"Moshi-moshi."

"Ino, lama sekali mengangkatnya!"

"Shion-nee! Mengangetkan saja. Kaupakai nomor siapa, sih?"

"Ah, aku menghubungimu dari telepon umum di Jalan Kecil Konoha. Kau tahu, 'kan? Ponselku tertinggal di rumah."

"Hah? Ceroboh sekali."

"Hehehe. Setidaknya aku bisa bertaruh …."

"Bertaruh apa?"

"Bertaruh bahwa kau tidak akan melihat-lihat isi ponselku. Namun sebelumnya, kau tidak bertanya mengapa aku ingat nomor ponselmu?"

"Apa itu penting?"

"Oh, ya, ya—itu karena aku menyayangimu, Ino. Makanya, dalam kondisi bagaimanapun, aku akan mengingatmu. Kau kan adikku tersayang."

Sebuah senyum geli.

"Hai~, hai~ Shion-nee mau dibuatin makan malam apa, sih?"

Satu tawa renyah.

"… Yaaa, tolong siapkan apple dan Kitkat saja ya sebagai penutup. Ngomong-ngomong, sudah dulu ya, Ino. Aku ada janji. Bye, adikku sayang."

"Tung—Shion-nee!" Sambungan terputus. "Dasar. Jadi dia telepon untuk apa, sih?"


407 IS ShiON

Disclaimer : I do not own Naruto. Naruto © Masashi Kishimoto

I'll never gain any commercial advantages by making this fanfic.

Fanfic is just for fun, right? ;)

Story © Sukie 'Suu' Foxie

Mystery / Friendship / Family

Warning: Probably OOC. An unrealistic plot, somewhat. Barely have a romance-scene.

Not really a difficult case , more to how to unlock the password.

Let's have fun with this!

Case 1. And The First Password is …


Ino mengempaskan dirinya ke sofa. Pandangannya sedikit buram. Kelelahan yang teramat sangat ia rasakan semenjak ia pulang dari rumah sakit. Matanya memerah bukan karena debu-debu polusi di jalan yang baru saja ia lalui. Semua ini lebih dari satu kata sepele.

Berita yang sangat, sangat mengejutkannya di Minggu sore. Ia tidak ingin pulang secepat ini. Namun, dokter rumah sakit yang sekaligus kawan kakaknya sejak kecil menyuruhnya demikian. Untuk menenangkan pikiran—katanya.

Tenang?

Mana bisa dia tenang?

Tidak, ia rasanya malah akan menangis lagi. Tidak mungkin ia bisa tenang. Rasa-rasanya, dia bahkan ingin menjerit histeris saat mengetahui bahwa kakaknya—kakaknya tersayang—baru saja mengalami keracunan hebat dan dalam keadaan kritis. Kritis—tidak sadarkan diri. Bisa meninggalkannya kapan pun.

Ino menepis pemikiran itu dengan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Katou Shizune adalah dokter andal. Ia pasti bisa menolong kakaknya.

Dengan pemikiran yang optimis itu, Ino menghapus air matanya yang sudah mengalir lagi tanpa bisa dicegah. Ia menghirup napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan pikiran. Oh, aneh sekali. Nasihat tadi berbalik menjadi satu-satunya yang bisa dipikirkan Ino saat ini.

Sesaat ia merebahkan kepalanya begitu saja di atas sandaran sofa. Matanya memandang langit-langit sebelum beralih memandang isi apartemen yang cukup luas yang sudah menjadi tempat tinggalnya dan Shion semenjak orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil tujuh tahun yang lalu.

Tujuh tahun sudah berlalu.

Tujuh tahun sudah berlalu semenjak Shion memilih melepaskan masa remajanya dan menjadi pengendali keuangan keluarga. Gadis itu memulai kerja sambilan begitu ia naik ke SMA. Uang warisan orang tua mereka cukup membantu karena pendapat Shion dengan kerja sambilanya bisa dibilang tidak begitu memenuhi dan ia juga tidak mau membiarkan Ino yang masih kecil bekerja; Ino harus fokus pada sekolahnya, titik. Begitu Shion lulus SMA, dibanding melanjutkan kuliah, ia pun menjadi pegawai kantoran yang kantornya ia pilih dengan mata tertutup. Awalnya, gadis yang lima tahun lebih tua dari Ino ini mendapatkan pemasukan yang masih pas-pasan. Selang setahun, ia mendapatkan kerja yang lebih baik dan hidup mereka juga semakin berkecukupan setelah ia mencoba peruntungannya dalam bidang blogging. Tujuh tahun mereka hidup tenang sebagai kakak-adik yang akrab—dan sesekali bertengkar dalam kapasitas yang wajar.

Dan sekarang, kakaknya yang tangguh itu—yang selalu tersenyum penuh makna, yang selalu memiliki pemikiran-pemikiran tak biasa, yang sehatnya luar biasa … kakak yang tangguh seperti itu sedang berada di rumah sakit! Koma! Ya, Tuhan! Ia belum melihat langsung, Shizune-sensei melarangnya. Namun, menurut dokter tersebut, kondisi kakaknya benar-benar parah. Kulitnya menunjukkan bercak-bercak kemerahan—iritasi, demikian pula dengan bagian mulut, hidung, dan matanya.

Ino segera meraih tisu yang ada di atas meja dan menghapus air matanya yang tengah berusaha keluar. Ino tidak ingin membiarkannya.

Mendadak ia teringat pesan kakaknya tadi siang, saat Ino baru saja selesai membersihkan rumah—apartemen mereka. Ino menoleh dan melihat jam yang tertera di ponselnya. Setengah lima. Harusnya ia saat ini tengah di dapur, menyiapkan makan malam bagi dua orang. Tak lupa apel yang sudah hendak dijadikannya pie dan cokelat yang akan dihidangkannya dalam bentuk es krim. Makanan penutup yang sempurna. Dan oh—Ino juga sudah sempat membeli mi spaghetti di supermarket. Ia tinggal memotong-motong daging dan kemudian merebusnya dengan saos tomat. Shion akan menyukainya.

Tapi … semua rencana tinggallah rencana. Shion keracunan! Nyawanya terancam!

Apa yang sedang terjadi sebenarnya?

Pesan Shion kembali bergaung di benaknya.

"Ah, aku menghubungimu dari telepon umum di Jalan Kecil Konoha. Kau tahu, 'kan? Ponselku tertinggal di rumah."

"Hehehe. Setidaknya aku bisa bertaruh …."

"Lalu, apa katanya tadi?" Ino menggumam sembari berusaha mengingat-ingat. "Bahwa aku tidak akan membuka ponselnya?"

Mata Ino terbelalak ngeri—seolah ia baru saja melihat hantu. Tapi bukan itu yang membuat jantungnya berdebar.

Mungkinkah … mungkinkah kakaknya sengaja meninggalkan ponselnya karena ia tahu akan terjadi sesuatu padanya? Kalau memang begitu … ponsel itu ….

Tak menunggu waktu lama, Ino segera bangkit dari sofa. Ia setengah berlari menuju kamar kakaknya. Ruangan tersebut tidak banyak berubah semenjak ia bersihkan tadi siang. Kasur yang dilapisi seprai yang rapi dengan selimut yang terlipat dengan rapi di ujungnya. Di sebelahnya terdapat sebuah nakas dan lampu tidur. Tidak jauh dari sana, sebuah meja belajar berdiri tepat berada di depan sebuah jendela yang kordennya kini sudah tertutup.

Di atas meja belajar tersebut terdapat berbagai macam barang, termasuk sebuah laptop dalam keadaan tertutup. Dulu mereka mempunyai sebuah komputer, yang kemudian Shion jual secara untung-untungan untuk mendapatkan sebuah laptop yang dinilainya lebih praktis untuk pekerjaan blogging-nya.

Setelah berada di depan meja belajar tersebut, Ino menahan napas. Tubuhnya bergetar karena ngeri. Laci meja yang paling bawah tidak tertutup rapat, padahal Ino yakin bahwa ia tidak mungkin meninggalkan lacinya dalam keadaan tanggung seperti itu. Ia menelan ludah. Ditutupnya laci paling bawah itu secara perlahan dan tangannya yang bergetar menarik laci yang paling atas.

Di laci itulah Ino menyelipkan ponsel Shion yang tertinggal. Dan di tempat itulah, Ino menemukannya kembali. Rasa lega sedikit memenuhi batinnya. Ia pun mulai berpikir bahwa masalah dengan laci mungkin hanya pemikiran buruknya yang terlalu berlebihan. Mungkin tidak akan ada apa-apa.

Namun, begitu ponsel itu berada dalam genggamannya, Ino dikejutkan oleh kenyataan lain. Ponsel tersebut dikunci dengan semacam password yang terdiri dari empat karakter. Matanya kembali menyiratkan ketakutan.

Secara cepat, dibukanya tiap-tiap laci di meja belajar tersebut. Kertas-kertas yang menumpuk, notes—bahan pekerjaan Shion, mungkin? Di beberapa notes tersebut, terdapat tiga angka yang selalu sama di ujung kanan atasnya.

Lalu, Ino juga menyalakan laptop Shion secara tergesa. Sekali lagi, ia menemui kendala dengan adanya password di sana.

Ino mendadak merasa lemas. Ia kemudian berjalan dengan agak linglung ke kasur kakaknya dan merebahkan diri di sana. Rasanya, banyak yang harus ia lakukan sekarang selain menelepon Shizune-sensei untuk menanyakan kondisi kakaknya.

Ponsel dan laptop yang memiliki password … tidak semudah itu, 'kan, memecahkan kata sandi yang begitu pribadi seperti ini. Dan kalau Ino adalah orang luar, ia akan mengacak isi kamar Shion untuk mendapatkan petunjuk. Ini bisa menjelaskan mengapa salah satu laci itu tidak tertutup rapat.

Ino menggigit bibir bawahnya. Dikeluarkannya ponselnya sendiri dari saku rok denimnya. Setelah menimbang beberapa saat, ia pun memutuskan untuk memanggil mereka.

o-o-o-o-o

"Tidak ada tanda-tanda kekerasan." Seorang gadis berambut merah muda yang tengah membungkuk untuk memperhatikan lubang kunci menyuarakan pendapatnya.

"Mendokuse na, Sakura," timpal seorang pemuda berambut hitam yang tengah duduk malas di atas sofa sembari memandang ponsel di tangannya, "cara masuk ke dalam apartemen ini kan memang tidak seketat itu. Kauingat? Waktu itu kita hanya perlu meninggalkan kartu pelajar dan menyebutkan dengan lengkap nomor kamar dan pemiliknya, lalu mengatakan apa keperluan kita, dan dengan senang hati penjaga apartemen akan membukakan pintunya untuk kita."

Sakura menunjukkan cengirannya. Ia kini sudah berdiri tegak sebelum kemudian berdiri di belakang Ino yang duduk berhadap-hadapan dengan sang pemuda yang mulai tampak kesal. Dengan lembut, Sakura menepuk pundak Ino yang masih bungkam. Ino menoleh.

"Ini artinya, kau harus segera pindah dari apartemen ini. Bagaimana kalau ke rumahku saja?" ujar Sakura dengan nada bergurau. Mendapat reaksi wajah yang masam, Sakura cepat-cepat menambahkan, "Bercanda, Buta-chan. Belum tentu apa yang kaukhawatirkan itu benar-benar terjadi. Semua tidak lebih dari kecemasanmu semata, 'kan?"

"Aku—"

"Aku tidak yakin," sergah sang pemuda cepat. Alis matanya bertaut. "Kalau mengingat sifat Shion-nee, mungkin saja dia memang terlibat—katakanlah—sebuah kasus."

Tidak ada yang berkata-kata setelah pernyataan itu. Yang ada di sana semua mengenal Shion dengan cukup baik.

Yamanaka Ino—sang adik. Bukan cuma sekali Ino dibuat khawatir dengan keputusan sang kakak yang sembrono. Lihat saja caranya memilih pekerjaan. Shion memang tangguh dan berani—terkadang kelewat berani. Jika ia sudah memiliki suatu keputusan, ia akan melakukan keputusannya tersebut hanya dengan modal 'untung-untung'-an.

Dalam tujuh tahun ini, sudah entah berapa kali Shion meninggalkan kantornya untuk mencoba peruntungannya di kantor baru. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai administrasi di bidang properti yang berada sekitar dua stasiun dari apartemen mereka.

Lalu, ia pun merambah dunia blogging yang lebih sesuai dengan minatnya: dunia kuliner. Blog-nya sudah diikuti cukup banyak orang dalam waktu kurang dari dua tahun. Dari situlah, Shion semakin dekat dengan Chouji—pacarnya sekarang—yang merupakan anak pemilik salah satu restoran ternama. Semenjak mengulas mengenai makanan di restoran Chouji, banyak pemilik restoran lain yang kemudian mengajukan diri agar restorannya diulas di blog milik Shion. Dari sana, Shion mendapatkan pemasukan tambahan.

Haruno Sakura adalah sahabat Ino sejak sekolah dasar. Kedua orang tua Sakura sangat menyayangi Ino bagaikan anak mereka. Sang ayah yang tahu bahwa orang tua Ino tewas dalam kecelakaan kala itu langsung menawarkan bantuan dana sekolah bagi Ino. Namun, Shion menolaknya dengan tawa riang dan berkata bahwa kedua orang tua Sakura cukup menjaga Ino sementara ia bekerja. Shion juga menolak tawaran pekerjaan yang ditawarkan oleh Haruno Kizashi dan memilih untuk mencari pekerjaan dengan caranya sendiri.

Sakura tidak begitu dekat dengan Shion, tapi sekali-dua kali, Shion pernah mengajaknya makan bersama dengan Ino. Katanya, ucapan terima kasih karena sudah mau menjadi teman adiknya.

"Shion-nee orang yang baik," gumam Sakura setengah merenung, "aku tidak bisa memikirkan alasan mengapa orang ingin membunuhnya."

"Oh, ya?" Sang pemuda berambut hitam menjawab setengah sadar. Pemikirannya masih terfokus pada empat digit karakter yang harus ia pecahkan untuk dapat membuka ponsel Shion. "Kurasa, orang baik pun bisa punya musuh. Shion-nee tidak terkecuali."

Nara Shikamaru pun adalah teman Ino sejak kecil. Tepatnya, orang tua mereka yang berteman. Tidak hanya itu, orang tua Akimichi Chouji yang merupakan pacar Shion (ia sekarang ada di rumah sakit menunggui pacarnya tersayang) juga merupakan teman dekat dari orang tua Ino dan Shikamaru. Karenanya, Chouji yang lima tahun lebih muda dibanding Shion ini sebenarnya sudah mengenal Shion sejak lama. Namun, sejak Shion aktif di blog-lah, keduanya menjadi semakin dekat.

Sejak Shikamaru masih kecil, Shion senang mengolok-oloknya sebagai si pemalas yang tidak akan punya pacar dalam waktu dekat. Olokan itu terbukti—bahwa sampai sekarang (mereka sudah kelas dua sekolah menengah atas) Shikamaru tidak pernah punya pacar benar adanya. Namun, bukan itu yang membuat Shikamaru kadang kesal dengan ulah kakak temannya tersebut. Ya, Shion memegang satu rahasianya. Rahasia yang tidak—belum—bisa ia ungkapkan pada siapa pun.

"Mungkin saja, ia mengetahui rahasia seseorang dan kemudian memerasnya," ujar Shikamaru lagi sambil menggaruk kepalanya. "Lalu, orang yang diperasnya itu akhirnya tidak tahan dan memilih melakukan cara ekstrem untuk melepaskan diri dari jeratan Shion-nee."

"Shika! Kaungomong apa, sih?" hardik Sakura dengan bola mata yang nyaris melotot keluar. Takut-takut, gadis itu melirik ke arah Ino.

Ino sendiri hanya menghela napas panjang. "Kemungkinan besar, sih … kalau terlibat kasus, pasti kasus semacam inilah yang paling mungkin menimpa Shion-nee."

"Buta-chan, kau juga …."

Ino mengangkat bahu. "Walau dia kakakku sendiri, kurasa aku tidak perlu menutup-nutupi keburukannya dari kalian. Toh kalian juga tahu, Shion-nee orang yang seperti apa."

Sakura beranjak dari belakang sofa untuk kemudian duduk di sebelah Ino. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi dan membiarkan pernyataan Ino memengaruhinya sedemikian rupa.

"Kau juga tahu betapa liciknya Shion-nee memanfaatkan Chouji, 'kan? Kalau bukan karena Chouji, blog-nya tidak akan seramai sekarang." Ino tertawa hambar. "Yah, walau lambat laun, aku rasa dia benar-benar jatuh cinta pada Chouji. Dia tidak akan terang-terangan mengakuinya, sih, dia juga masih suka mengatai Chouji sebagai 'bocah'."

Shikamaru mengangguk. "Chouji tahu hal itu. Dan dia membiarkannya." Shikamaru tampak kesal. "Aku tidak mengerti Chouji," dia diam sejenak sebelum menambahkan, "dan wanita."

"Kurasa Chouji sangat menyayangi Shion-nee," ujar Sakura mengulang fakta yang sudah jelas.

"Tapi mungkin bagi Shion-nee, yang paling ia sayang adalah dirinya sendiri," tambah Ino dengan nada bergurau. Ia harus membangkitkan semangatnya, dengan cara apa pun. "Makanya dia sering kali tidak peduli apa pun, asalkan dirinya senang."

"Asalkan kalian senang," ralat Sakura sambil mencubit pipi Ino. "Aku yang orang luar saja bisa lihat kalau Shion-nee itu sangat, sangat, sangaaaat sayang padamu, Ino."

"Hahaha." Dengan tawa itu, Ino mengusap pipinya. Bersamaan dengan itu, mendadak sekelebat ingatan merasuki benaknya. Dengan lirih, nyaris berbisik, Ino bergumam, "Shion … Ino …."

Shikamaru yang menangkap gumaman Ino seolah mendapat pencerahan. Ia memandangi layar ponsel yang menampilkan empat kotak kosong yang minta diisi dengan saksama. Matanya terpejam sesaat sebelum ia akhirnya mengangguk.

Jemari Shikamaru mulai bekerja menekan angka-angka di badan ponsel.

Empat.

Nol.

Dia sedikit memutar otak di sini. Semacam lelucon memang, tetapi kemudian ia memasukkan angka tujuh.

Dan yang terakhir ….

"Empat, nol, tujuh, satu," celetuk Ino. Ia kemudian menunjuk ke arah Shikamaru. "Shika, coba ketikkan angka-angka itu."

Shikamaru tersenyum dan memutar ponselnya. Layar sudah berganti. Ponsel Shion tak lagi terkunci.

***To Be Continued***


Wohoo! Fanfict baru yang bertema misteri lagi. Kali ini nggak rumit-rumit, deh~ cuma seputar memecahkan kode. Tapi yah, jujur, aku enjoy banget pas ngerjainnya, rasanya ngalir banget pas ngetik. Dan btw, kalau nggak ada halangan, fanfict ini akan di-update reguler. Paling cepet, chapter duanya akan di-update hari Jumat.

Ne~ langsung aja beritahukan pendapat, pesan, kesan, kritik minna-san tentang fanfict ini via review~

I'll be waiting.

Regards,

Sukie 'Suu' Foxie.

~Thanks for reading~