Chapter 1
Aku tidak tahu untuk apa aku hidup. Aku tidak mengerti kenapa aku harus terlahir di dunia tak berwarna ini. Tidak. dulu, hidupku tidak seperti ini. Di mana-mana warna. biru,kuning,hijau,pink,coklat,ungu,dan merah. Begitu indah sampai rasanya aku selalu ingin tenggelam dalam warna itu. Entah dari mana aku ingat warna-warna itu. Aku juga tidak tahu kenapa aku terjebak di dalam dunia ini. Dunia yang begitu asing dan entah kenapa begitu aku benci. Sungguh aku merindukan duniaku yang dulu, dunia yang aku sukai. Dunia yang entah di mana keberadaannya sekarang. Dunia di mana semuannya terasa begitu membahagiakan. Merah, biru muda, merah lagi. Dari semua warna yang aku ingat entah kenapa aku sangat merindukan warna merah. Dan bila aku ingat warna merah itu, pilu di tempat itu begitu menyesakkan. Begitu memaksa untuk merobek tubuh. Begitu pekat sampai rasanya menyekat di tenggorokan. Bahkan begitu sulit untuk aku lupakan. Begitu mencekik dada,begitu menyiksa. Aku takut. Aku gemetar. Aku bingung. Kenapa warna merah itu melekat di pelupukku ? kenapa ia tidak pernah hilang. Kenapa? Aku benci, aku benci warna merah. Sungguh aku membencinya.
~0o0~
TRIPLE SCARLET
1/2
Kuroko No Basket Doesn't Mine
Fujimaki Tadatoshi is owner
AKAshi Seijuurou x KUROko Tetsuya with OC!Akashi twins
Warning : BL, Male x Male , Yaoi, Mpreg
Family, OOC dad!Akashi, OOC mom!Kuroko alur cepat, tulisan kacau, fluff(?)
Don't like Don't read!
A/N : haloo, semuanya. Masih ingat saya. Semoga masih. Kembali setelah kehilangan ide buat ngelanjutin multifict saya / maaf saya sukanya main kabur-kaburan memang. Saya bawain fict baru lagi. Serius yang ini beneran cuman twoshot yang rencananya mau dibikin oneshot tapi kepanjangan/lalala~ saya lagi kepingin bikin Mz Akashi jadi papah yang pengertian dan penuh kasih sayang tentunya bersama mamah Tetsuya yang menggemaskan. Karena ini lumayan panjang dan bahasa saya yang acak kadut. Saya tidak menjamin anda tidak bosan. Tapi semoga saja tidak./hahaha. Dan anggaplah lelaki yang hamil itu sudah biasa/yeah! Tidak suka. Tidak usah flame, tidak usah baca. Silahkan kembali dan Scrolling down cerita lain./becanda tapi serius. Saya tidak menjamin endingnya akan wah, malah terasa garing krenyes-kreyes. Chapter 2 akan saya update di hari minggu. Tidak suka. Silahkan klik kembali sebelum menyesal. Wanna review? Klik tulisannya di bawah.
DLDR!
Enjoy~
~0o0~
.
"Keadaannya belum bisa dikatakan membaik, nanodayo."
Manik itu tetap menatap intens pada lawan bicara. Meski begitu Midorima Shintarou selaku dokter pribadi sekaligus sahabat dekat sejak SMP tahu betul bahwa tatapan nanar itu sangat membuatnya iba.
Pemuda berusia tiga puluh satu tahun itu menghela nafas panjang. Pangkal hidung dipijat kecil. Hal semacam ini tidak pernah terbayangkan di dalam benaknya. Ia benar-benar merasa seratus persen bersalah dan membuatnya merasa tidak pantas menjadi kepala keluarga.
"Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa,Midorima."
Midorima mendengus jengah. Ia sadar betul tekanan macam apa yang sedang di bebankan oleh mantan kaptennya ini. Tapi, setahunya sosok merah ini tidak pernah menyerah pada apapun. Ia ingat betul slogan "haus kemenangan" yang selalu diumbar oleh lelaki di depannya. tapi, tentu ia tidak mengerti perasaan dan beban yang sebenarnya ditanggung oleh sang sahabat saat ini.
Midorima menatap tirai yang tertutup di sampingnya. Tirai yang menampilkan bayang-bayang sosok yang begitu membuatnya juga merasa gagal. Ia mendecih pelan. "Jangan bilang begitu, kau membuatku ikut merasa gagal,nanodayo."
Sosok elegan itu tertawa miris. "Kalau kau saja merasa gagal. Lalu aku ini apa ? pecundang tak tahu diri?"
Midorima menatap intens sosok di depannya. mencari setitik saja semangat yang biasanya kelewat membara bagai api. Namun tetap ia tak menemukannya. Selekat—sepekat apapun tatapannya, yang ia temukan adalah sosok manusia yang benar-benar kehilangan cahaya kehidupannya.
Tidak ada pembicaraan lagi setelahnya. Kedua sosok itu bergelung dalam pikirannya masing-masing. Bagi mereka berdua peristiwa ini adalah kegagalan terbesar selama kehidupan mereka. Tidak ada yang menyangka peristiwa semacam ini akan terjadi pada orang yang begitu berarti bagi mereka.
Suara dari sosok mungil pada pangkuan membuyarkan lamunan mereka.
"Midorima-jiisan, bolehkan kami menjeguk Mama?"
Kedua sosok orang dewasa itu mengalihkan pandangannya pada sosok mungil. "Seichiya, bukankah kita sedang menjenguk Mama?" lelaki yang menjadi pangkuan bertanya heran. Namun hanya gelengan kecil yang ia dapat.
Sosok yang dipanggil Seichiya itu menatap lelaki bersurai merah lekat. "Bukan menjenguk seperti ini Papa."
"Lalu?"
"Kami ingin melihat Mama secara langsung Papa. Bukan dari CCTV seperti itu." gantian sosok merah yang lain menjawab pertanyaan lelaki itu.
"Sena juga ?" anggukan kecil kembali sebagai jawaban.
"Ne, bolehkah Papa, Midorima-jiisan?"
Midorima tidak langsung jawab. Bukannya ia tidak ingin. Ia tahu betul bagaimana kedua sosok mungil itu sangat merindukan sang Mama. Tapi, ia tak bisa membiarkan hal ini. Salah-salah malah akan membuat kedua anak itu terluka lagi. Apalagi sosok di balik kaca itu sedang tidak dalam keadaan yang benar-benar stabil.
"Aku tidak menyarankan hal ini,Akashi. Kau tahu sendiri keadaan Tetsuya sekarang."
Yang disebut namanya tidak menggubris. ia masih tidak bergeming dari posisinya. Seijurou menatap dua sosok garis keturunanya bergantian. Ada rasa bersalah yang amat besar membuatnya membeku. Rasa bersalah karena telah memisahkan anak-anaknya dari sang ibu dan rasa bersalah karena tidak bisa menjaga ketiganya. Reluh hatinya tak pernah bisa memaafkan dirinya sampai kapanpun. Ia tahu itu.
Tapi, ia juga tidak bisa membuat anak-anaknya harus menahan rasa rindu hingga selama ini.
"Apa kalian sangat merindukan Mama." Seijuurou mengelus lembut surai merah kedua putranya. Mereka saling menatap. Saling menyelami segala perasaan yang terekam jelas pada manik masing-masing. Ia tersenyum tipis.
"Papa?" Akashi Sena mengenggam serat pakaiannya gemetar. Sena tahu, ia dan kakaknya tidak mungkin akan diizinkan untuk bertemu dengan sang Mama. Tapi, meski begitu ia tidak bisa membendung perasaan rindunya setiap kali menjenguk sang Mama. rasa takut itu masih menggelut dirinya, tapi entah mengapa setiap datang menjenguk dan melihat kondisi sang Mama membuatnya selalu merasa bersalah. Sungguh ia rindu belaian lembut sang Mama atau cerita dongeng yang dibacakan sang Mama sebelum ia tidur.
"Belum saatnya kalian bisa bertemu dengan Mama—Maafkan Papa, sayang."
Keadaan kembali hening. Tidak ada yang berani membuka suara. Sungguh Midorima tidak pernah menginginkan suasana kelam seperti ini. Ia juga tidak tahu apa yang akan ia lakukan sekarang. semuanya terasa begitu rumit untuknya.
"Baiklah,ini sudah sore. Sudah waktunya kita pulang Seichiya, Sena." Seijuurou kembali memecah keheningan. Manik scarlet dan aquamarine itu menatapnya sayu. Mereka tidak rela harus kembali secepat ini. Seijuurou menurunkan Seichiya dari pangkuannya dan membantu Sena untuk turun dari kursi lalu segera beranjak dari kursinya. Berjalan menuju pintu keluar sambil menggiring si kembar.
"Midorima, aku titip Tetsuya padamu. Jika terjadi apa-apa padanya segera hubungi aku."
Midorima menaikkan bingkai kacamatanya pelan. "Kau bisa mengandalkanku, nanodayo."
Seijuurou tersenyum tipis. "Kalau begitu kami perm — Seichiya!" Melepas rengkuhan sang ayah , Seichiya berlari kembali ke dalam. Menarik tangan besar Midorima untuk mengikutinya keluar ruangan dan berhenti di depan pintu kayu terkunci. Ia menatap Midorima nanar. "Midorima-jiisan, kumohon kali ini biarkan aku bertemu Mama. Kumohon Paman." Seichiya menggenggam erat jas putih milik midorima. Tatapan itu mengiba, mencoba menyalurkan segala emosi agar sampai pada sang dokter pribadi. Seichiya adalah sosok yang memiliki hampir seluruh sikap Seijuurou. Bahkan sikap angkuh dengan harga diri tinggi milik Seijuurou ada padanya. Melihat sosok kecil itu begiitu menurunkan harga diri. Midorima yakin betapa harapannya itu begitu ia inginkan.
Di belakangnya Seijuurou menyusul sambil menggandeng Sena. "Seichiya, Ada apa denganmu? Sudah Papa bilang belum saatnya kita bisa bertemu Mama." Seijuurou sedikit meninggikan suaranya kesal. Anaknya ini sungguh keras kepala.
Nyalinya seketika menciut namun Seichiya menatap sang Papa tak gentar. Ia benci harus dipisahkan oleh sang Mama meski itu adalah Papanya. "Kenapa Papa? Aku hanya ingin melihat Mama!"
"Belum saatnya kita bertemu dengan Mama,"Seijuurou menghela nafas " Seichiya harus mengerti, ini juga untuk kebaikan kalian."
"Papa tidak mengerti—suaranya bergetar—Papa tidak mengerti. Papa tidak tahu betapa aku dan Sena merindukan Mama."
Seijuurou berjalan mendekati sang sulung. Dielusnya sayang surai merah sang anak. "Kenapa Seichiya bilang begitu? tentu Papa mengerti. Papa juga sangat merindukan Mama."
"Lalu Kenapa?!"
Seijuurou menghela nafas berat. "Kondisi Mamamu tidak dalam kondisi baik saat ini. Papa hanya tidak ingin—"
"Kenapa Papa tidak percaya pada Mama ? Kenapa Papa tidak pernah percaya pada Seichiya ataupun Sena?" ucap Seichiya diselingi isak tangis. Midorima tak bisa berbuat banyak. Ia tak ingin menggubris ataupun melerai. Dia bahkan tidak terkejut saat menyadari bahwa anak kembar keluarga Akashi ini begitu memahami kondisi sang ibunda saat ini meskipun usia mereka belumlah genap sepuluh tahun. Sehingga ia yakin Seijuurou dan anak-anaknya punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya.
"Tentu Papa percaya pada kalian,pada Mama."
"Bohong!"
Akashi diam. Ia tak membalas ucapan sang sulung. Ia bukannya tidak percaya. Ia hanya takut. Takut jika mereka bertemu, keadaanya semakin memburuk. "Seichiya, Papa mohon mengertilah. Papa melakukan ini untuk kebaikan kita, kebaikan Mama."
Isakan Seichiya semakin kencang. Ia tak peduli jika ada yang melihatnya seperti ini. Ia tak peduli meski akan di ejek cengeng oleh Midorima-jiisan nanti. Yang ia inginkan sekarang adalah bisa melihat sang Mama. ia tidak peduli jika Mamanya akan marah jika melihatnya,Ia ingin memeluk sang Mama sebelum pulang. Itu saja.
"Kenapa—kenapa Papa tidak percaya kalau Mama tidak akan melukai kita? Kenapa Papa tidak percaya kalau Mama juga merindukan kita—sama seperti kita merindukannya."
Akashi ia tidak percaya? Selama ini pertanyaan itu selalu berputar di kepalanya. Kenapa ia tidak ia tidak percaya bahwa selama ini Tetsuya-nya mengalami tekanan psikis hingga seperti ini? ini menambah rasa bersalahnya.
Rengkuhan erat pada lengannya membuatnya tersadar. Sena sedang memeluknya sambil terisak. Beberapa kali terdengar ucapan 'Kumohon' lirih. Ditatapnya lagi kedua sosok kembar itu. Mungkin bagi orang lain, anak-anaknya adalah sosok tangguh yang meski usianya masih delapan tahun mampu menghadapi tekanan batin seperti ini. Ia tahu kalau semenjak beberapa bulan ini, teman-temannya sering mencemooh mereka. Tapi, mereka tak peduli. Mereka selalu percaya ibunya selalu menyayangi mereka. Namun bagi Seijuurou sendiri, mereka tetaplah anak ingusan yang masih membutuhkan belaian sang bunda. Ia sungguh tidak bisa mengganti peranan penting seperti yang dilakukan Tetsuya untuk anak-anak mereka. Meski mereka terlihat dewasa saat diluar. Tapi sesungguhnya mereka adalah anak-anak paling manja yang pernah Seijuurou kenal. Mungkin benar. Sudah saatnya seijuurou mempercayai mereka. Seichiya dan Sena. Lalu mempercayai Tetsuya. Karena kekuatan batin anak dan ibunya adalah kekuatan tak terdefinisikan oleh semesta.
Seijuurou tersenyum tipis. "Midorima,tolong ajak mereka untuk melihat Tetsuya."
Midorima hanya menhela nafas pelan. Seichiya dan Sena menatap wajah sang Papa tak percaya. Sungguh ayahnya bukanlah orang yang mau menuruti perintah orang lain. Bahkan jarang sekali permintaan mereka berdua dikabulkan oleh sang Papa tanpa bantuan sang Mama. Seichiya bahkan menganggap itu bukanlah ucapan sang Papa. Namun, kembali saat Seijuurou menggangguk pelan. Senyuman si kembar langsung merekah lebar. Setelah memeluk ayahnya erat , Si kembar semakin bersemangat menarik tangan Midorima untuk segera membukakan pintu.
"Midorima-jiisan, ayo buka pintunya." Sena yang kelihatan pendiam tampak sangat bahagia sekarang.
"Midorima-jiisan, ayo buka! buka!" Seichiya tidak kalah semangat.
Midorima menatap Akashi sekali lagi, memastikan bahwa sang mantan kapten telah mengambil keputusan yang benar. Memastikan bahwa perintah Akashi bukanlah sebuah guyonan . namun, Midorima tetap tak bisa menemukan celah keraguan di mata lelaki merah ini.
Pintu kayu itu terbuka perlahan. Si kembar mengintip dari belakang tubuh Midorima. Mereka masuk perlahan. Sementara Seijuurou hanya mengamati dari luar . awalnya Sena dan Seichiya ingin berlari memeluk erat sosok yang begitu mereka rindukan, sebelum kedua tangan Midorima menahan kedua bahu mungil itu. Ia berjongkok di belakang mereka. Menyuruh kedua surai merah untuk tidak mengejutkan. Mengerti, Sena maupun Seichiya berjalan perlahan mendekati sosok baby blue yang sedang menatap keluar.
"Mama" ucap mereka bersama.
Sosok itu, Lelaki baby blue itu sedang duduk di atas tempat tidur. Tatapannya sedari tadi masih menatap keluar. Manik baby blue itu tampak begitu kosong, menerawang jauh pada sesuatu yang tak berujung. Angin semilir sore hari di awal penghujung musim semi menggoyang lembut surai aquamarine yang tampak begitu lengket. Ekspresinya begitu datar. Tubuhnya begitu ringkih bahkan lebih kurus dari yang pernah si kembar terakhir lihat.
Seichiya mengandeng erat jemari adik kembarnya. Perlahan jarak itu memudar. Kini, mereka berdiri di belakang sang Mama. Mereka saling memandang sejenak. Lalu kembali menatap punggung berbalut pakaian biru muda khas rumah sakit.
"Mama."Seichiya kembali memanggil.
Entah, Seichiya tidak mengerti perasaan aneh yang ia rasakan saat tiba-tiba tubuh yang ia panggil dengan Mama itu menegang. perasaannya mengatakan kalau sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi. Sena yang merasa bahwa sang kakak tidak bersuara menatap heran. Alisnya bertaut ketika tiba-tiba sang kakak menunduk dalam. Inisiatif ia juga memanggil sang Mama.
"Mama. Ini aku Sena dan Sei-kun. Kami datang untuk menjenguk Mama. Papa juga ikut."
Lagi, perubahan sikap sang baby blue menjadi aneh. Ia menggigil. Tangan kanannya memeluk tubuh,sedangkan tangan kirinya menutup telinga erat, kepala biru itu menggeleng berkali-kali. Tubuhnya meringkuk.
Sena yang tidak menyadari perubahan itu masih terus mengajak sang Mama berbicara.
"Apa Mama sehat? Maafkan kami baru bisa menjenguk Mama…Mama, kami semua merindukan Mama. Apa Mama merindukan kami juga?"
"Pergi…"
"!"
Entah, pendengarannya salah. Tapi Seichiya benar-benar merasakan firasat yang sangat buruk.
"…Pergi"
Kedua pasang scarlet dan cerulean itu menatap punggung itu nanar. Memasang senyum miris Seichiya mencoba mengajak bicara kembali.
"Mama, ini Seichiya, lalu ini Sena. Apa Mama ingat pada kami? kami berdua anak Mama." Suaranya bergetar. Di sampingnya Sena mempererat genggamannya pada kakak kembarnya.
"SUDAH AKU BILANG PERGI!"
Akashi Tetsuya berteriak histeris. Wajahnya begitu kalut dan terlihat ketakutan saat melihat dua sosok mungil di depannya. Kedua kembar Akashi kaget bukan main. Seichiya melangkah mundur,sedangkan Sena semakin menggenggam erat sang kakak takut. Mereka mematung, kaki-kaki mungil itu gemetar. Lutut bahkan terasa begitu lemas. Tidak, Mama mereka bukan sosok seperti ini.
Tetsuya mengambil vas kaca di samping tempat tidurnya gusar. Raut wajah yang datar beberapa menit yang lalu, sudah sepenuhnya berubah menjadi raut penuh penyesalan,takut,kecewa,pilu.
Hampir saja vas itu terlempar pada si kembar, sebelum Seijuurou berlari cepat menahan lengan Tetsuya, mengambil vas dan menjauhkannya dari jangkauan Tetsuya.
"Tetsuya,hentikan. Tetsuya!" Seijuurou gusar. Kedua tangannya kokoh menahan pinggang Tetsuya untuk tidak menerjang anak-anaknya. Tetsuya meronta dalam dekapan Seijuurou. Ia semakin histeris saat melihat Seijuurou ada didekatnya. Ia memukul,menjambak,mencakar Seijuurou dengan beringas. Air mata mengalir deras dari pelupuk seindah samudra. Seijuurou tidak peduli sekeras apapun Tetsuya meronta ingin menjauh darinya, ia semakin mendekap Tetsuya erat. Mencoba menahan Tetsuya agar tetap diam ketika Midorima menyuntikkan obat penenang di pergelangan tangannya.
Tetsuya kalut, sungguh. Ia bahkan tidak berani melihat sekitarnya. Di mana-mana merah. bahkan warna merah itu terasa begitu dekat padanya. Perlahan membakar dirinya semakin dalam. Ia takut, ia takut bila warna merah itu menenggelamkannya, membakarnya jadi abu hingga tak bersisa—
"Tenanglah Tetsuya, semua akan baik-baik saja. Aku disini, jangan takut." Seijuurou membisikkan ucapan penenang di telinga Tetsuya berkali-kali.
—Namun, entah mengapa di sisi hatinya yang paling sempit pun ia bisa merasakan setitik kecil warna yang pernah hilang dari hidupnya. Ya, warna merah yang ini tidak biasa. terasa begitu hangat dan nyaman. Menawarkan rasa aman yang harus diakui oleh hatinya begitu ia rindukan.
"Seijuurou-kun…."
~0o0~
Akashi Sena masih terisak dalam gendongan Akashi senior ketika sampai di mansion mewah Akashi. Sedangkan sang Kakak, Akashi Seichiya hanya menunduk lesu dalam gandengannya. Mansion besar ini, dulu begitu terasa hangat. Masih bisa ia rasakan canda tawa mereka berempat ketika ia menyapu pandang pada aula besar ruang keluarga. Suara datar kekasihnya yang kesal karena ia yang pilih-pilih makanan ketika di ruang makan keluarga. Suara Tetsuya yang kesal karena ia dan anak-anaknya mengganggu acara membaca novel. Lalu Suara tawa Tetsuya, suara tawa Sena dan Seichiya, bahkan Suara tawanya sendiri saat merayakan natal dan kembang api di pergantian tahun beberapa minggu yang lalu. Sungguh ia sangat merindukan hari-hari itu terulang sekarang.
Tidak ingin terlarut pada suasana sedih, Seijuurou menggiring kedua anaknya untuk ke kamar mandi. Ini sudah hampir malam, dan anak-anaknya terlihat seperti kain lusuh yang belum dicuci selama seminggu. Ya, mereka harus membersihkan diri sebelum acara makan malam sebentar lagi. Hari ini adalah hari yang sangat berat bagi hati rapuh mereka. Penolakan yang terang-terangan dilakukan oleh Tetsuya pada si kembar pasti membuat hati mereka berdua hancur. Tidak, Seijuurou juga ikut merasa hancur. hati, pikiran, dan raga mereka lelah. mungkin seumur hidup seijuurou, hari ini adalah kegagalan terburuknya. Cobaan ini sungguh berat untuknya, entah ia harus mengeluh pada siapa Seijuurou pun tidak tahu.
Tetsuya, sekarang apa yang harus aku lakukan?
~0o0~
"Papa?"
Seijuurou mengalihkan iris rubynya dari layar laptop yang masih menyala di depannya. di belakang pintu kayu marun, Akashi Sena menyembulkan kepala merahnya. Melihat sang Papa yang tersenyum tipis padanya, Sena memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja sang Papa. Malam ini ia tidak bisa tidur. Kakaknya masih mengerjakan tugas sekolahnya . Seberapapun ia berusaha memejamkan mata, ingatan segar sore tadi benar-benar tidak bisa hilang dari pikirannya. Membuatnya selalu ingin menangis dan menangis. Seharusnya ia dan kakaknya tidak egois. Seharusnya mereka mendengar perkataan sang Papa yang sudah pasti tidak pernah salah. Seharusnya begitu.
"Kenapa Sena belum tidur ?" Suara Seijuurou lembut mengalun di telinganya. Tanpa ia sadari sang Papa sudah berjongkok di depannya. Manik cerulean warisan sang Mama menatap sendu manik crimson dibalik kaca bening. Akashi yang lebih tua menghela nafas pelan. Di usapnyanya surai merah sang anak sayang. "kamu mimpi buruk lagi?" Sena hanya menggeleng kecil sebagai jawaban.
Seijuurou terkekeh pelan ketika tiba-tiba Sena menumbrukkan dirinya pada Seijuurou. Pelukan itu begitu erat. Begitu sarat akan emosi yang tidak terbendung. Emosi yang Seijuurou tahu sebagai rasa rindu. Ia mau tidak mau membalas pelukan sang anak lebih erat. Sena bukan anak yang manja. Meski kelihatan lemah, ia sebenarnya anak yang tegar. Ia juga bukan anak yang suka bicara. Ia lebih suka mengutarakan emosinya lewat tindakan. Berbeda dengan Seichiya yang lebih suka pada hal-hal yang nyata, lebih suka mengutarakan pendapat dan bertindak. Terkadang Seijuurou bisa melihat dirinya pada Seichiya dan diri Tetsuya pada Sena. Sehingga ia mengerti bahwa Sena akan bercerita padanya dengan keinginannya sendiri.
"Aku rindu Papa." Dalam pelukan, Sena bercicit pelan, namun tetap bisa Seijuurou dengar suara lembut itu.
"Hmm, bukankah kita bertemu saat makan malam tadi? Seharian ini kita bersama-sama,bukan?" ucap Seijuurou sambil mengusap lembut mahkota serupa miliknya. Sena tidak membalas, ia hanya memeluk erat orang yang begitu ia sayanginya. Merasa bahwa sang ayah juga akan meninggalkannya sendirian. Menenggelamkan kepala mungilnya dalam kelembutan wangi mint di bahu lebar sang ayah, sungguh menenangkan hatinya yang terasa begitu kalut.
Waktu terasa berjalan begitu lambat bagi Seijuurou. Ada satu dua hal yang rasanya tidak pernah ingin Seijuurou lewatkan setiap detik nafasnya berhembus. Kehangatan keluarga. Bahkan hanya dengan sebuah pelukan kecil dari anaknya, hatinya yang sempat dingin kembali menghangat. Ia mengerti bahwa ia tidak sendiri. Sesulit apapun kehidupannya kini, masih ada mereka. Hasil cintanya dengan Tetsuya. Buah hatinya, masa depannya. mereka sumber kekuatannya. Mereka sosok yang harus diperjuangkannya. Sosok yang akan membuatnya bangga. Sosok yang akan menyempurnakan kehidupannya. Sosok yang akan selalu ada menjadi penyemangat di saat ia lelah dengan perjuangannya mengembalikan Tetsuya seperti sedia kala. Setidaknya, kehangatan itu masih ia rasakan meski tidak bersama Tetsuya.
"Papa, apa… apa Mama bisa sembuh? Apa Mama bisa bersama dengan kita lagi?"
Seijuurou menatap wajah sang anak yang mengingatkannya pada kecil terpatri di wajah tampan di balik bahu mungil. "Tentu sayang, Mama pasti akan bersama kita lagi. Papa janji."
Kembali Sena memeluk Papanya makin erat. Ia masih kecil, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu sang Papa. Namun, ia masih bisa percaya pada sang Papa kalau semua akan baik-baik saja bukan? Setelah pelukan erat ala teletubies, Seijuurou mengangkat Sena dalam gendongan. Di bawa sena duduk di atas pangkuannya di depan meja kerja. Sena mengamati gerak gerik layar yang mulai berganti tampilan. Indra pendengarnya masih setia menangkap suara sang Papa yang mulai bercerita tentang kehidupan kedua orang tuanya di masa lalu. Layar tampilan di laptop berganti-ganti. Awalnya foto mereka berempat ketika jalan-jalan ke Disneyland setahun yang lalu, lalu berganti menjadi foto saat Papanya masih SMA dan sang Mama yang juga masih SMA. Lalu foto kedua orang tuanya dengan teman-temannya. Dan beberapa foto sang Mama ketika masih kecil. lalu foto Sena dan Seichiya ketika masih terus mendengarkan, sesekali menjawab antusias ketika ditanya sesuatu oleh sang papa. Beberapa menit waktu mereka habiskan bersama. Mengenang masa-masa indah bersama sang Mama, sampai-sampai tidak menyadari sang kakak kembar masuk tanpa permisi. Menyilangkan kedua lengan di depan dada memandangi mereka dengan raut tidak suka.
"Enak ya, Sena main sama Papa tapi tidak mengajak Seichiya." Sindiran halus itu mengintrupsi acara asik sepasang sosok merah di atas bangku putar.
Seijuurou menoleh diikuti Sena. Sena hanya menatap datar sang kakak kembar."Kau belum tidur,nak?"
"Aku tidak bisa tidur kalau Sena tidak ada di sampingku," Jawab Seichiya, ia melanjutkan "Sudah aku cari kemana-mana tidak ketemu. Ternyata sedang asik sama Papa."
"Sei-kun cemburu?"
"Inikan Papanya Seichiya. Sena kan sudah punya Mama." ucap Seichiya dengan nada iseng sekaligus merasa dicurangi.
"Siapa bilang? Papa itu punya Sena." Tidak mau kalah Sena menuntut haknya.
"Mana buktinya? Barang-barang Papa semua jadi punya aku. Barang-barang Mama semua punya Sena. Jadi Papa itu punya aku."
"Sena selalu di gendong Papa. Sei-kun selalu di gendong Mama. Jadi, Papa itu punya Sena."
"Aku lebih mirip Papa."
"Sena juga mirip Papa."
Kalian berdua mirip Papa kok.
Sementara Seijuurou anteng duduk santai menonton pertengkaran kecil kedua anaknya. Entah merasa bangga atau apa, tapi ia senang menjadi bahan rebutan anak-anaknya. Karena biasanya, yang jadi bahan rebutan adalah Tetsuya dan dia akan jadi pihak ketiga yang ikut merebut Tetsuya. Setelahnya, anak-anaknya akan bersatu dan mengusirnya untuk menjauh dari Tetsuya. Ah, ia jadi bernostalgia lagi.
"Hiks—pokoknya Papa punya Sena,huweeeeee…!"
Acara nostalgia terhenti karena si bungsu menangis kencang. Iris ruby menghunus tajam pada sang tersangka. Yang ditatap malah buang muka merasa tidak bersalah.
"Seichiya." Ucapan penuh tekanan mengalun horor di telinga Seichiya. Aura hitam menguar dari tubuh Akashi senior membuat sang anak sulung merinding horror. Seichiya mendengus kesal,terkadang Seichiya merasa Papanya suka pilih kasih.
"Iya,iya. Papa milik Sena." Ucap Seichiya tidak rela. Tangis sang adik berhenti. Sena menatap sang kakak penuh binar bahagia.
"Tapi, Mama jadi punyaku." Kembali Sena menangis kencang. Seijuurou hanya sweetdrop melihat tingkah anak-anaknya sekarang.
"Seichiya…"
~0o0~
Badai memang tidak selamanya terjadi. Semenjak kedatangan ibu Tetsuya dari Osaka ke Tokyo. Keadaannya mulai membaik. Awalnya,kejadian yang sama terjadi. Tetsuya selalu berusaha menyerang siapapun yang mendekatinya. Entah, Seijuurou tidak tahu mantra atau apapun yang dilakukan oleh ibu Tetsuya pada anaknya. Sehari setelah penolakan yang dilakukan pada ibunya, Dua hari kemudian ibunya mencoba kembali untuk mengajak Tetsuya berbicara. Seijuurou tidak tahu apa yang dibicarakan oleh sang mertua, ia hanya memantau dari layar CCTV di balik ruang inap VIP bersama Midorima. Lalu kemudian Tetsuya menangis, berteriak histeris dalam pelukan sang ibu. Ia tidak meronta, atau mencoba menyerang. Ia hanya menangis. Sementara ibunya hanya memeluk, menenangkan anak semata wayangnya. Seijuurou hanya bisa menangkap kata maaf yang lolos dari bibir sang mertua berkali-kali. Wanita bersurai baby blue itu juga ikut menangis. Ada aura yang sangat mengharukan di dalam sana. Awalnya Seijuurou merasa khawatir akan keduanya. Namun, menurut Midorima itu adalah awal yang baik untuk kepulihan Tetsuya. Saat ini ia hanya bisa mempercayai Midorima sebagai dokter yang menangani Tetsuya.
"Seperti yang aku katakan sebelumnya, Tetsuya mengalami Post Traumatic Stress Disorder atau biasanya disebut Stress pasca trauma. Ingatan-ingatan yang mengakibatkan traumatik pada Tetsuyalah yang menyebabkan kondisinya seperti ini. Di tambah lagi, dengan tidak ada seorang pun yang mengetahui keadaan yang menyebabkannya menjadi meledak keluar. Dan lagi ditambah dengan Tetsuya sendiri yang berusaha menyembunyikan segala masa lalunya pada orang-orang terdekatnya. Dan puncak adalah peristiwa ini,nanodayo." Midorima menaikkan lensa kacamata bergagang hitam itu setelah menjelaskan segala teorinya. Dua manik kontras di depannya menatap dengan tatapan yang juga kontras setelah mendengar penjelasan Midorima. Menurut Midorima dua orang di depannya adalah sosok yang seharusnya mengetahui kondisi Tetsuya seburuk apapun masa lalunya. Seijuurou menatap wajah wanita baby blue di sebelahnya. Mertuanya ini, pasti menyembunyikan sesuatu yang tidak pernah Seijuurou tahu. Pasti.
Sial,Kenapa ia bisa kecolongan begini.
"Okasan,sebenarnya apa yang telah terjadi pada Tetsuya?" Pertanyaan Seijuurou hanya dijawab keheningan. Sang mertua masih diam tak bergeming. Mungkin menatap lantai keramik putih lebih menarik baginya.
"Okas—" Panggilan Seijuurou terpotong oleh ucapan mertuanya yang begitu mengejutkan baginya.
"Tet-chan, di culik saat umurnya masih tiga tahun. Ia kami temukan ketika umurnya masih empat belas tahun," aliran air mata mulai jatuh membasahi pipi wanita bermarga Kuroko itu. " Maafkan aku Sei-chan, seharusnya aku memberitahukanmu lebih awal ."
Seijuurou masih ingin mendengarkan alasan kekasihnya bisa seperti ini. "Apa maksud Okasan?"
Kuroko wanita menatap wajah menantunya sendu. Ada perasaan tidak rela ketika ia menatap wajah itu. Ia tahu ia salah, ia tahu anaknya juga salah. Ia tahu hal semacam ini akan terjadi pada Tetsuya cepat atau lambat. Tapi, tidak dengan peristiwa yang akan melibatkan cucunya. Bibir berlipstik merah itu bergetar. Tidak kuat bila harus menceritakan segalanya dari awal. Tapi, tidak ada alasan lagi baginya untuk menyembunyikannya.
Dari penjelasan yang di ceritakan oleh Kuroko Yuhi, Seijuurou akhirnya mengetahui keadaan yang telah terjadi pada istrinya. Seijuurou tidak pernah menyangka bahwa istrinya, istrinya yang begitu ia cintai, pernah menjadi budak illegal. Kehidupan masa kecil yang seharusnya bisa digunakan untuk bermain ataupun belajar, digunakan istrinya untuk mencoba bertahan hidup dan berlari dari kejaran orang-orang yang memanfaatkannya. Seijuurou tidak pernah menyangka kehidupan sang istri dipenuhi hal-hal menjijikkan yang seharusnya tidak ia terima. Dan lagi kenapa Tetsuya tidak ingin ia mengetahui masa lalunya. Kenapa Tetsuya harus menyembunyikannya sendiri?
"Tetsuya hanya tidak ingin terlihat cacat di depanmu Sei-chan. Ia begitu mencintaimu, begitu mempercayaimu bahwa ia akan bahagia bersamamu. Menurutnya, kebahagian itu akan terwujud apabila kau tidak mengetahui tentang masa lalunya,
"Disamping itu ia takut bila ia menceritakan masa lalunya, Kau akan pergi meninggalkannya. Kau tahu, seumur hidupku aku hanya melihat wajah Tet-chan selalu bahagia apabila bersamamu. Dia bahkan memelukku erat ketika kau melamarnya. Aku sungguh tidak bisa mengganggunya. Melihat ia bahagia adalah sesuatu yang aku inginkan sejak dulu." Ucapan dari Kuroko Yuhi terus terniang di kepalanya hingga ia pulang ke rumah. Kuroko Yuhi menginap di Rumah Sakit tempat Tetsuya dirawat, karena hanya ibunya yang bisa ia terima keberadaanya untuk sekarang. Apa Kuroko tidak tahu bahwa Seijuurou begitu mencintainya, ia tidak mungkin pergi meninggalkan Tetsuya hanya karena ia mengetahui masa lalunya. Bahkan bila ia mau, ia akan menampung semua rasa sakit yang ditanggung Tetsuya.
Seijuurou mengusap wajahnya kasar. Air dingin yang mengalir dari shower dan membasuh tubuhnya yang panas tetap tidak bisa mendinginkan jiwanya. Bahkan setelah mengetahui masa lalu Tetsuya, ia tetap tidak tenang. Mungkin ia bisa mengerti kenapa emosi Tetsuya bisa meledak hingga seperti ini. Namun, ada satu hal yang membuatnya bertambah gusar. Ya, pernyataan Midorima bahwa Tetsuya kemungkinan tidak akan mengingat dirinya ataupun anak-anaknya.
Midorima sialan! Saat itu rasanya ingin sekali ia merobek mulut Midorima dengan gunting di saku celananya. Midorima benar-benar sudah gila. Bagaimana mungkin sosok yang begitu dicintai oleh istrinya malah yang akan terlupakan. Apa-apaan Midorima mengatakan kalau warna merah bisa memicu traumanya lagi. Konyol! Benar-benar konyol!
"AAARRGGHHH….!"
~0o0~
Hari berganti hari dan minggu berganti minggu. Sudah hampir enam bulan lamanya, Akashi Tetsuya di rawat di salah satu kamar VIP rumah sakit di Tokyo. Keadaannya sudah sangat bisa dikatakan sembuh, Namun perawatan masih harus dijalankan olehnya. Ibunya masih di sana untuk merawatnya, Tetsuya sudah bisa berkomunikasi dengan baik. menurut ibunya ia dirawat karena kecelakaan hebat yang dialami. Tapi, anehnya, tidak ada luka di tubuhnya. Ya, hanya ada perban yang melekat di pergelangan tanganya.
"Jadi, kapan kau akan keluar dari sini Tetsu. Tidak bosan dunia cuma selebar 5x7 seperti ini?"
Suara sahabat tan semasa SMA mengalihkan pandangan sang baby blue dari novel yang dibacanya. "Bosan,tentu saja. Tapi kata Okasan bilang aku belum boleh pulang."
Sejak sebulan yang lalu teman-teman Tetsuya mulai datang menjenguk. Terkadang pasangan Aomine-kun bersama istrinya, atau keluarga Atsushi. Midorima-kun yang bekerja di sini juga sering menjenguk. Ya, karena katanya dia dokter yang menangani sakitnya. Bahkan beberapa teman sewaktu kuliah seperti Kagami-kun dan Hyuga-senpai menjenguk. Namun, meski begitu. Ia tetap merasa ada yang itu apa.
Aomine masih asik mengupas Apel yang sebagian isinya diberikan pada Tetsuya dan sebagian lagi untuk dimakannya.
"Rasanya, aku benar-benar ingin membawamu keluar dari sini Tetsu. Orang sakit itu sebenarnya hanya butuh angin segar untuk sembuh."
Perhatian yang baby blue masih fokus pada novel yang dibacanya "Yang ada malah bisa masuk angin Aomine-kun."
Aomine mengibas tangannya malas. "Ya,bukan begitu juga."
Perbincangan hangat antar sahabat mengalir di dalam kamar bercat putih itu. Aomine terkadang mengajaknya mengingat-ingat masa lalu seperti semasa mereka SMA. Kuroko sendiri tidak masalah dengan itu. Meskipun, ada beberapa bagian yang tidak diingatnya. Ya,menurut Aomine kejam sekali sampai terlupakan.
"Ayo,masuk sini. Tidak apa-apa." Suara khas anak kecil terdengar dari balik pintu kamar. Kedua atensi kepala biru beda gradasi itu melirik ke arah pintu. Itu suara yang tidak asing bagi mereka. Ada perdebatan kecil yang terjadi di luar sana, entah apa itu. Suara mereka sedikit teredam dari dalam.
Pintu tergeser kasar. Dan terlihatlah di sana. Sosok mungil bersurai keemasan bermanik safir. Sekilas ia mirip sekali dengan anak-anak orang bule. Anak eropa yang tersesat di Asia kalau kata ayahnya.
Alis biru Aomine mengkerut heran, ini anaknya kenapa? dari tadi seperti berusaha menarik seseorang ke dalam. "Oi, Daisuke. Sedang apa kau di sana,nak?"
Yang disebut namanya hanya memandang sang ayah malas. Pandangannya beralih pada pemuda baby blue di atas tempat tidur. Lalu melepas sesuatu yang sedari tadi ditarik untuk masuk ke dalam. Ia berlari dengan semangat kearah Tetsuya. "Ne,ne Tetsuya-niisan, apa kau mau berkenalan dengan temanku? Dia manis sekali seperti niisan." Tetsuya hanya memandang anak sang sahabatnya heran. "Temanmu?" Daisuke menganggu semangat.
Tetsuya tersenyum tipis. "Tentu saja boleh Daisuke-kun. Tapi,di mana temanmu? Kenapa tidak di ajak masuk ?"
Daisuke menoleh kea rah pintu. "Dia anaknya pemalu. Makannya begitu. Tunggu, biar aku paksa katanya ia yang mau bertemu dengan nii-san."
Setelahnya ia berlari kembali keluar ruangan. Sedikit ada cekcok di sana. Dan sebuah paksaan membuat sosok yang sedari tadi di luar menampakkan wujudnya di depan Tetsuya.
"A-Akashi Sena desu."
Sena menunduk takut, tidak ingin melihat reaksi orang di depannya. ia sungguh takut kalau dirinya akan memancing trauma lagi seperti yang Papanya katakan. Sementara Tetsuya menatap sosok mungil di depannya intens. Ada perasaan bergerumuh ketika ia menatap sosok di depannya. Sekelebat bayangan tentang masa lalu. Ia merasa sangat mengenal sosok ini tapi, dimana tepatnya ia tidak ingat.
Tetsuya menyapa lembut "Kuroko Tetsuya,desu. Salam kenal Sena-kun."
"Oh, ternyata Sena. Aku kira siapa." Aomine menyahut setelahnya. Tetsuya memandang heran pada sahabatnya. "Aomine-kun mengenalnya?"
Anggukan santai diberikan oleh Aomine. "Dia,anak temanku." Aomine mengalihkan pandangannya pada sang bocah merah "Apa kabar Sena? Bagaimana kabar kakakmu dan Otou-sanmu?"
"Sei-kun baik-baik saja,"
Sei-kun?
"Kalau Papa, dia sedang tidak enak badan. Kena flu Aomine-jiisan." Manik Aquamarine itu menunduk sayu. Aomine mendengus geli. Entah ia harus kasian atau merasa bersyukur, kasian karena tidak menyangka seorang Akashi bisa jatuh sakit atau bersyukur karena setidaknya temannya itu bisa beristirahat sesaat.
"Semoga Papamu cepat sembuh ya Sena."
"un!"
Tetsuya masih terus mengamati setiap gerak-gerik bocah merah di depannya. perbincangan santai antara Aomine dan kedua bocah ini tampak begitu akrab sekali. Lalu setiap ia mendengar kata 'Sei-kun' bayang-bayang itu semakin lama semakin jelas.
'Sei-kun, hari ini aku masak sup tofu. Kau mau mencobanya ?'
'Sei-kun,kenapa susunya tidak dihabiskan?'
'Di rumah ini jadi ada dua Sei-kun.'
'Sei-kun.'
'Sei-kun?'
Mendadak kepalanya terasa pusing sekali.
"….-san"
"..Tet…san"
"Tetsuya-niisan."
Tetsuya kembali ke alam nyata. Di depannya sosok mungil bersurai merah menatap cemas padanya. Hanya perasaannya saja,atau sosok ini jadi ingin menangis. Di alihkan pandangannya pada sosok tan di sampingnya yang juga tampak cemas.
"Tetsu, kau tidak apa-apa?"
Sadar apa yang baru saja terjadi, Tetsuya cepat menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak apa-apa. Maaf membuat kalian semua cemas." Ucapnya sambil tersenyum tipis.
Di alihkan atensinya pada si kecil Akashi. Di usapnya lembut surai merah itu. Senyuman hangat terpatri di wajahnya. "Maaf sudah membuatmu cemas, Sena-kun. Benar itu namamu,kan?
Sena terdiam saat jemari-jemari kurus itu menjamah mahkotanya. Saat ini jemari yang mengelusnya adalah jemari Mamanya. Jemari yang selalu menjadi penenangnya kala ia bersedih. Jemari yang hampir enam bulan ini tidak pernah ia rasakan. Jemari hangat Mamanya sudah kembali. Rasanya hangat. Sama seperti dulu. Sungguh rasanya ini adalah hari paling membahagiakan untuknya.
"E-Eh, Sena-kun kenapa menangis ?" Tanya Tetsuya panik pada si kecil Akashi yang tiba-tiba terisak. "Aku rindu Mama." Ucapnya jujur disela-sela isakan. Tetsuya menatap bingung. Mencoba meminta penjelasan pada Aomine-kun, siapa tahu ia mengerti.
"Orang tuanya bercerai. Ya,sudah lama." Ucapan dusta itu mengalun lancar dari bibir Aomine. Ia berjanji akan meminta maaf pada Tetsu nanti. Ini juga demi kebaikannya.
"Bisa dikatakan, ibunya mirip dengamu Tetsu."
Tetsuya menatap bocah malang yang masih terisak di depannya. Tega sekali orang tuanya. Ibu macam apa yang menelantarkan anaknya seperti ini saat ia masih membutuhkan belaiannya.
Diangkatnya Sena dan didudukkan bocah itu di sampingnya. Tetsuya tersenyum lembut, kembali mengusap surai yang begitu lembut di jemarinya. "Jangan menangis Sena-kun. Mamanya Sena-kun pasti juga merindukan Sena-kun sekarang."
"Hiks- tapi, Mama tidak ingat pada Sena."
Aliran air asin itu diusap lembut. "Siapa yang bilang begitu, Tidak mungkin Mama Sena-kun lupa pada Sena-kun."
"Hontou?"
Tetsuya menganggukan kepalanya mantap. "Tentu. Tetsuya-nii percaya suatu hari nanti Mama Sena-kun akan datang menemui Sena-kun."
Gantian Tetsuya yang terkejut ketika mendapati manik cerulean itu terlihat nanar. Apa perkataannya salah. Sena mulai terisak lagi.
"…Bolehkah… bolehkah –aku memeluk Tetsuya-niisan ?"
Menghela nafas kecil. Tetsuya merentangkan tangannya terbuka. Mungkin memberikan kehangatan untuk sosok rapuh di depannya bukanlah hal yang salah. Lagipula, entah kenapa ia juga ingin sekali memeluk bocah di sampingnya. Sena menatap orang yang begitu dirindukannya dengan tidak percaya. Tanpa basa-basi, ia langsung mendekap tubuh itu erat. Menenggelamkan wajah mungilnya ke dalam balutan hangat sang ibunda. membiarkan emosi itu pecah, mengalir keluar bersama kasih sayang yang begitu ia rindukan. Pelukan sang Mama, aroma tubuhnya. Tidak pernah hilang sedikitpun setiap kenangan yang ia lewatkan bersama sang Mama.
"Mama…" lirihnya dalam dekapan sang Mama, tidak peduli kenyataan kalau sang Mama tidak bisa mengingatnya. Sementara Tetsuya hanya membalas pelukan itu erat. Mungkin ingatannya tidak mengerti apa yang terjadi, tidak juga mengenal siapa bocah kecil dalam pelukannya. Namun, perasaannya karena apa. Pelukan bocah ini terasa berbeda , jemari kecil yang memeluk lehernya terasa begitu berat untuk ia lepaskan. Ada perasaan tidak rela apabila ia harus melepaskannya, seperti ia akan kehilangan rengkuhan mungil itu selamanya. Untuk itulah Tetsuya hanya bisa menikmati, mencoba menyalurkan kehangatan pada sang surai merah. membiarkan sang bocah melepas rasa rindu pada sang Mama tanpa ia sadari dan tanpa menyadari tiga senyuman ikut mengembang di balik kamera pengamat.
Aomine tidak pernah menyadari, bahwa kekuatan ibu dan anaknya begitu kuat seperti ini. Meski Tetsu tidak bisa mengingat anak-anaknya. Namun, perasaan kasih seorang ibu benar-benar dapat ia rasakan dari tindakan sahabatnya itu. Dalam diam ia tersenyum tipis. ia yakin kalau Tetsu akan kembali mengingat keluarga kecilnya cepat atau lambat.
"Otou-chan aku jadi kangen Ka-chan."
Ah, bukan hanya Daisuke, Aomine jadi rindu akan sosok anak ayam kuning tercintanya.
.
~TBC~
