Pairing: ArimaxKaneki/Haise

Warning: NSFW; BoyxBoy; OOC

Note:

1. Saya mencoba mengembangkan karakter Arima versi saya jadi mohon maaf kalau Arima terlihat Out of Character disini.

2. Saya merubah letak luka yang didapat Kaneki sewaktu melawan Arima di final chapter karena terlihat lebih mendukung jalan cerita.

##One Night With Arima##

.:Chapter 1:.

Hujan yang turun tak menghalangi Haise untuk menghentikan langkahnya. Petang itu, secara mengejutkan hujan turun dengan lebatnya membuat seluruh pakaian yang dikenakannya seketika basah, pelindungnya hanya jas besar berwarna putihnya yang selalu ia pakai ketika bertugas. Di bawahnya ia memakai kaos santai lengan panjang berwarna hitam dan celana cargo. Rambutnya yang mix hitam putih itu turun mengikuti aliran air hujan yang mengguyur tubuhnya. Dia seperti tidak memedulikan wajahnya yang sudah pucat itu saking kedinginannya. Ia melingkarkan tangannya ke kedua lengannya yang kuyup, terlihat seperti memeluk dirinya sendiri. Ia sangat hati-hati dalam melangkah, bukannya dia berniat menyakiti dirinya sendiri berlama-lama di guyuran hujan. Namun jalanan trotoar itu sangat licin, ia tidak mau mengambil resiko untuk mempercepat temponya hanya untuk mencelakai dirinya sendiri. Ia bisa saja terjatuh. Ia pernah terjatuh saat hujan, dan itu memalukan.

Ketika trotoar hampir berakhir Haise berbelok ke kiri memasuki salah satu pintu masuk apartemen yang tampak seram selama hujan deras mengguyur, ia memasuki lahan parkir, berlari di jalan aspal masih dengan kedua tangan memeluk dirinya sendiri, kedua telapak tangan yang tanpa perlindungan itu sangat pucat. Sesekali ia menoleh ke kanan untuk memastikan tidak ada kendaraan yang lewat atau yang hendak keluar parkir. Tak butuh waktu lama untuk meraih lobby apartemen yang memiliki atap beton diatasnya. Ia lantas berhenti, melihat dirinya sendiri masih dengan posisi memeluk dirinya, jas putihnya tampak translusen karena guyuran air hujan. Ia bisa merasakan kedua kakinya yang lepek dibalik sepatu sneaker yang dipakainya. Ia menunduk melihat ke celana kargonya yang sudah terasa berat karena tumpahan air yang terserap celananya. Di ujungnya tampak debu debu jalanan menempel. Ia menghentak-hentakkan kedua kakinya membiarkan kotoran-kotoran yang menempel pada dirinya berjatuhan ke lantai lobby. Haise menegakkan tubuhnya dan menghela napas lega. sebentar lagi aku akan jadi bahan tertawaan, pikirnya. Memasuki loby apartemen yang bersih dan nyaman dengan pakaian lepek dan sisa air hujan ditubuh bukan merupakan pilihan semua orang. Jejak kotor dari sepatumu akan tercetak jelas pada lantai gedung yang selalu berkilau dan menurut Haise hal itu mengganggu dan memalukan. Ketika kebanyakan orang-orang diruangan itu berpakaian kering lagi rapi dengan jejak kaki yang tidak terlihat seketika kamu akan menjadi pusat perhatian. Haise merasa risih, bukannya ia tidak mau di perhatikan juga namun menjadi pusat perhatian karena kekotoran dirimu hanya akan mengundang tawaan dan penasaran bagi orang lain.

Terlihat dimuka pucatnya semburat merah yang sangat tipis, ia berjalan tanpa melihat kedepan. Ia mengekap kencang kedua tangannya dan berlari dengan gesit. Ketika Haise memasuki sebuah ruangan yang berisi dua pintu lift yang salah satu pintunya sedang terbuka, ia segera bergegas dan Haise merasa bersyukur karena ia tak perlu menunggu lift turun. Di dalam lift itu ada 3 orang, satu perempuan berusia lanjut dan perempuan dewasa yang tampaknya adalah anaknya dan satu lagi anak ABG dengan headset yang menempel di kedua telinganya. Beruntung ketiganya tidak mempedulikan keberadaan dirinya.

Ia menekan tombol 9 ketika lift itu sedang berjalan naik. Ketika terdengar bunyi ting dan lampu indikator menunjuk ke angka 9 Haise turun dari lift dengan perlahan. Ia menelusuri aisle sampai berhenti didepan pintu nomor 9K. Ia menekan bel yang berada tepat di sebelah pintu. Sembari menunggu seseorang di dalam membukakan pintu Haise menelusuri aisle dengan penglihatannya. Aisle yang lantainya ternodai cetakan sepatunya yang basah itu tenggelam bersama suasana mendung pekat diluar bercampur sunyi. Bunyi klik pada pintu menghentikan imajinasinya. Dan dari balik pintu muncul seorang laki-laki yang lebih tinggi darinya, salah satu tangannya memegang kenop pintu dengan malas, sementara tangan lainnya bersembunyi di dalam kantong celana, sebuah kacamata membingkai kedua matanya yang segelap langit malam.

Bahkan di rumahnya sendiri Arima masih terlihat begitu memesona. Ia mengenakan sweater rajut berwarna hitam beroutline putih dan celana linen casual berwarna coklat yang walaupun sebenarnya ukurannya kebesaran tetap terlihat pas di tubuh pria satu ini, kakinya tertutup oleh sandal ruangan, rambutnya yang berwarna putih disisir rapi kearah kiri meskipun beberapa helai rambutnya terjatuh juga menutupi keningnya. Ekspresi stoic tetap dipertahankan meski terkejut melihat Haise dalam keadaan basah kuyup.

"Apa yang kukatakan padamu untuk membawa payung 30 menit yang lalu?" Suaranya datar dan minim ekspresi. Ia menaikkan salah satu alis putihnya.

Perkataan pria itu sontak membuat Haise jadi canggung dan keki. Perlu diketahui bahwa sebelumnya Arima mengirimkannya sebuah pesan yang menyarankan agar ia membawa payung. Namun Haise tidak menggubrisnya karena jarak dari apartemennya ke apartemen Arima tidak begitu jauh dan hujan masih rintik-rintik 15 menit yang lalu.

Arima menarik dirinya sendiri dari pintu untuk membiarkan Haise masuk, Haise dengan ragu melangkahkan kakinya dan membiarkan sepatunya menodai lantai apartemen yang mengkilap itu. Arima menghilang melalui sebuah pintu dan kembali sambil membawa handuk putih besar di tangan kanannya.

"Buka jasmu, biarkan saja di ember itu." Ia memerintahkan sambil mengedikkan kepalanya ke arah ember polos berwarna hijau yang memang berada ditempat itu.

Haise dengan patuh membuka jasnya, ia berusaha melepas kancing-kancingnya satu persatu dengan sebelah tangannya sementara tangannya yang satu lagi memeluk perutnya seolah tengah menggendong sesuatu. Ketika kancingnya sepenuhnya terbuka tampak kaos hitamnya yang sudah basah dan didepan dada terlihat kertas bungkus makanan berukuran medium yang juga sudah basah. Ia mengeluarkan bungkusan itu dari pelukannya dan berkata sambil nyengir,

"Er, aku sempat mampir ke McDonalds." Ia merendahkan lehernya. "Aku takut kalau makan sore kita kali ini tidak lagi hangat." Sambil menyerahkan bungkusan berwarna coklat yang telah setengah basah itu kepada Arima.

Arima mengambil bungkusan itu tanpa berkata apa-apa dan menaruhnya dengan perlahan di lantai kemudian membuka lipatan handuk putih itu lalu membiarkannya menutupi muka Haise. Haise terkejut bukan main, ia merasakan tangan-tangan besar Arima meremas-remas mukanya dibalik handuk itu. perlahan tangan-tangan itu menelusuri kepalanya sambil terus mengusap serta memijat dengan lembut dan tempo yang cukup sensual, Arima memberi penekanan lembut di belakang kepalanya membuat kedinginan ditubuhnya mencair seiring pijatan-pijatan yang menghantarkan panas tubuh dewa kematian CCG itu kepadanya. Ketika handuk itu meninggalkan kepalanya Arima sedang membungkukkan badannya mengambil bungkus makanan yang sempat terabaikan.

"Mandilah dan Keringkan badanmu dengan ini sementara aku akan menghangatkan makan sore kita di microwave." Arima menyerahkan handuk itu kepada Haise lalu berjalan dengan santai dan menghilang ke dapur.

Haise terpaku di depan pintu, ia tidak dapat merepresentasikan perasaan yang ia rasakan. Ia masih bisa merasakan tangan-tangan kokoh itu mengusap dan memijatnya dengan lembut, sesekali tangan itu menekan-nekan kepalanya dibawah lapisan handuk dan sensasi yang dia rasakan sungguh bukan main. Seluruh tubuhnya bereaksi, ia bisa mendengar sendiri suara jantungnya berdetak semakin cepat, seluruh telinganya memerah, bahkan celananya terasa sempit. Haise memejamkan mata dan me-recall peristiwa yang baru berlalu selama 10 detik, mengulang saat Arima memperlakukan dirinya seperti barang pecah belah. Mengulang saat Arima memberikan Tekanan yang diberikan dengan hati-hati pada kepalanya membuat kepalanya terasa pening dan sesuatu dibawah sana menjadi "excited". Masih dengan seluruh tubuhnya yang merinding Haise membebaskan kedua kakinya dari sneaker yang masih basah. Ia melepas kaosnya yang sudah terlihat sangat layu tanpa menyadari bahwa seluruh lantai tempat sekelilingnya berdiri tergenang air yang turun dari pakaiannya. Ia melempar kaos hitamnya kedalam ember tempat jasnya menghuni lebih dulu kemudian mengalungkan handuk itu ke bahunya menutupi dada telanjangnya dan melepas celananya yang sudah sangat berat. Ketika garmen basah itu meninggalkan kaki putihnya ia bisa merasakan kembali sensasi dingin yang dihantarkan sekeliling ruangan. Dan dibalik boxer yang ia kenakan dapat ia lihat tonjolan dari dalam. Ia menegakkan tubuhnya dan menghela napas dengan sensual. Mengalungkan handuk pada pinggangya ia mengambil langkah pertamanya menelusuri apartemen Arima walaupun rasa pusing di kepalanya belum hilang. Ia berjalan dengan telinga yang memerah sampai kamar mandi kemudian menanggalkan seluruh pakaiannya dan mulai menghujani tubuhnya dengan air bersih yang hangat.

Dalam keadaan tubuh yang sudah bersih dan kering, Haise keluar dari kamar mandi dan mulai mencari si pemilik apartemen. Ia menemukan Detektif Special Class itu terduduk di sofa panjang berwarna coklat mengkilap. Sofa itu menjadi tempat duduk satu-satunya yang menghuni ruangan itu. Ketika memasuki ruangan Haise tidak dapat melihat matanya. Arima menyampirkan lengan kirinya di lengan sofa dan sebuah sebuah buku menghalangi wajahnya. Kedua kakinya menyilang dan badannya rileks. Arima yang bisa merasakan kehadiran Haise diruangan itu kemudian meletakan bukunya pada lengan sofa, mukanya terlihat datar seperti biasa. Ia menatap Haise langsung ke matanya menghiraukan kondisi Haise yang hampir telanjang. Ia tidak terlihat banyak berekspresi. Kedua bola mata hitam itu tampak tidak bergeming sama sekali hanya menatap kemana mata Haise berada. Arima mulai berkata,

"Ada beberapa baju di lemariku ambil yang menurutmu kau suka dan cocok untukmu." Dan kembali fokus kepada bukunya.

"Er, oke." Haise membalas dengan setengah hati dan bergegas memasuki pintu kamar yang sudah terbuka.

Arima bukannya pelit bicara, ia hanya termasuk dari golongan orang-orang yang lebih straight to the point. Dengan karakternya itu Arima bukannya tidak bisa membangun sebuah pertemanan dengan orang lain. Ia hanya orang yang praktis. Beranggapan bahwa banyak berbicara adalah hal yang membuang-buang tenagamu dan ia benci itu. Lagipula, hal-hal yang diperbincangkan seringkali hal-hal retorik. Sejujurnya berada dekat Arima bagi Haise seperti berada dekat dengan patung. Haise adalah orang yang periang dan selalu suka memulai topik pembicaraan. Itu sebabnya para Quinckes selalu nyaman berada dekat Haise terutama Saiko. selain itu sebagai mentor, Haise adalah orang yang cukup lembut dan adil. Yah, tidak etis rasanya membandingkan dirinya sendiri dengan pria yang di puja-puja sebagai Dewa Kematian dari CCG itu, tapi terkadang, bukan. Sejujurnya sebagai seorang murid dan mentor bahkan sebagai sesama teman yang memiliki hobi dan ketertarikan yang sama, Haise sungguh menginginkan Arima berbicara lebih dengannya. Bukannya dalam hal investigasi Ghoul dan semacamnya namun pembicaraan yang lebih intense dan pribadi. Seperti tipe wanita idaman, pada usia berapa Arima akan menikah, makanan favorit, hal-hal yang membuat Arima terlihat memalukan dan semacamnya.

Haise menutup pintu kamar Arima dengan pundak yang lesu. Kamar Arima terlihat sangat tertata dan sederhana. Percis seperti pembawaannya. Sebuah queen size bed dilapisi sprei putih polos, 2 buah bantal diatasnya,1 buah bedcover berwarna senada terlipat rapi di ujung kasur, bufet kayu jati yang mengkilat tanpa noda, 1 buah lemari 2 pintu berwarna hitam pekat dan sebuah jendela yang langsung mengarah ke tempat tidur Suasananya serba putih, modern dan simpel. Setidaknya sebagai laki-laki yang tampak tidak tertarik dengan hal-hal diluar pekerjaannya, Arima cukup pintar dalam memilih perabotan kamar. Ia berdiri di depan lemari pakaian yang terlihat kokoh itu, menelusuri label merknya dan tersenyum sendiri. Ia melempar pandangan ke sekeliling kamar, memperhatikan keseluruhan tembok. Tak ada poster, dindingnya bercat putih tanpa noda, bersih dari stiker atau wallpaper. Pandangannya berakhir disebuah kaca besar yang merefleksikan dirinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kaca itu tertempel kuat di dinding yang berhadapan tepat dengan lemari. Sejauh ini, Haise beranggapan bahwa Arima adalah orang yang cukup pandai memilih perabot dan tata letak ruangan. Mungkin, kalau ia tidak bekerja pada CCG ia akan cocok menjadi arsitek atau home decor consultant. Ia menatap dirinya yang terpantul dari cermin. Menelusuri dirinya sendiri dari rambutnya yang bergradient hitam dan putih yang masih setengah kering, mata dan bibirnya, leher dan terhenti pada perut ratanya. Terdapat sebuah bekas luka memanjang di sisi perut kanan dan kirinya, yang sebelah kiri terletak vertikal dan yang sebelah kanan sudah hampir rata dengan warna kulit tampak memanjang horizontal. Ia bahkan tidak pernah mengetahui sejak kapan bekas luka atau yang lebih terlihat sebagai bekas jahitan itu ada disana. Yang ia tahu adalah bahwa luka itu sudah bersarang pada perut ratanya sejak dulu, mungkin luka-luka ini dimilikinya pada kepribadiannya yang lain. Jauh sebelum karakter bernama Haise Sasaki lahir.

Ia memegang bekas jahitan diperut kirinya itu dengan tangannya. Mengelusnya, membawa sensasi geli diseluruh tubuhnya. Haise adalah orang yang sensitif terhadap sentuhan. Pikirannya kembali kepada peristiwa yang terjadi tujuh menit yang lalu, dimana Arima menyentuhnya atau lebih tepatnya mengeringkan kepalanya dengan lembut. Dengan handuk putih yang sekarang ia kaitkan pada pinggangnya yang ramping. Seketika pusing dikepalanya kembali melanda, jantungnya kembali berdetak lebih kencang, bibirnya terbuka hanya untuk menghembuskan nafas secara berat dan sensual. Ia menegakkan badannya sambil mengingat bagaimana Arima memijat kepalanya dengan lembut. Tangan kanannya bergerilya di dadanya sendiri. Mengelus puting susunya dengan lembut dan dalam gerakan yang lambat membiarkan sensasi geli mengambil alih tubuhnya. Haise senang berlama-lama terjebak dalam kegelian ini. Sensasi kegelian ini membawa ke kenikmatan yang tak berujung, stimulasi yang ia berikan pada diri sendiri perlahan menaikkan suhu tubuhnya, seperti cairan lava yang sangat panas mengalir deras disetiap pembuluh darahnya, kepalanya menengadah keatas menatap silaunya sinar lampu sambil menghembuskan nafasnya setengah mendesah dan menarik nafas lagi dengan berat seakan hal itu terasa sulit baginya. Tangannya yang lain masih meraba dengan sensual bekas jahitan yang memanjang vertikal itu, mengingat kembali ketika Arima memberikan tekanan dengan lembut terhadap kepalanya. Oh, badannya terasa semakin bergairah, ia mulai tampak linglung, kedua kakinya hampir tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Sensasi panas yang membawa kenikmatan itu menjalar menuju ke perutnya. Kedua tangannya perlahan menelusuri perutnya yang rata melewati kedua bekas jahitan yang anehnya walaupun tidak sedap dipandang hal itu menjadi sangat seksi dimata Haise yang gairahnya membuncah. Kedua tangan itu akhirnya sampai ke satu-satunya garmen yang menempel ditubuhnya. Tekstur handuk yang kasar-kasar lembut itu membuat sesuatu di antara selangkangannya bereaksi. Ia menarik napasnya dengan tempo yang lambat, seolah ia ingin menghitung berapa jumlah udara yang ia hirup melalui hidungnya. Ia masih menengadahkan kepalanya ketika ia meraba apa yang sekarang terlihat menonjol di selangkangannya. Kedua matanya tertutup dan terbuka seiring gerakan nakal yang ia lakukan sendiri, bibirnya setengah terbuka terlihat sangat seksi.

Dalam sekali gerakan yang nakal ia membuka satu-satunya kain yang ada ditubuhnya itu. Membebaskan apa yang menghalangi bagian tubuhnya yang paling sensitif yang masih terus bereaksi sampai sekarang, matanya masih setengah terpejam. Otaknya masih memainkan memori disaat Arima memberikan sentuhan lembut dikepalanya, Haise terhuyung, bergerak mundur hingga punggung telanjangnya menyentuh kulit kayu lemari yang dingin. Ia tampak kepayahan, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri berulang kali, ia berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara yang tidak diinginkan dan tubuhnya merosot ke bawah.

Haise menggunakan tangan kanannya untuk meremas puting susunya yang sudah merona sementara tangannya yang lain memberikan sentuhan dan stimulasi nakal pada kemaluannya. Pusat paling sensitif di tubuhnya. Merasakan secara nyata bagaimana jari-jari nakal itu mengusapnya, memberi pijatan yang semakin ia memberikan penekanan tubuhnya semakin melengkung saking nikmatnya. Haise kemudian meraih organ vitalnya, mengelus dan memberi pijatan lembut. Ia menggoda ujung kemaluan itu dengan ibu jarinya. Membelai bagian sensitif itu hingga menghantarkan sengatan gairah keseluruh tubuhnya. Haise menggenggam kebanggaannya itu dengan penuh keposesifan. Ini hanya miliknya seorang dan hanya dia yang bisa menyentuhnya. Haise meninggalkan puting susu yang sudah mengeras dan merona itu, mengarahkan jari-jari yang kurus dan panjang itu ke wajahnya. Ia meraba bibirnya yang terasa sangat basah dan seksi sebelum akhirnya mengulum jari-jari panjang itu dengan lidahnya yang tak kalah nakal, menjilat jemari itu satu per satu seolah jemari itu dilumuri oleh sisa madu, kemudian membiarkan jari jari itu menelusuri leher jenjangnya yang mulus tanpa cela. Kepalanya tidak berhenti menggelepar. Haise bagaikan seekor ikan yang baru meraih daratan, mencari pasokan udara yang terasa sangat panas di sekelilingnya. Tangan itu kembali ke dadanya. Mengelus sesuatu yang sudah sangat memerah dan sangat keras. Memberikan belaian yang membuat kedua kakinya semakin terbuka.

Haise tidak pernah melakukan hal erotis seperti ini sebelumnya. Ia hanya pernah membaca novel erotis yang memuat tentang perasaan seorang laki-laki saat sedang di puncak kenikmatan dan hanya merasakan sensasi itu secara fiktif. Merasakannya secara langsung dengan yang dibaca di buku merupakan hal yang sangat berbeda. Pada novel yang ia baca, tokoh laki-laki yang sedang aroused itu masih bisa mengatur pikirannya dengan baik namun tidak bagi Haise. Ia tidak bisa memikirkan apapun. Bukan, banyak hal yang bertaut di pikirannya. Membuat seolah kepalanya bisa pecah kapan saja, penglihatannya begitu buram, seakan banyak peristiwa yang mengelebat di depan matanya. Suhu dan aroma ruangan tidak banyak membantu. Ruangan itu penuh dengan wangi tubuh Arima, sementara suhu ruangan berlawanan dengan temperatur tubuhnya yang panas, sangat panas. Haise tampak begitu ringkih, kedua kakinya terbuka memperlihatkan dengan jelas bagian tubuh yang sedang ia sentuh dengan jemarinya. Dan bagian itu tidak nampak sehat. Sangat memerah dan sudah basah. Ia membayangkan dirinya disentuh oleh si empunya kamar, membiarkan dirinya menyandar pada Arima dalam khayalnya dan membiarkan Arima khayalan itu bermain dengan tubuhnya. Membayangkan bagaimana kulit telanjangnya beradu dengan kulit Arima. Haise terlihat begitu bergairah dan penuh dosa ia mengacak rambut hitam-putihnya itu dengan sebelah tangannya. Waktu seakan berjalan lambat, Haise merasa bahwa ia sudah sangat lama terlarut dalam birahinya sendiri mengabaikan kemungkinan bahwa Arima bisa masuk kapan saja dan memergokinya sedang bermasturbasi.

Dan benar saja, ketukan keras pada pintu kamar mengembalikan seluruh kesadarannya. Haise membuka matanya setengah terbelalak, ia melihat peristiwa porno itu terefleksi cermin di depan matanya. Ia sesegera mungkin menegakkan tubuhnya dan membuka salah satu lemari pintu untuk menyembunyikan tubuhnya yang bugil. Ia bisa mendengar Arima bersuara memanggilnya dari balik pintu dan tak lama pintu kayu itu terbuka. Arima tidak memperlihatkan tubuhnya, ia berusaha agar tidak membiarkan dirinya mengganggu privasi orang lain. Ia berbicara dari balik pintu yang seperempat terbuka itu.

"Aku hanya penasaran apa kau sudah selesai memilih baju? Makanan kita sudah siap dan aku lapar. Aku yakin kau juga merasa lapar bukan?" Sahutnya ringan.

Haise melirik dengan hati-hati dari balik pintu lemari, ia bersyukur tidak melihat sosok Arima di depan pintu. Ia mencelos kemudian menimpali sahutan Arima dengan sopan.

"Ya, Arima-san. Aku akan berada di dapur dalam dua menit."

Hening sesaat, kemudian Arima menjawab, "Baiklah kalau begitu. Buatlah dirimu nyaman seperti dirumah sendiri." Kemudian pintu tertutup.

Haise menepukkan telapak tangannya ke kening, ia tidak habis pikir bagaimana bisa ia mengkhayal hal erotis itu bersama mentornya sendiri. Sosok yang dianggapnya sebagai seorang Ayah. Ia tampak terjerembap, dalam hati ia menyesali apa yang telah ia perbuat. Ia melihat ke kemaluannya yang meskipun sudah normal masih terlihat sangat basah. Ia meraih handuk yang terabaikan dilantai itu sambil menghela napas dengan penuh penyesalan.

Arima adalah sosok yang berwibawa, orang yang paling ditakuti sepanjang sejarah CCG, sosoknya sangat dihormati seperti dewa Apollo, inspirasi semua manusia, pribadi dengan bakat yang sangat jarang ditemukan dan ia TIDAK mungkin melakukan hal tak senonoh itu pada dirinya, seorang murid kecil yang masih membutuhkan tuntunan. Sosok yang telah ia selamatkan dari lumpur penderitaan. Ia mengelap dirinya kembali dengan handuk itu dan setelah mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali, mulai memilih pakaian yang terlipat rapi di lemari.