Disclaimer : Not mine


I


Berlari.

Suara kakinya memantul-mantul di dinding lorong itu.

Peluh menuruni wajahnya perlahan. Ia merapatkan mulutnya, menahan diri untuk tidak berteriak ketakutan. Kakinya sudah pegal. Tetapi dia harus tetap berlari. Lengan kirinya terluka parah, terdapat sayatan dalam di sana. Sayatan itu masih begitu segar dan mengucur darah merah dari dalam. Darah terus keluar dari dalam lukanya –menuruni lengannya perlahan hingga ke ujung jari. Sampai akhirnya menetes-netes di lantai. Menciptakan jejak darah yang sempurna untuk diikuti. Pria itu meremas lengannya –berharap bisa menghentikan pendarahan, walaupun ia tahu itu tidak mungkin.

Lorong yang ia lalui begitu panjang dan gelap. Sangat sulit untuk melihat tanpa bantuan penerangan. Ia tidak mengerti mengapa ia tidak kunjung menemukan jalan keluar. Tempat ini adalah markasnya. Tempat ia bekerja setiap harinya selama bertahun-tahun. Tetapi, mengapa kali ini ia merasa tersesat. Ia merasa tak mengenal tempat ini. Efek dari ketakutan, kah?

Iya, bisa jadi.

Dia sedang ketakutan. Jika ingin terus hidup, maka ia harus berlari. Sejauh yang ia bisa. Sejauh kakinya bisa bergerak.

Tidak! Itu salah!

Bukan sejauh yang ia bisa. Tetapi, sejauh mungkin berlari dari dia.

Jika dia sampai menemukannya, maka selesai sudah hidupnya. Apa lagi ia sudah tidak memiliki senjata untuk melawan lagi. Baju pelindungnya sudah robek di sana-sini, pelindung kepala juga sudah terlepas. Revolver? Ia bahkan tidak ingat di mana benda itu sekarang berada. Pasti jatuh di suatu tempat saat ia tengah kabur tadi.

Kakinya sangat sakit. Kecepatan larinya berkurang drastis. Nafasnya sudah sangat berat. Dengan enggan ia berhenti. Ia mencengkram dadanya sendiri. Tepat di dalam sana, jantungnya berdebar begitu kencang. Kedua kakinya gemetar, melemas. Ia roboh. Pipi kirinya terasa dingin karena menempel pada lantai.

Tenangkan dirimu.

Atur nafas.

Selama tiga puluh detik ia terdiam. Memejamkan mata –berusaha menenangkan diri. Nafasnya kembali teratur, namun tidak dengan detak jantungnya. Sugestinya tidak bisa membohongi organ tubuhnya. Sial! Dia masih sangat ketakutan.

Perlahan ia mencoba untuk bangkit. Cukup sulit hanya untuk mencoba berdiri saja. Kedua kakinya terasa seperti mau patah. Diremasnya kembali lengannya. Masih basah. Cairan merah itu tidak mau berhenti. Ia menoleh ke belakang. Disana, dilantai dingin itu ia mampu membayangkan tetesan darahnya bertebaran. Ah, ini sama saja bunuh diri namanya.

Ia mengalihkan pandangannya –menatap lurus ke arah lorong. Lorong itu, sangat panjang dan gelap. Tidak ada suara apapun. Terlalu sunyi. Seakan-akan, lorong itu telah menelan semua keheningan yang ada. Bulu romanya menegang.

Kedua kakinya kembali bergerak. Kali ini tidak berlari, melainkan berjalan tertatih-tatih. Ia sadar, tidak ada gunanya memaksa dirinya untuk berlari. Antara sudah terlalu lelah atau menyerah? Entah, ia tidak tahu. Yang jelas kini yang ia pahami sekarang adalah bahwa ia tidak mungkin lagi selamat.

Karena dari belakangnya, ia dapat mendengar sebuah suara.

Suara sepasang kaki yang berlari. Menuju ke arahnya.

Pria itu tersenyum miris. Nah, inilah endingnya.

Suara kaki itu semakin mendekat dan mendekat. Tinggal sedikit lagi sampai mereka bertemu.

Pria itu berhenti dan membalikan badannya. Ia tersenyum. Ada seseorang di hadapannya sekarang –seorang pria mungil berambut biru yang memakai seragam petinggi militer. Wajah pria itu datar. Mata kanannya menatap kosong sedangkan mata kirinya berbalut perban.

"Phantom.." kata pria itu lirih.

Ia melirik ke tangan kanan pria mungil itu –sebuah pedang berwarna keemasan ada dalam genggaman tangan yang berbalut sarung tangan putih. Pria itu menggigit bibir bawahnya. Bahkan, di tengah kegelapan seperti sekarang pun, matanya masih mampu menangkap kilau dari pedang mematikan itu.

Pria berambut biru langit itu hanya terdiam tidak menanggapi. Bola mata bulat sewarna langit nan kosongnya memandang lurus ke wajah lelah pria yang tengah terluka itu. "Darahmu berceceran dimana-mana. Sebagai prajurit kau memiliki kecerobohan yang fatal." Pria biru berkata dengan nada monoton.

"Sebuah kehormatan bagiku karena mendapatkan koreksi dari kesatria terhormat seperti dirimu."

Si pria biru hanya diam. Tiba-tiba ia mengacungkan pedangnya tepat ke leher si pria. Sorot mata kanannya kosong namun tajam. Si pria yang terluka meneguk ludahnya. Ia tahu persis bahwa pedang emas dihadapannya itu telah membuat banyak kepala manusia melayang. Apakah sekarang sudah masuk giliran lehernya untuk mencicipi ketajaman pedang mengerikan itu? Sekarang, ia bahkan mampu mencium aroma kematian yang menguar keluar baik dari pedang itu sendiri maupun pemiliknya.

Sungguh mengerikan manusia di depannya ini.

"Ada kalimat terakhir?" Si Phantom bertanya.

"Pentingkah itu?" tanya si pria lelah dengan nada setengah mengejek. "Kau lihat kan aku sudah terluka begini. Senjataku juga sudah hilang entah ke mana. Menurutmu aku bisa berkata apa lagi?"

Si Phantom memiringkan kepalanya sedikit. "Kau tipe prajurit tanpa motivasi."

"Motivasiku sudah habis, Phantom." Katanya tersenyum. "Lagipula, dalam kemiliteran aku tidak butuh hal semacam itu yang aku butuhkan adalah–"

SLASH

Kalimatnya belum selesai. Entah kapan pedang itu terayun. Sebuah kepala sudah terlepas dari tubuh. Melayang sebentar di udara sebelum akhirnya terjatuh di lantai dan bergulir pelan. Tubuh itu sekali lagi roboh. Darah mengucur deras. Membasahi lantai dan merembes ke baju si pria, bahkan ada sedikit yang menyiprat ke wajah si pria biru.

"Sei-kun tidak pintar memilih bawahan ternyata." Gumam si pria biru.

Wajah si Phantom tetap datar. Mata kanannya memandang kepala yang tergelatak dua meter darinya. Sepasang mata hitam masih melotot horor. Ekspresi wajah terkejut dan mulut masih sedikit menganga. Si Phantom menghampiri kepala itu. Tangannya terjulur ke arah wajah si pria. Ia menutup mata yang melotot itu dan mengatupkan bibirnya.

Pria biru itu kemudian berdiri dan berbalik. Tiba-tiba saku celananya bergetar. Ia memasukkan tangannya dan menarik keluar sebuah handphone. Ia mengklik tombol 'jawab' dan menempelkannya ke telinga kanannya.

"Selamat malam, Kapten-chii!" Suara di seberang begitu riang.

Alis si Phantom naik sebelah. "Ada apa, Kise-kun?"

"Mou.. berhentilah bersikap dingin padaku. Aku cuma mau mengecek keadaan Kapten-chii."

Si Phantom mendesah lelah. Selalu saja begitu. Selalu tidak penting. "Pekerjaanku beres, Kise-kun."

"Ah, Kapten-chii memang hebat. Pekerjaan selalu beres dengan cepat."

Si pria biru memijit pelipisnya. "Ada lagi, Kise-kun? Pekerjaanmu sudah beres?"

Ada suara terkekeh di seberang. "Tentu! Aku sudah membereskan semuanya." Jawabnya riang gembira. "Baiklah, aku akan tutup tel–"

"Eh, Kapten-chii mau kuberi tahu sesuatu tidak?"

"Apalagi, Kise-kun? Aku sudah lelah. Siapkan helikopter, aku mau–"

"Satu menit lagi bom yang kupasang di gedung itu akan meledak. Kapten-chii, ayo cepat keluar dari sana."

Si Phantom menutup telponnya paksa. Ia meremas benda itu.

Sialan, Kise!

Satu menit? Gila! Si Phantom segera berlari menyusuri lorong gelap itu. Ia cukup mengenal denah gedung ini –untunglah baginya. Ia melirik arlojinya. Hanya sisa 45 detik.

Sial! Sial! Dasar pirang sialan!

Namun, ia masih bersyukur karena pintu keluar tidak terlalu jauh dari dirinya

Si Phantom bersumpah, setelah ia berhasil keluar dati gedung ini dia akan menyuruh Kise Ryota untuk push up sebanyak lima ratus kali. Persetan dengan rengekannya nanti! Siapa suruh untuk membuatnya kesal.


Sementara itu, di luar sudah ada sebuah helikopter besar terpakir di halaman yang agak jauh dari gedung. Seorang pria tampan berambut pirang cerah tengah duduk di di kursi kemudi. Pria itu mengenakan seragam standar pilot kemiliteran lengkap dengan topi dan lencana yang menempel di bahu.

"Kapten-chii, kenapa belum keluar, ya? Padahal bomnya sebentar lagi meledak." Gumam si pria, yang tak lain dan tak bukan adalah Kise Ryota. Di tengah sibuk menunggu, entah kenapa tiba-tiba ia merasakan bulu kuduknya berdiri.

Ia memandangi sekelilingnya. Efek hawa dingin malam, kah?

Sepertinya bukan. Toh, ia sudah sering bertugas di malam hari. Lagi pula ini musim panas. Musim panas malam hari tidak akan ada apa-apanya bila di bandingkan dengan malam musim dingin.

Tapi, kenapa ia merinding ya?

Entahlah, tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak.


Ketika Kise Ryota tengah khawatir dengan firasat buruknya, di dalam gedung sana, si Phantom tengah menyumpah-nyumpah dalam hati sembari berlari.

TBC

Saa.., gimana minna?

Untuk pertama kalinya Mariya bikin cerita dengan genre militer. Khawatir feelnya entar ga dapet, tapi Mariya tetep aja bikin -_-

Sudahlah, Mariya butuh review kalian semua^^ onegaishimasuuu~~~