~Be A Good Princess~

~Genre: Romance, Drama~

~Pair: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia~

~Disclaimer: Tite Kubo~


RUKIA'S POV

Menjadi seorang putri kerajaan tidaklah seenak yang kalian kira. Yah, mungkin sebenarnya kalian bisa saja meminta apa pun yang diinginkan, makan yang enak-enak, berpakaian serba mewah, dan segalanya, tapi tidak bagiku. Karena bayaran sebagai seorang putri adalah harus berperilaku baik dan sopan pada siapa pun. Aku yang memang selama enam tahun menjadi anak yatim piatu, berkeliaran di mana-mana, tidak heran kalau kelakuanku sangat nakal. Lalu, aku ditemukan oleh Kakek dan sembilan tahun tinggal di mansion mewah ini. Kuchiki Rukia, itu aku, cucu dari Raja Kuchiki Ginrei, dan tinggal di Inggris. Ya, kerajaan… Inggris.

Sesuai yang kubilang tadi, aku sudah menjalani hidup di sini selama sembilan tahun, dan itu tidak mengubah apa-apa dari diriku. Maksudku, Kakek sudah menetapkan Shiba Kaien sebagai calon tunanganku, dan Kakek juga menyuruh Kaien untuk mengajariku bagaimana berperilaku sopan dan anggun layaknya seorang putri. Sayangnya hasil yang diperoleh nihil. Kelakuan lama sulit hilang, bukan?

"Rukia, kamu harus sekolah," itulah yang setiap kali harus kudengar dari mulut Kakek, saat aku lewat di depannya atau tidak sengaja mengobrol dengannya. Dan tentu saja jawabanku atas pertanyaan Kakek selalu sama, tidak pernah berubah, dan singkat.

"Tidak."

"Tapi, Rukia, kamu suatu saat nanti harus menjadi—"

"Seorang ratu kerajaan yang akan menggantikan Kakek. Oke, oke, aku mengerti. Bisakah Kakek berhenti mengucapkan kalimat itu? Aku seorang putri, aku boleh melakukan apa saja yang aku mau, bukan?"

"Iya, kakek tahu itu. Tetapi menjadi putri juga harus mempunyai pengetahuan yang luas. Bukan hanya sekedar memerintah ini dan itu, dan tidak mau melakukan apa-apa," kata Kakek dengan suaranya yang sudah bergetar karena pengaruh umur.

"Oh ya? Sekolah itu hanya membuang masa muda saja, Kek. Belajar, belajar, dan terus belajar. Aku tidak bisa bermain, tidak bisa makan kapan pun aku mau, dan itu membuang waktuku," aku mengangkat kedua tangan ke udara. Kakek kemudian terlihat sedih, ia sedikit menundukkan kepalanya dan menghela napas pelan.

"Kaien tidak akan suka mempunyai calon tunangan yang tingkat kecerdasannya lebih rendah dari seekor anjing pelacak, Rukia."

Aku langsung menaikkan kedua alisku, rahangku melorot ke bawah. "Apa?" aku berkata setengah berbisik. "Kakek… Kakek tega berkata begitu padaku? Oh iya, tentu, maksudku, Kakek bisa berbicara begitu padaku, diam duduk di sana dengan tampang tidak berdosa, dan mengatakan kalau tingkat kecerdasanku lebih rendah dari seekor anjing pelacak."

Kakek mengangguk-anggukkan kepalanya, entah ia sedang bercanda dengan mengataiku seperti ini, atau ia memang benar-benar serius. "Kau tidak mau, kan disamakan dengan seekor anjing?"

"Heh," aku tertawa meremehkan. "Daftarkan aku masuk sekolah sekarang, dan jangan kaget nanti jika nilaiku lebih BAGUS dari milik Kaien," kataku setengah menekankan. "Dan akan kubuktikan pada Kakek kalau aku tidak mirip dengan seekor anjing," aku kemudian berlalu pergi dari hadapan Kakek. Dan bisa kubayangkan sekarang Kakek sedang menahan tawa karena berhasil menjebakku.

(*)(*)(*)

"Selamat pagi, anak-anak! Pagi ini kita kedatangan murid baru, ayo silakan masuk dan perkenalkan dirimu."

Aku kemudian masuk saat guru sudah menyelesaikan kalimatnya. Di dalam kelas ini kira-kira hanya berjumlah 24 anak, sedikit sekali, dan sekarang menjadi 25 karena aku. Lalu, sesuai perintah guru tadi, aku memperkenalkan diri dengan singkat, tidak perlu berbasa-basi, karena aku hanya ingin cepat-cepat pelajaran selesai, dan kembali pulang. Lalu, guru itu memperbolehkanku untuk duduk, aku memilih tempat duduk paling pojok belakang karena kebetulan tempat duduk itu kosong, dan aku lebih suka menyendiri daripada dikenal oleh orang banyak.

Aku mengeluarkan buku catatan, baru beberapa menit pelajaran terlewati, aku merasa bosan dan ingin tidur. Tapi, kelihatannya tidak sopan jika tidur sembarangan di kelas, apalagi aku ini adalah murid baru. Tiba-tiba pintu kelas diketuk dari depan, guru itu menghentikan aktivitas tulis menulisnya di papan, dan kemudian berjalan ke arah pintu.

"Kurosaki, sudah berapa kali kau terlambat selama dua minggu ini? Sudah aku peringatkan dari awal, jika sekali lagi kau terlambat, maka kau berdiri di luar, mengerti? Nah, sekarang silakan duduk."

"Maafkan saya, Mrs. Unohana."

Aku mengangkat kepala untuk melihat ada ribut-ribut apa di depan sana. Bisa kulihat guru itu berdecak kesal, sementara satu anak laki-laki berjalan melewatinya dengan badan agak membungkuk. Kemudian aku tidak memperhatikannya lagi, karena aku sedang asyik menggambar seekor kelinci putih di atas buku catatanku. Tapi, tiba-tiba aku merasa ada seseorang sedang berdiri di sampingku, bisa kudengar napasnya memburu kelelahan. Aku pura-pura saja tidak menganggapnya ada, tapi bisa kulihat dari ekor mata, ia masih saja berdiri di sana. Apakah ini berarti aku harus keluar karena muridnya kelebihan satu?

Ia lalu menggeser keluar kursinya yang berada di sampingku, lalu duduk sambil menaruh tas selempangnya di atas meja, dan tiba-tiba ia berkata padaku, "siapa yang akan menduga kalau kau berubah menjadi sangat pendiam, Rukia?"

Aku hampir saja mencoret gambar kelinciku karena kaget. Kenapa ia mengetahui namaku? Apalagi dari caranya berbicara, seolah-olah ia sudah mengenalku dari sejak aku lahir. Kemudian aku menoleh ke arahnya, rambut citrus-nya yang jabrik, selalu terlihat mencolok dan tidak pernah berubah sejak pertama kali aku melihatnya. Bibirnya yang lebar tersenyum saat melihatku. Dan sebelas tahun yang lalu tidak ada otot-otot kekar seperti itu di tangannya. Siapa yang akan menduga kalau kau berubah menjadi sangat seksi?

Aku menelan ludah pelan, lalu berkata, "hai, Ichigo."

"Jadi, sudah berapa tahun ya kita tidak bertemu?"

"Apa maksudmu?" aku berkata setengah mentertawainya, "lupakan soal kita tidak pernah bertemu berapa tahunnya, tetapi kita sudah bertemu selama sepuluh detik."

"Dari mana kau tahu?" Ichigo mengeluarkan buku serta alat tulis miliknya.

"Jam yang memberitahuku," aku tersenyum jahil. Kemudian kami diam untuk beberapa saat. Aku cepat-cepat menyelesaikan gambar kelinciku, karena aku sudah ketinggalan dua papan catatan, sementara Ichigo sibuk menulis. Mungkin karena terganggu atau apa, ia menaruh tas selempangnya di bawah kursi dekat kakinya. Tidak ada pertanyaan aneh-aneh yang mungkin akan terlontarkan dari mulut Ichigo, seperti, 'bagaimana perasaanmu setelah mengetahui dirimu adalah cucu seorang raja?'. Dan mungkin bisa kujawab dengan, 'bagaimana perasaanmu setelah bertahun-tahun tidak bertemu denganku? Mungkin itu cukup untuk menjawab pertanyaanmu'. Kami hanya diam satu sama lain, sibuk dengan alat tulis masing-masing.

"Kau baru masuk sekolah hari ini?"

"Pagi ini, iya. Kakek yang menyuruhku untuk sekolah. Awalnya aku tidak mau, yah kau tahu, semacam menolak dengan mengatakan kalau sekolah itu membuang masa muda. Tetapi kakekku yang pandai membaca pikiran orang, mengataiku kalau kepintaranku lebih rendah dari seekor anjing pelacak," aku menghentikan ceritaku sebentar, karena kulihat Ichigo sedang berusaha menahan tawanya. Mungkin jika kulanjutkan ia akan tertawa kencang.

"Oke, lalu?" ia mendesak.

"Lalu," aku memilin-milin rambut hitamku, "aku membantah. Kau pasti mengerti, kan? Jika dikatakan seperti itu kau pasti akan membantah dengan mengatakan kalau kepintaranku tidak HARUS disamakan dengan seekor anjing. Ia juga mengatakan kalau tunanganku tidak—"

"Tunangan?" kata Ichigo setengah mengernyit. Aku yang baru mau membuka mulut untuk melanjutkan hanya kembali menutupnya. Aku kemudian menatapnya sambil menarik sudut mulutku ke atas.

"Calon tunangan," kataku sambil mengangkat kedua alis. Ia masih mengernyit sambil sesekali mengetuk pulpennya ke meja. Lalu beberapa saat ia mendapatkan kesadarannya kembali, "Oh iya, oh iya, calon tunangan, aku mengerti. Silakan lanjutkan."

Aku mengedikkan kedua alis, sedikit aneh dari caranya mengatakan 'tunangan'. "Ia mengatakan kalau Kaien tidak akan suka kalau mempunyai calon tunangan yang mempunyai tingkat kecerdasan lebih rendah dari seekor anjing. Dan karena itu juga, aku jadi kesal. Aku bisa buktikan pada kakek kalau aku bukan orang bodoh. Dan akan kubuktikan juga kalau nilaiku bisa lebih bagus dari calon… tunanganku," suaraku sedikit memelan di saat terakhir. Karena kupikir guru itu sedang melihat ke arah meja kami karena sedang mengobrol sementara ia bersusah payah menulis di depan.

Ichigo terlihat seperti sedang memproses ceritaku barusan, kemudian matanya melebar seakan baru mendapat ide yang cemerlang. "Oh, jadi kau masuk sekolah karena terpaksa? Sangat lucu, Rukia," ia tertawa renyah, seakan-akan 'masuk sekolah karena terpaksa' itu tidak ada di dalam daftarnya.

"Yeah, begitulah."

"Lalu," ia menyapu-nyapukan tangannya di atas meja kayu yang kotor karena hasil serutan pensilnya. "Calon tunanganmu ini bernama Kaien?" tanya Ichigo.

"Ya, kenapa memangnya?" aku menutup buku hasil menggambar kelinciku. Kemudian mulai membukanya di bagian tengah, untuk kembali mencatat. Tapi mataku tidak mengarah pada papan tulis di depan, aku masih menatapnya, bertanya dengan sabar apa sambungan kalimatnya.

"Di kelas dua belas? Shiba Kaien?" ia mengucapkan dengan perlahan.

"Ya, siapa lagi Shiba Kaien di sekolah ini memang?" aku berusaha menjaga nada suaraku agar tidak terdengar kesal karena kesabaranku hampir habis.

"Entahlah," Ichigo mengedikkan bahunya. "Aku… kurang menyukainya."

"Oke, bisa kau jelaskan padaku? Kau kurang menyukainya karena ia akan menjadi tunanganku, atau karena sikapnya?"

Ichigo terlihat malu untuk menjawab pertanyaanku, kelihatannya ia mencoba mengalihkan pertanyaanku dengan cara menyalin kembali catatan yang terukir di depan papan tulis putih. Dan mungkin akan mengira aku melupakan pertanyaannya, tapi bukan itu yang aku lakukan.

"Kenapa, Ichigo?" aku mendesaknya kembali.

"Aku—"

TUK.

"Aww," aku meringis sedikit bersamaan dengan spidol bewarna hitam yang jatuh ke atas pangkuanku. Begitu pula dengan Ichigo yang terlihat sedang memegang kepalanya.

"Miss. Kuchiki dan Mr. Kurosaki. Aku senang kalian bisa akur dalam waktu kira-kira," guru itu melihat jam tangannya, "dua puluh menit barusan. Tetapi aku tidak senang melihat obrolan kalian yang terlalu mengganggu suasana kelasku. Sekarang bisakah kalian berkonsentrasi kembali ke depan, karena catatan kita hari ini sangat banyak."

Aku sedikit menjambak rambutku kesal, ingin sekali aku melempar spidol hitam ini ke kepalanya. Tetapi Ichigo mengambil spidol yang ada di pangkuanku, lalu membawanya ke depan, dan memberikan pada guru perempuan itu.

"Kau tahu," Ichigo kembali ke kursinya, lalu sedikit menggaruk rambut orangenya, "jika sedang pelajaran Mrs. Unohana, kau tidak boleh berbicara, jika tidak ingin terkena lemparan spidolnya."

Aku membulatkan mulutku, mungkin mulai hari ini aku harus mencoba untuk memperlembut suaraku sehingga tidak mudah terdengar oleh siapa pun. Kemudian Ichigo mendekatkan kepalanya, dan membisikkan sesuatu ke telingaku.

"Ia pelempar yang jitu, lho."

What the hell?

(*)(*)(*)

Saat mendengar bel berbunyi dan melihat murid-murid langsung keluar kelas, kupikir ini adalah waktunya istirahat. Jadi aku pun beranjak dari kursi, membawa buku catatanku, dan kunci loker. Aku berjalan keluar kelas, menuju koridor tempat di mana loker-loker para murid berdiri berjejer dengan rapi. Nomor lokerku 014, aku mencarinya dengan jeli. Butuh waktu lama membiasakan mataku untuk melihat nomor-nomor dari stiker bewarna merah kecil yang ditempel di papan loker. Setelah menemukannya, aku langsung membukanya dengan kunci loker.

Saat sedang menempelkan kepalaku ke loker dan menatap ke kanan, kulihat Kaien sedang dikerumuni oleh para murid perempuan, ia terlihat populer di antara kerumunan tersebut. Dan itu membuatku iri. Seharusnya aku yang dikerumuni para cowok, karena akulah seorang putri yang suatu saat nanti akan menggantikan Kakek, dan memimpin negara ini. Tapi aku cepat-cepat mengenyahkan khayalanku barusan, dan membuka pintu loker.

Di dalam tidak terlalu banyak dengan aksesoris seperti renda-renda, pernak-pernik, kalung, atau gelang serba warna. Aku lebih memilih untuk mendekorasi loker dengan gambar-gambar kelinci murni buatan tanganku sendiri. Dan itu tidak membutuhkan waktu lama untuk menggambarnya. Lalu, setelah menukar buku catatanku dengan buku yang lain, aku kembali menutup loker bewarna putih itu dengan keras. Saat aku melihat ke kanan, Kaien sudah hilang. Kenapa ia tidak pernah menyapaku sesekali? Sifat itulah yang kubenci darinya.

"Oh bagus, sekarang perutku lapar, dan aku tidak mengetahui di mana kantin berada," aku menggumam kesal, melempar-lempar kunci loker ke udara, dan selalu berhasil menangkapnya walaupun aku tidak melihat.

Tiba-tiba seorang gadis yang terlihat lugu dan cantik, lewat di hadapanku dengan tampang agak resah dan tidak nyaman. Ia membawa-bawa buku di kedua tangannya, dan cepat-cepat berjalan ke arah kamar mandi. Mungkin aku bisa bertanya di mana kantin berada.

Aku mengikutinya dari belakang, warna rambutnya mengingatkanku akan langit senja yang akan berubah menjadi gelap. Ia semakin berjalan terburu-buru, mungkin mendengar suara derap langkahku yang berusaha mengejarnya dari belakang. Kenapa ia begitu ketakutan? Saat sudah sampai di depan pintu kamar mandi wanita, aku menyentuh pundaknya dan menegurnya, "hei."

"Aah!" ia memekik kaget sambil menutup wajahnya dengan buku yang ia pegang.

Aku langsung mengambil langkah mundur karena mungkin aku menakut-nakutinya dengan berjalan dari belakang. "Maaf mengagetkanmu, aku tidak bermaksud seperti itu."

Ia kemudian menurunkan buku yang menutupi wajahnya, matanya terlihat ketakutan saat melihat wajahku. Kemudian ia tersenyum walaupun agak sedikit terpaksa.

"Iya, tidak apa-apa. Kenapa? Ada perlu apa dariku?"

"Sebenarnya begini," aku menelungkupkan jari-jariku. "Aku hanya ingin bertanya kantin ada di mana, ya?"

Gadis itu diam sementara, terlihat linglung jika aku tidak salah membaca raut wajahnya. Tetapi bukannya menjawab pertanyaanku ia malah balik bertanya, "kau murid baru di sini, ya?"

"Iya," jawabku singkat. Aku harap tidak ada yang ketinggalan di obrolan pertamaku kali ini dengan orang lain.

"Oh, kalau begitu salam kenal!" wajahnya langsung ceria. "Namaku Inoue Orihime. Senang berkenalan denganmu, um…."

"Oh iya! Rukia, namaku Kuchiki Rukia. Senang berkenalan denganmu juga," aku langsung menjabat tangannya yang sedari tadi terulur di hadapanku. Ya ampun ternyata aku sampai lupa memperkenalkan diri. Sudah kubilang, kan, kalau sikapku tidak seperti seorang putri. Ia kemudian menarik kembali tangannya, lalu berkata lagi padaku, "kau ingin ke kantin?"

"Iya, kau mau mengantarku? Aku murid baru, jadi tentu saja tidak tahu di mana kantinnya."

Orihime terlihat ragu untuk menjawab. Ia menggosok-gosok tangannya di sampul buku. Kami diam cukup lama di dalam kamar mandi. Aku juga bingung mengapa harus mengobrol di sini, sementara di luar udara masih lebih segar daripada di dalam kamar mandi.

"Baiklah, Rukia," ia tersenyum. Kemudian aku langsung menariknya keluar dari sana, dan membiarkan Orihime yang memandu jalannya. Tapi, ternyata sebelum menuju kantin, ia harus memasukkan bukunya dahulu ke dalam loker miliknya. Lalu, kenapa ia tadi ke kamar mandi? Sebenarnya yang sedang linglung itu Orihime atau aku, sih?

"Kenapa… wajahmu terlihat ketakutan seperti itu?"

Orihime terdiam, aku tidak bisa melihat raut wajahnya karena kepalanya yang masih berada di dalam loker.

"Maksudku bukan saat aku mengejarmu dari belakang dan sempat mengagetkanmu. Tapi, sebelum itu. Aku melihat kau begitu tergesa-gesa berjalan ke kamar mandi, dan…."

"Mereka akan terus mencemoohku," Orihime langsung cepat-cepat menutup loker miliknya dan memasukkan kunci ke dalam saku roknya. Kemudian ia menarik tanganku, dan aku membiarkan diriku sendiri ditarik olehnya. Tentu saja karena aku sudah sangat lapar.

"Apa yang kau maksud dengan 'mereka'? Dan kenapa 'mereka' ini berani mencemoohmu?" tanyaku, berusaha menarik tanganku dari cengkeramannya dan berjalan dengan normal.

"Aku—"

"Hei, di sini kau rupanya."

Lima orang gadis dengan dandanan yang cukup membuatku tidak berkedip selama beberapa detik, berjalan ke arah kami. Langkah derap kakinya sama sekali tidak membuat suara, seakan mereka sudah terlatih selama bertahun-tahun untuk berjalan di atas udara. Orihime yang berdiri di sampingku sedikit memundurkan langkahnya. Aku menatap kelima gadis itu satu persatu. Bisa kubilang, gaya berdandannya cukup fancy untuk umur anak-anak SMA seperti kami.

"Kenapa kau ada di sini? Bukankah sudah kukatakan kau harus bertemu dengan kami saat istirahat pertama?" gadis itu menegur. Tepatnya menegur Orihime, bukan aku.

"Aku harus—"

"Apa? Mencoba kabur bersama gadis pendek ini, dan mengatakan pada kami kalau kau melupakan apa yang barusan kukatakan tadi pagi, begitu bukan? Dan lagipula…."

Gadis berkuncir dua itu memandang dengan sinis ke arahku. Seolah sedang melihat serangga yang menjijikkan yang mungkin akan menggerogoti pakaian mewahnya. Aku balas memandangnya. Tidak diragukan lagi kalau para perempuan ini mempunyai selera percakapan yang buruk.

"Siapa dia? Murid baru? Tidak kusangka kau malah menjerat orang lain hanya supaya kau mendapat teman. Kasihan, kan dia. Tidak tahu apa-apa, tapi sudah harus berteman dengan perempuan konyol sepertimu," kata gadis itu sambil tertawa puas. Teman-temannya yang lain pun tertawa keras sepertinya. Kecuali satu orang yang menatap kami seperti sedang melihat seorang anak yatim piatu yang kehilangan, memakai kerudung merah, mengemis di bawah lampu jalanan, serta dihujani oleh badai salju.

"Jangan berbicara seperti itu, cewek bodoh," ujarku cepat-cepat. Seketika itu juga tawa menggelegar mereka berhenti. "Bisa kuakui wajah kalian cantik, dan mungkin bisa menarik perhatian beratus-ratus lelaki. Tetapi jangan menghina gadis yang lebih cantik dari kalian. Dia tidak mencoba untuk menjebakku sehingga aku ingin menjadi temannya, tetapi aku yang mencobanya. Aku hanya ingin bertanya di mana kantin berada. Dan kalian sudah menghalangiku untuk sampai ke sana. Sekarang, minggir!" aku langsung mengibaskan tangan kananku di hadapan mereka. Tidak peduli kalau mungkin mereka akan mentertawaiku, mencemoohku, atau pun mengejekku yang macam-macam. Yang penting aku harus sampai ke kantin sebelum bel istirahat usai.

Mereka memasang tampang yang lebih menyebalkan lagi. "Oh ya? Memangnya siapa kau? Sikapmu sombong sekali. Dengar ya, anak baru, jika berani berbuat macam-macam, kami akan memberimu HADIAH yang menarik," kata gadis itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke depan wajahku.

"Lalu?" aku menegakkan tubuhku. "Tepatnya HADIAH MENARIK apa yang akan kau berikan padaku, Nyonya Besar?" aku menekankan setiap suku kata, dan mendekatkan wajahku hingga kami saling menatap dengan jarak yang cukup dekat.

Ia sambil berdecak kesal menjauhi wajahku, "kau lihat saja nanti, Pendek!" lalu mereka berjalan pergi dari kami berdua.

"Siapa mereka sebenarnya?" tanyaku pada Orihime yang masih diam di tempat, ia sedikit menundukkan kepalanya.

"Mereka geng perempuan yang paling terkenal di sekolah ini. Yang tadi berbicara denganmu bernama Dokugamine Riruka, ia pemimpin geng perempuan itu. Mereka sangat bagus di bidang kesenian, terutama bagian Modern Dance."

"Oh," ujarku. "Jadi mereka itu geng-geng perempuan yang hebat modern dance, begitu?"

"Iya, setiap ada pentas seni, mereka pasti selalu terpilih untuk tampil. Dan pasti selalu mendapatkan peringkat satu, bahkan melawan tim dari sekolah lain. Mereka sangat hebat, sungguh. Hanya saja… kelakuan mereka yang sangat buruk," Orihime dan aku kembali berjalan ke kantin.

"Begitu, ya?" aku pura-pura bertanya walaupun sebenarnya kelakuanku tidak berbeda jauh dengan mereka. Tapi, tentu saja mereka lebih menyebalkan. Dan karena itulah Kakek terus mencoba untuk mengubah sikapku.

"Iya. Kalau begitu, ayo cepat kita ke kantin, waktu istirahat sebentar lagi selesai," Orihime berkata dengan nada riang, tapi sebenarnya aku bisa melihat masih ada yang disembunyikan darinya. Apakah ini berarti aku harus belajar Kung-Fu atau Karate, supaya bisa melindungi diri dari mereka?

~TO BE CONTINUED~


Halo semuanya, Shizu membawa fic baru, yang lagi-lagi, berlatar di Eropa, sama kayak fic saia yang judulnya 'Medium'. Ehm, iya, jadi, apa masih ada yang bingung sama alurnya? Atow mungkin ada beberapa kalimat yang salah, sehingga harus dikoreksi? Oke, mohon Reviewnya ya dari kalian. Dan mohon maap jika ada yang salah *kayak pidato aja* Sampai bertemu lagi di chapter 2!