Hi, Minna...!
Yup, Cyaaz kembali dengan Fic BARU LAGI!
Pasti semua pada kesel karena Cyaaz suka numpuk hutang.
Tapi yang ini udah kelar kok, dijamin nggak nambah daftar hutang Cyaaz...
:D
Cyaaz tidak bisa menahan diri untuk ikut Event minggu ini sih, jadi lah Fic ini...
Semoga kalian menikmati Fic ini, dan yang lebih penting... Semoga Cyaaz masih terampuni setelah kalian selesai membaca Fic ini...
:'(
Oke, happy reading ya!
...
Summary...
Hujan selalu bersama kami, kapan pun dan di mana pun...
Ketika segalanya dimulai dan ketika segalanya harus berakhir...
...
Warning!
Fic ini tidak dilengkapi dengan pop corn, minunan bersoda, tissue dan lain sebagainya...
...
Disclaimer - GS/D Bukan Milik Cyaaz...
...
Zala dan Hujan
Hujan...
Hujan deras yang mengguyur kota siang ini, entah mengapa terasa begitu memilukan...
Sebelumnya, hujan tidak pernah memberinya rasa pedih seperti ini...
Sebelumnya, hujan selalu membawa kegembiraan dan kenangan indah bersama orang-orang yang ia kasihi...
"Ibu..."
Suara lembut nan halus barusan menyadarkan Alice Zala dari lamunannya, sejak tadi ia terus memperhatikan hujan di luar kaca mobilnya.
"Ibu..."
Didapatinya seorang anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun sedang tertidur di pangkuannya, setitik air mata masih tersisa di ekor matanya yang terpejam. Alice tidak sanggup berkata apa-apa, ia hanya membelai lembut rambut pirang adiknya. Stetelah Adiknya terlihat lebih tenang, gadis bermata emerald itu kembali memandangi hujan di luar yang tak kunjung reda.
Saat ini ia tidak sedang berada di lingkungan rumahnya, ia serta adiknya sedang berada jauh di daerah perbukitan yang tenang. Namun tujuan mereka datang ke tempat ini bersama ayah mereka bukanlah untuk bertamasya, melainkan untuk...
"Ibu tidak apa-apa, Alice... Kau jangan khawatir..."
Alice tiba-tiba saja teringat akan mimpinya, di mana ia mendengar suara dan melihat senyuman ibunya yang begitu mendamaikan hati.
"Ibu..." ia pun bergumam, berbagai macam emosi bercampur di dalam hatinya. Setelah beberapa saat berusaha menenangkan dirinya, Alice akhirnya mengambil sebuah keputusan.
Gadis berusia 16 tahun itu mengganti posisi tidur adiknya, membuat gerakannya selembut mungkin agar tidak sampai membangunkannya. Kemudian ia mengambil sebuah payung berwarna hitam dan keluar dari mobilnya.
Di dalam hujan yang dingin, Alice berjalan menghampiri sebuah tempat yang akhir-akhir ini sering ia kunjungi bersama keluarganya. Selangkah demi selangkah, ia semakin mendekati tempat tujuannya.
Setelah beberapa menit melangkah, ia akhirnya mendapati apa atau lebih tepatnya siapa yang ia cari. Seorang pria dengan kemeja hitam kesayangannya sedang duduk di tengah alam terbuka.
"Ayah," Alice membagikan payung yang ia gunakan untuk melindungi ayahnya dari air hujan, meski ia sudah sangat terlambat untuk itu. "Ini sudah cukup, sebaiknya kita pulang sekarang..."
Pria dengan rambut biru gelap yang serupa dengan rambut Alice itu menggeleng pelan. "Ayah tidak bisa meninggalkan ibumu sendirian dalam hujan deras seperti ini..."
Alice menghembuskan nafas panjang, dilihatnya apa yang sedang dipandangi ayahnya sejak pagi. Itu adalah sebuah makam sederhana bertuliskan nama "Cagalli Yula Zala" di batu nisannya, sebuah jas hitam telah menyelimuti makam tersebut hingga menjadi basah.
"Ayah, kalau ayah tetap seperti ini nanti ayah bisa sakit," ucap Alice.
"Ayah sudah tidak perduli lagi, sakit seperti apa pun itu... Ayah rela... Rasa sakit itu tidak akan sesakit rasa sakit yang ibumu rasakan..." pria itu mengepalkan kedua tangannya.
Alice memperhatikan ayahnya sekali lagi, betapa ayahnya sangat terpukul atas kepergian ibunya. Wajah ayahnya telah basah kuyup, tidak jelas apakah dikarenakan air hujan atau kah dikarenakan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.
Alice menengadahkan kepalanya, memandangi selimut awan tebal berwarna abu-abu di langit.
'Kenapa ini semua terjadi...?'
Ia tak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan.
'Sejak kapan drama yang menyedihkan ini dimulai?'
-+-+ Z + n + R +-+-
5 Tahun Sebelumnya...
"Alice?" suara ibunya, Cagalli memanggil dari luar kamar mandi. "Ayo cepat, kau sudah terlambat."
"Iya, Ibu," Alice menyisir rambut panjangnya. "Sebentar lagi," gadis kecil itu segera merapikan rambutnya, lalu bergegas keluar dari kamar mandi.
Saat ia telah siap dengan seragam lengkap dan tasnya, Alice berlari menuju ruang makan untuk sarapan. Didapatinya seorang balita sedang duduk di kursi dekat meja makan sambil memainkan sebuah mainan robot, sementara ibunya masih sibuk menyiapkan makanan.
"Hi, Alex," sapanya sambil duduk di sebelah adiknya. "Di mana ayah?" tanyanya pada Cagalli saat ia menyadari ayahnya tidak ada di ruang makan.
"Ayah di sini," Athrun Zala, sang ayah datang dari belakang dan memeluk Alice. "Apa kabar puteri ayah yang manis ini?"
"Ayah, geli..." Alice tertawa saat ayahnya menciumi wajahnya. "Ayah terlambat, aku datang lebih pagi dari ayah!" ejek Alice.
Athrun tertawa. "Iya, ayah tadi bangun kesiangan," Athrun beralih memandangi Cagalli. "Gara-gara ibumu."
Cagalli yang sedang membagikan omelet ke meja makan langsung menoleh. "Apa? Kenapa jadi salahku?"
"Kalau semalam kau tidak mengajakku bermain, aku pasti tidak akan selelah ini sekarang," Athrun tersenyum licik.
Cagalli meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Oh, ya sudah. Mulai hari ini aku tidak akan bermain denganmu lagi," kembali menyiapkan meja dengan wajah cemberut.
Athrun tertawa kecil, lalu ia menghampiri dan memeluk isterinya dari belakang. "Jangan marah, kau tahu aku hanya bercanda..." gumam Athrun di telinga Cagalli.
"Athrun, apa-apaan?" wajah Cagalli memerah. "Alice dan Alex melihat kita."
"Biarkan saja, biar mereka tahu betapa mesranya orang tua mereka," ucap Athrun.
Alice kecil saat itu hanya bisa tersenyum geli melihat ayah dan ibunya, wajahnya pun bersemu.
"Main..." Alex Zala tiba-tiba menarik perhatian semua orang. "Mau ikut main..."
Mendengar ucapan Alex yang lugu, Cagalli dan Athrun tertawa seketika. Diikuti Alice yang tertawa bahagia melihat orang tuanya tertawa.
-+-+ Z + n + R +-+-
"Alice, Alex...!" Cagalli memanggil kedua buah hatinya. "Ayo kemari, bibi Lacus dan paman Kira datang."
Alice dan Alex yang sedang asyik bermain langsung mendatangi ibu mereka si ruang tamu.
"Paman, Bibi...!" seru Alice senang, mata hijaunya berbinar-binar.
"Halo, Alice..." sapa Lacus. "Kau sudah tambah tinggi ya?"
"Alex juga," tambah Kira, pria berambut cokelat itu mengangkat Alex ke udara. "Kau sudah semakin besar, Alex!"
"Hahaha." Alex tertawa senang saat Kira menggendongnya.
"Mereka juga jadi semakin nakal," ucap Cagalli. "Terutama Alex."
"Namanya juga anak kecil..." Alice mendengar suara yang tidak pernah ia dengar sebelumnya, ia mendapati seorang wanita yang mirip dengan Lacus di sebelah ibunya. "Hi, Alice..."
Alice hanya berkedip, lalu ia memaksakan senyum kecilnya untuk membalas sapaan orang itu.
"Alice..." Lacus mensejajarkan tingginya dengan gadis itu. "Itu adalah bibi Meer, sepupuku..." jelasnya lembut. "Dia juga teman lama ibumu..."
Alice berkedip lagi, lalu mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengerti. Setelah itu ia pun tersenyum, namun kali ini senyum yang tulus.
"Halo, Alice..." Meer menunduk untuk mendekati Alice. "Senang bertemu denganmu, kau sangat manis..." Meer mencubit pipi Alice pelan.
Alice pun tertawa, ia kemudian mendengar suara ayahnya.
"Ayah...!" Alex turun dari pangkuan Kira dan langsung memeluk ayahnya. "Selamat datang, Ayah!" ia tersenyum lebar.
"Hi, Alex..." Athrun membalas pelukan Alex dengan membelai rambutnya.
"Kau sudah pulang?" Cagalli membawakan tas kerja Athrun, lalu mencium pipi suaminya. "Lihat, Lacus, Kira dan Meer datang."
"Hi, Kira... Lama tidak melihatmu," sapa Athrun. "Kau juga Lacus dan, Meer... Sudah lama sekali ya."
Setelah itu, Alicemendengarkan obrolan ringan di antara orang tua dan tamu-tamu mereka untuk beberapa saat, sampai 2 orang anak-anak lain datang.
"Ayah," seorang anak laki-laki berusia 7 tahunan memegang kaki Kira. "Boleh aku bermain dengan Maya di halaman?"
Kira menunduk. "Tentu, Hikaru..."
"Ajak Alice dan Alex juga," tambah Lacus.
Hikaru Yamato mengangguk. "Ayo, Kak Alice?"
Alice mengangguk, lalu mengajak Alex pergi bersamanya bermain ke halaman.
-+-+ Z + n + R +-+-
"Eh...?" Alice sedang duduk di bangku bersama Maya, sedangkan adiknya bermain dengan Hikaru. "Jadi ayahmu sudah meninggal?"
Maya, gadis kecil berambut panjang itu mengangguk. "Ayahku sakit dan meninggal tahun lalu..."
Mendengar itu, Alice merasa ikut sedih. Ia tidak bisa membayangkan jika ia kehilangan ayahnya di usia semuda ini. Apalagi Maya masih setahun di bawahnya, ia pun tak punya saudara yang menemaninya. Satu-satunya teman Maya saat ini hanyalah ibunya, Meer...
"Maya..." Alice ingin membantu Maya semampunya. "Sering-seringlah datang, kita main bersama Alex dan Hikaru juga."
Yah, setidaknya hanya itu yang bisa dilakukan Alice kecil untuk membantu Maya. Ia ingin menjadi teman serta sahabat yang baik bagi gadis kecil bermata biru itu. Maya pun dengan senang hati mengangguk, menyambut baik ajakan Alice.
-+-+ Z + n + R +-+-
4 Tahun Sebelumnya...
"Lihat, bibi bawakan kalian kue," Meer menunjukkan sekotak kue cokelat pada Alice dan Alex. "Makan yang banyak ya."
Kedua kakak-beradik Zala tersenyum lebar, sebagai penggemar cokleat mereka sangat senang menerima pemberian Meer.
"Kau seharusnya tidak perlu repot-repot, Meer." Cagalli datang menyuguhkan teh.
"Ah, tidak apa," jawab Meer. "Kebetulan tadi aku mampir ke toko kue, aku juga membeli kue untuk Maya."
"Di mana Maya?" tanya Alice. "Kenapa dia tidak ikut?"
"Dia tadi belum pulang sekolah, jadi tidak bisa ikut," jawab Meer. "Oya, ngomong-ngomong apa Athrun masih bekerja?" Cagalli mengangguk. "Sampai sesore ini?"
"Akhir-akhir ini Athrun memang sering pulang malam," jelas Cagalli. "Ada beberapa masalah yang sedang terjadi."
"Oh..." Meer menyandarkan punggungnya. "Dia pasti lelah sepulang kantor nanti, apalagi jika banyak yang dipikirkan."
Cagalli kembali mengangguk, namun kali ini sorot matanya sedikit berubah. Alice memperhatikannya, sepertinya ibunya sedang mencemaskan sesuatu.
"Oya, aku baru ingat kalau..." Cagalli mencoba memulai pembicaraan, kali ini obrolan ringan antar sahabat.
Setelah hari itu, Alice mendapati Meer jadi semakin sering berkunjung datang ke rumahnya. Sama seperti Lacus dan Kira yang hampir setiap minggu datang baik bersama putera mereka atau tidak. Meer pun begitu, ia terkadang datang bersama Maya, terkadang datang sendirian. Meer adalah seorang bibi yang sangat baik, ia sering membawakan oleh-oleh untuk Alice dan Alex. Wanita berambut merah jambu itu juga kerap membawa kakak-beradik Zala itu jalan-jalan bersama Maya. Tak heran jika seorang gadis kecil seperti Alice berpikir bahwa Meer adalah orang baik dan dekat dengan keluarganya.
-+-+ Z + n + R +-+-
2 Tahun Sebelumnya...
"Haaaah..." Alex menatap bosan ke luar jendela. "Kenapa hujan...?"
"Karena memang sudah waktunya turun hujan," jawab Alice yang sedang memainkan sebuah smartphone.
"Tapi kenapa harus di hari minggu?" Alex terlihat kesal. "Aku jadi tidak bisa main."
Cagalli yang sedang membaca buku menoleh pada putera bungsunya. "Kau 'kan bisa bermain di dalam rumah, Alex."
"Main di dalam rumah membosankan," Alex melirik ke Alice. "Kakak juga pasti tidak mau kuajak main."
"..." Alice tidak merespon.
Cagalli tersenyum, ia ingin mengatakan sesuatu namun terpotong oleh Athrun yang baru datang setelah mandi. "Bagaimana kalau kau main dengan ayah?"
"Main apa?" tanya Alex.
"Video game?" tawar Athrun, namun raut wajah Alex masih terlihat kesal. "Gundam? Kartu? Permainan papan?"
"Membosankan, Ayah...!" rengek Alex.
"Bilang saja kalau kau mau main di luar," celetuk Alice. "Kau ingin main bola 'kan?" mata Alex langsung berbinar-binar. "Hhh, kau terlalu mudah ditebak."
"Haa, Kakak!" Alex melompat dan menarik-narik tangan kakaknya. "Kakak 'kan sudah tahu, ayo temani aku main bola!"
Cagalli dan Athrun memperhatikan tingkah kedua buah hati mereka, kemudian saling memandang dan tersenyum. Alice dan Alex sangat dekat, meski banyak orang yang tidak mengetahuinya. Alice mungkin terlihat dingin dan ketus pada Alex, namun Alice juga lah yang paling mengerti isi pikiran adik laki-lakinya itu.
"Tidak, di luar hujan," tolak Alice. "Apa kau tidak lihat?"
"Justru itu, kita bisa sekalian main air 'kan?" bujuk Alex.
Alice menunjuk orang tuanya dan berkata. "Tanya mereka," dengan harapan ayah dan ibunya akan membantunya mengatakan 'Tidak' pada Alex.
"Baiklah kalau begitu," Athrun membuat Cagalli dan terlebih lagi Alice terkejut. "Kalau Alice tidak mau, ayo main dengan ayah!"
"Yay!" Alex menghampiri ayahnya. "Ayo kita main bola!"
"Athrun, kau ini apa-apaan?" Cagalli menatap tajam suaminya. "Kau baru saja mandi, lagipula kalian bisa sakit."
"Nanti juga bisa mandi lagi," jawab Athrun enteng. "Sekali-sekali tidak apa 'kan hujan-hujanan, mengenang masa lalu," Athrun mengedipkan sebelah matanya pada Cagalli.
Wajah Cagalli bersemu. "Ka-kau ini... Ya sudah, terserah kau saja."
Athrun tertawa lepas dan Alex bersorak, lalu mereka langsung berlari menerjang hujan dan bermain di halaman.
"Ayah itu..." Alice melihat ke luar jendela. "Kupikir dia akan menolak ajakan Alex tadi, tapi ternyata..."
Cagalli tersenyum, lalu menghampiri Alice yang sedang berdiri di dekat jendela. "Ayahmu sangat suka hujan, apa kau tahu itu?"
"Hm?" Alice menoleh pada ibunya. "Kenapa suka hujan?"
"Dulu saat pertama ayah dan ibu bertemu... Kami masih kuliah dan sedang camping," Cagalli tersenyum mengenang masa lalu. "Saat itu ayah dan ibu tersesat dan tidak sengaja bertemu, lalu turunlah hujan lebat..." Cagalli menoleh pada Alice. "Ayah dan ibu jadi harus terkurung di dalam goa kecil selama berjam-jam untuk berteduh."
"Oh, jadi begitu..." Alice tertawa kecil. "Manis juga ya, masa muda ayah dan ibu."
Cagalli tertawa. "Waktu itu kami bertengkar terus, saling menyalahkan karena sama-sama tidak tahu jalan pulang," ucap Cagalli. "Tapi entah bagaimana, justru itu yang membuat ayah dan ibu menjadi dekat..."
"Benci jadi rindu ya?" goda Alice.
Lagi-lagi Cagalli tertawa. "Ya, mungkin..." Cagalli membelai rambut puterinya. "Sejak itu lah, ayahmu jadi suka hujan dan sangat berterima kasih pada hujan... Tanpa hujan, keluarga ini tidak akan terbentuk..."
Melihat ibunya yang tersenyum, Alice pun tersenyum. Tanpa hujan, ayah dan ibunya tidak akan bersatu, tanpa hujan dirinya dan Alex pun tidak akan ada...
"Hey, kalian?" Alice dan Cagalli terkejut mendengar Athrun, pria itu masuk dengan keadaan basah kuyup. "Ayo ikut?"
"Haah, tidak!" tolak Cagalli. "Kalian para laki-laki saja."
"Ck, ayolah..." Athrun menarik tangan Cagalli dan Alice. "Hujan air tidak akan terasa sakit di kulit kalian."
"Athrun, masalahnya bukan itu!"
"Ayah, tunggu! Aku tidak-."
Dan pada akhirnya Athrun berhasil membawa isteri dan puterinya tercinta keluar untuk merasakan butiran-butiran air yang jatuh dari langit. Mereka berempat pun bermain air bersama untuk waktu yang cukup lama, menikmati kebersamaan yang sangat menyenangkan. Terima kasih pada hujan yang telah mempersatukan dan membawa kebahagiaan bagi keluarga Zala.
-+-+ Z + n + R +-+-
1 Tahun Sebelumnya...
"Ayah belum pulang?" tanya Alex. Saat ini ia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya bersama Alice dan Cagalli.
"Belum," jawab Cagalli sambil menggeleng. "Mungkin sebentar lagi."
Alex merengut. "Akhir-akhir ini ayah jadi sering pulang malam..."
"Ayah banyak urusan di kantor," ujar Cagalli. "Karena itu jadi sering pulang larut malam."
"Hmm, sudah lama tidak makan bersama ayah..." ucap Alex lesu.
Cagalli tersenyum. "Lain kali kita makan malam di luar bersama ayahmu, kau mau?" Alex mengangguk senang. "Nanti ibu akan bilang pada ayahmu."
"Yes!" Alex terlihat senang. "Kita makan di tempat paman Andy saja!"
"Baiklah, baik..." Cagalli membelai rambut pirang Alex dengan senyum di wajahnya.
Alice hanya terdiam di mejanya, tangannya masih memegang pensil untuk mengerjakan latihan soal. Entah mengapa ia merasakan sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, sesuatu yang membuatnya merasa gelisah.
Ia merasa ayahnya memang semakin sibuk dengan pekerjaannya, waktu bersama keluarga pun jadi korban. Hal ini sudah berlangsung selama beberapa bulan, semenjak perusahaan ayahnya mengalami kemunduran akibat persaingan yang semakin ketat.
Alice pernah sesekali mendengar pembicaraan orang tuanya di malam hari, saat mereka sedang duduk di ruang keluarga dan dirinya terbangun karena mendengar suara dari luar. Perusahaan ayahnya sedang mengalami masalah, butuh biaya besar untuk melanjutkan kelangsungan hidup perusahaan atau semacamnya.
Tentu Alice merasa sedih dan ingin membantu meski ia masih belum banyak mengerti soal urusan bisnis, namun ia juga takut untuk menawarkan bantuan pada orang tuanya karena ia merasa tidak akan mampu membantu banyak. Dan akhirnya, Alice memilih untuk diam sambil terus mengamati keadaan sekitar. Ia juga mempersiapkan dirinya, jikalau sewaktu-waktu orang tuanya membutuhkan bantuan kecilnya.
Setelah beberapa minggu berlalu, Alice kembali mendapatkan kabar mengenai kelangsungan hidup perusahaan ayahnya. Athrun memberi kabar gembira pada Cagalli saat itu, seorang investor bersedia meminjamkan dana untuk pengembangan perusahaan.
Betapa Alice sangat lega mendengarnya, ia bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan seorang malaikat untuk membantu ayahnya. Ia pun berpikir, setelah ini semua akan kembali seperti dulu.
Namun pada kenyataannya, ayahnya tak kunjung terbebas dari pekerjaannya. Sebaliknya ia justru terkesan semakin sibuk dengan urusan ini-itu. Alice merasa tidak senang tentunya, apalagi saat ia terkadang mendapati ibunya sedang melamun di rumah. Tatapan ibunya yang kosong itu membuat Alice merasa sedih.
"Alice?" suara Cagalli membawa Alice kembali ke alam nyata.
"Ya, Ibu?" tanya Alice.
Cagalli tersenyum. "Kau sedang melamun apa?"
"Tidak ada," elak Alice.
"Pasti tentang Kak Kevin!" sahut Alex.
"Kevin?" Cagalli bingung. "Siapa itu?"
"Bukan siapa-siapa," Alice memukul kepala Alex dengan gulungan kertas. "Kau jangan seenaknya."
"Aduh, sakit!" Alex memegangi kepalanya.
Cagalli tertawa melihat perilaku Alice dan Alex. "Ya sudah, ayo tidur?" ucapnya. "Ini sudah malam."
Sekali lagi Alice merasakan sesuatu yang ganjal, sesuatu yang terasa menyesakkan di dada. Senyuman ibunya, tawa ibunya yang baru saja ia lihat... Entah mengapa ia merasakan semua itu kosong, palsu... Ia merasa bahwa sebenarnya ibunya saat ini sedang menangis, tapi memaksakan diri untuk tersenyum.
-+-+ Z + n + R +-+-
"Aku lelah, Cagalli..."
Alice mendengar sesuatu dalam tidurnya, membuat ia membuka matanya perlahan.
"Aku tanya, kau dari mana?"
"Bukankah tadi di telepon aku sudah bilang, aku rapat di kantor sampai malam."
"Sekretarismu bilang kau sudah tidak ada di kantor sejak sore tadi, Athrun!"
Alice terus menyimak pembicaraan kedua orang tuanya, meski sekarang sudah mulai tidak terdengar karena mereka sudah berpindah tempat ke kamar mereka dan menutup pintunya. Ini lah malam pertama di mana Alice mendengar ayah dan ibunya berselisih, perselisihan yang sebenarnya.
Setelah malam itu, Alice berharap ia tidak akan mendengarnya lagi. Namun ternyata, sesekali ia masih terbangun karena suara bernada tinggi dari ayah dan ibunya di tengah malam. Berdasarkan setiap pertengkaran yang ia dengar, Alice dapat menyimpulkan sedikit-banyak alasan penyebab ayah dan ibunya bertengkar. Ayahnya sering pulang malam akhir-akhir ini, namun ke mana dan apa yang ia lakukan selalu tidak jelas. Ibunya sering memergokki ayahnya tidak di kantor melalui beberapa orang kepercayaannya, ayahnya juga sering ketahuan berbohong.
Alice tak dapat melakukan apa pun, ibunya juga memilih untuk diam di hadapan anak-anaknya. Jadi yang dilakukan Alice hanya menunggu hingga ibunya dengan sukarela membagikan bebannya padanya. Ia juga menjaga adiknya, berusaha menutup pendengaran Alex di setiap malam orang tuanya berselisih agar tidak terbangun.
Selama ia menunggu, Alice memperhatikan dan mencatat beberapa hal. Ibunya sekarang jadi sering melamun dan berpandangan kosong, pola makan dan tidurnya pun tidak teratur. Sementara itu ayahnya terasa semakin jauh, bukan dari jarak secara fisik namun secara batin. Hal itu tentu saja membuat Alice merasa sedih dan gelisah, beberapa kali ia akhirnya mencoba untuk membantu mengembalikan kehangatan keluarganya.
Setiap minggu ia mengajak keluarganya untuk pergi keluar rumah bersama, tak peduli ke mana pun itu. Ia berusaha mencari-cari waktu senggang setiap anggota keluarganya, mencari kegiatan yang dapat mereka lakukan bersama.
Alice memang berhasil menyatukan keluarganya, namun itu hanya bersifat sementara. Setiap kali weekend berakhir, perilaku ayah dan ibunya kembali seperti semula. Seolah-olah mereka hanya bersikap hangat di waktu tertentu, seolah kehangatan itu palsu dan dibuat hanya untuk menutupi keretakkan hubungan mereka di depan Alice dan Alex.
Cagalli dan Athrun berhasil, baik Alex, sausara-saudara mau pun kerabat dekat mereka tidak ada yang tahu. Namun mereka pun tidak menyadarinya, Alice sudah mencium keretakkan keluarganya sejak lama...
-+-+ Z + n + R +-+-
"Ibu" Alice menghampiri ibunya yang sedang merintih di sofa. "Ibu kenapa?"
"Ukh..." Cagalli memegangi perutnya. "Ibu tidak tahu, perut ibu rasanya sakit sekai..."
"Apa ibu sakit?" Alex mengusap punggung ibunya. "Apa kita akan ke rumah sakit?"
Cagalli menggeleng. "Tidak usah, sebentar lagi juga sembuh..." ucapnya. "Lagipula di luar hujan, merepotkan kalau kita ke runah sakit sekarang."
"Aku teleponkan ayah," Alice mengambil handphone miliknua di saku.
"Tidak, Alice," Cagalli menahan tangan puterinya. "Ibu tidak apa-apa."
"Ke runah sakit atau aku telepon ayah," itu bukan tawaran, tapi paksaan yang tegas dari Alice.
"Hhh, baik," Cagalli bangkit dari sofa. "Ayo, kita ke rumah sakit."
-+-+ Z + n + R +-+-
"Kau terkena maag," ucap seorang dokter pada Cagalli. "Kau sepertinya kurang tidur dan pola makanmu juga tidak terjaga akhir-akhir ini."
"Ah, iya..." jawab Cagalli. "Kesibukan membuatku kurang memperhatikan itu..."
"..." Alice hanya diam di bangku dekat pintu ruang pemeriksaan, sedangkan Alex menunggu di luar sambil bermain di taman rumah sakit.
"Ka tidak seharusnya mengabaikan hal-hal tersebut," Dokter menuliskan sebuah resep obat. "Kesehatan adalah salah satu aset terpenting manusia yang harus dijaga."
"Iya..." respon Cagalli.
"Selagi belum parah, sebaiknya kau menjaga kondisimu dengan baik," tambah dokter di hadapan Cagalli. "Jaga pola makan, istirahat secukupnya, olah raga dan hindari stress," dokter itu menyerahkan selembar kertas pada Cagalli. "Stress dapat memperparah penyakiy seseorang, Cagalli," ucap dokter itu dengan tatapan penuh arti pada Cagalli.
Cagalli tersenyum. "Iya, aku memgerti..." ia bangkit dari kursinya. "Terima kasih, Shinn."
-+-+ Z + n + R +-+-
"Uhuk, uhuk," Cagalli terbatuk di ranjang.
"Ini, lekas minum obatnya," Lacus memberi Cagalli segelas air dan obat-obatan yang harus diminum.
"Terima kasih, Lacus," ucap Cagalli. "Maaf, jadi merepotkanmu."
"Kau ini bicara apa?" Lacus menggeleng. "Kita ini saudara, wajar jika aku memperhatikanmu yang sedang sakit."
"Ibu, ingin kuambilkan sesuatu?" Alice duduk di samping ibunya.
Cagalli menggeleng. "Tidak usah, ibu tidak apa-apa," ia membelai rambut Alice. "Kenapa kau tidak main bersama Hikaru dan Alex?"
Alice menggeleng. "Aku di sini saja, mereka anak laki-laki suka kasar jika sedang bermain."
Cagalli dan Lacus tertawa kecil mendengar Alice, saat itu Athrun datang. "Cagalli, ya Tuhan..." Athrun langsung duduk di ranjang dan mencium kening isterinya. "Apa yang terjadi padamu?"
"..." Cagalli enggan untuk menjawab.
"Ibu kena maag, Ayah," Alice mewakilkan. "Tadi kami sudah pergi ke tempat paman Shinn."
Ekspresi Athrun sedikit berubah saat Alice menyebutkan nama dokter ahli langganan keluarga mereka, Alice memperhatikan itu.
"Cagalli..." Athrun mencium tangan isterinya. "Sudah kubilang, kau harus memperhatikan kesehatanmu..." ucapnya. "Kau sudah semakin kurus dan sekarang kau terkena maag..."
Cagalli tersenyum tipis. "Iya, maafkan aku..." ucapnya. "Aku akan lebih berhati-hati menjaga kesehatanku mulai sekarang."
"Cagalli?" toba-tiba seseorang masuk, Meer. "Aku dengar kau sakit?" ia menghampiri tempat semua orang berkumpul. " Oh, ya ampun... Sudah kau periksakan ke dokter?"
"Jangan cemas, Meer," kali ini Lacus yang angkat suara. "Cagalli sudah baikan, dia sudah ke dokter tadi."
"Oh, syukurlah..." Meer mengelus dada. "Aku sangat terkejut saat mendengar kabar bahwa kau jatuh sakit, Cagalli..."
Saat itu, Alice merasakan sesuatu yang aneh di dalam ruangan tersebut. Ia melihat senyum lega Meer yang palsu, Athrun yang tidak mau menatap ke mana pun selain pada Cagalli dan tatapan ibunya yang... Seolah sedang dipenuhi emosi secara mendadak.
'Apa yang sebenarnya terjadi?'
-+-+ Z + n + R +-+-
To - be - Continued
Oke, sampai sini dulu ya...
Awalnya Cyaaz mau bikin 1-shot, tapi jadinya kepanjangan...
Jadi, tunggu kelanjutan "Zala dan Hujan" di hari terakhir Event minggu ini!
Mohon dukungan dan review kalian, hontto ni arugatou...
:D
