata Nesia jatuh saat dentang musikal jam tua di lantai atas terdengar dua belas kali.

"Apa aku sudah mengatakan apa dan siapa saja yang ada di dunia maya? Apa yang kulakukan bersama mereka? Dengar, mereka bilang aku hidup di dunia penuh kebohongan ... seperti rela saja menjadi android yang hidup di dunia algoritma. Tapi kau tahu, hanya di sana tak ada kesedihan yang memisahkan kita,"

...

"Iya kan, Malay?"

.

.

[MASUKKAN PASSWORD]

Kling. Satu diantara lima monitor yang terpampang di kamar menyala. Nesia membelalakkan mata, bangkit dari malam yang menjeratnya. Pelan-pelan, jemarinya menyentuh piksel-piksel, bergerak menyambungkan kembali benang yang putus antara keyboard, CPU, mouse, di komputer yang paling sederhana.

"…Menyala?" Nesia berkaca- kaca. Memulai proses dengan tenang, seperti normalnya ia.

Namun yang muncul dilayar tetap sama: Masukkan password, dengan kotak kosong di bawah.

Ia tidak ingat pernah memasang program perlindungan ketat di gadget-gadgetnya, kecuali bila ada file pribadi yang sewaktu-waktu bisa diisengi adik-adiknya. Tapi bila yang diminta adalah password yang selalu ia pakai saat mendaftar akun tertentu, tentu saja: NESIA1945. Mudah.

[PASSWORD INVALID, MASUKKAN KEMBALI]

"Haaah?" Nesia melemaskan otot, mencoba lagi, mungkin salah tulis. Tapi hasilnya terus dan terus gagal, padahal ia yakin ketikannya benar. Ia pun mencoba semua password yang dulu pernah dipakai, atau yang mendekati. Memodifikasi berbagai angka yang muncul di otak, namun terhenyak hanya dengan membayangkan banyaknya jumlah kombinasi alfabeta. Nesia ingin saja berteriak, melempar barang-barang lagi, tapi-

... tidak setelah sekelebat bayangan kelinci melompat di monitor. Nesia melongo.

Tiba- tiba saja ia teringat mimpinya malam lalu. Seekor kelinci bersyal yang terus mengucapkan hal-hal yang tidak ia mengerti. Nesia berpikir, bagaimana jika ia mencoba memasukkan kata yang berulang-ulang itu: Aku adalah Joker yang baru?

Ahahaha.

Tik. Tik. "I- am- the-

Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik.

Tik. 'R' ditekan.

Nesia mungkin harus benar-benar mempertanyakan kewarasannya.

Sriinggg. Tunggu, lantas mengapa ada cahaya memancar terang dari monitor?

Tidak, ini bukan radiasi berlebihan. Emisivitas itu hanya dimiliki Tuhan.

Nesia menutup mata, sembari berpikir. Dirinya tak paham apa yang diketiknya. Tapi mau bagaimana lagi. Ambil saja amanatnya atau bagaimana? Jangan takut untuk mencoba ide-ide gila karena seperti sekarang, sekarang sebuah hal telah menjelma kenyataan?

Pelan-pelan Nesia membuka mata ketika sebuah suara yang familiar terdengar di dekatnya,

"Selamat datang, …'Alice'."

.

.

+T.B.C.+


*Merek- merek yang disebutkan diatas bukan milik author ya.

*Kenapa Indonesia? Ah, anda kan tahu Indonesia digdaya dunia maya :)) Walau tidak sampai hikky, sih... tapi... cocok...

*Typo? EYD salah? Kesempurnaan itu dari Tuhan, kesalahan itu dari manusia. Mohon koreksinnya :))

Ini mana yang lain? Cuma ASEAN10-kah? Enggak. Lha wong..err..oke, kelinci manis nodong author yang sebenarnya gaptek ini. Oh, AU sangat. Karena AU, kemungkinan bisa OOC walau sebenernya OC... #dilempar

Akhir kata, terima kasih untuk meluangkan waktu membaca fic ini~! XD