It's never too late – Untuk menjadikan tempat tinggalmu rumahmu
.
Cast : Jeon Wonwoo, Kim Mingyu and another seventeen member
Note : Beberapa member harus ganti marga untuk kepentingan cerita
Terinspirasi dari anime berjudul Barakamon. Sedikit banyak adegan diambil dari sana.
Meanie milik ortu masing-masing, barakamon milik Kinema Citrus
Author hanya meminjam nama dan ide untuk membahagiakan sendiri
.
.
Rumah adalah tempat dimana hati berada - Anonim
.
.
Kim Mingyu menatap nanar pemandangan sekitarnya. Jelas sekali tidak ada tanda-tanda adanya kehidupan di sekitar bandara ini sejak pesawat yang ia tumpangi mendarat sempurna 30 menit yang lalu. Jangankan mobil melintas, manusia terakhir yang Mingyu lihat sejak turun dari pesawat adalah petugas bandara yang menyalami dan memberikan ucapan selamat datang padanya. Sungguh ini bandara tersepi yang pernah Mingyu datangi. Mingyu meremat rambutnya frustasi kala membaca balasan pesan singkat sang kakak setelah ia mengabarkan bahwa layanan bus yang harusnya ia tumpangi sedang dalam perbaikan dan tak ada satupun taxi yang terlihat.
'Kau masih punya dua kaki untuk berjalan, otak untuk berfikir dan mulut untuk meminta bantuan. Hubungi kepala desa jika kau sudah sampai di desa dan jangan menjadi orang yang kasar. Nikmati liburanmu.' – Kim Seung Cheol
Mingyu mendecih, benar-benar kakak yang tidak berkemanusiaan. Kembali menatap nanar kedepan lalu menghela nafas panjang memutuskan menyimpan ponsel pintar kedalam kantong jaket dan melangkahkan kaki panjangnya memecah keheningan sekitar.
Sial.
.
.
"Kau beruntung nak," Mingyu menoleh ke arah suara seseorang dengan aksen desa yang kental. "Jika aku tidak lewat sana, mungkin kau akan sampai di desa Yeokso setengah hari lagi dengan berjalan kaki,'' orang itu tersenyum walaupun tidak bisa Mingyu lihat.
Ya, Mingyu harusnya memang berterimakasih pada kakek yang ada didepannya ini yang telah menyelamatkan kakinya dari perjalanan jauh untuk mencapai desa. Setengah hari dengan berjalan kaki? Mingyu bergidik ngeri membayangkan nasibnya jika tidak bertemu dengan kakek ini dan menumpang kendaraannya.
Memikirkan kendaraan yang ia tumpangi membuat Mingyu tersenyum kecut. Ini tentu saja bukan mobil dengan lambang kuda jingkrak miliknya yang kemarin masih bisa ia kendarai, ini hanya kendaraan yang bahkan Mingyu pikir tak pernah ada di dunia. Sekarang ia tengah duduk di dalam sebuah bak terbuka atau apapun sebutannya dengan tumpukan jerami kering milik sang kakek berjejer rapi tepat di sebelah Mingyu sedangkan sang kakek duduk didepan mengendalikan traktor yang menarik kendaraan yang Mingyu tumpangi.
Ia bahkan tak peduli pada kulitnya yang akan semakin hitam karena terkena panas matahari langsung. Hatinya lebih panas sekarang ini.
"Lihat nak!" kakek didepan berseru mengembalikan fokus Mingyu. "Itu laut! Laut!"
Laut?
Mingyu berdiri dengan terburu-buru dan berpegangan pada pinggiran bak. Melepas kacamata hitamnya untuk melihat hamparan laut yang terbentang apik di pinggir jalan ini. Warna biru yang kontras dengan pasir pantai yang berwarna kecoklatan menyuguhkan pemandangan yang tak kalah apik dengan pantai-pantai yang pernah Mingyu datangi.
"Bagaimana?" kakek itu berujar lagi. "Cucuku sangat menyukai laut. Dia pasti akan berteriak kencang jika melihat laut." Mingyu masih mendengarkan walaupun focusnya berada di laut yang ada dihadapannya. "Kau pasti datang dari kota yang jauh. Walaupun Yeokso itu desa yang kecil, tapi kau tak perlu khawatir nak. Kami punya segalanya."
Yeokso? Desa kecil?
"Entahlah," gumamnya membalas perkataan sang kakek dan beringsut duduk kembali, mengabaikan pemandangan laut yang masih setia menemani perjalanan nya sekarang. Mengingat itu membuat hati Mingyu memanas sedikit demi sedikit.
Harusnya sekarang ia berada di Rumah Sakit tempat biasa ia bekerja bukan malah duduk bersama tumpukan jerami seperti sekarang ini. Kim Mingyu, siapa yang tak kenal dengan dokter muda berumur 26 tahun yang kemampuannya tidak bisa dianggap remeh. Fisik tidak perlu dijelaskan lagi karena kata sempurna pun tak dapat menggambarkan bagaimana sosok Mingyu bisa dikagumi banyak wanita.
Cucu dari Kim Yoon Seok pemilik yayasan Baejung yang bergerak dibidang sosial dan kesehatan. Ayah dan kakaknya lebih memilih meneruskan perusahaan Baejung company yang bergerak dibidang ekspor-impor, sedangkan ia memutuskan menjadi dokter mengikuti langkah kakeknya. Bukan tanpa alasan, Mingyu hanya tidak mau bekerja satu atap dengan orang yang tidak ia sukai, sebut saja mr Kim ayahnya sendiri.
Mingyu meremat tangannya hingga buku-buku jarinya memutih mengingat alasan ia bisa terdampar di desa bernama Yeokso yang bahkan tidak ia sadari masuk dalam peta Korea Selatan. Bagaimana sang kakak bisa menyebut ini liburan sedangkan ia tahu sendiri apa penyebab adiknya dikirim keluar dari kota senyaman Seoul.
Ya, semua bermula dari diskusi panel yang diadakan di Rumah Sakit Yayasan Baejung 3 hari yang lalu. Diskusi yang dihadiri oleh seluruh dokter yang bekerja di rumah sakit dengan urgensi pembahasan pasca maninggalnya salah seorang pasien. Mingyu mengeram pelan mengingat bayangan dokter senior tua yang sialnya adalah salah satu direktur rumah sakit itu.
Flashback
"Pasien mengalami gagal jantung pada pukul 14.00 dan meninggal satu jam setelahnya. Penyebab kematian adalah keterlambatan penanganan. Pasien harusnya menerima insisi operasi untuk mengganti katup jantung yang bocor, akan tetapi sampai akhir hidupnya tidak ada dokter yang menangani pasien tersebut." Dokter senior itu berdeham pelan. "Kim Mingyu, kudengar kau menolak memimpin operasi pasien ini hanya karena peluang keberhasilannya rendah?" lanjutnya memicu keheningan di aula besar rumah sakit tersebut.
Mingyu yang merasa dipanggil mendongakkan kepala memandang dokter senior yang masih bicara di atas podium. "Kau menuduhku yang bertanggung jawab atas peristiwa ini Dokter Jang?"
Dokter senior itu tertawa pelan, "Kau sudah menyelesaikan jadwal operasimu saat pasien itu gagal jantung Mingyu-ssi dan hanya kau satu-satunya dokter bedah yang tak sibuk saat itu." Hari itu terjadi kecelakaan beruntun di seberang rumah sakit yang mana membuat rumah sakit sangat sibuk menangani pasien-pasien yang berdatangan. Semua dokter dikerahkan untuk bertugas bahkan ada yang dikirim langsung menuju tkp. Kala itu Mingyu baru selesai menjalankan operasi ketika tiiba-tiba ada suster yang menghampiri dan memintanya memimpin operasi darurat.
"Aku sudah mengenalmu sejak lama Mingyu-ssi, dan ini bukan untuk pertama kalinya kau menolak pasien dengan tingkat keberhasilan rendah. Apakah kau takut reputasimu hancur hanya karena menerima pasien-pasien seperti itu Dokter Kim Mingyu?" lanjut dokter senior itu dengan penekanan pada panggilan dokter dan nama Mingyu.
Mingyu memijit pelipisnya menahan emosi, tersenyum remeh pada dokter Jang didepan. Aula rumah sakit tak pernah sesepi sekarang ini, bahkan suara ketukan pena di kursi ujung terdengar jelas oleh Mingyu. "Aku tak mengerti omong kosong yang kau ucapkan Dokter Jang. Pasien itu mati karena jantungnya sudah lemah, sebanyak apapun obat yang dia minum dan sebanyak apapun operasi yang dia lakukan, semua akan berakhir sama yaitu mati."
"Cih sombong seperti biasa," Dokter Jang bergumam pelan, salahkan mikrofon didepan hingga Mingyu dapat mendengar jelas gumaman itu.
Braakkk
"Kau bilang apa dokter Jang?" Mingyu berdiri menggebrak meja, membuat beberapa orang disampingnya terlonjak.
Dokter Jang hanya mendengus remeh pada anak muda didepannya itu, "Bertahun-tahun menjadi dokter telah memberiku mata yang tajam sekarang, dan kulihat kau sama sekali tidak mengerti arti jas putih yang kau pakai itu Mingyu-ssi. Aku yakin Kim sajangnim akan sangat kecewa dengan tingkahmu selama ini," Dokter Jang mendecih.
"Kau bahkan tak pantas disebut sebagai dokter," lanjut Dokter Jang membuat seisi aula menahan nafas.
Buaagghhhh..
Seseorang menarik tubuh Mingyu kebelakang, menghadangnya melayangkan pukulan kedua. "Lepaskan!" Mingyu meronta, dia benar-benar emosi sekarang. "Lepaskan sialan! Si tua itu tidak boleh menghinaku seperti itu!" ditatapnya nyalang Dokter Jang yang tersungkur memegang sudut bibirnya yang berdarah.
Mingyu masih meronta,"Jaga mulutmu pak tua, kau.."
"KIM MINGYU!"
Suara dengan nada tegas diujung pintu menghentikan gerakan Mingyu seketika. Haraboeji?
.
.
Mingyu berjalan gontai menarik kopernya menyusuri salah satu jalan kecil di desa Yeokso, tadi dia diturunkan di ujung desa karena kakek yang membantunya harus pergi ke ladang. Terik matahari masih menemani perjalanannya di desa antah berantah itu, beruntung kulit Mingyu masih terselamatkan dengan pohon-pohon rindang yang rapi di pinggir jalan. Rumah penduduk tersusun dengan apik di kanan-kiri jalan kecil yang tengah Mingyu lewati. Tak bisa dipungkiri desa ini bisa menjadi pilihan terbaik untuk melepas penat hidup diperkotaan, tapi tidak untuk kasus Mingyu.
Apakah disini ada mall? Ada bioskop? Coffe shop? Mingyu tertawa pelan menanggapi pikiran yang tiba-tiba mendatanginya, tentu saja ia masih pria modern yang selalu menghabiskan penat dengan berkencan bersama wanita hot khas perkotaan. Ya Kim Mingyu adalah pria modern dambaan wanita masa kini.
Mingyu mempercepat langkahnya kala melihat rumah yang ia tuju, rumah yang akan ia tinggali sampai waktu yang tidak ia ketahui. Terlihat mobil pengantar barang sudah terpakir rapi di depan calon rumahnya. Memikirkan kenyataan ia diusir dari Seoul ke desa antah berantah ini membuat Mingyu memijat pelipisnya.
"Kim Mingyu-ssi?" petugas pengiriman itu bertanya setelah melihat Mingyu masuk ke pekarangan rumah dengan koper hitam mengikuti dibelakang. "Kami dari layanan pengiriman barang Hanbok," petugas itu membungkuk memberi hormat.
"12 kardus ukuran extra, 1 sepeda dan 2 box ramen. Sudah semuanya Mingyu-ssi." Mingyu menatap nanar tumpukan kardus di depan calon rumah. Apakah kakeknya berniat mengusir selamanya?
"Kalian tak membantuku memasukkannya ke dalam rumah?" Mingyu bertanya setelah menandatangani berkas dari petugas pengiriman.
Petugas itu tersenyum kaku dan menggaruk belakang lehernya, "Oh perusahaan kami tidak memberi layanan seperti itu Mingyu-ssi." Petugas pengiriman buru-buru kabur setelah mengucapkan terimakasih.
"Cih mentang-mentang tak ada pesaing mereka bisa seenaknya begitu," gerutu Mingyu.
"Aku sudah menunggumu," sebuah suara mengagetkan Mingyu, buru-buru ia tolehkan kepalanya ke belakang.
"A.. Ahjussi?" Pria paruh baya didepannya itu tersenyum. Badannya lumayan gempal dengan kaca mata bertengger di wajah ramahnya. Pria itu menyerahkan sebuah kunci pada Mingyu.
"Perjalanan dari Seoul pasti sangat panjang, ya? Ini, kuncimu," bahkan saat berbicara pun senyum ramah itu tidak pernah hilang dari wajah orang ini.
"Kim Mingyu imnida," Mingyu membungkukkan badannya memperkenalkan diri. "Anda pasti kepala desa disini."
Kepala desa itu mengangguk tanpa mengurangi senyum ramahnya, "Bus hanya beroperasi sehari sekali dan disini taxi masih jarang. Kau bisa meminjam mobilku jika ingin ke kota, aku mengerti anak muda sepertimu pasti mudah bosan jika berdiam disini"
Mingyu mengangguk membiarkan pria paruh baya itu menepuk pundaknya pelan. "Baiklah, kuharap kau bisa bersenang-senang di desa ini. Tak perlu khawatir soal makanan," dan kepala desa itu pergi berlalu meninggalkan Mingyu sendiri.
Mingyu menarik nafas panjang dan membuangnya kasar. Berjalan menuju pintu masuk dan mengabaikan kardus-kardus yang masih teronggok disudut rumah, ia hanya butuh tidur sekarang. Jadi Mingyu benar-benar telah diusir ya?
.
.
Lelaki bermaga Jeon itu menendang kasar pintu kayu dihadapannya, sudah lebih dari 5 menit ia berdiri dan memanggil pemilik rumah tapi tak ada jawaban. Apa dia mati didalam?
"Hei! Aku tahu kau didalam," ditendangnya pintu itu lebih keras. "Keluarlah!"
'Srek'
Pintu itu bergeser menampakkan seorang lelaki yang lebih tinggi dari Wonwoo dengan aura hitam disekelilingnya. Raut tergangggu terpatri jelas diwajah pemuda itu.
"Apa yang kau lakukan brengsek?" ucap Mingyu marah karena tidurnya diganggu dengan tidak sopan. Mata Mingyu penuh selidik pada sosok dihadapannya ini. Seorang pemuda lebih pendek darinya dengan kacamata bulat bertengger rapi dihidung mancung pemuda tersebut. Kemeja dan celana panjang yang menempel pas dengan jaket putih tersampir di bahu kanannya. Style yang tidak buruk untuk ukuran orang desa pikir Mingyu.
Wonwoo hanya memutar bola matanya malas mendengar umpatan barusan. Orang kota memang tak pernah punya sopan santun. Disodorkannya piring ke arah depan. Pemuda didepan hanya termangu memandang piring tersebut. "Makanan bodoh! Ayah memintaku mengantarkannya kemari," jelasnya.
Mingyu tertawa sinis, apa kupingnya tak salah dengar? Bodoh?
"Kau anak kepala desa?" Mingyu sedikit banyak tidak percaya pemuda datar didepannya ini anak kepala desa yang murah senyum. Peribahasa buah jatuh tak jauh dari pohonnya sepertinya harus dipertanyakan.
Wonwoo mendecih, "Apa itu penting sekarang? Ambil piring ini agar aku bisa segera angkat kaki dari rumahmu. Oh sial, minggir!"
Semua terjadi begitu cepat, bahkan otak Mingyu yang baru bangun tidur masih berproses ketika Wonwoo mendorongnya masuk kedalam rumah dan buru-buru menutup pintu. "Hei! Apa yang.."
"Ssst diam!" Mingyu mengeram pelan pada pemuda didepannya ini. Tak lama terdengar suara sepeda beriringan pelan dan berhenti tepat di halaman rumah Mingyu.
"Aku tadi melihat Wonwoo hyung ke arah sini," suara anak kecil terdengar dari jauh.
Wonwoo?Jadi nama pemuda ini Wonwoo.
"Hyungiee?" anak kecil lain berteriak. "Wonwoo Hyung, kau dimana? Haru merindukanmu hyung, dia ingin bermain denganmu."
"Hyuung?!" teriak mereka bersamaan. Wonwoo hanya bergeming.
"Bohyuk-ah, sepertinya Wonwoo hyung tak ada disini. Ayo kita cari di rumah sakit!" anak kecil pertama berucap setelah lelah memanggil-manggil nama hyungnya dengan berteriak.
"Dasar setan-setan kecil," Wonwoo berujar setelah mendengar suara sepeda beriringan menjauh dari rumah Mingyu, ia pun menghela nafas. "Hei bodoh, jauhkan badanmu dariku atau piring dan isinya kulempar ke wajah idiotmu itu!"
What the hell?
Mingyu buru-buru melangkah mundur, ia baru sadar mereka berhimpit-himpitan di pinggir pintu sejak tadi. Wonwoo yang akhirnya mempunyai ruang untuk bergerak pun memutar badannya cepat dan melempar piring yang ia bawa ke arah Mingyu, beruntung Mingyu mempunyai respon yang cepat sehingga piring berisi makanan yang ditutup alumunium foil tersebut mendarat tepat di atas tangannya.
"Makanlah yang banyak agar otakmu dapat berfikir lebih cepat dumbass!"
'Srek blam'
Dan pintupun tertutup meninggakan Mingyu sendiri. Menatap nanar pada makanan ditangannya dan pintu yang ditinggalkan pemuda bernama Wonwoo tadi. Ia pun meremas rambutnya kesal, baru bertemu sekali dan sudah 4 kali ia dipanggil bodoh.
Oh sial.
.
.
"HAH? Kau akan pergi ke desa?" Seungcheol menatap adiknya kaget.
"Haraboeji bilang aku harus mendinginkan kepalaku," Mingyu menjawab asal. "Cih, ia bilang aku masih cacat sebagai manusia apalagi menjadi dokter."
"Kudengar kau memukul pria tua yang menggunakan tongkat pada diskusi panel kemarin?" Ah dokter Jang, Mingyu ingat betul wajah pria tua yang disinggung kakaknya.
"Kau sebaiknya meminta maaf saja dan kuyakin haraboeji akan mengurungkan niatnya!"
Mingyu hanya membuang mukanya dan bergumam, "Aku tak akan meminta maaf. Kau tak mengerti hyung."
Seungchol menghampiri adiknya dan menepuk pundaknya pelan, walaupun Mingyu terlihat tenang ia yakin hati adiknya pasti sudah terluka.
"Akulah yang terburuk," Mingyu menggumam mengusap wajahnya kasar. "Pria dewasa mana yang akan memukul seseorang karena perkataan orang itu benar."
Semilir angin menerpa wajahnya lembut. Kini Mingyu tengah duduk di pinggir jalan setapak yang berbatasan langsung dengan laut, meninggalkan keadaan rumah yang belum tertata sama sekali. Tadi setelah memakan makanan dari kepala desa, ia berjalan menyusuri desa dan menemukan tempat indah ini. Ternyata laut yang ia lihat pertama kali tersambung hingga ke desa ini, hanya pantai di depannya ini tidak berpasir melainkan tersusun rapi dengan batu-batu hitam besar dipinggirannya. Tidak kalah indah dengan yang awal Mingyu lihat.
Suara ombak berdesir pelan, laut sangat tenang sekarang mengundang setiap orang untuk berenang disana. Tentu saja tidak dengan Mingyu.
'Dia pikir dia siapa? Mentang-mentang cucu sajangnim bisa seenaknya sendiri'
'Dia yang memukul Dokter Jang, teman kakeknya'
'Dia tidak memiliki tata krama'
'Jangan bicara padanya. Orang mungkin akan berpikir kau sama sepertinya'
'Jangan berhubungan dengannya'
"Yaaaaaaakk diamlah manusia bodoh," Mingyu berteriak dan menjambak rambutnya frustasi. Ia pun berdiri, orang bilang berteriak dapat mengurangi stress.
"Kalian puas? Haraboeji mengusirku gara-gara kalian. Aku bukan orang cacat, kalianlah yang cacat. Akan kubuktikan aku dokter yang lebih hebat dari kalian," Mingyu terengah-engah meluapkan emosinya. Ia memijat keningnya frustasi, bagaimana ia bisa kembali jika kakeknya sendiri yang mengirimnya kesini.
"Hyung dia bukan orang gila kan?" what?
Mingyu buru-buru menoleh kebelakang dan menemukan 2 makhluk berkelamin sama tengah memandangnya aneh. Yang satu anak kecil berumur sekitar 7 tahun dan satunya adalah orang yang Mingyu harap tak pernah ia temui lagi. Mereka tengah menyesap popsicle satu untuk masing-masing.
"Jangan dekat-dekat dengannya jika tak mau tertular jadi gila," si besar mendekap protektif anak yang lebih kecil.
Muncul siku imajiner di dahi Mingyu, bolehkah ia menghajar orang ini?
"Hyung kau tak boleh kasar dengan orang asing, aboeji bilang kita harus selalu ramah pada orang lain." Wonwoo tersedak popsicle nya sendiri. Siapa dulu yang menyebut gila pada orang asing.
Si anak kecil melepaskan tangan Wonwoo dari bahunya dan berjalan mendekat pada Mingyu. "Aku tak pernah melihatmu hyung, kau pasti pendatang yang diceritakan ayah kemarin. Salam kenal, Jeon Bohyuk imnida," Bohyuk menunduk dalam pada Mingyu. Mingyu melirik ke arah Wonwoo yang tengah memijat pelipisnya. Ck adik kakak yang bertolak belakang.
"Ah anyeong Jeon Bohyuk, kau bisa memanggilku Mingyu hyung kalo begitu," Mingyu membalas dengan mengelus lembut kepala Bohyuk.
Bohyuk tersenyum sumringah, ia bangga bisa berkenalan dengan orang asing. Mingyu yang melihat juga ikut-ikutan tersenyum. "Wah hyung kau keren sekali," ucapnya terpana. Bohyuk menoleh ke belakang, "Hyung kau harus berkenalan juga, Mingyu hyung keren sekali!" seru Bohyuk pada Wonwoo yang ada di belakangnya.
Wonwoo acuh.
Bohyuk memindah atensinya pada Mingyu yang masih tersenyum, "Maaf hyung, Wonwoo hyung memang seperti itu makanya ia sering dimarahi aboeji. Tapi aku tak bisa membenci Wonwoo hyung karena Haru suka sekali bermain dengannya," jelas Bohyuk panjang lebar.
Jeon Wonwoo? Mingyu tertawa ringan, "Ah benarkah? Bukannya kasar ya tidak mau berkenalan dengan orang asing?"
Bohyun mengangguk antusias, "Benar hyung, aboeji juga bilang begitu. Wonwoo hyung itu kasar tapi sebenarnya dia keren. Jangan bilang-bilang padanya ya hyung," Bohyuk berbisik pada Mingyu. Padahal Mingyu yakin Wonwoo disana juga bisa mendengarnya. Pemuda itu hanya tersenyum tipis.
"Yaa Jeon Bohyuk, aku akan meninggalkanmu jika kau tetap disana," Wonwoo bersuara.
"Aahh hyuung," kentara sekali raut kecewa dari Bohyuk. "Aku sedang berbicara dengan hyung keren ini. Kau tak asyik sekali," Bohyuk merajuk.
Wonwoo menggigit potongan terakhir popsicle dan membuang stiknya sembarang, "Baiklah kutinggalkan kau dengannya dan jangan salahkan aku jika tiba-tiba hyung kerenmu itu menculikmu!"
What? Apakah ada secuil muka Mingyu yang seperti penculik?
"Mingyu hyung bukan penculik," Bohyuk berkata yakin. "Mingyu hyung aku ingin menunjukkanmu sesuatu!" Bohyuk menarik tangan Mingyu untuk berjalan.
"Hei apa yang kau lakukan?" Mingyu bertanya-tanya, sedikit terganggu dengan ajakan si anak kecil.
Bohyuk tak peduli terus menggenggam tangan Mingyu, "Langit sudah sore, akan kutunjukkan tempat yang hanya diketahui orang-orang keren hyung."
.
.
Mereka berjalan beriringan, Bohyuk dengan ceria menggiring Mingyu untuk mengikutinya, Wonwoo terlihat acuh namun tetap mengikuti kemana adiknya melangkah. Langit sudah berubah warna sekarang, menampakkan warna jingga yang malu-malu.
"Haru pasti menyukaimu hyung, dia suka orang-orang keren," Bohyuk berkata pada Mingyu yang dibalas dengan geraman. "Kau harus bermain dengan Haru hyung!"
Mingyu hanya mengangguk, memperhatikan langkahnya agar tidak terjatuh ke saluran air yang ada di pinggir. Kini mereka sedang di pinggir pelabuhan karena tadi beberapa kali Mingyu melihat ada kapal terparkir dipinggiran jalan.
"Hyung lihat!" Bohyuk berseru membuat Mingyu menoleh ke arah yang ditunjuk. "Jika kau menaiki dinding itu, kau akan melihat matahari terbenam yang menakjubkan!" tanpa bisa menjawab, tangan Mingyu ditarik paksa oleh Bohyuk. Mau tak mau ia mengikuti anak kecil yang berlari semangat menuju dinding pelabuhan setinggi 4 meter didepan.
Didepannya kini berdiri kokoh dinding setinggi 4 meter dengan seutas tali menjuntai kebawah. Mingyu ragu mengikuti Bohyuk yang sudah duluan naik ke atas.
"Hei Jeon Bohyuk, lihatlah langitnya! Kau tak bisa melihat matahari terbenam jika awannya seperti itu," Wonwoo yang sedari tadi diam akhirnya berucap, sedikit melirik remeh pada Mingyu yang terlihat jelas keraguannya.
Langit memang terlihat sangat berawan, Mingyu pun setuju dengan ucapan Wonwoo tapi tidak dengan tatapan remehnya.
"Jika hyung tidak naik ke atas, hyung tidak akan melihat apapun," Bohyuk meyakinkan lagi pada dua hyung yang masih berdiam diri dibawah. "Hyung tidak akan tahu jika tidak mencobanya."
Entah kerasukan apa, tangan Mingyu mulai menangkap tali di depannya dan membawa tubuh besarnya menaiki dinding dengan perlahan.
"Lihat! Indah kan?" Suara Bohyuk terdengar lirih.
Mingyu masih terpaku pada pemandangan yang ada didepannya. Mulutnya tak bisa berkata mendiskripsikan keindahan alam yang ia lihat sekarang. Lautan yang luas tak berujung dengan matahari yang menyusut malu-malu di ujung sana, jangan lupakan siluet orange dari awan-awan yang ada di atas, angin pun berhembus lembut menerpa wajah kedua orang itu. Sungguh Mingyu tidak akan menolak membayar mahal demi melihat pemandangan ini di Seoul.
"Wonwoo hyung tak pernah mau diajak kesini, dia pasti akan menolak dan langsung pulang. Aku sangat ingin memperlihatkan ini pada Wonwoo hyung," jelas Bohyuk terlihat sedih saat mengatakan itu.
Mingyu menoleh dan tersadar memang hanya ada mereka berdua, Wonwoo tidak mengikuti langkahnya menaiki dinding tadi.
"Sudahlah hyung, pasti Wonwoo hyung sudah pulang seperti biasanya. Aku senang ada Mingyu hyung yang menemaniku melihat ini semua," Bohyuk tersenyum manis. Mereka berduapun duduk menikmati pemandangan yang disuguhkan alam pada mereka. Tidak peduli dengan ketidakhadiran hyung dari Bohyuk.
Benar Mingyu tidak peduli, ia tidak peduli perkataan orang-orang terhadapnya. Ia tidak peduli orang menganggapnya kasar. Ia tidak peduli orang mencerca tingkahnya, tapi ia tidak terima jika haraboeji menganggapnya cacat sama seperti yang orang-orang pikirkan. Ia hanya ingin terlihat sempurna di mata haraboejinya.
Haraboeji, aku akan kembali dan tidak akan mengecewakanmu lagi.
.
.
Hari sudah gelap ketika Mingyu berjalan pulang ke rumah, didepannya masih dengan wajah ceria ada Bohyuk yang berjalan sambil melompat-lompat. Bohyuk sedikit bersenandung lagu yang tidak Mingyu mengerti, ia hanya terkekeh pelan mengingat usaha kerasnya mengajak Bohyuk turun dari dinding tadi. Akhirnya dengan tawar menawar manis antara keduanya, Bohyuk mau di ajak turun. Kekagetan Mingyu semakin bertambah kala melihat sosok lain yang bersandar tepat di samping tali yang ia gunakan saat naik tadi. Berbanding terbalik dengan Bohyuk yang memekik senang.
"Aku hanya tak ingin meninggalkan adikku sendiri dengan orang asing," desis Wonwoo saat itu.
Mingyu melirik Wonwoo yang berjalan disampingnya, wajahnya masih sama datarnya seperti tadi siang. Mingyu hanya berfikir bisakah wajah itu berekspresi lain?
Jelas tadi terjadi perdebatan lagi antara adik kakak Jeon itu setelah turun dari dinding, Bohyuk bersikeras ikut Mingyu pulang dengan alasan ingin tahu rumah hyung kerennya sedangkan Wonwoo tentu saja menolak mentah-mentah keinginan Bohyuk. Tapi sekali Bohyuk tetap Bohyuk, ia tak peduli jawaban hyungnya dan malah menarik Mingyu untuk pulang. Dan lagi-lagi Wonwoo hanya diam dan mengikuti langkah Bohyuk dari belakang.
Seperti sekarang, Bohyuk berjalan di depan memimpin dua hyungnya yang berjalan bersama di belakang. Oke, Mingyu paham alasan Wonwoo menolak. Sudah pasti Bohyuk tahu letak rumah Mingyu dimana.
"Akhirnya kembali," suara seseorang menyadarkan Mingyu dari pikirannya sendiri.
"Aboejii.." Bohyuk terpekik senang dan berlari ke arah ayahnya yang ada tepat di depan rumah Mingyu. Mingyu masih terpaku, di depan rumahnya telah berkumpul banyak orang. Mulai dari kepala desa, kakek yang pertama ia temui, beberapa ibu-ibu yang tidak Mingyu kenal dan pria-pria seumuran ayahnya berdiri disana.
"Oi, Mingyu-ssi. Lebih baik bergegas kemari atau aku akan membuka kardusnya sendiri," Kepala Desa kembali berteriak membuat Mingyu sadar.
"Hah?! Kenapa?!" Tanya Mingyu mengeraskan suaranya.
"Untuk memindahkannya, jadi aku datang kesini," Kepala desa itu berseru dengan senyum yang tidak tertinggal. Dilihatnya dari ujung jalan ada beberapa orang yang datang lagi dan bergabung dengan kepala desa.
"Dari Seoul ya?" Seseorang menepuk bahu Mingyu dari belakang. Terlihat seorang nenek memakai tudung yang biasa dipakai di ladang. "Itu perjalanan yang jauh, Kami juga akan membantu." Nenek dan cucunya berjalan duluan ke arah rumahnya.
Mingyu menoleh pada pemuda yang ada disampingnya, "Apakah ayahmu yang memanggil mereka semua?"
Wonwoo sedikit terkejut dengan suara Mingyu, "Hah? Tidak juga." Ia berdeham sedikit. "Semua orang melihat mobil van dan datang sendiri kemari. Jarang ada orang pindah ke tempat ini."
Itu kalimat terpanjang yang pernah Mingyu dengar dari pemuda datar ini. "Tapi, mereka tidak mengenalku. Aku tidak akan membiarkan mereka melakukan itu."
Pemuda itu terkekeh ringan, "Kami selalu menerima sebodoh apapun orang yang datang."
Harusnya Mingyu marah mendengar kalimat barusan, tapi nyatanya tidak. Hatinya malah berdesir dengan semua ini. Mereka tidak tahu Mingyu itu siapa, Mingyu itu anak siapa dan keturunan siapa. Mereka tidak tahu seberapa buruk imejnya diluar sana dan seberapa kecewa haraboeji terhadapnya, Mingyu hanya pendatang baru tapi mereka datang dengan sukarela untuk membantu.
Mingyu ikut terkekeh, "Kau benar, aku memang bodoh." Lalu iapun berlari menyusul Bohyuk yang sejak tadi memanggilnya.
Ya Mingyu sadar ia bodoh.
.
.
Jam menunjukkan pukul 8 malam saat rumahnya telah benar-benar rapi, ia tak henti-hentinya berucap terimakasih pada setiap orang yang hadir ke rumahnya yang dibalas senyum tulus dari mereka.
"Hei Jeon Wonwoo," Mingyu memanggil pemuda terakhir yang tengah memakai sepatunya, berniat untuk pulang. Pemuda itu mendongak.
"Aku tak ingat pernah berkenalan denganmu Kim Mingyu," Wonwoo membalasnya ketus.
Mingyu hanya tertawa pelan, "Dan aku tak ingat pernah menyebutkan namaku padamu."
Wonwoo mendecih.
"Terimakasih," ucap Mingyu cepat.
Wonwoo hanya berdeham membalas Mingyu. Dengan cepat ia berdiri dan melangkah pulang, sial ia jadi tertinggal rombongan lain. Tapi terlintas sesuatu yang membuatnya berhenti dan menatap Mingyu yang ada di depan pintu. "Apa yang kau janjikan pada Bohyuk saat di atas dinding?"
Mingyu hanya mengusap belakang kepala mengingat perjanjiannya dengan Bohyuk, "Aku hanya berjanji akan bermain dengan Haru, ia bilang Haru sangat menyukai orang keren."
Wonwoo tertawa sambil mengusap pelipisnya. Mingyu tertegun melihat ekspresi baru dari pemuda datar itu.
"Kau tahu siapa itu Haru?" Wonwoo mengangguk. "Apa barusan Haru juga ikut kemari?" Wonwoo menggeleng.
Dan jawaban terakhir dari Wonwoo benar-benar membuat rahang Mingyu jatuh kebawah, tentu saja itu menjelaskan alasan kuat kenapa siang tadi Wonwoo sampai harus bersembunyi di rumahnya.
"Haru itu ulat bulu peliharaan Bohyuk," dan Wonwoo pergi membawa tawa Mingyu bersamanya.
.
.
.
END ?
.
.
Hai readers tercinta..
Disini ada author baru di dunia per meanie an.. Sungguh author jatuh cinta pada mereka berdua
Buat reader ada beberapa hal yang haru digaris bawahi :
1. Author bukan anak kedokteran. Jadi Mohon dikoreksi yaa
2. Desa Yeokso itu murni imajinasi author, sama seperti Mingyu author bahkan ragu itu desa benar2 ada atau tidak. jangan diambil hati yaa.
3. Typo itu murni kesalahan tangan author. Suka gereget kalo nulis tentang mereka.
Kritik dan saran selalu di tunggu lho yaa..
Thankiss.. Kecup basah
