"Cukup aku, pelukan, dan kecupan. Kau sudah bisa tertidur."

Cassandra Present…

Kiss &Hug

.

.

.

Cast : Byun Baekhyun, Park Chanyeol

Disclaimer : All belongs to God

Rating : T

Warning:

boy x boy, typo(s), absurd, etc

.

.

.

Please take your own risk

11.52 PM

AKU menghela napas keras-keras ketika melirik jam dinding di samping atas tempat tidur. Insomnia menyebalkan itu datang lagi.

Aku tahu kalau aku tidak akan mempunyai waktu untuk beristirahat lebih malam ini. Semuanya terenggut begitu saja, sedangkan lingkaran hitam di mataku sudah tidak bisa memberikan toleransi. Dan aku mengerti bahwa aku harus melewati insomnia ini sendiri ketika kepalaku menoleh ke samping, aku mendapati Chanyeol yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka.

Aku tidak ingin menjadi egois yang akan membangunkan Chanyeol hanya untuk menemaniku. Aku pikir, manusia mana yang rela beberapa jam berharga mereka menghilang hanya untuk menemani seseorang yang terkena insomnia sedangkan jadwal untuk besok sangatlah padat. Rasanya ingin sekali kubakar seluruh jadwal kami lalu membuang abunya ke Sungai Han.

Apalagi, jika aku mengingat manajer hyung yang akhir-akhir ini mulai mengeluh dengan ketidakseriusanku dalam latihan.

Bukannya aku tidak serius, hanya saja aku tidak pernah merasa selelah ini selama 22 tahun hidupku. Tidak ada yang tahu bahwa setiap jam 2 pagi, aku harus menghitung hingga beribu-ribu domba demi membuat rasa kantukku kembali berkumpul. Jadi, membakar jadwal sekalipun tidak akan ada gunanya. Itu tidak akan bisa membuat insomnia ini berhenti.

"Ah, Ya Tuhan…" aku berbisik pada udara kosong disekelilingku. Mungkin aku memang harus meminum segelas susu lalu menghitung domba lagi malam akan sedikit membantu, setidaknya.

Dan dengan langkah mengendap, pintu kamar berhasil kulewati. Segelas susu yang kuambil di kulkas sudah tersisa setengah ketika tiba-tiba saja Chanyeol duduk disebelahku kemudian mengecup pipiku.

"Oh, Yeol? Kau terbangun?" bisikku, lebih rendah dari sebelumnya.

Tapi Chanyeol hanya terdiam, tidak menyahut ucapanku. Ia malah mendekatkan wajahnya, seolah-olah ingin menciumku. Tubuhku bergerak-gerak gugup saat Chanyeol menarikku mendekat.

Pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalaku sementara tangannya sudah berada di pinggangku—memenjara tubuhku. Aku merasa ada yang berbeda dari Chanyeol malam ini. Dia tidak terlihat seperti Chanyeol yang biasanya. Bahkan aku tahu Chanyeol bukanlah tipe orang yang suka memberi kecupan di bibir. Tapi…

Oh, masa bodohlah! Sorak sisi lain dalam diriku, merasa kegirangan. Kepalaku dipenuhi oleh wangi napasnya. Kututup mataku rapat-rapat saat merasakan napas hangat Chanyeol yang teratur bersentuhan dengan kulit pipiku.

Hingga akhirnya…

"Aduh!" aku berteriak kemudian mendelik.

Kuusap hidungku yang mungkin memerah dengan bekas gigitan Chanyeol yang tercetak di kulit hidungku. Dia jelas-jelas an. Aku dikerjai lagi. Sudah kuduga dia itu raksasa kurang ajar yang suka membuat ulah. Tidak bisa ya, dia bersikap manis sekali saja?

Aku terus menggerutu di dalam hati sedangkan mataku memandangi hazel Chanyeol dengan jengkel.

"Seharusnya aku yang bertanya, Nak. Kau kenapa belum tidur? Ini sudah jam berapa?" ujarnya. Lambat, penuh penekanan.

Aku mengerang, lalu terdiam lama sekali. "Aku tidak bisa tidur," gumamku akhirnya. Masih merasa jengkel.

Chanyeol memerhatikanku sambil tersenyum miring. Kubalas pelototi dia. Dan saat aku merasa jengah, tangan Chanyeol mengawang, hampir mengenai dahiku. Tapi aku buru-buru beringsut menjauhinya sambil menepis tangannya.

"Aduh, galak sekali," komentarnya. Suaranya mengandung senyum error yang menyebalkan.

"Sudah. Pergi sana." Aku mendorongnya hingga Chanyeol hampir terjatuh dari sofa. Tapi aku lupa, tangannya masih berada di pinggangku.

Aku benci mengakuinya. Chanyeol menang lagi.

Perdebatan konyol ini berakhir dengan aku dan Chanyeol yang terjatuh di lantai diikuti bunyi berdebum keras.

Oke, cukup. Park-sialan-Chanyeol ini sudah menghancurkan semuanya. Kalau dia menghampiriku hanya untuk membuat moodku bertambah buruk, dia berhasil. Dia hanya tinggal menungguku berteriak hingga membangunkan seluruh member lalu mendapat gilirannya dimarahi Suho hyung sampai-sampai aku lelah menertawakannya. Pasti aku akan puas sekali. Tentu, tentu saja.

"Oh, Baek. Kau berat." Suara erangan Chanyeol membuatku harus berhenti melakukan aktivitas 'mari-siksa-Park-Chanyeol'dengan caraku sendiri. Baru tahu dia, aku berat.

Buru-buru aku bangkit dari tubuhnya kemudian memalingkan wajah. Aku benar-benar malas melihat wajah sok menggodanya yang menyebalkan.

"Simpan saja energimu untuk besok, Yeol. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu lagi," kataku sambil berlalu melewatinya.

Kutaruh gelas susu yang kosong di konter sementara Chanyeol berada tidak jauh di belakangku. Aku bisa mendengar suara helaan napas beratnya sebelum ia berbicara, "Aku haus. Bisakah kau mengambilkan aku segelas air?" Chanyeol berkata seolah-olah aku tidak pernah mengatakan apapun padanya. Dia membuatku jengkel lagi.

Aku mengerang protes, tapi akhirnya aku berjalan melewatinya dengan kaki yang mengentak-entak kesal. Kusodorkan segelas air tepat di depan wajahnya dengan ekspresi cemberut. Chanyeol seharusnya tahu aku sedang jengkel padanya. Tapi dia tidak bisa berhenti untuk mengerjaiku. Aku benci mendengar tawa bodohnya ketika aku sudah siap-siap meledak.

"Aku tampan, ya?" Chanyeol mengelus daguku sambil terkekeh. Aku bergidik ketika aku baru menyadari Chanyeol menangkap basah aku sedang memerhatikannya. Percaya diri sekali, dia.

Dengan wajah memerah malu dan menahan kesal, aku melangkah selebar-lebarnya menuju ruang tengah. Tapi telapak tangan Chanyeol yangmemeluk pergelangan tanganku erat-erat menghentikanku.

"Kau mau kemana, Baek?" Chanyeol berbisik, suaranya berubah serak—terdengar letih.

Kuembuskan napas keras-keras saat aku melirik pergelangan tanganku yang berada di genggaman Chanyeol."Aku belum mengantuk. Kau duluan saja, Yeol," saranku. Kugerakkan tanganku, berusaha melepaskan jemari Chanyeol yang memeluk pergelangan tanganku.

Satu poin lagi yang harus aku ingat sekarang. Chanyeol itu keras kepala. Beberapa kali pun aku mencoba melepaskan tanganku darinya, dia tidak akan melepasnya sebelum aku menuruti ucapannya.

"Apalagi?" aku bertanya dengan nada malas yang kentara. Chanyeol pasti akan memerintahku seenaknya lagi. Kenapa sih, mau tidur saja harus ribut dulu dengannya?

"Jadwal besok padat. Aku tidak mau kau kelelahan."

"Aku tahu. Tapi—"

"Tidur. Sekarang juga, Baek."

Chanyeol memandangiku dengan ekspresi cemas. Aku masih bisa mengingatnya, ekspresi ini lagi… ekspresi saat Chanyeol menemaniku yang saat itu terbaring di ranjang pesakitan.

Dia tidak main-main. Chanyeol serius. Bahkan senyum bodohnya yang menyebalkan itu sudah menghilang dari wajahnya sekarang.

"Chanyeol, aku b—"

"Kembali. Ke ranjangmu. Sekarang. Juga. Byun. Baekhyun," katanya.

Aku menggerutu panjang lebar dengan wajah yang semakin tertekuk cemberut. Itu pemaksaan. Dan kalau saja aku bisa melakukannya, aku pasti sudah tertidur dan tidak akan mau menghabiskan waktuku hanya untuk melakukan perdebatan konyol dengan Chanyeol.

"Y—"

"Kau benar-benar ingin dipaksa, ya?" ancamnya. Itu ancaman, tentu saja. Well, memangnya aku takut?

Aku mendengus. "Jangan konyol, Yeol."

Chanyeol menggeleng. "Terserah apa katamu. Tapi kau harus tidur, Baek." Perlahan, Chanyeol melepaskan tanganku. Ia berdiri tidak jauh di belakangku, menumpukan kedua tangannya di bahuku kemudian berbisik. "Atau kau mau aku yang menidurimu?"

Aku berdecak. Pikiran errornya mulai lagi. Jangan pikir aku tidak tahu maksudnya.

"Idiot."

Chanyeol terkekeh. Tawanya membuatku merasa sedang dibodohi. "Well, aku anggap itu artinya iya."

Aku berjengit ngeri, "Jangan bertingkah bodoh, Park—tidak, tunggu, aku berubah pikiran. Silakan saja. Aku tidak sabar menunggumu dimarahi Suho hyu—hyaa!—turunkan aku Chanyeol!"

Lagi-lagi, ucapanku terpotong. Raksasa itu benar-benar melakukannya. Dia menggendongku menuju kamar dan tidak memperdulikan aku yang bahkan berteriak tepat di depan telinganya.

"Marahi saja. Aku tidak peduli. Memangnya Suho hyung tahu keadaanmu sekarang? Tidak, kan?" Chanyeol bergumam di kepalaku. Raut wajahnya dengan cepat berubah lagi. Bukan seperti Chanyeol yang usilnya luar biasa di atas rata-rata.

Dia kembali menjadi Chanyeol yang sangat aku sayangi.

"Kau itu bodoh, kau tahu?" bisikku di dadanya. Kedua ujung bibirku terangkat ke atas ketika mengingat lagi ucapannya. Benar, Chanyeol itu bodoh. Dia bodoh karena terlalu peduli denganku. Seharusnya dia tidak membuang-buang waktu tidurnya hanya untuk membujukku, kan?

Chanyeol tertawa masam. "Aku tahu. Kau selalu mengatakannya, Baek," ujarnya.

Butuh waktu beberapa detik sebelum aku terhenyak dengan ucapan Chanyeol barusan."Jadi kau memercayainya, heh?"

Chanyeol nyengir. Dan aku tidak kuasa untuk tidak balas nyengir.

"Tidak juga," katanya.

Aku mengerucutkan bibir saat Chanyeol menurunkan tubuhku di atas ranjang. Ia menyampirkan selimut hingga sebatas dadaku kemudian mengecup dahiku. "Tidur yang nyenyak, sayang," bisiknya.

Aku mengangguk. Kupandangi punggung Chanyeol yang mulai menjauh sampai akhirnya dia duduk di atas ranjang miliknya dan balas menatapku. "Tutup matamu, Baek," bujuknya.

Aku terdiam lama sekali sementara tanganku mencengkeram erat sisi-sisi selimut dengan gemetar. Entah kenapa, hawa dingin tiba-tiba menyergap tubuhku, membuatku merasa tidak nyaman. "Aku tidak bisa menutup mataku," desisku dari sela-sela gigi yang terkatup rapat.

Chanyeol menatapku tidak mengerti, namun sejurus kemudian ia menghampiriku lalu mengelus rambutku. "Kau kedinginan?"

Susah payah aku mengangguk. Kenapa udara bisa sedingin ini? Apa Chanyeol lupa menyalakan pemanas ruangan? Padahal sekarang sudah memasuki pertengahan musim dingin.

"A-apa kau m-menyalakan AC-nya, Yeol?" suaraku ikut bergetar. Dengan cepat, udara dingin membekukan bibirku.

"Tidak," gumamnya. "Tunggu. Biar kunyalakan pemanas ruangannya."

Chanyeol buru-buru berjalan ke sudut kamar. Tapi beberapa menit kemudian, dia sudah kembali lagi dengan wajah yang berkerut marah. "Tombol pemanasnya ngadat," geramnya.

Aku membelalak tidak percaya. "Bagaimana bisa? Benda itu baik-baik saja beberapa jam yang lalu."

Chanyeol menggeleng dengan bibir bawahnya yang mencebik. Dia mengembuskan napas keras-keras ke udara lalu menatapku. "Kalau keadaannya seperti ini, kau seharusnya bisa menumpang di kamar Kyungsoo atau Sehun. Biar kuantar kau ke sana." Chanyeol menyibak selimut yang kupakai. Tangannya ia selipkan di punggungku—mencoba membantuku untuk duduk.

"Tidak, Yeol. Aku tidak mau." Kusingkirkan tangan Chanyeol yang berada di punggungku kemudian menatap matanya. "Aku mau di sini. Aku tidak mau bersama Kyungsoo atau tidak apa-apa, kok."

Chanyeol menggaruk belakang lehernya, tampak berpikir. Beberapa detik kemudian, ia mengempaskan tangannya seolah-olah sudah memutuskan sesuatu. "Baiklah. Tapi…"

"Tapi apa?"

Chanyeol melirikku, terlihat ragu-ragu. Ia menghela napas sebelum akhirnya berbicara, "Biarkan aku yang menjadi pemanas ruanganmu sementara ini," tukasnya.

Kukerjapkan kedua mataku, masih mencerna setiap kata yang Chanyeol ucapkan.

Biarkan-aku-yang-menjadi-pemanas-ruanganmu.

Menjadi-pemanas-ruanganmu.

Pemanas-ruangan.

Aku tidak salah dengar, kan?

"Yeol, sudah kubilang aku t—"

"Minggir," katanya.

"Apa?"

"Minggirlah sedikit, Baek," perintah Chanyeol.

Kupandangi dia dengan syok. Apa pikiran errornya mulai lagi?

"T-tidak," aku berusaha memprotes.

"Jangan bodoh," tukas Chanyeol gemas. "Kau suka tubuhmu benar-benar membeku, ya?"

Chanyeol menjejalkan tubuhnya ke ruang sisa yang sesungguhnya tak ada, memaksa tubuh raksasanya cukup diisi oleh aku dan dia di ranjang yang sebenarnya hanya untuk satu orang.

Aku tidak bisa menolak lagi—karena memang tidak mau menolak. Tubuhnya hangat sekali. Kedua lengannya memelukku, mendekapku erat-erat di dadanya. Hangat tubuhnya sangat nyaman. Chanyeol meringis saat aku menempelkan jari-jariku yang dingin dengan semangat di kulitnya.

"Ya ampun, kau membeku, Baek."

"M-m-maaf," ucapku terbata.

"Cobalah untuk rileks," Chanyeol menyarankan saat tubuhku kembali bergetar kecil. "Apa jaketmu tidak cukup hangat, eum?"

Aku menggeleng dan bertanya-tanya dalam hati kenapa hal itu bisa terjadi. Aku sudah memakai jaket dan kaus di dalamnya, tapi kenapa aku tetap merasa kedinginan?Sedangkan Chanyeol, dia hanya memakai jaket yang tipis tanpa memakai kaus lagi.Tapi kenapa dia yang malah mencoba menghangatkanku?Apa dia tidak kedinginan?

"Nah," kata Chayeol, senang. "Sudah merasa lebih enak?"

Akhirnya aku bisa juga berbicara dengan lancar "Ya."

"Bibirmu masih biru," Chanyeol mengamati. "Mau kuhangatkan sekalian? Kau tinggal minta."

"Jangan bersikap bodoh," bisikku, kutempelkan wajahku ke lehernya.

Chanyeol terlonjak lagi ketika kulitku menyentuh kulitnya, dan aku tersenyum dengan perasaan puas karena sudah berhasil memberinya pelajaran.

Seluruh bagian ranjang kini sudah hangat dan nyaman. Hangat tubuh Chanyeol seakan terpancar dari seluruh sisi tubuhnya—mungkin, itu karena tubuhnya sangat besar. Kusingkirkan selimut yang membalut kakiku, dan kuselipkan jari-jari kakiku ke kakinya. Chanyeol terlonjak sedikit, tapi kemudian menunduk dan menempelkan pipinya ke telingaku yang kebas.

Kusadari kulit Chanyeol memancarkan aroma mint—sangat cocok dengan musim dingin seperti ini. Aku jadi penasaran, apa yang membuat Chanyeol bisa tahan dengan udara sedingin ini tanpa pemanas ruangan. Sebab kupikir tubuhnya hangat sekali.

Hujan mengamuk seperti mesin roda yang menderu, tapi itu tidak lagi membuatku khawatir. Semua member tidak lagi berada di hawa luar yang dingin, begitu pula dengan aku dan Chanyeol. Aku bersyukur karena jadwal hari ini tidak akan sepadat jadwal di hari-hari berikutnya.

Tambahan lagi, aku terlalu lelah untuk khawatir dengan hal-hal lain—capek karena sudah selarut ini aku belum juga tidur, dan seluruh tubuhku sakit-sakit karena ototku kejang-kejang. Tubuhku lambat laun menjadi rileks saat kebekuan mulai mencair, sedikit demi sedikit, kemudian berubah lemas.

"Yeol?" gumamku dengan suara mengantuk. "Boleh aku menanyakan sesuatu?"

"Tentu," Chanyeol terkekeh, bibirnya mengecupi telingaku.

"Mengapa kau tidak merasa kedinginan? Kau bahkan memakai jaket yang tipis tanpa dilapisi kaus di dalamnya." Aku tidak tahu bagaimana caranya Chanyeol bisa merasa tetap hangat seperti ini.

"Mungkin karena aku sudah terbiasa," jawab Chanyeol enteng.

"Begitukah?" tanyaku lagi. Secercah nada tidak percaya meluncur begitu saja dari mulutku.

"Sepertinya sih begitu. Memangnya kalau aku menjawab karena ada Byun Baekhyun di sampingku kau akan percaya? Paling-paling, kau akan menyebutku si idiot lagi," katanya.

Aku tersenyum geli. "Bodoh," gumamku. "Teori macam apa itu?"

"Teori," dengusnya. "Kau seharusnya bisa membedakan antara teori dan kejujuran."

Aku terkekeh. "Well, mungkin itu lebih tepat disebut percobaanrayuan yang gagal dibandingkan kejujuran."

"Ayolah, Baek," rengeknya.

Kali ini, aku tidak menyahut perkataan Chanyeol. Aku tidak berniat menarik ucapanku yang Chanyeol memang seperti itu sejak dulu. Dia memang suka menggodaku, membuatku tiba-tiba gugup dihadapan semua orang terutama Chanyeol sendiri.

"Kau mengantuk, Baek?"

Aku mengangguk semampu yang aku bisa. Kutempelkan wajahku di ceruk lehernya sambil memeluk tubuhnya erat-erat. Suara embusan napasnya yang teratur membuatku merasa nyaman dan lebih rileks sementara bibirnya masih mengecupi telingaku hingga menjalar ke bagian pipi.

Bibir Chanyeol yang hangat membuat telingaku yang semula kebas, sekarang menjadi hangat lagi. Bahkan jauh lebih hangat dari yang sebelumnya pernah aku rasakan. Dan saat kesunyian semakin panjang, kelopak mataku terasa berat dan akhirnya tertutup, tarikan napasku semakin lambat dan teratur.

"Ya benar, sayang, tidurlah," bisik Chanyeol.

Aku mengembuskan napas, merasa senang, sudah separuh tidak sadar.

"Tidur yang nyenyak, B," gumamnya lagi. Tangannya mengelus rambutku pelan-pelan sambil sesekali bergumam, seolah-olah aku sedang dininabobokan olehnya.

Di luar, angin memekik-mekik di sela-sela pepohonan, mengguncangnya seperti gempa bumi. Lengan Chanyeol memelukku lebih erat lagi dengan sikap protektif. "Kau tidak perlu menghitung domba lagi mulai sekarang. Cukup aku, pelukan, dan kecupan kau sudah bisa tertidur," bisiknya dengan tawa tertahan. Mungkin dia merasa geli dengan ucapannya barusan.

Suasana akhirnya sunyi, setidaknya di dalam kamar kami. Usapan tangan Chanyeol semakin melambat seiring dengan suara desah napasnya yang teratur di telingaku.

Betapa anehnya saat ini. Aku merasa seperti sedang bermimpi, tapi aku tidak bisa bangun dan memastikan apakah aku benar-benar bermimpi atau tidak sementara aku sendiri masih berusaha untuk keluar dari mimpi aneh ini dan masuk ke dalam mimpi yang lebih masuk akal…

.

.

.

The End

Mind to Review?