"Kau punya, Sasori. Rumah kita."
Kata-kata itu terngiang di telinganya. Dan anehnya—ia menyukainya.
.
.
"Hmm.." ia memejamkan mata, dadanya terasa ringan. "Mungkin.."
Ebizo tersenyum.
"Cepat sembuh, ya."
Anomali
A sequel to "Katalis"..
Genre: Friendship/Drama
Rate: T
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Setting canon yang dimodifikasi, OOC (mungkin), romance tersembunyi. Opening chapter.
Disarankan untuk membaca chapter kali ini sambil mendengarkan lagu Ikimonogakari – Kaeritakunatta Yo. Selamat membaca!
.
I regret being so useless, its bad because i know it
as i can't become any stronger, i just endured on with my eyes closed..
.
.
Look, i can almost see it now
.
(Ikimonogakari - Kaeritakunatta Yo)
.
Gadis berambut merah muda itu tengah mencari-cari di ruang obat, sembari menaiki sebuah tangga kayu. Setelah menemukan obat yang diinginkannya, ia segera menuju ke ruang 1412.
'CREK'.
"Kau sudah bangun rupanya," gadis itu melayangkan senyum ramah pada sang pasien berambut merah yang tengah menatap menerawang ke wadah infus. Pasien itu melirik sesaat, sebelum kemudian larut kembali dalam pikirannya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sakura sembari mengambil tempat di sampingnya. Ia mengeluarkan termometer, dan mulai mengukur suhu badan laki-laki berambut merah itu.
"Hidup..dan masih bernafas," ia menjawab perlahan. Iris hazel itu mengerjap dua kali.
Sakura mengernyitkan keningnya. "Hei, sepertinya sarkasmemu itu belum hilang juga ya," gumamnya sambil tertawa kecil. Sasori meliriknya tanpa mengatakan apa-apa. Gadis berambut merah itu mengecek angka pada termometer, dan tersenyum.
"Hmm..baguslah. Suhu badanmu sudah mulai turun," katanya senang. Sasori menghela nafas pelahan.
"Kau.." ia memejamkan matanya sesaat, sebelum kemudian membukanya lagi, "tidak takut..padaku?"
Sakura mengangkat alisnya tinggi.
.
Sebelum kemudian sebuah tawa renyah meluncur dari bibir gadis itu.
"Haha..hm, tentu saja tidak." Ia menghentikan tawanya. Sasori mendelik. "Mengapa aku harus takut padamu?"
Kali ini giliran sang pasien yang menaikkan alisnya. "Karena aku ini kri..minal. Pengkhianat," ia menyeringai tipis. "Kau ini bodoh atau..apa, bocah?"
Sakura membalikkan badannya, dan mulai mengambil obat. "Hm, aku tak peduli," gumamnya sembari membuka tablet itu. "Kalau kau mau membunuhku, kau bisa melakukannya dari kemarin—di saat kita hanya berdua di sel gelap itu." Ia tersenyum seraya mengangkat bahu.
Laki-laki berambut merah itu memalingkan pandangannya. "Ah, begitu ya.." ia memejamkan mata. Ekspresinya tenang.
'Bocah ini..apakah dia benar-benar tulus? Cih, mungkin saja ia hanya ingin memanfaatkanku.'
Ia membuka matanya lagi, dan segera menepis prasangka itu dari pikirannya.
.
If I follow my shattered memories
I can even go back to that time..
.
.
—Like a boy one day.
.
Kazekage muda itu terdiam, sebelum kemudian meraih gagang pintu di depannya dengan perlahan. Ia menepis rasa ragu di dadanya yang sesaat hinggap.
'KRIEET'.
Pintu kamar 1412 itu terbuka, menyingkapkan pemandangan seorang pasien yang tengah tertidur setengah terlelap di atas sebuah ranjang berseprei putih. Bunyi cairan infus yang menetes konstan memecah keheningan di ruang itu.
Kriminal itu tersadar mendengar suara gemerisik di dekatnya, dan membuka mata.
"Kau?"
Gaara mengambil tempat di sampingnya tanpa mengatakan apa-apa. Untuk sesaat, keduanya hanya terdiam dalam hening, larut dalam pikirannya masing-masing.
"Senang melihat kau tidak mati,"gumam pemuda berambut merah itu samar, tetapi telinga sang pasien menangkapnya.
"Aku terharu," balasnya pendek sembari melirikkan iris hazelnya sekilas pada pemuda di sampingnya.
"Sepertinya, aku menggunakan metode penyiksaan yang salah," sambung Gaara—iris jeruk nipisnya selintas memandangi keadaan sang kriminal itu.
"Cih," Sasori memejamkan matanya, sebelum kemudian membukanya lagi. "Tidak juga."
"Hmm.." pemuda berambut merah itu menatap kriminal di depannya dengan seksama. Sebuah sorot bersalah tampak di matanya, meskipun kilatan itu dengan cepat hilang dalam sekilas.
"Aku berhutang nyawa pada Nenekmu."
Kriminal berambut merah itu melirik singkat pada Gaara, sebelum kemudian membuang pandangannya ke langit-langit. "Yang sudah berlalu..biarlah berlalu."
Gaara menatapnya dengan hati-hati. "Sebagai kriminal, kau ini cukup aneh."
"Mungkin."
Hening yang menenangkan melingkupi ruangan itu untuk sekian menit. "Aku mempunyai pesan untukmu, Sasori. Dari Kankurou."
Sasori mengangkat alis. "Sebaiknya dia berhenti mengaku-ngaku jadi penggemarku," bisiknya datar. Ia tak habis pikir. Pasti ada yang salah dengan kepala bocah itu.
Gaara tak mengatakan apa-apa, hanya mengeluarkan sebuah gulungan dari sakunya. Diserahkannya gulungan itu pada sang pasien.
Pasien berambut merah itu mengambilnya, dan membukanya hati-hati seakan itu adalah bom yang bisa meledak kapan saja. Dibacanya pesan di gulungan itu—sebelum kemudian melipatnya kembali dan menatap Gaara lekat-lekat.
"Hei, bocah. Bisa aku minta supaya eksekusiku dipercepat?"
.I want to run away from my impulses,
—But before I can, my excuses get in the way..
.
Ketika Sakura tengah berpatroli di lorong rumah sakit sambil memegang lentera, gadis berambut merah muda itu mengangkat alisnya melihat sebuah kamar di persimpangan yang lampunya masih menyala.
Ia menghela nafas, dan melangkah maju untuk membuka pintu kamar itu.
Seorang pasien yang mengenakan piyama berwarna putih yang kebesaran, tampak sedang duduk setengah bersandar di ranjang. Sebuah buku terdiam di pangkuannya.
"Konban wa, Sasori," sapa gadis itu ramah, sedikit heran melihat sang pasien yang belum tidur.
"Hm."
"Kau membaca buku apa?" ujar Sakura mencoba berbasa-basi. Sasori mengangkat wajahnya, dan menatap gadis itu.
"Anhedonia dan Cara Mengatasinya," gumamnya pendek. Iris jeruk nipis milik Sakura melebar.
"Anhedonia?"
Pasien berambut merah itu membalik selembar, sebelum kemudian menyentuh dagunya perlahan. "Istilah psikologi..hm."
"Apa artinya?"
Kali ini Sasori kembali mengangkat wajahnya, dan menatap gadis itu lekat-lekat. "Ketidakmampuan untuk merasakan perasaan..senang, atau kehilangan minat..pada hal-hal yang sebelumnya disukai," jelasnya singkat. Ia kembali mengalihkan pandangannya ke buku itu.
"Oh..begitu." Sakura menganggukkan kepalanya. Ia memang tak begitu mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan psikologi. Gadis berambut merah muda itu tersenyum pada sang pasien.
"Mau kuambilkan teh?" tawarnya ramah.
Sasori menandai bukunya, dan menaruhnya di samping bantal. Ia menatap Sakura dengan pandangan keheranan.
"Oh ayolah, ini rumah sakit—dan pasien boleh meminta makanan atau minuman jika mereka lapar," gumamnya tak sabar. Lelaki berambut merah itu mengangkat sudut bibirnya melihat reaksi Sakura.
"Hm..baiklah." Ia menyetujui. Sepuluh menit kemudian, secangkir teh hijau hangat tergenggam di tangannya.
"Terima..kasih," bisiknya pelan, dan ia mulai menghirup teh itu perlahan. Iris hazelnya menerawang menatap langit-langit.
"Hei," panggil Sakura memecah keheningan. "Boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" tanyan gadis itu ragu.
Sasori menaruh cangkirnya. "Hm?"
"Apakah.." gadis itu terdiam sejenak, "itu sebuah keuntungan bagimu..memiliki wajah yang tak pernah menua barang sedikitpun?" tanyanya hati-hati.
.
Sasori memejamkan matanya perlahan, sebelum kemudian membukanya lagi.
"Mungkin." balasnya samar. "Keindahan yang tidak pernah berubah barang sehari pun.." nadanya memudar.
Hening sesaat melingkupi ruangan itu.
Laki-laki berambut merah itu meletakkan tangannya di dahi, kepalan tangannya menutupi matanya. "Tapi.." ia tersenyum tipis, "aku ingin tahu..seperti apa wajahku yang sebenarnya," ia menunduk, memandangi selimut di pangkuannya.
.
Sakura terdiam. Ia tak tahu harus menjawab apa.
Sasori mengangkat kepalanya. "Mau mencoba..memiliki sel yang beregenerasi lambat seperti ini?" tawarnya hampa. Gadis berambut merah muda itu tersentak sesaat.
"Huh," ia mengangkat bahu. "Tentu tidak. Kurasa wajahku akan semakin dewasa seiring berjalannya waktu," gumamnya sembari membereskan obat di samping tempat tidur.
Laki-laki berambut merah itu tersenyum samar. "Hm..," ia bergumam, sebelum kemudian menyeringai tipis. "Dasar wanita.."
.
I want to live a straight life
I just want to live a straight life—
.
.
..Like that boy that day.
.
Ini sudah hari ketiga semenjak ia dirawat di rumah sakit. Badannya masih terasa nyeri dan belum bisa digerakkan sepenuhnya. Ebizo sesekali datang berkunjung, membawakan buah atau makanan kecil untuk pasien berambut merah itu.
Tapi suatu hari, lelaki tua itu datang berkunjung sembari membawa sebuah gulungan, dan dua buah gelang dari aluminium. Ia mengambil tempat di samping Sasori, dan memasangkan gelang itu di masing-masing lengannya.
Sasori hanya memerhatikan dalam diam. Rasa hangat yang aneh menjalari tangannya.
"Gelang penyegel chakra," jelas lelaki tua itu samar, "maaf, tapi ini untuk mencegahmu melakukan tindakan yang berbahaya."
Laki-laki berambut merah itu memejamkan matanya. 'Siapa juga yang mau membunuh orang dalam keadaan seperti ini?'
Dibukanya gulungan itu, dan ia meraih pergelangan tangan Sasori. "Pejamkan matamu," perintahnya pelan.
Pasien berambut merah itu memandangnya dengan tatapan bertanya-tanya, yang disambut oleh sebuah senyuman tipis oleh Ebizo.
"Ayo pulang," ujarnya hangat.
Sasori terpaku—sebelum kemudian pandangannya mengabur, dan kepalanya terasa pusing.
.
.
Begitu ia membuka matanya lagi, bukan pemandangan rumah sakit dan kamar rawat yang dilihatnya, melainkan teras terbuka di depan sebuah rumah.
Ebizo berpaling ke arahnya, dan tersenyum.
"Okaerinasai, Sasori."
Laki-laki berambut merah itu tercekat, sebelum kemudian menyandarkan badannya yang terasa nyeri di dinding. Wajahnya memanas.
Setelah semua hal yang terjadi setelah sekian lama ini, mungkin ia masih memiliki sebuah tempat dimana separuh jiwanya tertinggal disana. Tempat ketika kau merasa aman dan terlindungi.
Ia menghela nafas.
Sekuat apapun dirinya, ternyata ia juga menginginkan sebuah tempat untuk kembali.
'Okaerinasai, Sasori.'
Kata-kata itu terngiang di telinganya, bagai secercah sinar matahari yang mencairkan salju yang membeku. Ia mengepalkan tangannya, dan menaruh kepalan tangan itu di kelopak matanya yang menghangat.
Jika saja ia masih diberi kesempatan untuk mengulang semua hal yang telah terjadi..
Ia menoleh ke samping. Dipandanginya lelaki tua itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Terima..kasih"
.
—Dan untuk saat ini, itu sudah cukup.
Matahari Suna yang terik bersinar menyengat di atas kepalanya. Tapi, ia tak memedulikan hal itu..
Karena, untuk kali ini—hatinya terasa hangat.
.
Now I realize
There's so much more to feel
And my heart knows it's real
The part of me, so long forgotten,
Is calling, and this feels like home
Home, home,
.
.
Feels just like home..
.
(Brother Bear OST - Feels Like Home)
.
.
.
Bersambung..
.
Catatan Penulis: Hai minna~ ^^
Sesuai permintaan kalian, sekuel dari "Katalis", sudah dibuat. :3
Semoga kalian menikmatinya, ya. :)
A/N: Saya sedang mengadakan sebuah polling kecil-kecilan. Info lebih jelasnya, silakan lihat di profil ya. ^^
Kepada semua pembaca yang telah mengikuti "Katalis" sampai selesai, terima kasih banyak.
Review dan komentar kalian sangat berarti untukku. :') *usapairmata* #jdek
.
Terima kasih sudah membaca. Bagaimana kesan kalian terhadap chapter pembuka ini? :D
