Meet My Mom

Disclaimer Masashi Kishimoto

Fanfiksi ini akan berisi semua hal-hal yang berada di bawah aturan Rate-M sebuah fanfiksi pada umumnya

Berkisahkan tentang Sasuke Uchiha dengan Uzumaki Naruto

Menandakan bahwa fanfiksi ini berisi tentang hubungan sesame jenis MALE X MALE


Sasuke, pria berambut hitam kebiruan dengan mata sekelam malam itu mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan tidak mengerti. Mencoba mencari garis kebohongan di raut wajah putranya dengan lekat. Tidak ada. Keseriusan dan keyakinanlah yang terlukis jelas di wajah pucat milik putranya tersebut. Sasuke menghela napas lelah sembari menggerakkan tangannya—menyuruh putra tunggalnya untuk duduk di kursi yang berada tepat di hadapannya. Setelah dirasanya putranya duduk dengan nyaman dan tenang, Sasuke mulai angkat bicara, "Coba ulangi lagi apa yang baru saja kau ucapkan?" perintahnya sembari merapikan tumpukan kertas-kertas yang ada di atas meja kerjanya.

"Aku ingin Ayah ikut denganku. Aku memiliki janji pada seseorang dan … Ayah harus ikut denganku," ucapnya dengan nada yang penuh keyakinan dengan kedua bola mata malamnya menatap Ayahnya dengan lekat. "Jika Ayah ingin tahu kenapa Ayah harus ikut, itu karena aku telah memasukkan nama Ayah dalam janji ini tanpa seijin Ayah. Kumohon maafkan aku."

Sasuke memijat keningnya dengan pelan menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya. Mendengar ucapan anaknya barusan seperti menambah sakit kepala yang sudah dideritanya sejak beberapa jam lalu. "Lalu … janji yang kau maksud?"

"Aku ingin Ayah menemuinya."

"Ice, kau ingin Ayah menemui seseorang?" tanya Sasuke sembari menegakkan tubuhnya. Sedikit tertarik dengan ucapan anaknya barusan.

Melihat gelagat Ayahnya yang berubah drastis, Ice menyeringai dalam hati. Dengan perlahan dia berdiri dari duduknya dan tersenyum ke arah Ayahnya. "Hm, aku ingin kau menemui Ibuku."

"Ice … "

"Aku tahu jika Ayah sudah berpisah dengan Ibu semenjak aku berumur lima tahun. Tapi Ayah, yang kumaksud bukanlah dia … tetapi orang lain."

Sasuke menatap anaknya dengan kedua alis yang terangkat. Entah apa yang harus dikatakannya untuk membalas perkataan putranya. Memang benar Sasuke telah berpisah dengan istrinya sejak Ice berumur lima tahun dan pada saat itu Ice masih seorang bocah kecil yang menghabiskan separuh dari hari-harinya bermain di sebuah penitipan anak. Sasuke sendiri tidak tahu menahu soal tersebut. Sasuke mengira bahwa 'Istrinya-lah' yang menjaga Ice di rumah. Akan tetapi, wanita itu malah mengurusi pekerjaannya dan menitipkan Ice di tempat penitipan anak tanpa sepengetahuan Sasuke.

"Ingatkan Ayah sekarang berapa umur yang kau genggam, Ice?"

"Empat belas tahun dalam beberapa bulan ke depan,"

Ah Uchiha Sasuke membangun rumah tangga di waktu yang sangat dini. Saat Sasuke masih berumur empat belas tahun, Ayahnya sudah memaksanya untuk menikah dengan salah satu wanita yang telah dipilih oleh Ayahnya. Uchiha Sasuke termasuk orang yang sabar karena rumah tangganya bertahan cukup lama. Siapa yang mengira jika sebuah keluarga yang dibangun tanpa cinta dapat bertahan selama lima tahun penuh. Sasuke bersabar demi putranya dan demi Ayahnya. Meskipun Sasuke sudah menjelaskan kepada Ayahnya bahwa dia bukanlah seorang pria yang akan mencintai seorang wanita. Ya, kedua orang tuanya sudah mengetahui bahwa Sasuke adalah pecinta sesame jenis.

Namun apalah daya seorang Uchiha Sasuke yang masih berumur empat belas tahun dan masih menggenggam erat kata "mematuhi orang tua" di dalam kedua tangannya. Sasuke tahu bahwa dia bukanlah orang yang berani mengambil resiko seperti Itachi—kakak Sasuke—yang mampu meluluh lantakkan keinginan Ayahnya untuk menikahkannya dengan seorang wanita pilihannya. Sasuke Uchiha harus menegak semua kepahitan karena kebodohannya dan keberaniannya yang—sangat amat—tipis.

Sasuke menggelengkan kepalanya pelan—mencoba menghilangkan pikiran-pikiran tak penting yang ada di dalam kepalanya. "Ice, sebenarnya janji—"

"Aku mengutarakan janji ini pada saat aku masih berada di penitipan anak," ucapnya memutus perkataan Ayahnya. Sasuke hanya memplototi anaknya karena telah berani memotong perkataannya. "dan ya, aku ingin Ayah pergi denganku ke tempat penitipan anak tersebut untuk menemui 'Ibuku'." Ingin rasanya Sasuke menjewer kuping bocah yang ada di hadapannya tersebut. Pertama, dia berani membawa namanya dalam sebuah janji bocah ingusan, kedua … berani sekali dia meletakkan kata 'Ibu' seenaknya pada orang lain.

"Kemari, Ice."

Ice mengerutkan keningnya bingung saat Ayahnya menyuruhnya untuk berdiri di hadapannya. Ice menundukkan kepalanya sedikit ke arah Ayahnya saat Ayahnya menyuruhnya dengan gerakan tangan.

'TLAK'

"Ouch," pekiknya sembari memegangi dahinya yang memerah akibat perbuatan Ayahnya. "Ayah, aku bukan anak kecil lagi," ucapnya dengan memasang tampang cemberut.

"Hentikan tampangmu itu. Kau tidak cocok, dasar bocah dan berhenti menggerutu. Ayah tidak melakukannya dengan kuat sekali. Jangan berlebihan."

Ice hanya mampu menatap Ayahnya dengan tatapan mematikannya saat melihat seringaian milik Ayahnya yang sudah sangat dikenalnya. "Jika Ayah tidak mau ikut denganku aku akan pergi sendiri. Setidaknya jika tidak membawa Ayah aku masih tetap harus menemuinya."

"Siapa 'dia'?"

"Sudah kukatakan sebelumnya bahwa dia 'Ibuku'," ucapnya dengan seringaian tipis. Ice melambaikan tangan ke arah Ayahnya dan berbalik untuk keluar dari ruangan tersebut.

Namun langkahnya terhenti saat Ayahnya angkat bicara, "Jam berapa kau akan ke sana?"

Tanpa berbalik untuk menatap Ayahnya, Ice menyeringai lebar sembari berucap, "Aku akan menemuinya seusai makan siang. Karena hanya saat itu 'dia' akan memiliki waktu senggang untukku." Dengan itu Ice meninggalkan Ayahnya yang menatap pintu yang baru saja ditutupnya dengan perlahan dengan tatapan lekat.

Sasuke tersenyum tipis saat mengingat adegan dimana Ice menunduk ke arahnya. Ice memiliki postur tubuh anak remaja yang berumur tujuh belas tahun saat dia masih berumur empat belas tahun. Sasuke tidak akan heran jika dalam beberapa bulan ke depan mungkin Ice akan melampaui tinggi badan Ayahnya. "Huh, bocah itu tumbuh terlalu cepat," ujarnya pelan lalu kemudian kembali merapikan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerjanya.


Sasuke saat ini tertunduk sembari memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Ice sedang memasang tampang datarnya sembari mengelus-elus punggung Ayahnya dengan pelan. Sepertinya itu memang harus dilakukannya karena saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah semua salahnya karena tidak memberi penjelasan panjang lebar terhadap tempat tujuannya kepada Sang Ayah. "Ayah, jika kau tidak bisa pergi tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri," ucapnya memecah keheningan sembari terus mengelus punggung Ayahnya.

"Ice, kenapa kau tidak mengatakan bahwa kau akan membawaku ke luar kota, hah?"

"Kupikir Ayah mengingat tempat penitipanku."

"Bagaimana Ayah bisa mengingatnya jika Ayah bahkan tidak pernah mengantar atau menjemputmu dari tempat penitipan itu, hah?"

"Sudah sana pulang kalau Ayah tidak mau pergi. Aku tahu Ayah memiliki pekerjaan yang penting. Aku bukanlah anak kecil lagi, aku akan baik-baik saja jika hanya pergi beberapa ratus meter dari rumah," ucapnya dengan nada pelan sembari mengambil tas dan jas milik Ayahnya dan menaruhnya tepat di hadapan Ayahnya. Sasuke mengangkat kepalanya dan menatap kedua mata putranya. Namun putranya menyerahkannya sembari menundukkan kepalanya. Rambut hitamnya menutupi separuh wajahnya sehingga Sasuke tak dapat melihat kedua mata putranya. "Maaf sudah mengganggu harimu," ujarnya saat Sasuke menerima tas dan jas miliknya. Sasuke hanya mampu menatap kepergian putranya dalam diam sembari memejamkan kedua matanya dengan erat.

"Ice … " lirihnya sembari mengacak rambutnya dengan kasar. Sasuke, meskipun dia tak dapat melihat wajah putranya dengan jelas, dia tahu Ice sedang menangis. Sasuke menggigit pipi bagian dalamnya dengan kuat. Dia baru saja menghancurkan kesenangan putranya—lagi.

Tok Tok Tok

Sasuke mengangkat kepalanya saat mendengar ketukan pintu pada ruang kerjanya. "Masuk," jawabnya singkat.

Seorang pria dengan rambut putih yang mencuat ke atas mendekati Sasuke dengan sebuah amplop di tangannya. Separuh dari bagian mukanya tampak tertutup oleh masker.

"Ada apa, Kakashi?"

Kakashi Hatake, adalah orang kepercayaan Sasuke semenjak Sasuke menginjakkan kakinya dalam urusan perusahaan milik Uchiha. Kakashi tampak menampakkan sebelah matanya yang terlihat membentuk seperti bulan sabit—menandakan dia sedang tersenyum. "Aku barusan melihat Ice. Sepertinya mood-nya sedang tidak baik. Aku menyapanya tapi dia hanya memanyunkan bibirnya. Entah kenapa, menurutku dia satu-satunya Uchiha yang tidak seperti Uchiha lainnya," ujarnya sembari menyerahkan amplop yang digenggamnya kepada Sasuke.

Sasuke hanya diam dan mulai membaca surat tersebut.

"Dan juga, Ice sepertinya satu-satunya Uchiha yang memiliki sifat sedikit riang dan dia cukup sering tersenyum. Aku mulai berpikir, darimana dia mendapatkan perilaku tersebut."

Mendengar perkataan Kakashi barusan, Sasuke menurunkan surat yang dibacanya dan menatap Kakashi dengan lekat. "Kautahu Kakashi? Akupun memikirkan hal itu sejak lama. Lima tahun yang kuhabiskan dengan Ibunya dan aku merasa sifat itu tidak berasal dari Ibunya."

"Apa kau tahu seseorang yang mungkin bisa menularkan sifat tersebut selain kau dan Ibunya?" tanya Kakashi sembari mendudukkan dirinya di hadapan Sasuke—tanpa perlu disuruh.

"Obito cukup berisik tapi dia tidak berada di sini jadi itu tidak mungkin."

Kakashi hanya tertawa mendengar ucapan Sasuke. Memang benar bahwa Obito cukup berisik tapi yah seperti kata Sasuke, dia sangat jauh dengan Ice. Ice … sepertinya nama itu semakin bertolak belakang dengan sifat Ice sendiri. "Ayolah kau bisa memikirkannya saat pertemuan ini selesai. Ini pertemuan terakhir sebelum proyek ini benar-benar diluncurkan. Semangatlah Sasuke, kau akan dapat libur panjang setelah ini."

Sasuke hanya mendengus dan mengikuti Kakashi—membiarkan Kakashi membawanya ke tempat pertemuan. Namun hati kecil Sasuke masih berkelana memikirkan wajah Ice saat meninggalkannya beberapa menit yang lalu. Sasuke memutuskan akan membicarakannya saat pertemuan ini selesai. Sasuke berjanji ini terakhir kalinya dia menghancurkan kesenangan Ice. Ya, Uchiha Sasuke akan menebus semua kesalahannya setelah pertemuan ini selesai.


Dua jam telah berlalu semenjak kejadian Ice meninggalkan Ayahnya begitu saja. Ice menyampirkan tas punggungnya dan menghembuskan napas yang beberapa detik lalu sudah ditahannya. Senyuman lebar terpampang jelas di wajahnya. Lima menit yang lalu dia berhasil menginjakkan kakinya di bandara Suna. Yah, penerbangannya dari Konoha berjalan dengan lancar. Meskipun Ice berharap yang berdiri di sebelahnya saat ini adalah Ayahnya dan bukan seorang pria berambut cokelat dengan dua tato segitiga terbalik berwarna merah di kedua pipinya. Dia tersenyum ke arah Ice, "Mengunjungi teman?" tanyanya dan Ice hanya mengangguk.

Sosok berambut cokelat itu kembali tersenyum lebar dan berbicara panjang lebar, "Pesawatku sebentar lagi akan berangkat. Aku tidak sabar ingin menemui temanku di Konoha. Ah~~ sudah hampir lima tahun dia meninggalkan Suna."

Ice tersenyum lebar menanggapi omongan orang tersebut, "Yeah, aku tahu rasanya seperti apa. Aku juga akan menemui seseorang yang sudah hampir sembilan tahun tidak kutemui."

Sosok tersebut menepuk pundak Ice dengan pelan. "Hahaha, selamat menikmati perjalanan. Semoga pertemuanmu tidak mengecewakan." Dengan itu sosok berambut cokelat itu pergi meninggalkan Ice yang tersenyum lebar ke arahnya dan melambaikan tangannya.

.

.

.

Ice menyandarkan tubuhnya pada dinding bangunan yang baru saja didatanginya. Semuanya berubah. Tempat penitipan anak tersebut sudah tidak ada lagi, yang ada hanyalah bangunan tinggi pencakar langit—semacam hotel berbintang lima. Ice sudah mencoba menanyakan ke sekitar tentang nasib penitipan tersebut namun yang didapatnya hanyalah beberapa gelengan kepala. Mata kelamnya kemudian menangkap sebuah kios kecil bertuliskan "Ichiraku" yang masih cukup diingatnya. Dengan harapan penuh Ice berlari menuju kios tersebut. Matanya menyiratkan kebahagiaan saat kedua bola mata kelam itu mengingat wanita yang sering dilihatnya saat 'Ibunya' mengajaknya makan siang setelah jam bermain usai. "Takeuchi! Kakek Takeuchi!" teriaknya dengan napas yang terengah-engah.

Wanita yang melihat Ice mengangkat sebelah alisnya dengan bingung—seakan-akan dia tidak asing dengan wajah tersebut—dan kemudian tersenyum. "Yang kau maksud pasti adalah Ayahku," wanita tersebut tersenyum ramah dan mempersilahkan ice untuk duduk, "Ayahku ada di dalam, apa perlu aku panggilkan?" Ice menganggukkan kepalnya dengan antusias. Beberapa menit kemudian Ayah wanita tersebut keluar.

"Ada apa anak muda?" tanyanya.

Kedua bola mata kelam Ice berbinar.

"Ka-kakek! Kau masih mengingatku? A-aku Ice, murid Naruto!" ucapnya dengan antusias. Kakek tersebut tampak memiringkan kepalanya dan menatap Ice dengan lekat dan mencoba mengingat-ingat kembali.

"Ah! Kau si bocah pemurung yang selalu menggerutu saat Naruto membawamu ke sini, bukan?" Ice mengangguk dengan cepat. Sangat senang Sang Kakek masih dapat mengingatnya. "Waah, kau sudah sangat besar. Dulu kau masih kecil dan pemurung. Namun, sepertinya kau telah belajar bagaimana caranya tersenyum dengan baik dari Naruto, bukan?"

Ice tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Hmph! Naruto adalah Ibu yang sangat baik dan aku sangat menyayanginya."

Kakek tersebut tersenyum, seakan-akan kejadian di masa lalu terputar kembali di hadapannya. Dimana Ice selalu menganggap bahwa Naruto adalah Ibunya. "Apa yang membuatmu datang ke sini, Ice?"

Seketika itu raut wajah ice berubah dan tampak murung. Dia menatap kakek tersebut dengan sedih. "Aku ingin menepati janjiku dengannya, namun aku tidak lagi melihat bangunan tersebut."

Kakek tersebut menggelengkan kepalanya dengan pelan dan menatap sekelilingnya dan menjelaskan panjang lebar kepada Ice. Empat tahun yang lalu bangunan kecil namun penuh dengan tawa anak-anak tersebut masih berdiri kokoh. Namun, kemudian beberapa pengusaha datang dan menyapu rata semua bangunan tersebut. Naruto yang pada saat itu hanya sebagai pekerja hanya mampu menahan air matanya saat melihat bangunan tersebut dilenyapkan dengan alat-alat berat. Selama hampir tujuh tahun bekerja di situ membuat Naruto merasakan tidak ada tempat yang terasa lebih hangat selain tempat tersebut.

Banyak yang tidak setuju dengan hal tersebut, namun apa daya saat pemilik tanah telah menjual tanah tersebut. Setelah kejadian tersebut, Naruto tidak tahu harus berbuat apa. Hingga kedua orang tuanya menemuinya dan memintanya kembali pulang untuk mengurusi masalah bisnis keluarga.

Ice mengepalkan kedua tangannya dengan erat. "Lalu, kemana Naruto pergi?"

"Konoha."

"Apa?!"

"Naruto pulang ke Konoha. Naruto lahir dan besar di sana sebelum akhirnya dia bekerja di Suna. Dia kembali ke Konoha untuk melanjutkan bisnis kedua orang tuanya. Dua tahun yang lalu kami mendapat kabar dari teman dekatnya bahwa kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan kereta api. Semenjak itu Naruto harus mengurus penuh persoalan bisnis keluarganya. Dia bahkan tidak sempat kemari selama lima tahun ini."

Ice mencoba menahan air matanya. Selama lima tahun silam Naruto berada satu kota dengannya dan dia tidak tahu-menahu soal itu. Ice menghela napas dengan pelan dan menatap kakek tersebut. "Kakek dan … bibi, terima kasih atas informasinya. Aku harus kembali secepatnya." Ice membungkukkan badannya dan kemudian melambaikan tangannya yang dibalas dengan senyuman lebar yang terpampang di bibir milik si kakek dan putrinya. Ice pun membalas senyuman tersebut.

"Aku seperti melihat kepribadian Naruto dalam tubuh bocah itu," lirih kakek tersebut yang ditanggapi dengan anggukkan kecil dari anaknya.


Naruto merapikan dasinya dan mencoba mengatur napasnya. Ini pertama kalinya dia akan menampakkan wajahnya dalam sebuah pertemuan. Selama ini Iruka-lah yang selalu mewakilkannya. Kali ini Iruka telah berhasil membujuknya untuk keluar dari kandangnya. Sebenarnya bukan karena dia tidak ingin mendatangi pertemuan-pertemuan tersebut, namun pekerjaan 'lain' miliknya membuatnya merasa enggan untuk meninggalkan gedung berwarna putih tersebut. Naruto dapat melihat pintu menuju ruang pertemuan tersebut.

Rambut pirang dan kedua bola mata berwarna biru miliknya tampak begitu indah dengan paduan tuxedo hitam yang dikenakannya. Beberapa ketukan diberikannya pada pintu tersebut sebelum akhirnya dia menapakkan kakinya pada ruangan bernuansa elegan itu. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya saat semua mata tertuju ke arahnya. "Selamat siang. Saya Namikaze Naruto perwakilan dari Namikaze. Maaf membuat kalian menunggu," ucapnya sembari memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Mata biru cerahnya terpaku pada sosok bermata kelam yang sedang menatapnya balik dengan lekat.

"Silahkan duduk, Tuan Namikaze," ucap sosok tersebut membuat Naruto tersentak kaget. Naruto kemudian ternyum lebar dan mendudukkan dirinya pada kursi yang telah disediakan untuknya.

Pertemuan tersebut berjalan lancar sebelum salah satu peserta angkat bicara, "Tuan Namikaze, senang melihatmu dapat hadir dalam pertemuan ini. Apa yang membuatmu memutuskan untuk datang kali ini?" tanya sosok berambut putih dengan kacamata bulat besar.

Naruto tersenyum tipis, "Umm, sebenarnya aku bekerja di tempat lain dan pekerjaan itu sangat sulit untuk … umm ditinggalkan? Jadi aku mengirim wakilku dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya," jawabnya sedikit tidak yakin. Sungguh, pertanyaan tersebut sedikit membuatnya tidak nyaman.

"Saya sebagai Uchiha sangat senang dengan kehadiranmu saat ini. Akan tetapi, sepertinya 'pekerjaan' yang kau sebut barusan seakan-akan lebih penting daripada pertemuan ini, benar?" Sasuke menyeringai tipis saat melihat raut wajah seorang Namikaze yang nampak tak menyiratkan reaksi, namun Sasuke tahu bahwa dia sedikit kesal dengan pertanyaan Sasuke barusan.

"Ya, mungkin seperti itu karena aku merasa 'pekerjaan' itu menyangkut masa depan beberapa orang yang kutangani."

Kata-kata yang meluncur dari bibir Naruto membuat seisi ruangan tersebut sedikit tertarik dengan 'pekerjaan' lain yang disebut-sebut oleh Sang Namikaze tersebut.

"Pekerjaan apa sebenarnya yang kau maksudkan jika saya boleh tahu, Tuan Namikaze?" tanya Sasuke mendapat beberapa anggukan kepala dari beberapa peserta dalam ruangan tersebut.

"Saya bekerja sebagai psikiater anak di salah satu rumah sakit di Konoha."

Beda dengan tanggapan yang diberikan rata-rata pemimpin lainnya dimana tampaknya mereka memasang tampang tidak percaya karena mereka tahu bahwa Namikaze adalah pengusaha yang sangat berhasil, Sasuke menyeringai penuh arti di balik kedua tangannya yang membentuk piramida dan menutupi bibirnya. "Menarik sekali, bukan hanya orangnya. Namun pekerjaannya sangat menarik. Tidak heran dia cukup baik dalam menanggapi pertanyaan," batin Sasuke sembari terus menatap Naruto.

Pandangan Sasuke mengikuti gerak Naruto yang saat itu sudah berdiri dari duduknya. "Maaf, sepertinya aku harus meninggalkan pertemuan ini lebih cepat. Ada hal yang harus aku selesaikan, permisi." Dengan itu Naruto membungkukkan badannya dan meninggalkan ruangan tersebut. Selang beberapa menit, beberapa peserta lainnya juga mulai meninggalkan ruangan tersebut dan menyisakan Sasuke dan Kakashi yang sedang saling pandang.

"Apa?" tanya Sasuke saat merasakan tatapan Kakashi tak lepas dari dirinya. Sasuke memejamkan matanya dan melemaskan otot-ototnya. Duduk selama kurang lebih dua jam membuatnya sangat lelah. Tapi sepertinya semua itu setimpal dengan sebuah objek yang dapat diperhatikannya selama pertemuan berlangsung … ya, Naruto Namikaze.

"Kau melihatnya seperti kucing yang melihat tikus di hadapannya," ucap Kakashi terus memperhatikan gerak-gerik Sasuke.

Sasuke hanya memutar kedua bola matanya bosan dan menatap kakashi dengan lekat, seringaian itu kembali tertempel di bibir merahnya. "Bagaimana jika seorang Uchiha adalah Snowbell yang baik hati dan mungkin dia akan membantu tikus tersebut dengan senang hati."


Ice mencoba mengatur napasnya dan mencoba menekan tombol lift dengan tidak sabar, "Cepatlah, kumohon aku harus menemui Ayah," ucapnya sembari bergerak dengan gelisah. Ice menghentikan gerakannya saat melihat pria berambut pirang keluar melalui lift di sisi lain ruangan tersebut. Matanya memicing tajam memperhatikan sosok tersebut. Dengan cepat dia bergegas untuk mengejar sosok tersebut namun belum sempat dia mendekatinya, sesosok pria berambut cokelat menghampiri pria berambut pirang tersebut dan menariknya untuk memasuki mobil yang sudah terparkir di depan gedung tersebut. Saat Ice berdiri di depan pintu besar tersebut yang dilihatnya hanyalah sosok berambut cokelat. Sepertinya pria pirang itu sudah masuk ke dalam mobil tersebut.

Ice memicingkan matanya saat mengenali sosok berambut cokelat tersebut, matanya membulat sempurna saat mampu mengenali orang itu. Orang yang menyapanya di bandara Suna tadi. "Hei!" teriaknya sembari melambaikan tangannya. Sosok berambut cokelat tersebut berbalik dan memasang tampang kaget saat melihat Ice. "Apa kau sudah bertemu dengan temanmu?" teriak Ice dari pintu tersebut.

"Tentu saja, dalam beberapa menit kami akan bermain bersama. Kenapa kau cepat sekali kembali?"

Ice tersenyum sedih, "Ah, aku ada urusan jadi harus pergi. Sampai ketemu lagi," ucapnya sembari pergi meninggalkan pintu tersebut.

"Bocah yang aneh," lirih pria berambut cokelat tersebut yang bernama Kiba Inuzuka. Kiba mendudukkan dirinya dengan nyaman di kursi kemudi dan menggunakan sabuk pengamannya.

"Ya, aku sudah menyelesaikan pertemuanku, hmm terima kasih Iruka." Naruto mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam kantong celananya. "Ada apa, Kiba?"

Kiba hanya menggelengkan kepalanya, "Aku hanya bertemu seorang bocah yang baru saja aku temui di bandara Suna tadi siang, namun baru saja dia ada di depan pintu gedung ini. Aneh, dia cepat sekali perginya."

"Seorang bocah?"

"Ya, bocah tinggi, berambut hitam mata hitam, kulit putih. Dia sangat tampan, ah … aku lupa, ketika dia tersenyum lebar … umm senyumnya mirip denganmu, Naruto."

Naruto mengangkat sebelah alisnya bingung. Bayangan seorang bocah berumur lima tahun terlintas dalam pikirannya. Rambut hitam, bola mata hitam, kulit putih … mungkin jika dia sudah besar akan mirip dengan yang kiba deskripsikan barusan. Naruto tersenyum tipis. Sudah hampir sembilan tahun dia tidak melihat bocah tersebut. Setelah kejadian dimana bocah itu pulang lebih awal dan setelah itu dia tidak pernah kembali lagi. Naruto masih mengingat dengan jelas kata-kata anak tersebut tepat sehari sebelum kepergiannya. Dia berjanji akan membawa Ayahnya ke tempat itu.

Naruto tersenyum saat mengingat hal tersebut. Bocah itu tidak pernah sekalipun dijemput oleh orang tuanya. Oleh sebab itu ketika Naruto menanyakan soal kedua orang tuanya dia berjanji akan membawa Ayahnya. Bocah itu pernah memberitahu Naruto bahwa dia tidak terlalu dekat dengan Ibunya karena urusan pekerjaan Ibunya. Saat malam dia hanya bermain dengan Ayahnya.

"Naruto? Apa aku tahu orang seperti apa Ibu itu?"

"Seorang ibu adalah orang yang akan selalu menemanimu saat kau sedih maupun senang. Ibu akan selalu menjagamu saat tidur dan menemanimu saat makan. Ibu juga akan selalu membacakan cerita untukmu. Ada apa, Ice?"

"Kalau begitu Naru adalah ibu Ice! Karena Naru selalu ada untuk Ice!"

"Ice … " lirih Naruto sembari menutup kedua matanya dengan telapak tangan kanannya. Ice adalah anak yang pintar untuk ukuran bocah seumurannya. Dia sudah dapat berbicara dengan benar. Naruto sangat merindukannya. Karena Ice adalah satu-satunya anak yang pulang lebih lama dari anak yang lain. Ice mengatakan bahwa Ibunya sering sibuk sehingga lupa untuk menjemputnya. Alhasil dia selalu dijemput dengan salah satu pelayan rumahnya.

"Ada apa, Naruto?"

"Hm? Tidak, aku hanya mengingat masa lalu yang manis. Ayo cepat pergi, sebentar lagi pasienku akan datang, Kiba."

Kiba mengangkat jempolnya dan segera menjalankan mobil tersebut. Meninggalkan Naruto bermain-main dengan kenangan indahnya.


Ice menggelengkan kepalanya dengan kuat. Keinginannya untuk bertemu Naruto membuatnya berhalusinasi. Tidak mungkin Naruto berada di kantor Ayahnya. Yang benar saja!

Melihat pintu menuju ruangan pertemuan tertutup, Ice melongos masuk tanpa berniat mengetuk pintu tersebut. Sasuke yang sedang berdiskusi dengan Kakashi membulatkan kedua matanya saat melihat Ice menatapnya dengan napas yang terengah-engah. "Kau, darimana saja kau?"

"Ayah, aku tidak dapat menemukannya. Di-dia … dia sudah tidak ada di sana. Orang-orang mengatakan bahwa dia pindah ke Konoha semenjak lima tahun lalu, Ayah ak—"

"Hei, tenanglah. Sebaiknya kau duduk dulu dan ceritakan dengan jelas," ucap Sasuke sembari menarik putranya untuk duduk di sebelahnya. Kakashi tersenyum melihat wajah Sasuke. Hanya satu orang yang mampu membuatnya menjadi lembut seperti ini. Ice, cuma Ice yang bisa melakukannya. Sasuke menghela napas saat Ice hanya memegang kepalanya dengan kedua tangannya sembari sesekali terisak. "Kakashi, siapkan mobil. Ice, kau bisa berdiri? Kita pulang dan kau ceritakan semuanya dengan Ayah, oke?" Saat Ice menganggukkan kepalanya dengan pelan, Sasuke menariknya untuk berjalan dan mengikutinya.

Saat sampai di rumah Sasuke menyuruh Ice untuk mandi dan mengganti bajunya. Namun Sasuke mengernyit heran saat melihat Ice berpakaian rapi. "Kau mau ke mana?" tanyanya sembari meletakkan buku yang dibacanya ke pangkuannya.

"Aku akan ke mini market sebentar. Ada yang ingin kubeli. Ayah tunggulah di sini, sepulang dari pergi belanja aku akan menceritakan semuanya. Dah, Ayah!"

Sasuke hanya menganggukkan kepalanya dan kembali membaca bukunya. Sebaiknya dia tidak perlu terlalu menekan Ice untuk menceritakan semuanya.

.

.

.

Ice memegang kepalanya dengan kesal saat menatap susunan makanan yang ada di hadapannya. Dua orang di sebelahnya tak membuat kesalnya hilang. Ice mendecih kesal saat dua orang tersebut kembali meributkan tentang "Ramen" mana yang lebih baik dan yang mana yang tidak perlu dibeli. Ice memalingkan kepalanya ke arah kedua orang tersebut dengan kesal. "Bisakah kalian berdua di-kau! Kau pria yang di bandara tadi!"

Kiba yang merasa terpanggil mengalihkan pandangannya ke arah Ice. "Ah! Kita ketemu lagi! Naruto berbaliklah, ini bocah yang kuceritakan padamu di mobill tadi siang!"

"Naruto?" batin Ice sembari merasakan degupan jantungnya semakin tak karuan. Kedua mata kelam itu membulat sempurna saat Naruto membalikkan badannya dan tersenyum lebar ke arahnya. "Naruto!" teriaknya sembari memeluk Naruto dengan erat. Tak memedulikan tatapan orang di sekitarnya.

"Kau?"

"Ice! Naruto ini aku Ice!" ucapnya sembari memeluk Naruto dengan erat.

Tubuh Naruto mematung di tempat mendengar perkataan tersebut. "I-Ice? Kau Ice?" Naruto merasakan sosok yang berada dipelukannya mengangguk lemah. Kiba tersenyum tipis melihat hal tersebut. Baru saja beberapa jam yang lalu Naruto menceritakan tentang Ice pada Kiba. "Hei? Kau menangis?" tanya Naruto saat merasakan bajunya basah. "Ice? Hei kau serius menangis? Dimana bocah yang selalu tegar dulu, huh?" Naruto menggodanya sembari mengelus punggung Ice dengan pelan.

"Di-diam," lirihnya sembari memeluk Naruto semakin erat.

Naruto tersenyum tipis dan membiarkan bocah tersebut memeluknya. "Hei, begitukah caramu berbicara dengan Mommy?"

Kiba terkekeh saat mendengar omongan Naruto. Mendengar tawa kecil Kiba membuat Ice melepaskan pelukannya dari Naruto. "Diam kau paman guguk," ucapnya di sela-sela sesegukannya.

"Hei kau! Dasar bocah berani sekali kau mengataiku, cih baru saja aku ingin memutuskan kalau kau bocah yang manis. Nope, kau bahkan jauh dari kata manis!"

"Hei paman, aku empat belas tahun dan bukan seorang bocah!"

Naruto hanya mampu tertawa nyaring melihat adegan di hadapannya. Kiba dengan muka merahnya karena kebanyakan teriak dan Ice dengan mata merahnya, kebanyakan nangis. Naruto ingin rasanya menangis, namun tidak di depan Ice. Ini adalah hari bahagia dan dia tidak akan mengacaukannya hanya karena dia bertemu dengan bocah yang sudah dianggapnya seperti putranya sendiri.

"Naruto."

Naruto tertawa saat mendengar Ice memanggilnya dengan namanya. Naruto baru sadar sedari awal ice masih menggunakan namanya. "Hmm, no. Bukan itu panggilanku dari bocah kecil yang selalu mengikutiku dulu. Aku tidak akan menjawab sampai kau mengatakan kata kuncinya dengan benar." Naruto menyeringai saat melihat wajah Ice memerah sempurna.

"M-Mom."

-hening-

Naruto tersenyum lebar dan memeluk Ice dengan kuat, "That's my baby!"

Setelah adegan haru tersebut, Kiba mengajak Naruto dan Ice untuk minum di sebuah café kecil yang tidak jauh dari mini market tersebut. Sedang asik berbincang satu sama lain, tiba-tiba ponsel ice berbunyi. Kedua alisnya mengerut saat melihat jam yang ada di layar ponselnya. Dia sudah menghabiskan hampir dua jam bersama Naruto dan Kiba. Terang saja Ayahnya meneleponnya. "Ya, Ayah?" jawabnya dengan senyuman tipis. Naruto terus saja memperhatikan Ice. Baru kali dia mendengar Ice berbicara dengan Ayahnya. Setelah Ice mematikan ponselnya, matanya tampak berbinar-binar. "Ini masih jam tujuh malam. Aku sudah memberitahukan Ayah bahwa kalian akan mampir sebentar?"

Naruto dan Kiba saling tatap sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum lebar. Bagi Naruto, ini adalah suatu keajaiban. Ice akan membawanya ke rumahnya dan tentu saja dia akan bertemu dengan orang tua Ice. Beberapa menit lagi sebelum Ice menepati janjinya. Naruto tersenyum memikirkan hal tersebut. Janji yang selama hampir sembilan tahun kini dapat ditepati. Entah kenapa, Naruto sangat antusias untuk bertemu kedua orang tua Ice.


Naruto menggosokkan kedua tangannya saat berdiri tepat di depan rumah Ice. "Ya, Tuhan. Rumahnya hanya beberapa blok dari apartemenku tapi kenapa aku tidak pernah bertemu dengannya," batinnya sembari tersenyum tipis. Teriakan Ice membangunkan Naruto dari lamunannya.

"Ayah, aku pulang!"

Tak lama kemudian suara kunci yang diputar dapat terdengar dan pintu yang cukup besar tersebut terbuka lebar. Menampakkan seorang Sasuke uchiha sedang berdiri di depan pintu tersebut dengan tatapan datarnya. Namun seketika itu seringaian tipis terukir di bibirnya saat melihat sosok yang berada di belakang putranya.

"Uchiha!" teriak Naruto terkejut.

"Hn, bodoh. Ini sudah malam, bisa kau pelankan suaramu?"

Muka Naruto memerah mendengar kata-kata tersebut meluncur manis dari bibir Sang Uchiha.

"Brengsek!"

.

.

.

Naruto menggembungkan pipinya kesal sembari mencoba menetralisir kemarahannya. Setelah adegan teriak meneriaki di depan pintu tadi, akhirnya Sasuke mempersilahkan mereka untuk masuk. Saat ini mereka sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir teh masing-masing di hadapan mereka. Kakashi yang berdiri tak jauh di belakang Sasuke tak mampu menyembunyikan senyumannya melihat wajah Naruto. Benar kata Iruka. Naruto saat di luar pekerjaan adalah seorang anak muda yang manis dan terihat seperti anak-anak di balik umurnya yang sudah mencapai 25 tahun tersebut. Kakashi dan Iruka sudah mengenal satu sama lain cukup lama. Bahkan mereka sepertinya memiliki hubungan yang lebih dari sekedar 'teman'.

"Jadi, kau adalah orang yang ingin ditemui putraku sampai-sampai dia meninggalkanku begitu saja? Untukmu?"

"Hei kau! Kau tahu kau terdengar seperti merendahkaku!"

"Memang seperti itu, bodoh," jawab Sasuke santai membuat kepala Naruto ingin meledak rasanya.

"Gaaah! Kau memang brengsek!"

"Mom, language."

Ah Sasuke baru ingat kalau Ice selalu mengatakan bahwa orang itu adalah 'Ibunya'. Well, sepertinya Sasuke tidak keberatan jika Naruto menjadi Ibu dari Ice. Kalau bisa secepatnya. Sasuuke menyeringai melihat wajah Naruto yang masih menyiratkan kekesalan. Sasuke berandai-andai seberapa erat hubungan mereka karena Ice dengan santainya dan tanpa merasa aneh sedikitpun memanggil Naruto dengan sebutan 'Mom' dan begitu juga dengan Naruto yang nampak biasa saja dengan panggilan tersebut.

Lelah dengan pertengkaran tersebut, Kiba menarik Ice. "Aku akan menyiapkan makan malam dengan Ice dan Kakashi. Berbincanglah selayaknya pengasuh dan orang tua." Dengan begitu Kiba menghilang ke dapur bersama Ice dan Kakashi yang ikut ditariknya dengan paksa.

"Well?" tanya Sasuke memecah keheningan yang melanda setelah kepergian ketiga orang tersebut.

"Hm?" Naruto yang sedang sibuk dengan pikirannya tidak sadar jika wajah Sasuke sudah berada beberapa centi dari wajahnya. Sasuke sedang mengamati wajah Naruto denggan dekat. "Apa?" tanyanya saat sadar akan kedekatan wajah Sasuke. Sama sekali tidak terintimidasi dengan kelancangan Sasuke menginvasi area privasinya.

"Barapa umurmu?" tanya Sasuke kembali mendudukkan dirinya.

"25."

"Terlihat seperti 17 untukku. Apa kau yakin kau tidak mencuri umur agar kau bisa bekerja sebagai psikiater?"

"Hei! Kau perlu melihat tanda pengenalku? Enak saja! Gaaah aku tidak bisa tenang berada di dekatmu, ass!"

"Jadi kau pengasuh Ice sewaktu di Suna? Apa yang terjadi sehingga kau kemari?"

"Bukan urusanmu."

"Tentu menjadi urusanku karena kau yang membuat Ice galau selama beberapa tahun ini. Ah aku baru ingat jika Ice berbeda dengan Uchiha lainnya. Dia sedikit berisik, mungkin selama bersamamu, penyakit berisikmu itu tertular kepadanya."

"Heii! Kau harusnya berterima kasih karena dia mengerti bagaimana caranya tersenyum dan bukan seperti dirimu yang memasang tampang datar, kau pikir kau hantu, hah? Kau hanya bisa menyeringai dan mengejek kesalahan seseorang!" kedutan-kedutan marah memenuhi dahi Naruto saat yang didapatnya hanya tatapan mengejek dari Sasuke. Naruto melihat ke arah Sasuke dan dari tatapannya sepertinya dia masih menunggu jawaban Naruto. Naruto menghela napas lelah dan menegakkan tubuhny. "Tempat itu, tanahnya dijual dan bangunannya diluluh lantakkan. Tepat dua tahun setelah kepergian Ice. Setelah itu aku kembali ke Konoha atas permintaan kedua orang tuaku dan yah seperti yang kau tahu aku bekerja dan hidup sampai sekarang. Yang aku herankan, tempat tinggalmu dan apartemenku sangat dekat namun, aku tidak pernah menemui Ice sekalipun. Selama lima tahun aku tinggal di sini."

"Karena dia tidak mau keluar."

"Apa?"

"Semenjak dia berhenti datang ke penitipan itu, Ice menjadi sering diam dari biasanya. Perpisahanku dengan Ibunya menambah parah hal tersebut."

"Kau berpisah?"

"Ya, meskipun Ice tidak terlalu dekat dengan Ibunya, sebagai seorang psikiater anak kau pasti tahu seberapa besar pentingnya sosok seorang Ibu, bukan?" Narito mengangguk dan Sasuke melanjutkan omongannya, "Selama ini dia belajar di rumah. Dia memiliki guru pribadi. Aku sangat terkejut dua hari yang lalu dia menemuiku dan memintaku untuk datang dengannya karena dia ingin memenuhi janjinya dengan seseorang. Kau mengingatnya?" tanya Sasuke.

Naruto mengangguk. "Hari itu aku bertanya kenapa aku tidak pernah melihat orang tua Ice datang untuk menjemputnya, dan Ice berjanji dia akan membawa Ayahnya untuk menemuiku agar aku bisa melihat kalian menggambar bersama. Kau bilang dua hari yang lalu?"

Sasuke mengangguk dan menyamankan dirinya pada sofa tersebut. "Ya, kau tahu sesuatu dengan hal tersebut?"

"Ulang tahunku."

"Huh?"

"Dua hari yang lalu adalah ulang tahunku. Sebenarnya itu bukan janji, akan tetapi dia ingin membuatnya menjadi kado ulang tahunku. Ice anak yang baik dan cerdas. Terkadang aku merasa sedih melihatnya harus berada di luar rumah hingga selarut itu. Aku pikir orang tua Ice … sangat kejam karena membiarkannya di penitipan sampai larut malam."

"Aku tidak tahu soal penitipan. Aku selalu mengira bahwa Ibunya yang menjaganya di rumah. Sampai suatu saat aku pulang lebih awal dan tidak melihat Ice di rumah. Semenjak itu aku sudah tidak pernah memper—"

"Bagaimana kau bisa baru mengetahuinya setelah dia hampir setahun di tempat itu, hah?!" Naruto mengeraskan rahangnya. Berusaha mencoba berbicara sepelan mungkin namun meyakinkan Sasuke bahwa dia sangat marah. "Kau tidak tahu bagaimana dia berusaha untuk menahan air matanya agar dia tidak menangis saat melihat anak lain dijemput kedua orang tuanya, hah? Kau tahu bagaimana perasaanku? Aku bahkan tak sanggup untuk menyentuhnya karena di saat-saat seperti itu dia terlihat rapuh. Dimana saat aku memeluknya dengan erat dia terus berusaha menahan air matanya untuk tidak keluar. Uchiha? Kau benar-benar tidak mengetahuinya?"

Sasuke mengepalkan kedua tangannya. Mendengar setelah sekian lama tentang betapa rapuhnya Ice dari mulut orang lain dan bukan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri membuat dadanya Sesak. Meskipun Ice masih bisa tertawa dan tersenyum lebar, Sasuke tahu semua itu hanya cara agar dia bisa tegar layaknya seorang Uchiha. Pagi itu, dimana Sasuke melihat mata Ice yang memerah saat meninggalkannya, sangat menyakitkan. Pagi dimana Sasuke kembali menolak kebahagiaannya. Milik putranya sendiri. Sasuke terbangun dari lamunannya saat mendengar isak kecil dari hadapannya.

Naruto sedang menangis.

Kepalan tangan Sasuke melemah. Sasuke tahu, ada orang yang bahkan lebih menderita daripada dirinya. Yang setiap hari melihat putranya semakin lama semakin rapuh. Orang yang juga berusaha untuk tidak menitikkan air matanya demi terihat tegar di hadapan putranya karena dia adalah sosok yang harus mengajarkannya kebahagiaan dan bukan kesedihan. Orang yang dipisahkan begitu saja dengan keegoisan Sasuke dengan menghentikan kedatangan Ice ke penitipan tersebut tanpa ucapan selamat tinggal ataupun pelukan hangat.

Sasuke berdiri dari duduknya dan berlutut di hadapan Naruto. Kedua tangannya meraih tubuh Naruto dan memeluknya dengan erat. "Maaf, aku akan memperbaiki semuanya dan terima kasih sudah mengajarkan Ice untuk tersenyum."

Naruto hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan sembari terus menangis. Tidak percaya dengan kemampuannya berbicara saat dia menangis seperti ini. Air mata yang selama ini ditahannya tumpah begitu saja. Tak peduli dengan baju Sasuke yang sudah basah dengan air matanya.

Kakashi yang melihat adegan tersebut dari ambang pintu dapur hanya tersenyum di balik maskernya. Seorang Uchiha Sasuke baru saja mengeluarkan kata 'Maaf' pada orang yang baru saja ditemuinya beberapa menit yang lalu. Sepertinya akan ada satu orang lagi yang mampu membuat Uchiha Sasuke menjadi dirinya.


BERSAMBUNG