"Kita tinggal di dunia dimana soulmate-mu tidak akan bisa menyakitimu secara fisik." Dan Chanyeol tidak pernah mempercayai itu. Tidak selama sebelas tahun hidupnya menjadi anggota eksekutif mafia incaran pembunuh bayaran. Sampai ia bertemu penyusup berambut merah ngejreng dengan masker hitam.
.
.
Soulmates
Chanbaek pairing
WARN: Sho-ai, BL, Yaoi, age-gap (maybe)
C (28 yo) / B (17 yo)
Sorry for typo(s)
.
.
"Lagi?"
Intonasi bicara meraup setengah kefrustasian yang nampak di wajah Chanyeol. Sementara itu, pria berseragam formal yang berdiri di depan mejanya agak menunduk gugup, merasa terintimidasi dengan tatapan tajamnya.
"Saya hanya diminta Black Boss untuk mengawal anda selama perpindahan—"
"Evakuasi dadakan maksudmu," sela Chanyeol. Tangan yang semula menggenggam dokumen bergerak menghempaskannya ke ujung meja, "kalau memang aksi teror di bawah sana mengancam keselamatanku, kenapa tidak memperketat penjagaan saja?"
Penjaga itu menelan ludah, "Maaf pak, tapi Black Boss memerintahkan—"
"Itu artinya tim penjagamu tidak becus. Ini sudah yang ketiga kalinya aku dipindahkan ke gedung yang berbeda dua hari berturut-turut! Dan kalian masih saja belum bisa menangkap tikus kecil yang menyusup ke sini!"
Kemudian Chanyeol menghela napas kasar setelah dilihatnya pria itu memucat menghadapi amarahnya. Sudah pasti ketakutan dijadikan pelampiasan salah satu anggota eksekutif yang terkenal dengan catatan kriminal membludak.
Chanyeol bangkit dari kursi, membereskan dokumen dengan dongkol, "Bawa anak buahmu ke pintu darurat 3. Aku akan menyusul sepuluh menit lagi."
Si pengawal membungkuk dengan perasaan lega luar biasa. Setidaknya dia tahu masih bisa melihat matahari esok pagi. Setelahnya, rekan kerja sesama anggota eksekutif masuk ke ruangannya sambil membawa koper.
"Hey Chanyeol, jangan keras-keras sama kepala penjaga." ucap Kyungsoo, bediri di tengah-tengah jalan.
"Aku tidak butuh pengawal," kekeuhnya pada pendirian.
Kyungsoo memutar mata, "Kau tidak pernah merekrut seorang pun menjadi bawahanmu. Ini sudah genap sebelas tahun kau jadi eksekutif mafia. Sudah hal lumrah kalau kau diincar banyak pembunuh bayaran. Kau tahu persis kan harga kepalamu itu sangat fantastis?"
"Aku melakukan hal yang menurutku benar. Aku juga yang mengatur hidupku sendiri." Chanyeol masih keras kepala. Tangannya bergerak cekatan memasukkan berkas-berkas ke dalam koper.
Kyungsoo mundur selangkah. Ekspresinya berubah seperempat horror, tigaperempat menuduh, "Jangan-jangan kau itu masokis ya? Diam-diam suka waktu para agen itu gencar mau membunuhmu?"
Sebuah map mendarat di wajah Kyungsoo dengan keras.
"Sana pergi duluan! Kau juga salah satu eksekutif yang diincar!"
Kyungsoo mengusap wajahnya, tidak berniat secuil pun untuk mengambilkan map yang tergeletak di atas lantai, "Udah maso, kasar pula! Pantasan kau tidak ketemu soulmate juga diumur hampir kepala tiga!" ledekan diluncurkan, ia langsung lari keluar ruangan sebelum menerima lemparan lagi.
"Tukang pamer." geram Chanyeol sambil mengunci koper.
Ia memang sudah duapuluh delapan tahun, berbeda dengan Kyungsoo yang masih duapuluh enam. Dan Ia tidak bisa melupakan kejadian setahun lalu saat salah satu anggota bagian persenjataan, Kim Jongin, tidak sengaja menjatuhkan kotak penuh pisau dari eskalator.
Kyungsoo tengah berdiskusi dengan kepala bagian persenjataan di samping eskalator, titik pusat jatuhnya benda tajam itu. Chanyeol kebetulan berada bersama Black Boss yang menandatangani surat penerimaan dan melihat kejadian mengerikan itu. Kalau pisau-pisau itu menghujam tubuh Kyungsoo bukan lagi kejadian mengerikan—namun normal. Memangnya disebut apalagi jika kemungkinan besarnya sudah pasti tertancap pisau? Itu normal kan?
Mengerikannya adalah Kyungsoo masih berdiri utuh tanpa ada goresan sedikit pun. Semua pisau seolah menjadi tumpul, mengenai tubuhnya bagai bola—terpental kembali ke arah lain.
Chanyeol syok sampai menganga tak percaya si pria pendek itu terhindar dari insiden berdarah. Kyungsoo lebih syok lagi, ia mematung, memandangi pisau yang mengelilingi dirinya tanpa terluka. Jongin apalagi, dia sudah panik karena nyawa salah satu anggota eksekutif mafia hampir saja bablas akibat kecerobohannya. Dan ia harus mengalami serangan panik versi dua karena soulmate-nya adalah atasannya sendiri.
Reaksi bos mereka?
Habis tandatangan, melengos keluar begitu saja dan berkata, "Kim Jongin, kau diberhentikan dari pekerjaanmu. Sekarang, sudah resmi direkrut jadi bawahan Do Kyungsoo."
Epic sekali pak.
Chanyeol ikut pergi dari sana karena tidak mau disuguhi drama picisan dua insan yang menemukan ujung benang merah mereka. Bukannya kesal atau iri, ia cuma... tidak suka.
Halah, kamu cemburu kan udah tua belum ketemu juga sama belahan jiwa.
Kata hati pengkhianat.
Ia tidak pernah memikirkan dunia percintaan. Dirinya yang bahkan tidak ingat wajah orang tua hanya tahu cara membalas budi sang bos yang mengulurkan tangan padanya. Intinya, ia tidak tahu apa itu artinya kasih sayang. Ia tidak mengerti apa itu tatapan memuja pada seseorang—ia selalu ditatap dengan pandangan haus darah biasanya.
Kau saja yang tidak menotis para agen wanita, Park.
Memberi perhatian saja tidak pernah. Paling-paling penerima perhatiannya cuma berkas-berkas menumpuk dan dirinya sendiri. Tapi ia tahu cara untuk berakting meluluhkan dengan mulut manisnya selama negosiasi berlangsung atau penyusupan yang dilakukannya sebagai umpan. Apa itu disebut tebar pesona?
Ya, mungkin itu.
Pengetahuannya tentang kisah kasih hanya dari pemandangan Jongin dan Kyungsoo yang berinteraksi di tempat kerja. Lebih pantas disebut bermesraan sepertinya karena sentuhan kecil atau godaan basi dari Jongin. Seolah semua yang mereka lakukan klop satu sama lain.
Kyungsoo menyenggol pulpen sampai jatuh dari meja, Jongin yang mengambilkan. Jongin yang membutuhkan minuman pelepas dahaga setelah latihan tembak, Kyungsoo membawa dua botol. Kyungsoo kerepotan mencari stempel yang tertinggal di laci, Jongin sudah mengantonginya sejak keluar ruangan. Jongin yang membawa dua stok peluru cadangan saat penyergapan, Kyungsoo yang membawa dua senjata api.
Terkadang malu-malu kucing ketika mengetahui mereka melengkapi satu sama lain atau malah rangkul-rangkul mesra tak tahu tempat.
Chanyeol ingin menyiram mereka dengan air raksa.
Nah kan kamu iri.
Ia mengusap wajah dengan kasar. Melangkah cepat menyusuri lorong sementara suara baku tembak terdengar tak jauh dari tempatnya. Mungkin tikus penyusup sudah sampai dua lantai di bawah kakinya saat ini.
Ia masih tidak habis pikir bagaimana organisasi mafia tempatnya bekerja menjadi kerepotan akibat kejadian belakangan. Permainan petak umpet ini lah sumber kekesalannya. Ia masih mempertanyakan kenapa Black Boss tidak memanggilnya sekalian lalu mendiskusikan serangan balasan.
Well, ia sudah pernah merencanakan ratusan penyergapan markas musuh yang presentase keberhasilannya mencapai sembilan puluh persen sampai akhirnya ia diangkat menjadi anggota eksekutif. Dia hanya butuh dua tahun untuk bereksperimen di lapangan kerja sampai akhirnya naik jabatan. Itu bukanlah pencapaian yang bisa dibanggakan kepada orang tua. Tapi di dunia kotor yang memiliki hukum membunuh atau dibunuh, pencapaian itu menjadi kartu AS untuk bertahan hidup.
Serangkaian teror dua hari ke belakang sudah memakan dua puluh korban pihaknya. Entah korban dari penembakan di lobi utama gedung satu atau penyusupan saat ini.
Meskipun secara teknis orang-orang yang berjaga di sana bukanlah bawahan Chanyeol, bukan berarti dia tidak mempedulikan jumlah kerugian. Mereka berasal dari tim yang terpisah karena ia bukanlah tipe yang suka merekrut pengawal. Ia sempat memprotes—namun diabaikan—pada Black Boss yang mengiriminya sekelompok penjaga. Jadi ia hanya bisa pasrah ketika sang bos mengatakan; aku cuma tidak mau sampai kehilangan anggota eksekutif yang berharga.
Halah, aku cuma dianggap sumber pundi-pundi uangmu.—sarkasnya dalam hati kala itu.
Ia baru sampai di ujung lorong dan melihat suasana yang sepi. Alisnya bertaut, seharusnya tim pengawal dan Kyungsoo ada di sini. Pintu menuju tangga darurat 3 menjeblak terbuka, ada asap yang keluar dari sana. Tidak bervolume padat tapi itu cukup menandakan bahwa timnya baru saja terlibat baku tembak.
Sialan.
Dia ditinggal gitu?
Mengutuk pelan, ia melangkah lambat, kedua matanya was-was memandangi sekeliling. Apa ini karma karena sudah memarahi kepala penjaga?
Oh siapa ya tadi yang mempercayai dirinya tidak butuh pengawal.
Tapi bagaimana pun juga, Chanyeol itu manusia biasa—bisa khilaf kapan saja. Bukan manusia super yang bisa mengubah kulitnya jadi baju besi atau melarutkan dirinya menjadi pasir. Dia bisa mati kalau kena peluru nyasar.
Tapi sikap profesionalitasnya membuat dia tidak takut meski sendirian. Toh dibalik jas hitamnya ada dua senjata api dan di kantong gespernya tersedia pisau lipat sekaligus peluru cadangan. Ia menendang badan pintu dari luar untuk memastikan ada respon dari dalam sana atau tidak. Keheningan selama lima detik sudah membuatnya cukup berpikir jika tidak ada eksistensi hidup selain dirinya.
Ia melebarkan bukaan pintu dan masuk ke dalam dengan cepat. Lampu berkedip-kedip—mungkin saja instalasi listrik di bawah sana terkena ledakan. Ia harus segera pergi dari sini sebelum penyusup di lantai bawah menemuinya.
Chanyeol baru saja menuruni tiga anak tangga ketika peluru melesat cepat di samping telinga, membuat lubang pada pintu kayu di belakangnya. Ia menghentikan langkah, merapatkan tubuh pada dinding dan melihat seseorang dari arah berlawanan menaiki tangga—menuju dirinya.
Sialan kuadrat.
"Apa kau salah satu penyusup?" ia bertanya dengan tenang.
Sayangnya tidak ada jawaban.
Begitu lampu stabil kembali, siluet orang itu terlihat jelas. Chanyeol menahan dirinya untuk tidak terkejut, seorang lelaki pendek mengenakan masker hitam yang menutupi dari hidung ke bawah. Sepasang mata hazel itu terlihat serius sekaligus kekanakan. Ia bisa menebak si penyusup ini masih muda, tidak ada kerutan di sekitar matanya—apalagi rambut berwarna merah ngejreng itu terlihat sangat model anak muda.
"Park Chanyeol, dua puluh delapan tahun, salah satu anggota eksekutif mafia. Menyelesaikan misi terakhir empat hari yang lalu dengan pihak pedagang senjata dan organisasi mafia dari daerah utara kota ini."
Oh, bahkan suaranya terdengar begitu segar.
Park, otakmu tidak keracunan asap tembakan, bukan?
Chanyeol mengangguk. Menjauhkan diri dari dinding, ia berdiri tegap. "Kau mengenal diriku dengan baik. Bagaimana denganmu, tikus kecil?"
"Kau membuat kesepakatan dengan pedagang senjata namun menjebak mereka sampai terpaksa menandatangani kontrak untuk organisasi mafia dari utara." Senapan di tangan lelaki bermasker mengarah lurus pada dahi Chanyeol.
Chanyeol mengangkat satu alis, "Apa kau salah satu anak buah dari si pedagang senjata itu?"
"Angkat tanganmu. Letakkan di belakang kepala. Bergerak sesenti pun selain bernapas dan menjawab pertanyaanku, kupastikan kepalamu berlubang."
Chanyeol menurut tanpa perlawanan. Ia tersenyum sombong khas dirinya setiap dihadapkan dengan musuh. "Well, itu tidak terdengar adil. Bukankah kau melakukan ini untuk menuntut balas dendam atas nama keadilan?"
"Aku bukan bagian dari mereka." yang lebih muda akhirnya menegaskan.
"Kalau begitu organisasi mana lagi yang mengincarku? Duh, susahnya jadi orang populer."
Chanyeol bisa melihat ekspresi dari sepasang mata hazel itu. Ia ingin tertawa karena respon pemuda itu tertulis jelas disorot pandangnya seperti, ini orang gila apa ya mau dibunuh malah narsis dulu.
Chanyeol mengamati senjata api di tangan musuh. Ia tidak pernah mempelajari sesuatu yang tidak dibutuhkan dalam hidupnya. Tapi senjata adalah teman sehidup sematinya di dunia ini, jadi ia mengenali banyak modelnya. "Apa kau sniper? Senapan panjang itu bahkan bisa menembakku dari gedung sebelah. Kenapa repot-repot datang ke sini?"
Si rambut merah mengangkat kedua alis. Berada di situasi antara terkejut dan bingung tiba-tiba ditanya begitu. "Aku kehilangan pistol tangan di bawah tadi. Jadi kurampas saja senapan milik tim penjagamu yang tertembak mati."
Chanyeol tersenyum mendengar respon polos lawan bicaranya—kesampingkan dulu fakta bahwa pihaknya menerima korban lagi. Situasinya seolah tidak ada atmosfir tegang, seperti mengobrol santai dengan teman yang tidak bertemu seharian. Ia berpikir untuk mengulur waktu dengan mengajaknya bicara, menunggu lelaki itu mendekat padanya agar ia bisa melancarkan serangan balasan.
Huh, sepertinya tikus kecil ini tidak paham cara kerja licik para mafia.
"Tim penjagaku tersapu semua?" tanya Chanyeol.
Satu langkah mendekat, "Aku menerobos semuanya sampai sini, bukti apa lagi yang kau butuhkan?"
Chanyeol melonggarkan tangannya di belakang kepala setelah menggenggamnya erat sedari tadi, "Apa kau bertemu anggota eksekutif lain? Seorang pria, pendek kok, bermata bulat, bentuk bibirnya hati, membawa—"
"Aku bilang kau hanya perlu menjawab pertanyaanku!" seru si penyusup tiba-tiba. Matanya berkilat lucu, jelas sekali baru sadar dirinya membuang-buang waktu.
"Okay. Omong-omong kau mau membunuhku atau membawaku hidup-hidup?"
Alis yang terlihat mengintip dibalik poni merah menukik tajam, "Tidak dengar omonganku tadi?" satu peluru melesat nol koma lima senti dari ujung sepatu pantofel Chanyeol.
Tapi itu tidak membuatnya menutup mulut. Chanyeol malah turun satu anak tangga sambil melanjutkan strateginya, "Hei, aku berhak tahu jadi bisa bersiap-siap. Kalau aku mati, ada beberapa kata terakhir yang ingin kutitipkan padamu. Tapi kalau aku cuma diculik, setidaknya aku bisa menikmati hidupku sebentar selama menjadi tahananmu."
Si surai merah mundur selangkah. Sangat yakin untuk menjaga jarak dari orang licik di hadapannya dengan senapan diarahkan lagi pada dahi—yakin untuk menembak langsung menembus otak. Oops, dia ternyata pintar.
"Ayolah beritahu aku. Memangnya kau tidak kasihan dengan orang-orang yang kutinggalkan nanti kalau aku mati?"
Chanyeol menelan egonya untuk mengatakan ini. Ia tahu persis kalau Jongin dan Kyungsoo mungkin akan berpesta dua hari dua malam merayakan gugurnya orang yang mengganggu interaksi mereka selama bekerja.
Mungkin yang akan berduka cita hanya Black Boss yang sudah merawatnya sejak kecil.
Meski ia juga yakin pria tua itu akan berkabung sehari lalu melanjutkan aktivitas normalnya esok hari seolah nama Park Chanyeol tak pernah ada dalam silsilah anak yang dipungutnya.
Sebentar, kenapa ia jadi baper begini.
Yang lebih pendek akhirnya angkat bicara, "Aku diminta untuk membunuhmu—"
"Oh jadi aku mati nih? Oke, kata-kata terakhirku adalah, eit eit sebentar. Siapa yang menyuruhmu kalau boleh tahu?"
Lawan bicaranya menatap dengan campuran kesal, lelah, dongkol dan lain-lain. "Dengarkan dulu, Park sialan, aku diminta untuk membunuhmu di tempat. Tapi aku tahu otak licikmu juga menyimpan berbagai informasi berharga yang bisa dikorek jika kami berusaha."
Chanyeol menatapnya terkejut, "Kau melawan perintah atasanmu sendiri?"
"Aku melakukan hal yang menurutku benar. Tidak ada yang bisa mengatur hidupku kecuali aku sendiri."
Oh gitu. Okesip—
Sebentar.
Kok Chanyeol merasa kalimat itu sangat familiar ya. Mengingatkannya dengan seseorang yang kekeuh tak mau merekrut bawahan sebagai pengawal meski sudah tahu kepalanya diincar pembunuh bayaran profesional—tunggu, itu definisi dia sendiri. Oke. Jadi tikus kecil di depannya ini memiliki pikiran yang klop dengannya.
Seketika teringat narasi di atas, penjabaran hubungan Jongin dan Kyungsoo itu:
Seolah semua yang mereka lakukan klop satu sama lain.
Kok meniru gini sih jadinya.
Chanyeol jadi penasaran dengan sikap si tikus. "Hey, kau ditugaskan dalam tim atau memang disuruh maju sendirian sampai sini sementara yang lain menjadi pengalih perhatian membuat kekacauan di bawah sana?"
Ia bisa melihat genggaman tangan pemuda itu mengerat pada senapannya—tapi ekspresinya tak terbaca apakah ragu atau justru sangat mantap dengan tekadnya. "Aku memilih maju sendiri. Kalau kau bertemu tim lain, mereka akan melubangi kepalamu tanpa pikir panjang. Otak cerdasku tidak mau menyia-nyiakan harta berharga dalam kepalamu itu."
"Tikus kecil yang pintar." kata Chanyeol. Tidak tahu kenapa tiba-tiba dirinya dipenuhi desakan ingin memuji.
Atau kau cuma takut mati.
But, hell no. Chanyeol siap membuang nyawanya sekarang juga, meski ia tidak sempat meninggalkan apapun di dunia ini. Yeah, apapun kecuali dendam orang-orang yang menjadi musuhnya. Mungkin ia cukup bangga dengan pencapaian ini, rasanya tidak buruk kalau semua orang mengejar nyawamu. Rasanya seperti ia diakui dan ditakuti.
Nah kan maso-nya kambuh.
Bangsad kamu kata hati.
Ia turun satu anak tangga, membuat si rambut merah terkejut dengan langkah tiba-tibanya. Lalu jarinya tak sengaja menarik pelatuk, refleks menembakkan peluru lagi dari senapan panjangnya. Senapan yang dari tadi mengarah lurus pada dahi si eksekutif mafia. Rambut merah itu berayun ketika ia mundur selangkah karena panik atas dorongan senapan. Hei, dia seharusnya tidak membunuh Park Chanyeol!
Ia mengangkat wajah, melihat incarannya yang masih berdiri tegap dengan ekspresi syok bukan main.
Lho.
Kok tidak mati?
Sorot matanya mengikuti arah pandang Chanyeol pada pegangan tangga besi yang berasap samar akibat terhantam timah panas. Lengkungan ke dalam pada besi itu menandakan bekas peluru yang terpental tadi. Ia menoleh pada Chanyeol lagi, mencermati wajah pria itu namun tidak menemukan darah yang sudah diekspetasi.
Kepalanya baik-baik saja.
Tidak ada lubang maupun goresan.
Si eksekutif mafia akhirnya mendapatkan kembali kendali tubuh, tersadar dari kejadian yang sulit dipercaya itu. Chanyeol melangkah maju dengan cepat, menuruni tangga dengan tak sabar—mumpung musuhnya sedang space out. Ini kesempatan.
Si rambut merah menyadari pergerakannya, tangannya kali ini dibawah kesadaran penuh saat menarik pelatuk. Sayangnya peluru tadi adalah yang terakhir. Ia mengumpat, mendorong senapan panjangnya pada perut Chanyeol untuk menghalanginya mendekat. Panik dengan pergerakan tiba-tiba, tangannya merogoh ke belakang, mengambil pisau yang disimpannya di balik baju.
Tapi Chanyeol juga sudah menggenggam pisau lipat dari kantong gespernya. Mata pisau beradu cepat, dorongannya membuat si rambut merah terdorong ke belakang—ia tidak sempat menebak pergerakan Chanyeol mendahuluinya secepat itu. Ia bisa melihat senyum pria di hadapannya—senyum kejam menyadari dirinya pasti menang.
"Gotcha,"
Ia freak out seketika saat pergelangan tangannya dihantam gagang pisau Chanyeol, rasa sakit yang menyetrum nadinya membuat genggaman pada senjatanya sendiri terlepas.
Sialan.
Ia tidak mengantisipasi keadaan yang dibalik dengan cepat begini!
Ia segera menutup mata rapat-rapat, membayangkan rasa sakit saat mata pisau tajam itu menyobek tenggorokannya dan mengakhiri nyawanya dengan cepat. Ia tidak melihat apa yang Chanyeol lakukan, tapi ia sadar penuh kalau pria itu mendorongnya hingga menabrak dinding lalu menekan kedua bahunya kuat-kuat. Ia membuka mata sedikit, mengintip untuk mendapati saat Chanyeol menjatuhkan pisau lipat dari tangan. Tangan besar itu merambat naik ke kedua sisi wajahnya.
Ia lagi-lagi sudah membayangkan duluan kepalanya yang akan dibenturkan pada dinding sampai tak berbentuk—shit, itu lebih menyakitkan dari tenggorokan yang dibelah!
Ketika ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka mata sepenuhnya dan bersiap melayangkan teriakan minta tolong pada timnya di bawah sana, Chanyeol mengunci bibirnya yang terbuka dengan miliknya. Dan juga ia baru sadar telapak tangan itu menangkup pipinya dengan hangat.
What the fuck?
Park fucking Chanyeol menciumnya.
Ia harus sujud syukur karena tak jadi mati atau menyesal karena lebih baik mati?
Polos sekali kamu, nak.
Setidaknya, ia harus berterima kasih pada masker hitam yang masih menutupi sebagian wajah. Berkat benda inilah ia tidak harus menerima fakta mengerikan bahwa kesucian bibirnya direnggut oleh anggota eksekutif mafia yang seharusnya menjadi tahanannya.
Di tengah pikiran yang berkecamuk karena aksi nekat itu, Chanyeol menarik diri. "Boleh aku tahu nama dari tikus kecil pintar nan manis ini?"
Oh Park, kau pendusta. Bilangnya tidak mengerti apa arti tatapan memuja padahal matanya memancarkan sorot itu dengan sangat jelas sekarang.
"Brengsek, beraninya kau—"
Kakinya ditahan Chanyeol, dirinya semakin didesak ke dinding sampai tidak punya jalan keluar lagi.
"Ssshhh, apa kau masih mau melarikan diri dari ujung benang merahmu?"
Yang lebih pendek mengerutkan dahi. Setidaknya kali ini Chanyeol tidak berbohong tentang kemampuannya bermulut manis—tinggal tunggu si manis itu sendiri yang luluh.
Tangan Chanyeol bergerak menelusuri lingkar pinggul ramping di kungkungannya penuh kemodusan. Si rambut merah bergerak tak nyaman karena sentuhan asing. Jemari itu merambat ke belakang untuk mengambil pisau cadangan yang disimpannya. Ia menatap nyalang senjata tajam terakhirnya yang diambil alih. Namun diluar dugaannya, pria itu mengulurkan gagang pisau padanya dengan sukarela.
"Mau mencoba menusukku?" tawarnya.
Si rambut merah menampakkan ekspresi; kau kriminal gila!
Ia merampas pisau dari tangan itu dan bergerak menusuk ke depan tepat pada leher Chanyeol dengan penuh dendam. Pergerakannya mendadak berat saat mencapai jarak tiga senti. Seolah kutub magnet yang sama ditabrakkan menghasilkan reaksi tolak menolak super kuat. Ia tidak bisa menekan lagi, ujung pisau meliuk ke samping melewati jalur samping leher Chanyeol.
Ia menganga tak percaya.
"Kau, keparat beruntung sialan." geraman tertahan di bawah napas beratnya.
Chanyeol merendahkan leher, tangannya melingkupi punggung tangan kecil itu sebelum membuang senjata tajam ke samping. "Tidak apa-apa. Kau bisa belajar menerimaku nanti. Aku sendiri yang mengajarinya."
"Siapa juga yang mau mengikutimu! Dan lagi, kau itu tahananku!" Ia berteriak protes penuh tenaga.
"Untuk apa? Kau sudah menemukan rumahmu, tempat pulangmu hanya padaku. Kalau soal tahanan, mending kau saja yang kutahan menjadi bawahanku. Mau tidak?"
You're such a snake, Park.
"Aku punya organisasiku sendiri! Tidak sudi jadi anak buahmu."
Chanyeol tersenyum miring, "Siapa bilang aku merekrutmu dalam pekerjaan? Aku menawarkanmu menjadi bawahanku—bawahan di ranjang."
Sepertinya melihat Jongin merayu Kyungsoo sehari-hari selama setahun ini membuat otaknya ikutan tercemar. Sifat keras kepalanya mencair ke arah yang salah.
"Dasar pedo, umurku baru tujuhbelas."
Chanyeol tidak merasa terhina dengan ucapan itu. Biasanya dia akan melempari Kyungsoo atau kadang-kadang Jongin dengan sepatu, minimal memelototinya lah ketika mereka menyebutnya tua. Cinta itu memabukkan, bung.
"Aku semakin mengagumimu, tikus kecil pintar berusia muda yang bisa memojokkanku seperti tadi. Apalagi saat kau menggunakan senapan dengan ahli tanpa tembakan meleset—kecuali padaku tentu saja. Soulmate-ku istimewa sekali." senyumannya terkembang penuh kebanggaan.
Si rambut merah menusuknya dengan tatapan. Chanyeol melepas masker itu secara paksa, menunjukkan pahat indah yang tersembunyi dari tadi. Karena tak bisa melawan, tangannya bergerak ingin menutup wajah yang terekspos. Chanyeol dengan cepat menahan aksinya. Dipandangi seintens itu malah membuatnya merona salah tingkah—menambah kesan imut yang terpampang di muka.
"Sial, kenapa tidak dari dulu saja sih kita bertemu?" keluh Chanyeol, merasa dipermainkan waktu tapi dibuat meleleh dengan rupa itu.
Belum sempat membalas sarkas, lagi-lagi pria tinggi itu membungkamnya dengan ciuman langsung. Kali ini tanpa halangan apapun, dan karena itu lumatan pada bibirnya terasa nyata. Si rambut merah menekan dada Chanyeol, mencoba mendorongnya menjauh kala kedua tangan besar itu beralih memerangkap kepalanya. Sial sekali tubuhnya terhimpit dinding, perlawanannya sia-sia.
Ia tidak memiliki cukup kesadaran dengan pagutan yang membuatnya terlena perlahan-lahan. Chanyeol melepaskannya, berbisik rendah di depan hidungnya, "Katakan siapa namamu."
Di antara napas pendek, ia masih menggeram, "Dalam mimpimu—"
"Kalau mimpi basah, aku terima saja."
Wajahnya semakin merah padam. Bibirnya dibawa lagi dalam ciuman selanjutnya yang lebih intens. Tangan di sisi wajahnya bergerak mengelus pipi, satunya lagi turun menjejaki leher sensitifnya. Ia tidak kuat sialan!
"Siapa namamu?"
"Hnggh, aku tidak akan—"
Pergerakan lembut ini berubah menjadi acak sampai membuatnya pening. Ia masih sadar ketika akan memaksa dirinya bicara, namun Chanyeol menggunakan kesempatan itu untuk memulai langkah bermain dalam mulutnya. Tangannya dibiarkan bersandar pada dada bidang Chanyeol, tak ada lagi tekad yang tersisa untuk melepaskan diri. Kakinya lemas bukan main. Ia hanya mengerang pelan membutuhkan napas. Chanyeol akhirnya melepaskannya, membiarkan dirinya terengah meraup oksigen dengan cepat.
"B-Byun Baekhyun…" jawabnya menyerah. Dirinya meleleh parah.
Chanyeol tersenyum puas. "Oke, besok ganti jadi Park Baekhyun."
Dan keheningan di tangga darurat itu diisi kembali dengan suara samar lumatan acak.
Eh iya.
Kok hening?
Baku tembaknya udahan?
Selama percakapan lama dua insan itu, sudah banyak terjadi hal yang tidak diketahui. Di tangga paling bawah, Kyungsoo menyangga dagu dengan tangannya yang bertumpu di pegangan besi. Tersenyum jenaka menikmati pemandangan di atas sana.
"Padahal aku sudah susah payah memenangkan pihak mafia dan mengusir musuh. Lalu kembali ke sini karena cemas si Park keras kepala itu tak kunjung menyusul ternyata malah asik berduaan sama penyusup."
Tiba-tiba sebuah lengan melingkari perutnya.
"Well, kalau kau iri, kan ada aku."
Kyungsoo tersenyum melihat Jongin yang setia di sampingnya sejak tadi. Ini awal yang baik, sepertinya mulai besok, hubungan mereka tidak akan diusik dengan tatapan menusuk Chanyeol lagi.
.
.
.
.
FINISH
a/n: MAAFIN SAYA YANG MUNCUL BAWA ONESHOOT MELULU DAN MENELANTARKAN FIC TBC LAINNYA /sungkem
gatau sih, saya malah kedapetan ide dengan prompt lain terus jadi begini… kan sayang kalo dibuang gitu aja, mending diketik hehe. Saya sampe di-scold temen gara2 ngetik yang baru terus. Ini ngebut btw, pas di kantor—lagi pkl :v—trus lanjutin di rumah dan langsung publish, maaf kalo acak-acakan
omong-omong nemu promptnya dari pinterest, "You live in a world where your soulmate is unable to hurt you. Then, you're fighting in a war when one of the enemy's knives harmlessly glances off you."
entah gagal romance apa engga, apalagi bumbu actionnya amatir begitu… maaf ya
adegan kissu nya juga… saya ngetiknya sambil merem, merasa mempermalukan diri sendiri gitu ahaha /ketawa grogi/
but! Of course I want to say thank you so much buat semua yang mau baca, mohon bersabar dengan gaya ngetik saya yang begini ya :')
okay, mungkin… RnR please?
Terima kasih sudah membaca
